capture imaginations, awaken desires, unite the Jesuits and Collaborators in Christ mission

DISKRESI dan ELEKSI

Salah satu warisan rohani berharga yang diberikan St. Ignatius kepada kita adalah diskresi dan eleksi. Keterangan kedua tersedia di dalam Latihan Rohani. Berikut ini disampaikan uraian singkat mengenai diskresi dan eleksi, termasuk di belajar dari St. Ignatius sendiri. Disajikan juga secara singkat keterangan menurut Santa Catarina dari Siena dan St. Bernardus. Tepatnya dalam tulisan ini dipaparkan: 1) Pemahaman tentang diskresi, 2) patokan pembedaan roh Minggu Pertama Latihan Rohani, 3) Belajar dari St. Ignatius, 4) Pentingnya pembedaan roh dalam hidup rohani, dan 5) eleksi dan dua waktu eleksi menurut St. Ignatius Loyola.

 

Pemahaman diskresi

 Diskresi atau pembedaan roh adalah bentuk latihan rohani did alamnya orang merasakan (sentir) bermacam-macam gerak batin (las mociones) untuk mengenali (conocer) mengenal kehendak Allah untuk dirinya dan selanjutnya mengorientasikan kemerdekaannya sesuai dengan kehendak Allah yang dimaksud (eligir). Dipahami sebagai olah rohani karena tindakan diskresi ini merupakan tindakan manusia beriman sejauh menyangkut relasinya dengan Tuhan, terutama mengenai kehendaknya. Karena itu kondisi pertama dari tindakan diskresi adalah keterbukaan manusia kepada Allah dan kenyataan bahwa Allah menyatakan dirinya dan dalam peristiwa-peristiwa manusiawi. Sebagai pengalaman rohani di sini diskresi merupakan pengalaman di dalamnya Allah dengan kehendaknya, dalam arti tertentu, bertemu dengan keterbukaan radikal manusia.  

Kehendak Allah dapat memainkan peranan, baik sebagai kriteria maupun tujuan; artinya diskresi merupakan proses untuk mengenal kehendak Tuhan.

Dalam pelaksanaannya tindakan diskresi rohani berupa tindakan batin seperti memeriksa, mengenal, melihat, memisahkan, membedakan, memahami, menangkap, mempersepsi, memperjelas, dll. Semua itu terjadi dalam wilayah gerakan-gerkaan batin sebagai obyeknya. Gerakan-gerakan batin sendiri dapat berupa dorongan-dorongan, keinginan-keinginan, perasaan-perasaan, pemikiranpemikiran, intuisi-intuisi, usulan-usulan, dll.  

Jelas bahwa secara metodis diskresi mengandaikan jarak “aku” sebagai subyek dan diri sendiri. Jarak atau distansi yang diambil membantu proses diskresi dalam arti, seseorang membuat interpretasi dan pemaknaan dari kejernihan jarak tersebut dan tidak terlalu melekat dengan hal atau peristiwanya. Jarak membantu untuk membuat analisis kritis dunia batin, misalnya, dengan pertanyaanpertanyaan dasar: “Bagaimana terjadi? Apa sebabnya? Dimana orientasinya? Dengan itu seseorang dapat mengidentifikasi asal usul gerakan-gerakan karena biasanya gerakan-gerakan batin tersebut berawal sekedar dari fenomen.

Mengenai asal usul dari macam-macam gerak batin St. Ignatius menunjukkan bahwa setidaknya ada tiga pemikiran: pertama dari diri sendiri dan dua yang lain dari luar [LR 32]. Tentang asal-usul ini kita diajak oleh St. Ignatius terutama untuk mengerti keaslian dan kesejatian pemikiran sendiri. Karena kita tidak bisa menyangkal adanya kemungkinan pengaruh dari bagian tidak sadar menyangkut asal usul pemikiran. Perhatian terhadap sisi ini cukup relevan setelah psikologi masuk ke dalam studi tentang alam ketidaksadaran. Di sini saya setuju, misalnya dengan sumbangan dari buku Las Afecciones Desordenadas, influjo del subconsciente en la vida espiritual, (Afeksi tidak teratur, pengaruh bawah sadar di dalam hidup rohani) yang ditulis Luis M García Domínguez S. J., (1992). Secara umum kita menyambut bantuan psikologi karena membawa kita untuk membedakan mana yang psikologis dan mana yang spiritual serta menempatkan kita masuk ke hal-hal yang tidak kita sadari tetapi berpengaruh di dalam sikap dan pilihan-pilihan hidup kita.  

 

Patokan Pembedaan Roh Minggu Pertama Latihan Rohani St. Ignatius Loyola

Relasi doktrinal antara Patokan Pembedaan Roh Minggu dan Autobiografi St. Ignatius

Kedua teks, patokan pembedaan roh Minggu Pertama Latihan Rohani dan Autobiografí memiliki sumber yang sama, yaitu, pengalaman rohani Santo Ignatius Loyola, meskipun penulisnya berbeda karena penulis Autobiografi adalah Luis Gonçalves da Cámara. Menyangkut diskresi kedua teks itu memiliki hubungan erat menyangkut pokok mengenai diskresi. Malahan kita dapat mengatakan bahwa dalam Autobiografi dan dalam patokan pembedaan roh terdapat sejumlah hal yang sama. Pembedaannya terletak pada bahwa bahasa Autobiografí yang lebih naratif, sementara bahasa dalam patokan pembedaan roh lebih instrumental. Namun demikian keduanya merupakan cara untuk menerangi pengalaman rohani dan sarana untuk memandu pilihan.

Secara positif, di sini kita bisa mendapatkan pandangan tentang hal-hal dasar mengenai diskresi dari kedua teks itu sama. Boleh jadi, inilah alasan García Hirschfeld dalam penjelasan tema tentang mengenai patokan pembedaan roh   dengan menunjuk nomor-nomor Latihan Rohani [313], [314], [316] dan [317] dan Autobiografi.  2.1.1. Cara menerangi pengalaman 

Kendati dalam patokan pembedaan roh ada bahasa teksnis, patokan ini tidak pertama-tama menawarkan pembelajaran teknis, tetapi menerangi pengalaman. Patokan-patokan ini memainkan peran untuk mengorientasikan seorang pribadi dalam situasi tertentu melaluinya meraih atau sampai pada pengalaman iman yang lebih baik. Situasi tertentu ini merupakan saat rohani atau setidaknya kita menempatkannya sebagai saat rohani. Dan yang paling pokok dari pengalaman iman dan saat rohani ini adalah indeferensi atau lepas bebas atau kemerdekaan batin; artinya dalam arti sikap penuh kesungguhan mempersembahkan diri bagi “dalam pelayanan murni kepada Allah Tuhan kita”.  Singkatnya, dalam proses rohani itu kita menempatkan dengan baik patokan-patokan pembedaan roh yang merangkum pengalaman rohani. Karena itu siap menjalani diskresi, bagi Ignatius, berarti membangun sebuah rencana dan mengusahakan pencapaiannya. Diskresi sebagai rancangan merupakan latihan rohani untuk menyiapkan menyambut kehendak Allah. Diskresi sebagai sebuah situasi rohani membawa orang ke tercapainya sesuatu yang diusahakan dan dimohon, yaitu sikap lepas bebas Ignatian atau kemerdekaan batin.

 

Diskresi sebagai pengalaman 

Autobiografí adalah deskripsi tentang semua pengalaman diskresi dan menunjuk langkah Allah (Allah bertindak) dalam hidup Ignatius. Autobiografí menghadirkan Ignatius kepada kita sebagai manusia yang bertanya mengenai dirinya sendiri. Di sana ada penegasan tentang pentingnya sikap reflektif, pencarian dan melihat sisi kedalaman hidup atau yang batiniah. Seperti kita ketahui lewat Autobiografí kita bertemu dalam pengalaman Ignatius dinamika proses rohani dari yang luar ke yang dalam. Dihadirkan sebuah evolusi rohani dalam horizon pelayanan yang makin diperjelas, hingga horison itu memilah hidup Ignatius secara definitif (Autobiografí 4,5, 11). Di sini kita belajar bahwa melayani sebagai kriteria dari konsolasi. Kita belajar juga bahwa diskresi bukan saja soal teknis kerohanian tetapi pengalaman rohani dalam arti di dalam diri orang itu dengan seluruh kekayaan historis yang lalu dan dengan seluruh keinginan dan mimpi salehnya, mencari dan menemukan kehendak Allah. 

Pemeriksaan kesadaran sebagai diskresi dan pengalaman rohani 

Menurut Latihan Rohani Ignatius pemeriksaan kesadaran merupakan latihan rohani [bdk. LR 1]. Dalam uraian ini pemeriksaan kesadaran merupakan usaha awal untuk melakukan diskresi. Yang sebenarnya terjadi dalam periksaan kesadaran adalah mengenal diri sendiri sejauh sebagai pribadi rohani yang curigasehat terhadap gerakan-gerakan batinnya. Di sini Ignatius membedakan tiga level pribadi: 1) pribadi yang “kasar” dan tidak kompleks, 2) pribadi yang sudah akrab dengan prinsip Asas dan Dasar) pribadi yang sudah maju secara rohani.  Pemeriksaan kesadaran membantu kita untuk tidak hanya menunjuk dimana kita berada, tetapi juga untuk berdiskresi dalam tingkat mengenal apa yang terjadi dan apa yang hendak dipilih. Pemeriksaan kesadaran demikian ini memiliki tujuannya adalah sikal lepas bebas yang terus berlangsung ttap yang merupakan proses rohani yang lebih konkret dalam hidup normal. Untuk itu penting menyediakan dan membiasakan pemeriksaan kesadaran sebagai latihan rohani yang terus dijalankan yang pada gilirannya mempertajam rasa perasaan rohani.

Patokan pembedaan roh Minggu Pertama Latihan Rohani [313-327]3

Dalam Latihan Rohani St. Ignatius menyajikan dua patokan pembedaan roh. Yang pertama, untuk Minggu Pertama dan diberi judul: “Aturan untuk merasakan dan mengenal macam-macam gerakan batin yang terjadi di dalam jiwa: “yang baik untuk diterima, dan yang buruk untuk dihindarkan dan tepat untuk Minggu Pertama”. Dengan memperhatikan sumber dari patokan-patokan ini, yang adalah pengalaman pribadi, pengalaman antar pribadi dan tradisi, kita dapat mengatakan bahwa patokan pembedaan roh ini adalah mediasi linguistik untuk mengkomunikasikan pembelajaran dan sesuatu yang esensial dari suatu pengalaman kepada orang lain. Karena itu patokan pembedaan berbicara tentang obyektivitas pengalaman dan aspek universalitasnya, dalam hal ini, pesan spiritual. Patokan berada melampaui dimensi spacial (ruang) dan budaya serta memainkan peran untuk menerangi hati pribadi dan mengarahkannya.  

Yang dibuat, terutama dengan diskresi menurut judul patokan tersebut adalah merasakan dan mengenal gerak-gerak batin. Secara konkret yang terjadi adalah memberi nama, memformulasikan, mengungkapkan gerak-gerak batin tersebut: perjalanannya, sebab, tujuan dan kecenderungannya. Melalui karya ini dapat diidentifikasi pelbagai macam gerakan batin termasuk jumlah dan kualitasnya. Di sini, seperti dikatakan oleh García Hirshcfeld, gerakan, pemikiran, kecenderungan, ilustrasi, agitasi… lebih daripada formulasi logis dengan isi dan pesan filosofis atau ideologis. St. Ignatius memahaminya sebagai gerakan batin, dengan daya kerja afektif emosional yang meninggalkan jejak tertentu dalam kesadaran. 

Penting memperhatikan istilah yang menunjuk subyek yang melakukan diskresi. Kita menemukan setidaknya tiga istilah: manusia, persona (seorang pribadi) dan jiwa. Manusia adalah istilah teologis yang menunjuk kenyataan tercipta. Pribadi atau persona menunjuk visi antropologis seseorang dengan ciri otonomi dan kemerdekaannya. Di sini dibedakan antara laki dan perempuan. Jiwa mengungkapkan kenyataan menjadi manusia di sana berkomunikasi dan berelasi dengan dunia lain. 

Dengan mengandaikan adanya kebutuhan pastoral, kita bisa mengatakan bahwa pertama [314, 315] bermaksud memperjelas situasi rohani dan pribadi. Artinya roh-roh bekerja menurut situasi orang. Mengenai dua nomor itu Marko Rupnik S.J mengungkapkan dengan baik isinya: 1) Tindakan roh buruk dan Roh Tuhan dalam diri seseorang.  2) Tindakan Roh yang diorientasikan kepada Allah dan roh musuh yang menghalang-halangi orang mengarah kepada Allah [315].

Dalam Latihan Rohani Ignatius menuliskan dua patokan berdiskresi. Patokan pertama dikhususkan untuk Minggu Pertama Latihan Rohani dan patokan kedua adalah lebih tepat untuk minggu-mingu berikutnya. Tetapi dalam praktek latihan rohani tentang bagaimana dan kapan digunakan, tergantung pada situasi nyata rohani retretan. Dari perspektif doktrinal patokan pertama menghadirkan hal yang dasar di seputar konsolasi dan desolasi.  

Kita boleh yakin bahwa dasar dari patokan-patokan ini dibentuk oleh pengalaman-pengalaman Ignatius sebagaimana tampak di dalam Autobiografi. Kita bisa menyebut nomor-nomor ini, 8-9: Loyola, 20-22: Manresa, 25-26: Manresa, 54-55: Barcelona, 99-101: Roma. 

 

Situasi rohani dari seorang pribadi 

Kita dapat mengatakan bahwa patokan-patokan tersebut menerangi kita dalam mencermati situasi rohani seseorang. Di sini secara sederhana dibedakan antara dua situasi seorang pribadi.  a. Orang yang berjalan dari dosa besar ke dosa besar lainnya [314], b. Orang yang secara intensif membersihkan diri dari dosas-dosa dan orang yang terus naik dan semakin naik dalam pelayanan kepada Allah [315]. 

 Dalam dua nomor ini [314 – 315] dikenal bagaimana roh buruk dan roh baik membawa kepentingannya masing-masing. 

Penghiburan

Penghiburan dilukiskan sebagai keadaan jiwa yang dikobarkan dalam cinta kepada Pencipta dan Tuhan [316.] Lalu dalam dua nomor ini [323-324] ditunjukkan sikap yang mesti diambil oleh seseorang bila sedang berada dalam konsolasi, yaitu berpikirkan bagaimana suatu saat bila berada di dalam desolasi. Ini semacam posisi dan sikap antisipatif dalam hidup rohani.

Desolasi 

Dengan desolasi dimaksud kegelapan jiwa [317] dan dalam desolasi tersebut ditemukan jiwa yang malas, takut, ceroboh dan terpisah dari Allah dan Tuhan. Dalam nomor-nomor lain ditunjukkan sikap dan posisi yang mesti diambil di saat berada dalam desolasi.  Pada saat desolasi tidak mengubah keputusan, sebaliknya memperkuat ketetapan dan rancangan yang sudah dibuat sebelum desolasi [318] dan lebih menekankan doa, meditasi dan menjalankan penitensi  [319]  Ditunjukkan juga pembelajaran rohani dari desolasi; miisalnya, 1) Allah membiarkan manusia di dalam pencobaan berkenaan dengan potensi alaminya untuk tumbuh dalam cinta dan dalam rahmat intensif dari Allah [320]; 2) mesti sabar, membuat yang berlawanan dengan godaan-godaan yang datang [321].

Tiga sebab utama desolasi [322]

Pertama, karena kendor, malas, atau sambalewa dalam latihan-latihan rohani. Kedua, untuk mencobai seberapa besasr kekuatan kita dan berapa jauh yang dapat kita capai dalam pengabdian dan pujian-Nya, tanpa upah besar berujud hiburan ataupun rahmat yang melimpah.  Ketiga, untuk memberi kita pengetahuan serta pengertian yang benar, supaya kita merasa dalam-dalam bahwa bukanlah tergantung dari kita: timbul serta langsungnya rasa devosi yang berkobar, rasa cinta yang meluap, airmata atau macam hiburan rohani yang lain, tetapi semuanya itu adalah anugerah dan rahmat Tuhan kita belaka.

Tiga analogi musuh bekerja 

Disebutkan tiga penggambaran musuh dalam bekerja. Yang pertama, bersikap seperti wanita, lemah bila lawan dan kuat bila dibiarkan [325]. Yang kedua, bekerja seperti buaya darat: ingin tetap dirahasiakan dan tak dilakukan kepada siapapun pula [326]. Juga bersikap seperti komandan tentara dalam usahanya untuk menumbuhkan serta merebut apa yang diinginkannya [327].

 

Belajar dari St. Ignatius: tanggap terhadap rahmat

 Dengan mencermati narasi pengalaman rohaninya, kita menemukan saat St. Ignatius memiliki pengalaman lebih terbuka terhadap yang nyata dari dirinya sendiri dan terhadap rahmat Allah. St. Ignatius menemukan dunia batin yang membawanya sadar akan kompleksitas. Dalam situasi ini, misalnya diungkapkan di dalam pertanyaan pesimistis untuk yang baru: “Bagaimana engkau dapatmenderita dalam hidup selama 70 tahun demikian itu?” (Autobiografi. 20). Saat ini membawa St. Ignatius lebih memperjelas terhadap apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Dari sini dengan identifikasi sebab-sebab dan asal usul gerakan-gerkan perasaan dan pemikian keluar sebuah patokan dalam arti tujuan umum dan yang mendasar dari diskresi. 

Dalam perjalanan rohaninya St. Ignatius sampai pada kesederhanaan hidup rohani; artinya, arti memiliki kecenderungan untuk sesuara atau sejalan dengan rahmat Allah (a sintonía a la gracia de Dios). Allah dialami sebagai Allah yang sederhana. St. Ignasius sampai pada keadaan tanggapan dan peka terhadap rahmat Allah. Pada akhirnya kita menemukan di sini dalam pengalaman St. Ignatius kemerdekaan manusiawi yang cocok dengan kehendak Allah. 

Dari sisi luar yang tampak dalam St. Ignatius adalah karya-karya sebagaimana dilaksanakan oleh orang-orang kudus: melaksanakan hal yang baik, melaksanakan yang besar. Mengingat yang ideal dan mimpi-mimpi yang lalu, sebetulnya yang terjadi pada tahap ini adalah perubahan obyek, tetapi subyek belum berubah. Dalam konteks dan kerangka pematangan rohaninya St. Ignatius masihperlu menempuh sejumlah langkah lagi. Namun tetap saya dapatlah kita menganggap remeh langkah atau tahap pengalaman ini. Kendati belum ada perubahan subyek setidaknya ada sebuah gerak perkembangan maju pelan-pelan (evolusi rohani). Interpretasi saya mengenai tahap ini adalah lebih baik dikatakan bahwa Ignatius berada di dalam proses menjadi baru dengan saat rohani yang penting yaitu menjadi tanggap dan peka terhadap rahmat Tuhan. Dalam proses ini obyek yang adalah secara nyata baik mempengaruhi dan membentuk dirinya sebagai subyek. Hanya dengan interpretasi demikian dapatlah kita memahami dengan baik lima pengalaman mistik besar Ignatius di Manresa (Autobiografi 2830). Kehilangan nilai dan rasa dari sisi evolusi yang berjalinan antara subyek dan obyek ini akan mempersulit kita dalam memahami aspek manusia dari pengalaman mistik Ignatius atau tibalah kita pada suatu pemahaman mengenai pengalaman di Manresa sebagai murni pengalaman atau rahmat tercerurah. 

Benar bahwa satu dari warisan rohani St. Ignatius adalah diskresi rohani. Dalam Latihan Rohani dihadirkan diskresi sebagai bagian integral dari Latihan Rohani. Dalam Autobiografi (peristiwa rohani) terutama untuk tiga bab pertama kita menemukan saat-saat di sana St. Ignatius belajar diskresi rohani. Di sana kita dapat melihat St. Ignatius dari perspektif kepribadiannya dan tipe pokoknya dalam konteks belajar berdiskresi. Dalam hal ini kendati semua itu terjadi pada abad XVI di dunia Spanyol, tetapi memiliki nilai melampaui waktu dan budaya. 

Kita dapat membayangkan bahwa St. Ignatius adalah manusia ambisius dengan standard nilai hormat dan kehormatan dunia kepahlawanan. Buku    kepahlawanan membantu mengartikulasikan serta menegukan apa yang hidup di dalamnya dan menawarkan cara untuk mengevaluasi dirinya sendiri. Proses merefleksikan dan melihat diri lewat dua kodeks atau standard (dari dunia kepahlawanan: kekayaan, hormat, kemuliaan dan dari Yesus: kemiskinan, kerendahan hati, kemuliaan Allah8) membawa Ignatius ke suatu momen perubahan secara pelan dari pribadi manusia yang tertutup menjadi terbuka kepada Allah. 

Evolusi batin dan sikap yang terjadi di hadapan buku-buku suci adalah pertumbuhan progresif dari identifikasi terhadap figur baru. Syukurlah Ignatius tidak memiliki retorika teologis, sehingga kita dapat belajar darinya. Dari pengalaman Ignatius yang demikian itu kita bisa belajar langkah-langkah, katakan saja, dari buta menjadi terbuka, langkah-langkah untuk sampai pada pengalaman membuka mata (dapat membedakan pelbagai gerak batin) untuk mengikuti kehendak Allah. 

Langkah-langkah itu adalah: 1) melihat sebagai penonton; 2) memasukan diri ke dalam sejarah dan peristiwa; 3) implikasi afektif’; 4) konsekwensi afektif dan 5) usulan logis (atau aplikasi kausal). Adalah mungkin dalam resolusi baru Ignatius menemukan krisis besar, yaitu hingga usia 26 tahun dia berada di bawah setan. Ignatius mengalami krisis hidup dan eksistensial mengenai hidup bagi dirinya sendiri dengan corak pengalaman yang setidaknya Ignatius sendiri menemukan sesuatu yang bernilai, yaitu keterbukaan kepada Allah dan kemampuan dasar untuk membedakan antara yang satu dari setan dan yang lain dari Allah (Autobiografi).