Pilgrims of Christ’s Mission

Feature

They are CHOSEN by God to be BROKEN

Lahir dan tumbuh dalam keluarga serba kecukupan membuat saya menjadi pribadi yang selalu nyaman dengan fasilitas dan cenderung sombong secara internal. Kenyamanan karena semua fasilitas tersedia ternyata tidak memuaskan hati. Akhirnya semua berubah ketika orang tua memutuskan berpisah. Mama, saya, dan kedua adik saya diusir dari rumah. Papa juga pernah melakukan kekerasan fisik dan mental kepadaku. Semua itu membuat saya menyimpan benci dan dendam yang sangat dalam, terutama dengan pengusiran yang papa lakukan. Sejak itu, kehidupan saya berubah 180 derajat. Berpindah-pindah rumah kontrakan, makan seadanya, dan sering mendapat teguran dari sekolah karena menunggak SPP. Setelah perpisahan itu, mama juga jarang di rumah. Mama akan berangkat pagi untuk bekerja dan kembali pada malam hari. Ketika kami berada di sekolah, mama akan menitipkan adik bungsuku pada tetangga. Di satu sisi, hal ini membuatku kecewa dengan mama. Namun dengan kondisi seperti itu, mama masih tetap mengajak kami untuk pergi ke gereja setiap hari Minggu, mengunjungi pastoran, dan memberikan sumbangan kepada anak-anak panti asuhan. Lambat laun, saya menemukan kebahagiaan pada komunitas suster-suster sepuh di paroki. Sukacita, kesederhanaan, dan keramahan mereka membuat saya ingin menjadi seperti mereka. Inilah salah satu motivasi awal saya menjadi biarawati, yaitu rasa bahagia. Perlahan saya juga merasa hidup saya diubah menjadi pribadi pemaaf, murah hati, dan sederhana. Selain itu, saya mendapat rahmat terbesar dalam diri ketika bisa merasakan cinta dan pengorbanan yang Tuhan berikan kepada saya. Saya tidak lagi menyesal dengan keluarga yang saya miliki, tetapi justru rasa syukur. Mama dan kedua adik merestui apa yang saya inginkan. Saya juga bisa merasakan kehadiran doa dan dukungan dari mereka. Syukur kepada Allah, tiga bulan sebelum mengucapkan kaul perdana, mama memutuskan untuk bergabung dalam komunitas TOC (Third Order of Carmelite). Di usianya yang sekarang, mama masih bisa membagi waktunya bagi keluarga dan komunitas. Tentu saja, hal ini menjadi salah satu penguat panggilan saya. Refleksi atas Keluarga Kudus juga membantu saya untuk semakin mampu menemukan rahmat dalam situasi yang kurang ideal itu. Keluarga kudus harus kita teladani sebagai umat Kristiani. They are CHOSEN by God in order to be BROKEN for the perfection of God’s love. Saya rasa, kita semua juga punya “KE-BROKEN-AN” masing-masing; BROKEN FAMILY, INTELLECTUAL, BROKENNESS, MORAL BROKENNESS, EMOTIONAL BROKENNESS, CHARACTER BROKENNESS, ECONOMICAL BROKENNESS, SOCIAL BROKENNESS, SPIRITUAL BROKENNESS, CULTURAL BROKENNESS, dan lain sebagainya. All of us are BROKEN, and yet CHOSEN by the Lord. Sr. Yohana Evita Veron Silaban, CAE – Komunitas Napoli, Italia

Feature

Keluarga Kudus itu seperti Puzzle

Aku lahir di sebuah keluarga kecil sebagai anak tunggal. Tahun 2005 bapak mulai berubah sikapnya dan berakhir dengan meninggalkan rumah. Akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai dan aku tinggal bersama ibu di Bekasi. Setelah bapak pergi aku merasa seperti mati rasa, karena aku tidak bisa mengetahui perasaan yang sedang kurasakan. Ibu menjadi satu-satunya orang tempat aku bergantung. Beliau berusaha mengajariku berdoa, tapi aku tak pernah mau. Ibu juga konsisten mengajakku ke gereja walaupun aku sering menolak. Beliau tidak pernah menyerah mengajakku agar aku ke gereja. Beliau yang mencukupi segala kebutuhan dan memperjuangkan hidup yang layak untukku selama ini. Aku tahu, beliau mengalami pergulatan yang amat panjang. Namun di satu sisi aku merasa kesepian karena ibu jarang sekali menemaniku dengan ritme kerjanya yang berangkat pagi pulang malam. Untuk mengurangi rasa sepiku ini aku lebih sering main bareng teman-teman, terkadang aku main juga ke rumah mereka. Ketika menjumpai keluarga temanku yang utuh, aku selalu bingung saat bertemu dengan seorang bapak. Ada rasa canggung, apa yang harus aku lakukan dan menentukan topik pembicaraan ketika aku bertemu dengan ayah dari teman-temanku. Mungkin karena aku dekat dengan ibu menjadikanku tidak begitu canggung ketika bertemu dengan ibu teman-temanku. Walaupun aku dibesarkan oleh single parent, namun aku bangga dengan ibuku. Beliau selalu berjuang yang terbaik untuk anaknya dan aku bangga kami bisa sampai di tahap ini. Dan aku sudah bisa menerima perpisahan orang tuaku. Bisa saja kalau mereka tidak berpisah aku tidak akan menjadi seseorang seperti sekarang ini. Beliau memberi kebebasan penuh kepadaku untuk menentukan jalan hidup. Beliau selalu mendukungku. Demikian pula keluarga besar ibuku. Tantanganku dalam menjalani pilihanku ini tidak berasal dari ibu atau keluarga besar ibuku, namun dari keluarga besar bapak. Mereka mengekang dan tidak mendukungku masuk ke novisiat. Menurutku keluarga kudus tidak tunggal seperti ayah yang menggambarkan figur Yusuf atau ibu yang menggambarkan figur Maria. Mungkin karena aku tidak memiliki figur ayah. Aku bisa menemukan figur Maria di sosok ibu, nenek, tante, atau sosok perempuan yang dekat denganku. Sosok-sosok ini saling melengkapi kekurangan dan kelebihan satu sama lain sehingga membentuk figur Maria yang sempurna. Begitu pula figur Yusuf, bisa kudapatkan dari sosok laki-laki yang ada di sekitarku, yaitu kakek, om, pakde, pendamping rohani, dan lainnya. Dalam bayanganku, keluarga kudus itu tidak tunggal, namun seperti puzzle yang dirangkai membentuk keluarga kudus yang sebenarnya. Fr. Daud Kefas Raditya, S.J. – Skolastik Jesuit

Feature

Keluargaku Melengkapiku

Ibu meninggal karena sakit ketika aku masih kelas V SD. Sejak itu aku hanya memiliki ayah dan kakak yang tinggal satu rumah denganku. Dalam keseharian, ayah atau kakak yang membuat makanan dan terkadang makanan ini bisa bertahan sampai 3 hari. Ayah adalah yang paling berperan besar dalam keluarga dan mencukupi kebutuhan kami sehari-hari. Beliau menanggung beban keluarga yang berat sebagai orang tua tunggal. Awal aku kehilangan ibu, aku kesulitan untuk menerimanya bahkan sampai SMP masih sering teringat ibu. Seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa menerima keadaan dan menganggap keluargaku utuh. Utuh bukan dalam arti jumlah, tetapi utuh dalam arti kondisi dan suasana. Ketika masuk Seminari, aku sudah bisa menerima keadaan dan mensyukurinya. Yang datang menjengukku adalah kakak dan ayah, namun aku tetap sangat mensyukurinya. Sedari kecil aku sudah diperkenalkan iman katolik oleh keluarga. Ibu mengenalkannya dengan mengajakku ikut doa lingkungan dan ayah mengajak latihan koor lingkungan. Ketika bulan Mei dan Oktober, aku sering diajak untuk rosario bersama dan mengikuti misa mingguan dan harian. Ketika ibu sudah tiada, yang membimbingku hanya satu orang. Ayahku menjadi sekaligus ayah dan ibu untukku dan kakakku. Saat aku di rumah, ayah selalu mengingatkanku untuk berefleksi. Ini membuatku tergerak untuk rajin berefleksi. Salah satunya dengan merefleksikan peran Keluarga Kudus Nazaret. Meskipun Keluarga kudus Nazaret terdiri atas ayah, ibu, dan anak. sementara keluargaku yang tanpa ibu, aku dibantu untuk lebih memahami bahwa keluarga kudus tidak hanya soal jumlah orang yang ada di dalamnya, namun bagaimana perannya untuk melengkapi hidupku. Seperti ayahku yang menjadi sosok ayah sekaligus ibu bagi keluarga kami. Ayah yang mencukupi kebutuhan kami dan memperhatikan kami seperti layaknya ibu. Itu semua sudah cukup. Yohanes Robiyantoro – Seminari Mertoyudan

Feature

Penerimaan dalam Keluargaku

Aku lahir di sebuah keluarga dengan empat orang anak. Ketika berusia 4 tahun, ibuku mengalami kecelakaan yang mengakibatkan gegar otak dan tak lama kemudian meninggal. Sejak ibu meninggal, bapak mengambil alih semua peran ibu. Beliau yang mengatur ekonomi keluarga. Keluarga kami juga dibantu oleh saudara-saudara lainnya karena bapak tidak bekerja. Dalam perkembangan pertumbuhanku, terkadang aku merasa mengapa aku berbeda dengan yang lainnya. Mereka memiliki ibu yang menjaga dan mengantarkan anak-anaknya, mengapa ibuku tidak ada. Bahkan ketika masuk Seminari, teman-temanku datang bersama dengan orang tua utuh sedangkan aku hanya datang dengan bapak saja. Sempat muncul pemikiran mungkin enak ya punya keluarga yang utuh, tapi mau bagaimana lagi aku harus menerima kondisi keluargaku. Di Seminari, aku dibantu untuk mengolah semua keresahan dan ketidakberdayaanku dalam menerima kondisi keluargaku. Namun dalam menghayati panggilanku di Seminari, tak lepas juga dari tantangan. Salah satunya ketika mengikuti retret yang bertema keluarga. Saat aku diminta untuk membayangkan orang tua, yang terlintas di pikiranku hanya bapak, dan aku selalu mencari-cari di mana sosok ibuku. Hal ini yang terkadang membuat aku sedih. Aku terbantu banyak menghidupi situasi ini lewat refleksi atas Keluarga Kudus. Keluarga kudus menurutku bukan hanya keluarga yang suci, namun keluarga yang mau dan mampu menerima kehadiran, kekurangan, serta situasi anggota keluarga itu. Polycarpus Benny Wijaya – Seminari Mertoyudan

Feature

Pendampingan Anak dengan Kasus Kehamilan yang Tidak Direncanakan

Dalam catatan tahunan, pada tahun 2019 Komnas Perempuan menemukan 23.126 kasus pernikahan anak dan jumlah ini naik hampir tiga kali lipat pada 2020, yaitu 64.211 kasus. Pernikahan anak terjadi setelah anak mengalami kehamilan yang tidak direncanakan. Di Shelter Gembala Baik, jumlah kasus kehamilan tidak direncanakan pada usia anak selalu ada bahkan konsultasi tentang kasus ini selama masa pandemi cenderung meningkat. Yang mendesak bagi pendampingan ibu-ibu muda ini adalah agar mereka mampu menerima situasi dan keadaan sehingga mereka dapat mencintai diri dan janin dalam kandungannya. Penerimaan kehamilan yang tidak direncanakan memerlukan waktu yang cukup panjang. Mereka yang sudah dapat menerima kehamilannya biasanya lebih mudah untuk diajak berpikir bagaimana memenuhi hak-hak janin dalam kandungan mereka dan bagaimana menjaga kesehatan diri dan janinnya.  Mengutip Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Anak disebut sebagai pribadi yang rentan karena secara fisik, psikologis, spiritual, sosial, dan ekonomi karena mereka masih bergantung kepada orang dewasa. Kehamilan pada usia ini memberi risiko ganda, baik bagi ibu maupun janinnya. Paus Fransiskus dalam seruan apostolik Amoris Laetitia. Ia mengatakan bahwa setiap hidup baru memungkinkan kita untuk menemukan dimensi kasih yang cuma-cuma dan yang tidak pernah berhenti membuat takjub. Inilah keindahan dikasihi lebih dahulu: anak-anak telah dikasihi sebelum mereka dilahirkan.” (KWI, 2017). Dimensi ini tidak mudah ditemukan pada kehamilan tidak direncanakan yang dialami oleh seorang anak. Bagi mereka yang mengalami keadaan ini menimbulkan penderitaan fisik, psikis, dan sosial yang berat sehingga mereka membutuhkan pendampingan.  Penerimaan dari keluarga sangat berarti bagi para calon ibu muda. Seperti yang dikatakan Paus Fransiskus bahwa jika seorang anak lahir ke dunia dalam situasi yang tidak diinginkan, para orang tua dan seluruh anggota keluarganya harus melakukan segala upaya untuk menerima anak tersebut sebagai karunia dari Allah dan memikul tanggung jawab untuk menerima anak-anak ini dengan keterbukaan dan kasih sayang. Sebab ketika berbicara tentang anak yang lahir ke dunia, maka tidak ada pengorbanan orang dewasa yang dianggap terlalu besar atau terlalu mahal jika ini dimaksudkan agar sang anak tidak pernah berpikir bahwa ia adalah suatu kesalahan atau bahwa ia tidak berharga yang justru meninggalkan luka-luka kehidupan karena keangkuhan manusia (KWI, 2017). Keluarga-keluarga yang mengalami kehamilan pada anak-anak di bawah umur, yang seharusnya menjadi garda terdepan, seringkali mengalami kesulitan dalam menghadapi situasi ini. Dengan demikian, keluarga pun memerlukan pendampingan agar mampu bersama-sama mendampingi dan menerima anak-anak mereka yang tengah hamil.  Misi dari pelayanan Gembala Baik adalah rekonsiliasi. Para peserta program akan diajak untuk dapat berdamai dengan diri, keluarga, dan Tuhan. Dalam pendampingan spiritual para peserta program diajak untuk mengalami Tuhan Yang Maha Baik, Tuhan yang senantiasa terbuka bagi mereka yang mau datang bahkan dengan segala cacat-celanya. Untuk itu perlu diciptakan waktu dan suasana doa yang baik. Untuk sementara waktu para peserta program diajak menarik diri dari hiruk pikuk keseharian agar mereka lebih mudah mengalami kehadiran dan belas kasih Tuhan. Peserta program diajak untuk mengalami dan menyadari bahwa masing-masing adalah pribadi yang berharga. Input tentang gender diberikan agar mereka mengetahui, menyadari, dan mensyukuri keadaan mereka sebagai seorang perempuan berharga. Mereka juga diajari cara melindungi diri dari kekerasan yang mungkin mengancam mereka dan agar berani bersuara ketika mereka mengalami kekerasan. Selama pendampingan, para peserta program diberi layanan psikologi oleh lembaga psikologi Wiloka. Tidak mudah untuk dapat mengajak ibu-ibu muda ini untuk dapat mengalami kehadiran Tuhan dalam situasi seperti ini. Emosi yang tidak stabil, ups and downs, memberi tantangan tersendiri. Yang dilakukan dalam pendampingan adalah menerima apapun keadaan mereka. Sikap-sikap dalam mendampingi juga menjadi penting. Idealnya, mendampingi anak yang mengalami kehamilan tidak direncanakan tidak bisa disambi, mesti fokus dan sepenuh hati. Hal ini akan sangat dirasakan oleh mereka terutama yang dilayani di shelter. Mereka dibantu untuk mengalami kehadiran Allah dalam hidup sehari-hari.  Selain  pendampingan spiritual dan psikologis, para peserta program juga dibantu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan dan input-input terkait kehamilan dan merawat anak mereka kelak. Dalam parenting yang tak kalah penting adalah pengetahuan dan kesadaran akan hak-hak anak, kedudukan anak, dan perlindungan anak sehingga di akhir masa pendampingan. Mereka diharapkan mampu memutuskan dengan bijaksana dan bertanggung jawab mengenai pengasuhan anak mereka. Apapun yang akan mereka putuskan haruslah “demi kepentingan anak,” maka keputusan-keputusan ini pun seringkali tidak mudah karena baik ibu maupun anak yang baru lahir masih sama-sama sebagai anak. Untuk itu, pendampingan harus dilakukan dalam konteks keluarga.  Kontributor : Sr. Theresia Nia, RGS – Koordinator Pelayanan Anak dan Remaja

Feature

Mengenal Single Parents

Sebagai seorang yang masih single dan belum menjadi seorang parent, saya sering bertanya-tanya, apa yang menyebabkan seseorang memilih untuk menjadi seorang single parent. Dalam banyak kisah, ada pasangan-pasangan yang memutuskan untuk berpisah, bercerai secara resmi, atau ada orang-orang yang meninggalkan pasangan dan anak-anaknya. Sebagai seorang Katolik yang meyakini bahwa pernikahan yang telah disatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia, awalnya saya gagal paham, mengapa orang memutuskan untuk berpisah. Rasa penasaran dan ketidakpahaman saya itu menimbulkan pertanyaan lain tentang dampak single parenting bagi anak-anaknya. Hal ini membawa saya melakukan penelitian tentang isu ini dan melibatkan diri dalam komunitas single parents Indonesia in motion (SPINMOTION) sejak tahun 2015.  Single Parent: Apa dan Bagaimana Single parent adalah sebuah kondisi di mana seseorang mengasuh anak tanpa pasangan. Single parenting bisa terjadi karena berbagai hal, yakni adanya perceraian secara legal (cerai hidup), meninggalnya salah satu orang tua (cerai mati), adanya perpisahan (tanpa cerai resmi), penelantaran (salah satu pasangan meninggalkan keluarga), seseorang yang memilih tidak menikah setelah mengalami kehamilan tidak dikehendaki, adopsi anak oleh seseorang yang belum atau tidak menikah, atau inseminasi pada ibu tunggal. Sekitar dua tahun lalu, ada anggota baru di SPINMOTION dengan kriteria berbeda. Ia masih terikat dalam pernikahan resmi, namun ia menjadi “orang tua tunggal” dalam keluarga karena pasangan tidak bisa berfungsi optimal, misalnya karena mengalami penyakit kronis tertentu, gangguan mental, maupun disabilitas lainnya. Dari pengalaman saya menemani komunitas SPINMOTION, sebetulnya tidak ada satu orang pun yang secara sepenuh hati dengan sukarela dan sukacita memilih menjadi seorang single parent. Perpisahan seringkali menjadi pilihan terakhir yang harus diambil karena relasi yang terjalin justru merugikan salah satu atau kedua belah pihak.  Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terdapat 3,97 juta atau 1,46% penduduk Indonesia yang memiliki status pernikahan cerai hidup hingga akhir Juni 2021. Dalam masa pandemi Covid-19, kasus kekerasan dalam rumah tangga mengalami peningkatan, dan kasus perceraian pun meningkat. Selain itu, angka kematian sebagai dampak langsung dari pandemi Covid-19 juga menambah jumlah single parents di Indonesia.  Terdapat berbagai konsekuensi dan dampak dari kondisi seseorang sebagai single parent. Dampak emosional seperti kesepian, minder, tidak berdaya kebingungan identitas mungkin terjadi akibat perubahan status menjadi single parent. Masih ada dampak finansial dan sosial terkait dengan status hidup dan relasinya dengan anak. Stigma, diskriminasi, dan penolakan sering dialami oleh para single parents, bahkan terkadang dari orang terdekat mereka. Salah satu single mother pernah berbicara pada saya demikian, “Ketika suami saya meninggal, saya baru tahu bahwa saya juga terkonfirmasi positif HIV. Kalau boleh jujur, hal yang paling berat buat saya bukan status HIV positif, tapi kenyataan bahwa saya sekarang berstatus sebagai ibu tunggal. Saya harus apa-apa sendiri sekarang. Biasanya kan ada suami untuk berbagi keluh kesah, berbincang, apalagi soal anak, tapi sekarang saya harus pikir sendiri apa yang harus saya lakukan,” Di sisi lain, ada dampak berupa peningkatan kerentanan anak, dengan orang tua tunggal.   Hal ini terkait masalah emosi, pendidikan dan prestasi, kesehatan, pekerjaan dan ekonomi, relasi dengan orang lain, serta masalah dalam perilaku. Anak-anak dalam keluarga dengan orang tua tunggal bisa jadi kurang memiliki pengalaman untuk menjalin kedekatan maupun memperoleh kontrol dari sosok laki-laki dewasa dan perempuan dewasa sekaligus. Hal ini dapat berdampak pada bagaimana persepsi mereka hingga dewasa kelak.  Tidak bisa dipungkiri, praktik pengasuhan single parents mengalami banyak tantangan. Single parents harus menjalani peran ganda sebagai ayah dan ibu sekaligus, sebagai pencari nafkah serta mengurus rumah dan mengasuh anak. Konsekuensinya, waktu untuk menjalin kedekatan maupun untuk mengajarkan kedisiplinan pada anak bisa jadi kurang. Beberapa single parent yang berpisah atau cerai hidup kadang juga kesulitan untuk menjelaskan ke anak tentang kondisi pernikahan kedua orang tuanya, terlebih jika masih tersisa konflik di antara mereka. Co-parenting atau mengasuh bersama bisa jadi pilihan, namun kenyataannya seringkali tidak semudah itu. Opsi lain yang sering dijalankan oleh para single parents adalah bekerja sama dengan keluarga besar untuk mengasuh anak. Co-parenting maupun pengasuhan oleh keluarga besar mengalami tantangan yang sama, yakni konsistensi. Dari mini riset yang saya lakukan pada 2018, ibu tunggal, terlebih yang bercerai dengan suaminya, cenderung mengasuh anaknya dengan kehangatan yang tinggi. Kehangatan yang tinggi ini menimbulkan kepercayaan dan kelekatan anak terhadap ibu. Akibatnya, ada anak yang enggan menuruti orang lain selain ibu, dan anak menunjukkan sikap protektif pada ibu. Di sisi lain, single parents rentan melakukan praktik pengasuhan yang inefektif, misalnya dengan menakut-nakuti atau mengancam anak, bahkan melakukan kekerasan fisik dan verbal pada anak. Hal semacam ini umumnya terjadi karena kelelahan yang dialami single parents dalam menjalankan tanggung jawabnya. Permasalahan dalam pengasuhan juga umumnya muncul lagi ketika ayah maupun ibu memiliki pasangan baru.  Single Parents dan Pendidikan Iman Dalam pengalaman saya menemani para single parents, ketika mengalami masa-masa sulit maupun ketika sudah menjadi single parents, umumnya mereka melakukan upaya untuk semakin dekat pada Tuhan. Bagi para ibu tunggal, umumnya mereka mengenalkan sosok Tuhan dan tokoh agama sebagai sosok ayah yang bisa dijadikan sandaran sekaligus panutan. Meski demikian, beberapa single parents merasa kesulitan untuk mengajarkan hal ini pada anak-anak mereka. Dalam banyak kasus, kesulitan tersebut berkaitan dengan kondisi para single parents yang juga mengalami pergulatan iman dalam diri mereka. Tantangan ini biasanya coba diatasi dengan melibatkan orang lain dalam pendidikan iman anak. Keterlibatan dan dukungan dari orang lain adalah salah satu kebutuhan utama bagi seorang single parent. Dukungan emosional berupa penguatan, apresiasi, penerimaan, orang-orang yang bersedia mendengarkan keluh kesah, tempat berbagi saran dan informasi, serta perasaan senasib sepenanggungan adalah hal-hal yang bisa membantu para single parents berfungsi lebih optimal. Di tengah kenyataan bahwa keluarga mereka tidak lagi utuh, kehadiran komunitas dapat menjadi keluarga baru bagi single parents. Kenyataan ini menjadi undangan bagi Gereja untuk menampilkan wajah Allah yang penuh kasih dan kerahiman-Nya yang memancar bagi semua orang, termasuk para single parents. Kontributor : Stella Vania Puspitasari, M.Psi. – Psikolog

Karya Pendidikan

Kekhasan Kopkar Mamona

Selain aspek ekonomi dan sosial,  Koperasi Karyawan MAMONA YKC Surakarta menghidupi jiwa ekonomi dan koperasi dengan ditunjuknya Penasihat Rohani. Biasanya dalam struktur pengelolaan koperasi terdapat  Pengurus dan Pengawas sebagai pengelola. Namun di Kopkar MAMONA selain pengurus dan pengawas terdapat pula Penasehat Teknis dan Penasehat Rohani. Penasehat teknis memberi pertimbangan bagi anggota, pengurus, dan pengawas dalam mengambil keputusan “ekonomi,” sedangkan penasehat rohani memberi pertimbangan “moral, hati nurani” dalam  pengambilan keputusan  bagi anggota, pengurus dan pengawas dari sisi pandang rohani. Saat ini Koperasi Karyawan MAMONA beranggotakan 331 orang dengan aset yang sudah cukup besar, lebih kurang mencapai 5,6 milyar rupiah. Persoalan yang kini dihadapi oleh Kopkar MAMONA adalah membangun jejaring dan lebih mentransformasikan jiwa ekonomi dan sosial koperasi kepada semakin banyak orang selain pada anggota. Kontributor : F.X. Juli Pramana – SMK Kanisius Surakarta

Pelayanan Gereja

Serba-Serbi Kotabaru

Ekaristi Remaja Sumpah Pemuda: “MAESTRO” Kamis (28/10) Perayaan Ekaristi Remaja dengan tagline “MAESTRO” diadakan. “MAESTRO” adalah kependekan dari Muda Semangat Trobosan Bangsa. Misa yang bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda ini dipimpin oleh Pater Fransiskus Pieter Dolle, S.J. Melalui Ekaristi ini kaum muda diingatkan kembali untuk mengambil peran sesuai dengan kemampuan masing-masing dalam pembangunan bangsa. Selain itu, juga untuk menjaga warisan bangsa yang telah diwariskan kepada kaum muda. Ada beberapa hal unik dalam perayaan Ekaristi Kaum Remaja kali ini. Salah satunya adalah EKR bulan Oktober 2021 ini bertepatan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda. Untuk mengingatkan kembali perjuangan para pemuda dalam memerdekakan Indonesia, maka ada sebuah video yang dibuat oleh tim panitia. Anggota RKK atau Remaja Katolik Kotabaru satu persatu bergantian menjawab pertanyaan yang diberikan. Sekitar enam anggota RKK memberikan opininya terkait Sumpah Pemuda. Dari apa yang mereka ketahui tentang Sumpah Pemuda, isi Sumpah Pemuda, dan harapan mereka untuk Indonesia. Meski banyak dari mereka yang tidak mengingat isi dari Sumpah Pemuda tapi harapan mereka bagi Bangsa Indonesia sangat tulus. Tujuan dari video ini adalah mengajak kaum muda untuk berefleksi mengenai kepedulian terhadap negara ini. Perayaan Ekaristi pun dilanjutkan dengan homili dari Pater Pieter. Masih dengan suasana perayaan Sumpah Pemuda. Romo mengajak umat untuk mencari apa makna Sumpah Pemuda bagi diri sendiri. Romo juga mengajak kita untuk bangga menjadi warga Indonesia yang memiliki berbagai keberagaman namun tetap bisa bersatu. “Kita patut bangga menjadi warga negara Indonesia dengan semangat kekatolikan. Seperti kata Mgr. Soegijapranata: 100% Katolik, 100% Indonesia.” Melalui homilinya, Pater Pieter mengajak kita untuk melihat keindahan dalam keberagaman yang ada. Tidak selamanya perbedaan itu adalah hal yang buruk. Ada kalanya keberagaman itu membuat sebuah negara menjadi kaya. Keberagaman juga membuat manusia bisa saling melengkapi. Seperti halnya murid-murid Yesus yang memiliki latar belakang yang berbeda atau seperti nada musik yang tidak hanya satu. Connecting People melalui Game Mobile Legends Dalam rangka memeriahkan hari Sumpah Pemuda, Orang Muda Katolik (OMK) Kotabaru menyelenggarakan Kotabaru E-Sport Mobile Legends: Bang-Bang. Tujuan diadakannya Kotabaru E-Sport adalah untuk menjalin relasi antar-orang muda Katolik. OMK Kotabaru memilih tagline “Connecting People” atas dasar keprihatinan terhadap teman-teman muda yang rutinitasnya cukup berubah semenjak adanya pandemi yang membuat banyak orang muda semakin jarang berdinamika. Dengan adanya Kotabaru E-Sport ini, diharapkan rekan-rekan muda bisa mendapatkan relasi satu sama lain, sehingga merangkul kaum muda untuk dapat berkolaborasi dan elaborasi. Kotabaru E-Sport Competition Mobile Legends: Bang-Bang diikuti oleh 32 tim dari berbagai daerah. Turnamen dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut, yakni 28-30 Oktober 2021 secara daring. Pada hari ketiga, tepatnya Sabtu, 30 Oktober 2021 turnamen ditayangkan secara live streaming melalui channel YouTube Gereja St. Antonius Padua Kotabaru. Setelah melalui beberapa babak, terdapat 3 tim yang meraih kejuaraan. Juara pertama diraih oleh Always Grateful, juara kedua diraih oleh Carbondioxida, dan juara ketiga diraih oleh Canem Stercore. Kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman muda yang telah berpartisipasi. Semoga dengan diadakannya Kotabaru E-Sport, teman-teman memiliki semangat muda yang semakin membara khususnya untuk melayani Tuhan. REBORN CAMP: Mempersiapkan Diri Menerima Baptisan dengan Semangat Ignatian Menjadi Katolik berarti hidup kembali (reborn) dalam Kristus sesuai ajaran Gereja Katolik. Berani memutuskan menjadi Katolik adalah keputusan besar dalam hidup seseorang. Untuk itu, setelah mengikuti hampir 60 pertemuan persiapan selama kurang lebih satu tahun, para katekumen diajak ambil waktu sejenak dan keluar dari rutinitas harian untuk menjernihkan dan memantapkan keputusan menjadi Katolik dalam Reborn Camp 2021.  Reborn Camp 2021, yang diselenggarakan oleh Tim Pelayanan Sakramen Inisiasi pada hari Minggu, 14 November 2021 di Wisma Maya Kaliurang ini, menjadi sarana membangun kekompakan tim antara katekis senior dengan katekis muda. Yang menarik, beda generasi antarkatekis ini justru saling melengkapi sehingga materi katekesenya bisa disampaikan dalam nuansa millennial dan kemasan digital. Fun, seru, namun tetap berbobot. Dalam Sesi 1: The Ignatian Way, Pater Macarius Maharsono Probho, S.J. memberi insights tentang bagaimana memilih berdasarkan Spiritualitas Ignatian. Peserta juga diajak membuat grafik kehidupan untuk menemukan Tuhan dalam kilas sejarah hidup mereka. Dari kilas sejarah hidup mereka itulah, lalu tampak di momen apa saja mereka berjumpa dengan Yesus dan akhirnya berani mengambil keputusan menjadi Katolik. Sama seperti St. Ignatius yang mempunyai cannonball moment, tiap peserta pasti juga mempunyai momen yang memotivasinya mantap menjadi Katolik. Inilah yang diolah dalam kelompok-kelompok kecil selama Sesi 2: My Chosen Way. Kemudian, di tengah hari, Pater Maharsono memperkenalkan examen atau penelitan batin dan mengajak peserta mencecap pengalaman ber-examen sekitar 15 menit. Setelah makan siang, di Sesi 3: My Chosen Name, peserta diajak untuk mengenal lebih dalam nama baptis yang sudah dipilih. Bagaimana riwayat hidup santo atau santa tersebut? Lalu keutamaan-keutamaan apa yang ingin diteladani dari santo atau santa tersebut? Kemudian peserta mensharingkan di kelompok besar. Walaupun berlangsung dari pagi hingga sore, dengan prokes yang ketat, namun Reborn Camp terasa begitu cepat. Seluruh kegiatan ini diakhiri dengan doa penutup kreatif. “Acaranya seru, menyenangkan, dan banyak kawan-kawan yang sama mau memeluk iman Katolik. Setelah acara ini, kami semua lebih mantap lagi untuk mengikuti iman Katolik. Terima kasih juga kepada katekis-katekis yang sudah membimbing kami secara offline maupun online,” ujar Felicia, salah satu katekumen kelas online. Kontributor : Maria Ludwina – Cornelia Marissa & Nicholas Marcel – Jessica Juliani & Edi Widiasta – KOMSOS Kotabaru