Ibu meninggal karena sakit ketika aku masih kelas V SD. Sejak itu aku hanya memiliki ayah dan kakak yang tinggal satu rumah denganku. Dalam keseharian, ayah atau kakak yang membuat makanan dan terkadang makanan ini bisa bertahan sampai 3 hari. Ayah adalah yang paling berperan besar dalam keluarga dan mencukupi kebutuhan kami sehari-hari. Beliau menanggung beban keluarga yang berat sebagai orang tua tunggal. Awal aku kehilangan ibu, aku kesulitan untuk menerimanya bahkan sampai SMP masih sering teringat ibu. Seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa menerima keadaan dan menganggap keluargaku utuh. Utuh bukan dalam arti jumlah, tetapi utuh dalam arti kondisi dan suasana. Ketika masuk Seminari, aku sudah bisa menerima keadaan dan mensyukurinya. Yang datang menjengukku adalah kakak dan ayah, namun aku tetap sangat mensyukurinya.
Sedari kecil aku sudah diperkenalkan iman katolik oleh keluarga. Ibu mengenalkannya dengan mengajakku ikut doa lingkungan dan ayah mengajak latihan koor lingkungan. Ketika bulan Mei dan Oktober, aku sering diajak untuk rosario bersama dan mengikuti misa mingguan dan harian. Ketika ibu sudah tiada, yang membimbingku hanya satu orang. Ayahku menjadi sekaligus ayah dan ibu untukku dan kakakku. Saat aku di rumah, ayah selalu mengingatkanku untuk berefleksi. Ini membuatku tergerak untuk rajin berefleksi. Salah satunya dengan merefleksikan peran Keluarga Kudus Nazaret. Meskipun Keluarga kudus Nazaret terdiri atas ayah, ibu, dan anak. sementara keluargaku yang tanpa ibu, aku dibantu untuk lebih memahami bahwa keluarga kudus tidak hanya soal jumlah orang yang ada di dalamnya, namun bagaimana perannya untuk melengkapi hidupku. Seperti ayahku yang menjadi sosok ayah sekaligus ibu bagi keluarga kami. Ayah yang mencukupi kebutuhan kami dan memperhatikan kami seperti layaknya ibu. Itu semua sudah cukup.
Yohanes Robiyantoro – Seminari Mertoyudan