Isi LATIHAN ROHANI
Berikut dipaparkan secara singkat isi dari Latihan Rohani yang terdiri dari Minggu Pertama, Panggilan Raja, Minggu Kedua, Minggu Ketiga dan Keempat, Kontemplasi Mendapat Cinta, Anotasi, Aturan Tambahan dan Pedoman atau Patokan-patokan.
Minggu Pertama
Berisi meditasi-meditasi tentang dosa [45-72], pemeriksaan hati umum [24-43] dan khusus, serta pengakuan dosa umum [44]. Minggu Pertama LR membantu retretan untuk mengalami sejarah nyata hidupnya bersama dengan pengalaman akan Allah yang Mahakasih. Dalam lingkup dinamika LR sebulan, Minggu Pertama merupakan pengalaman pemurnian jiwa untuk berkembang di hadapan Allah. Secara lebih konkret, Minggu Pertama menawarkan bahan tentang manusia pendosa dan perjumpaan dengan Yesus Kristus yang tersalib, Sang Penyelamat [53]. Minggu Pertama menyediakan lima bahan doa (ejercicio: latihan). Yang pertama [45-54] adalah bahan tentang dunia dosa. Ditampilkan dosa dalam kenyataan obyektif radikal. Ditunjukkan bahwa realitas dosa yang merupakan kenyataan sejarah dan melampaui ruang dan waktu itu eksistensial dan sungguhsungguh. Latihan ini mengundang retretan untuk menangkap kenyataan jahat dan menyadari kenyataan tersebut. Yang dicerminkan oleh realitas jahat ini adalah ketidaktaatan dan situasi di dalamnya seorang pendosa berada di luar kasih Allah. Latihan kedua adalah [55-61] meditasi dengan bahan tentang proses dosa. Latihan ini membantu retretan untuk memandangi realitas obyektif dosa melalui tempat dan waktu, menyadari kenyataan jahat, buruk serta kenyataan bahwa “saya ini pendosa”. Latihan ketiga dan keempat berupa pengulangan [62-63] dan ringkasan [64] atas meditasi sebelumnya. Menurut Ignatius pengulangan merupakan kesempatan untuk mencipta kembali suasana tenang yang membantu proses membatinkan pengalaman rohani serta mempertajam kepekaan pengenalan akan gerakan-gerakan Roh. Latihan kelima adalah meditasi tentang neraka [65-71]. Dalam latihan ini neraka dipahami sebagai cara untuk merasakan konsekwensi dan jahatnya dosa. Retretan menghadirkan penghukuman sebagai kenyataan eksistensial akibat dari sikap serta pilihan memberontak dan akibat menolak hidup di dalam lingkungan kasih pemeliharaan Allah. Jadi bahan meditasi tentang neraka bukanlah sekedar sebuah sajian kemungkinan abstrak. Dalam Minggu Pertama ini kita menemukan salib yang ditempatkan sebagai satu-satunya jembatan antara Allah dan pendosa. Inilah pengalaman rohani yang diharapkan bisa terjadi dalam sebuah dialog mendalam Minggu Pertama: penebusan, kasih Allah yang berlimpah. Selanjutnya retretan [53] mulai meditasi dengan wawancara-wawancara dengan pribadi-pribadi ilahi atau para kudus. Wawancara ini menandai permohonan penting: rahmat khusus penebusan.
Panggilan Raja
“Panggilan Raja” membuka bahan-bahan meditasi Minggu Kedua LR. Meditasi ini memainkan perananan sebagai asas dan dasar semua kontemplasi hidup Kristus Tuhan. Dalam prolog meditasi “Panggilan Raja” Ignatius menguraikan ideal pemimpin duniawi. Prolog ini adalah juga merupakan prolog seluruh hidup Yesus yang akan dikontemplasikan oleh retretan. Permohonan yang dimunculkan di dalam meditasi ini bukan saja bagaimana seorang retretan merasa dipanggil dan tidak tuli terhadap panggilan itu [91] tetapi juga menimbang bagaimana menanggapinya. Di sini menarik memadankan dialog dalam Minggu Pertama dengan Minggu Kedua. Dalam Minggu Pertama retretan berdialog di hadapan salib [53] dan dalam Minggu Kedua dialog dilaksanakan di hadapan Sang Raja Abadi [9698]. Jawaban positif terhadap Panggilan Raja Abadi terasa sebagai perpanjangan atas pertanyaan permenungan di dalam dialog di hadapan salib “Apa yang mesti dibuat bagi Kristus?” [53]. Kita bisa memahami bahwa “Panggilan Raja” menjembatani Minggu Pertama dan Minggu Kedua LR. Jalan untuk mengikuti Sang Raja Abadi telah terbuka dan retretan berkesungguhan memenuhi apa yang dijanjikannya di dalam doa persembahan [98].
Minggu Kedua
Minggu Kedua LR menghadirkan kepada retretan jalan terang. Artinya, dalam Minggu ini retretan memohon keutamaan-keutamaan untuk meneladan Kristus Tuhan. Retretan mengkontemplasikan misteri-misteri Kristus mulai dari penjelmaan hingga naik ke Yerusalem. Dua hari berturut-turut setelah meditasi “Panggilan Raja” disajikan bahan kontemplasi penjelmaan, kelahiran dan hidup Kristus [101-134]. Bisa dikatakan bahwa misteri-misteri hidup Kristus merupakan bahan doa khas Minggu Kedua. Pengenalan mendalam akan Allah menjadi permohonan utama dan mengarahkan retretan dalam kontemplasikontemplasinya. Satu-sastunya sasaran dari seluruh kontemplasi tersebut adalah Kristus sendiri. Retretan ingin mengenal Yesus secara mendalam supaya lebih mencintai dan mengikuti-Nya [104]. Dalam Minggu Kedua kita menemui tiga meditasi yang tertata seperti tiga bagian dalam satu paket. Ketiga meditasi tersebut adalah “Dua Panji” [136-147], “Tiga Golongan Orang” [149-156] dan “Tiga Kerendahan Hati” [165-167]. Ketiga meditasi ini menurut Jesús Corella merupakan sarana untuk mengadakan pemilihan. “Dua Panji” lebih diarahkan ke sisi pemahaman diri retretan, “Tiga Golongan Orang” terarah ke sisi kehendak dan “Tiga Kerendahan Hati” lebih terarah ke sisi afektif”. Elías Royón menafsirkan bagian ini dengan menempatkan “Tiga Kerendahan Hati” sebagai kunci pemahaman atas tiga meditasi dalam rangka membuat pemilihan tersebut. Diterangkan tiga hal ini: 1) tujuan dan isi konsiderasi 2) Tiga Kerendahan Hati dalam dinamika LR; 3) dinamika “magis”. Jika isi yang dimeditasikan di dalam “Tiga Kerendahan Hati” adalah kasih Allah dalam ketaatan (kerendahan hati pertama), dalam kesediaan melayani (kerendahan hati kedua), sebenarnya meditasi ini telah dilaksanakan di dalam “Asas dan Dasar” serta “Tiga Golongan Orang”. Dalam arti ini merenungkan “Tiga Kerendahan Hati” merupakan pengulangan dan dimaksudkan agar proses rohani berjalan semakin lebih efektif. Dapatlah kita katakan juga bahwa dalam “Tiga Kerendahan Hati”, identifikasi dengan Kristus diungkapkan dalam suatu preferensi yang jelas. Kemiskinan, perendahan dan salib dipeluk bersama Kristus dalam kebijaksanaan yang dengan cara begitu ditransformasikan sebagai kekuatan rohani. Di sini (dalam kerendahan hati ketiga) kita temukan suatu pemberian bobot nilai bahwa indiferensi saja tidak cukup. Retretan tidak dapat tinggal indeferen tetapi mesti secara sadar menginginkan dan memilih. Inilah preferensi rohani. Dan dinamika dalam meditasi ini adalah memilih yang “lebih”. Semangat memilih yang “lebih” ini diwujud-konkretkan dalam mengikuti, meneladan dan melayani dengan bersemangat “lebih”. Dari sudut pandang “Dua Panji”, Karl Rahner mengajak kita untuk memandang hidup ini sebagai rangkaian keputusan. Dari sini dia memahami “Dua Panji” sebagai program dari Raja Abadi yang ditandai oleh hidup miskin dan rendah hati. Dari sisi pengalaman rohani yang utuh kita memandang “Dua Panji” sebagai inti dasar untuk menyiapkan pemilihan melalui pengalaman pembedaan roh; meditasi “Tiga Golongan Orang” dimaksudkan untuk membangun kepekaan batin dan ajaran sejati dikenal dari “Dua Panji”; meditasi“Tiga Kerendahan Hati” mengantar ke pengalaman penghendakan untuk sampai ke puncak kerohanian dengan hati bersih dan intensi murni; puncak tersebut adalah kerendahan hati ketiga yang merupakan cara Yesus menjadi miskin dan rendah hati. Dan dalam konteks meditasi yang utuh ungkapan abstrak “kerendahan hati” dan “kemiskinan” dikonkretkan di dalam sebuah tatanan untuk membuat pemilihan. Pemilihan dan pembaharuan martabat hidup dipahami dalam rangkaian utuh meditasi-meditasi ini sebagai tujuan LR. Karena itu di dalam membuat pemilihan dihadirkan kepada retretan nomor-nomor latihan untuk mengingat semua pengalaman yang terjadi di dalam meditasi-meditasi sebelumnya; misalnya, dalam preambul untuk melaksanakan pemilihan diacu pengalaman “Asas dan Dasar” [23], “Panggilan Raja” [97], “Tiga Golongan Orang” [154] dan “Tiga Kerendahan Hati” [164]. Dan untuk melaksanakan pilihan yang baik dan sehat [179-187] semua meditasi membimbing retretan untuk bertahan setia dalam pengalaman akan macam-macam gerak roh. Dalam hal ini hidup Kristus, sebagai bahan meditasi Minggu Kedua, memainkan peran sebagai acuan pokok dan berfungsi sebagai orientasi untuk melaksanakan pemilihan; atau jika tidak melakukan pemilihan martabat hidup, sebagai orientasi untuk memperbaiki dan memperbaruinya [189]. “Asas dan Dasar” di sini tampil secara sedikit baru: “… dalam semua dan untuk semua, pujian dan kemuliaan Allah Tuhan kita yang lebih besar” [189].
Minggu Ketiga dan Keempat
Kontemplasi-kontemplasi Minggu ketiga dan keempat ditandai oleh cirinya yang khas, yaitu jalan rohani kesatuan atau kesempurnaan. LR diarahkan untuk membangun kesatuan mendalam dan sehari-hari dengan Allah lewat misteri paskah. Selama Minggu Ketiga, retretan disatukan dengan Kristus dalam penderitaan dan selama Minggu Keempat disatukan dengan Kristus dalam suka cita Dalam kaitannya dengan Minggu Kedua dapatlah kita katakan bahwa apa yang mesti dilakukan oleh retretan di dalam Minggu Ketiga sudah dirumuskan di dalam “Kerendahan Hati Ketiga” [167]. Di sini retretan menghidupi dan menderita “secara nyata” misteri sengsara yang sama, mengalami kontemplasi dan identifikasi sepenuhnya dengan Yesus. Kita temukan juga di sini Ekaristi sebagai meditasi pertama, karena dipandang sebagai inti dari misteri paskah yang merangkum semua misteri Kristus, secara khusus misteri-misteri Kristus Minggu Ketiga dan Minggu Keempat.
Dalam realitas penderitaan dunia dan derita diri retretan sendiri [203], retretan masuk ke dalam realitas personal dan sosial untuk sampai pada pengalaman akan solidaritas dengan Kristus dalam proses identifikasi dengan diri-Nya dan dalam proses transformasi realitas tersebut. Proses identifikasi dan transformasi tersebut merupakan menjadi proses penyelamatan. Bila kita memahami derita Minggu Pertama sebagai derita dosa dan konsekuensi logis pendosa, derita Minggu Ketiga merupakan derita oleh karena solider dengan Kristus dalam perutusannya sebagai Penebus. Singkatnya, derita pertama adalah derita dari retretan pendosa, sedangkan derita kedua adalah derita Kristus Penebus. Dari sudut pandang struktur LR, di sini kita berhadapan dengan suatu gerak rohani dari karya penebusan, yaitu dari “tindakan aktif mencipta” Minggu Kedua ke “menderita pasif” Minggu Ketiga. Terungkap juga di sini pengalaman akan ke-Mahamampuan ilahi di dalam ketidak-berdayaan manusiawi. Permohonan dan sasaran pengalaman rohani Minggu Keempat adalah Kristus, Dia yang dibangkitkan. Ini berarti juga kemanusiaan yang mengungkapkan keilahian. Dalam pikiran Ignatius, penciptaan baru dalam Roh dicerminkan sekarang dalam diri manusia melalui rahmat penghiburan mendalam: dalam suka cita yang datang oleh kemenangan Dia yang terbangkitkan dan dalam kasih yang tulus. Kontemplasi-kontemplasi Minggu Keempat diarahkan ke pengalamanpengalaman rohani positif akan kehadiran Kristus yang bangkit. Relasi Tuhan dengan ciptaan-Nya dibangun dalam tatanan persahabatan. Kristus dalam Minggu Keempat menghibur dengan menambah harapan. Pada Minggu Keempat ini dari sisi eklesial, Ignatius menghadirkan Yesus yang membangun komunitas. Inilah corak eklesial Minggu Keempat LR. Dan penampakan kepada Bunda Maria yang ditempatkan sebagai renungan pertama berperan seperti “Asas dan Dasar” dari kontemplasi-kontemplasi lain. Corak dan isi kontemplasi-kontemplasi lain adalah merindukan Kristus yang bangkit. Di sini kita memahami bahwa letak korelasi antara Minggu Ketiga dan Minggu Keempat ada dalam identifikasi dan keikutsertaan afektif dengan Kristus.
Kontemplasi untuk Mendapat Cinta
Sebagian dari kita cenderung memandang kontemplasi ini sebagai “Minggu Kelima” dalam LR. Kita bisa memahami pandangan itu karena dalam kontemplasi tersebut pokok pertama merupakan rangkuman autentik LR. Ketigapokok lainnya merupakan pengantar untuk masuk ke dalam hidup mistik seharihari. Hal lain yang bisa ditegaskan berkenaan dengan itu adalah bahwa LR tidak berakhir di dalam “Kontemplasi untuk Mendapat Cinta”, melainkan diteruskan dan diperdalam di dalamnya. “Kontemplasi untuk Mendapat Cinta” adalah “latihan” tetap sebagai cara hidup, cara berada, cara berdoa, dll. Sikap dan dasar rohani penggunaan macam-macam hal [231] mengundang retretan untuk kembali ke “Asas dan Dasar”. Pendeknya “Kontemplasi Mendapat Cinta” adalah transisi nyata dan rohani di akhir proses LR sebulan menuju hidup keseharian. Allah bekerja dan aktif. Retretan mesti menyadari Allah yang demikian ini dan ambil bagian di dalamnya secara nyata. Unsur-unsur dalam “Kontemplasi Mendapat Cinta” dan “Asas dan Dasar” sama (manusia-ciptaan-Allah). Kata “memuji, menghormati dan melayani” [23] dalam “Asas dan Dasar” dirangkum di dalam “Kontemplasi mendapat cinta” dengan satu kata sentral: “amar”, yang juga merangkum seluruh LR.
Anotasi, Aturan Tambahan dan Pedoman atau Patokan-patokan
Anotasi mendahului semua bahan latihan rohani dan berfungsi sebagai “Pendahuluan” [1-20] yang berbicara mengenai pembimbing retret dan retretan. Sementara Aturan Tambahan [73-90] merupakan catatan yang perlu diperhatikan untuk bisa melaksanakan latihan-latihan rohani dengan optimal. Pedoman atau Patokan-patokan tersebut meliputi “Menata diri dalam hal makan” [210-217], “Tiga cara berdoa” [238-260], “Patokan pembedaan roh” [313-336], “Peraturan membagi derma” [337-344], “Catatan mengenai skrupel” [345-351], “Patokan tentang kesepahaman dengan Gereja” [352-370].
Anotasi Anotasi merupakan komentar atau penjelasan atas sebagian isi LR terutama atas hal-hal yang bersangkutan dengan pelaksanaan LR baik mengenai diri retretan maupun pembimbing. Sangat mungkin bahwa anotasi ini dikembangkan bersama dengan pengalaman pelaksanaan LR. Tepatnya, anotasi menjelaskan hakekat dan tujuan LR [1], tahap umum [2-3], pembagian dan lama latihan [4], disposisi dasar retretan [5], bagaimana pembimbing memperlakukan retretan menyangkut pengalaman vital [6-17], penyesuaian-penyesuaian LR bagi pelbagai pelaku LR. Kita bisa membedakan anotasi tersebut dari sisi isi dalam dua kelompok. Anotasi kelompok pertama adalah keterangan-keterangan menyangkut disposisi retretan: [3,5,11,12,16,20]. Anotasi kelompok kedua adalah penjelasan yang relevan bagi pembimbing: [1,2,4,6-10,14,15,17,18,1926].
* Diambil dengan revisi dari L. A. Sardi S. J., Jesuit Magis. Pengalaman formasi 6 jesuit awal, Yogyakarta: Kanisius, 2006, 17-33