capture imaginations, awaken desires, unite the Jesuits and Collaborators in Christ mission

Fransiskus Xaverius di NUSANTARA

Fransiskus Xaverius di NUSANTARA

Ignasius Loyola, pemimpin sekelompok imam lulusan Universitas Paris, sedang mengalami kesulitan (1539): Kedua imam, yang telah ia tunjuk untuk memenuhi permintaan Juan III, Raja Portugal, jatuh sakit. Mereka tak sanggup menyertai duta besar Portugal untuk Tahta Suci dalam perjalanannya ke Lisboa. Akhirnya, kesehatan Pater S. Rodriguez cukup membaik untuk berlayar ke tempat tersebut, sedangkan Pater N. Bobadilla masih terlalu lemah. Duta Pedro Mascarenhas mendesak, karena harus berangka, namun tidak bisa tanpa imam kedua yang dijanjikan. Mau tak mau Ignasius harus melepaskan sekretarisnya, yaitu Fransiskus Xaverius, orang yang paling dekat dengannya. Ignasius berkata: “Esta es vuestra empressa – Inilah tugas untukmu!” Fransiskus menjawab: “Pues sus! Heme aquil. – Baiklah, aku siap!”

               Dengan tergesa-gesa Fransiskus memperbaiki celana serta jubahnya yang sudah using, mohon diri kepada kawan-kawannya dan meminta berkat Paus Paulus III. Fransiskus menulis tiga nota pendek mengenai pemilihan kepala kelompok imam-imam baru. Sebab, selama tinggal bersama di Palazzo Fragipani di Roma, mereka sering bertukar-pikiran tentang masa depan kelompok mereka itu. Saat perpisahan, Ignasius melihat pakaian Fransiskus kurang memadai, makai a menyuruh memberikan apa yang ia perlukan untuk perjalanan Panjang ke India. Lalu, pada tanggal 15 Maret 1540, dengan menunggang kuda, Fransiskus beserta iringan duta besar berangkat. Ia gembira, karena sudah lama ingin berkarya di antara orang, yang belum pernah mendengar tentang Injil Yesus Kristus.

               Lima tahun kemudian, di suatu gubuk dekat makam Rasul Tomas dekal Mylapore di India, selama berminggu-minggu Fransiskus berdia, berpuasa dan memukul-diri dengan tali cemeti kecil untuk memperoleh rahmat mengetahui kehendak Allah tentang arah perutusanNya. Karena begitu keras terhadap diri sendiri, Fransiskus jatuh sakit.

               Beberapa bulan sebelumnya, Antonia de Paiva, seorang saudagar Portugis dari Malaka, bertemu dengan Fransiskus di Cochin. Ia bercerita tentang beberapa raja di Sulawesi Selatan, yang telah dibaptis olehnya dan meminta supaya seorang imam diutus ke daerah mereka. Dalam surat yang ditujukan kepada Fr. Mansilhas SJ, Fransiskus menulis: “Seandainya Tuhan berkehendak aku mengabdi kepada-Nya dengan berangkat ke Makassar, aka akan menyuruh seseorang (mengantar berita) ke Goa…”. Pada saat itu Fransiskus menjabat sebagai pembesar semua Jesuit di Asia. Maka, ia harus berhubungan dengan pusat Serikat Jesus di Goa. Di lain pihak ia juga diangkat sebagai legatus kepausan, supaya quanto citius mengunjungi semua jemaat Katolik di seantero Asia. Menyelaraskan dua tugas itu tidak mudah. Maka, Fransiskus ingin mengambil keputusan tepat sesuai kehendak Jesus dalam retret sebulan di San tome.

               Akhirnya, pada tahun, Fransiskus naik kapal dan berlayar ke Malaka (1545). Di tempat itu, Fransiskus berusaha keras untuk mentobatkan banyak orang Portugis dan campuran, supaya hidup layak sebagai orang Kristen. Selain itu, ia juga mengusahakan terjemahan sebuah katekismus pendek ke dalam Bahasa Melayu. Dari Malaka ia menulis:

“Aku telah menulis Panjang lebar dari India tentang diriku, sebelum berangkat ke Makassar, tempat dua raja memeluk agama Kristen. Aku tiba di Malaka satu setengah bulan yang lalu, tempat aku menanti cuaca baik untuk berangkat ke Makassar, satu setengah bulan lagi dari sekarang. AKu akan menetap di situ, apabila ini kehendak Tuhan. Makassar sangat jauh, lebih dari seribu league dari Goa. Orang yang kembali dari sana mengatakan, bahwa daerah itu siap menerima iman Kristiani, karena mereka tidak memiliki kuil pemuhaan dan tidak memuja berhala lagi. Mereka menyembah matahari, apabilla mereka melihatnya, tetapi mereka tidak menyembah yang lain. Orang berperang satu sama lain terus menerus.”

Sebulan sesudahnya Fransiskus menyurati teman-teman seserikat di Goa:

“Melalui Bapa Komandan, aku sudah mengirimkan surat Panjang lebar kepada kalian tentang maksudku berlayar ke Makassar. Tetapi, karena berita dari sana tidak sebaik yang mereka sangka, maka aku batal ke sana. Aku akan berlayar ke Ambon, tempat banyak orang Kristen dan peluang besar untuk mentobatkan lebih banyak lagi”

               Mengapa Fransiskus mengubah rencananya? Apakah ia mendapat semacam inspirasi? Bukan. Alasan, yang begitu besar akibatnya untuk Gereja di Indonesia, sangat sederhana dan manusiawi: Perkawinan lari seorang puteri Raja Supa dengan perwira Portugis, sehingga Raja Supa marah kepada Portugis di Malaka. Hubungan tegang. Seandainya Gereja berkembang di Sulawesi Selatan dan Orang Makassar menjadi Kristen, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tidak sanggup dengan begitu mudah merusak seluruh ‘Misi Maluku’. Sebab, Makassar menjadi kerjaan paling kuat di Indonesia Timur pada masa itu dan – berbeda dengan Ternate – menentang VOC, yang memusuhi umat Katolik. Peristiwa tersebut yang membelokkan jalan S. Fransiskus berlangsung demikian:

               Seorang imam praja dari Malaka, Fr Viegas, sudah berlayar ke Makassar untuk memperdalam iman orang, yang ditobatkan oleh Paiva. Rupanya, Raja Supa dan Sindereng, yang gemar berperang itu telah menjadi Kristen. BUkan hanya karena hati mereka tertarik kepada apa yang diwartakan Paiva. Namun, mereka memiliki pula keinginan duniawi yaitu: senjata api Portugis!

               Pastor Viegas sibuk memberikan pelajaran agama dan membaptis keluarga-keluarga golongan berkuasa. Setelah lebih dari satu tahun ditahbiskan di Makassar, ia beserta saudagar Portugis harus berlayar kembali ke Malaka. Baru saja imam naik ke kapal terjadi kegemparan di pantai: Helena Vesiva, puteri Raja Supa, hilang. Mudah diketahui, bahwa gadis ini secara diam-diam naik ke kapal dengan pemuda Portugis yang dicintainya: Joao de Eredia. Orangtuanya tidak menyetujui. Setelah fajar menyingsing, semua anggota keluarga dan kenala berkumpul di pantai untuk memaksa Helena meninggalkan kapal. Jika perlu mereka siap menggunakan kekerasan. Untuk mneghindari pertumpahan darah, Pastor Viegas memerintahkan, supaya jangkar dilepas dan kapal berlayar. Eredia dan Helena kemudian menikah di gereja di Malaka. Tetapi, hubungan antara Malaka dan Supa untuk sementara putus (1545). Meskipun romantic, berita ini sangat buruk: Xavier terhalang pergi ke Makassar. Sejarah menempuh jalan lain…

               Manuel Pinto, yang menyertai Pastor Viegas, terpaksa tinggal di Supa selama tiga tahun, karena tak sempat lagi naik kapal. Ia mendesak uskup dari Goa untuk mengutus misionaris ke Sulawesi Selatan. Tetapi, sia-sia! Lima tahun berikutnya B. Dias SJ menulis ke Pater Jenderal SJ di Roma:

“Aku telah menulis kepada provincial kami (di Goa) untuk mengutus beberapa pastor ke Makassar, yang berdekatan dengan Ambon, tempat mereka sudah pergi. Ajaran Islam sering diajarkan di Makassar, tetapi belum diterima. Oleh karena itu, tetap ada harapan baik bahwa (misi) akan berhasil…. Pada tahun ini, seorang pedagang yang tiba di Malaka dari daerah tersebut, mengatakan kepada kami, bahwa beberapa bangsawan meminta sehelai gambar Perawan Maria untuk menghormatinya. Ini memperlihatkan, bahwa pertobatan mereka agak mudah..”

               Meskipun permintaan diulang-ulang, umat muda Kristen di Sulawesi selatan hampir tak pernah dikunjungi oleh seorang misionaris. Pedagang-pedagang dari Johor, musuh Portugis, berusaha menarik orang Makassar ke agama Islam. Tetapi, para penguasa mengambil kebijakan tunggu dulu dan lihat, dengan kecenderungan pada agama Kristen selama k.l. enam puluh tahun. Tetapi pada tahun 1605, Makassar menjadi kesultanan Islam, mula-mula wilayah Gowa-Telo dan kemudian hampir seluruh daerah sekitarnya.