capture imaginations, awaken desires, unite the Jesuits and Collaborators in Christ mission

Spiritualitas Ignatian

Secara sederhana, spiritualitas sering dipahami sebagai cara hidup. Dalam konteks spiritualitas kristiani, pemahaman tersebut dijelaskan dengan “dalam terang Injil” dan “Roh sebagai anugerah Kristus”. Demikian, spiritualitas Ignatian adalah cara hidup yang inspirasinya dipetik dari warisan cara hidup yang ditinggalkan St. Ignatius Loyola terutama visi imannya dalam Latihan Rohani serta cara hidup Serikat Yesus sebagai mana bisa dikenali dalam Konstitusi Serikat Yesus. Pemahaman dan penghayatan demikian itu menjadikan spiritualitas dinamis dalam hubungannya dengan dunia dan zaman. Artinya, spiritualitas sebagai cara hidup mempengaruhi dan dipengaruhi oleh zaman dan dunia.

Serikat Yesus semenjak kelahirannya tanggap terhadap unsur konstitutif spiritualitas demikian itu. Hal itu bisa dikenali antara lain lewat Kongregasi Jenderal-Kongregasi Jenderal yang dilaksanakan selama ini. Secara lebih khusus, Kongregasi Jenderal ke 34 memberi perhatian terhadap kenyataan dan kebenaran spiritualitas sebagai cara hidup dengan merumuskan delapan ciri cara bertindak atau cara kita menghayati spiritualitas Ignatian di zaman sekarang.

Cinta Pribadi yang mendalam akan Yesus Kristus

  • “Di sini diminta untuk mohon pengertian yang mendalam akan Tuhan yang telah menjadi manusia bagiku, agar lebih mencintai dan mengikuti-Nya dengan lebih dekat lagi” (LR 104)
  • Kita menghadirkan kurnia Kristus yang bercorak melawan arus dunia yang terperdaya oleh pemenuhan yang berpusat pada diri sendiri, pemborosan dan kemajaan hidup.
  • Dunia ini adalah dunia yang mengagungkan gengsi, kuasa dan kecukupan diri.
  • Di dunia macam itu kita maju dengan mantap terdorong oleh “keinginan untuk menyerupai dan meneladani Pencipta dan Tuhan kita Yesus Kristus… Dialah jalan yang mengarahkan orang lain pada kehidupan batu”.

Kontemplasi dalam aksi

  • Allah yang diimani dan dihayati St. Ignatius adalah Allah yang sedang bekerja dalam segala hal, entah dalam usaha penyelamatan sebagaimana ditunjukkan di dalam “Kontemplasi untuk Mendapatkan Cinta” (LR 230-237) atau Allah sebagaimana nyata di dalam Kristus Raja yang bekerja bagi pembebasan dunia (LR 91-98).
  • Karena itu bagi seorang Jesuit menanggapi kebutuhan manusia pertama-tama mesti merupakan inisiatif yang berasal dari Allah yang sedang bekerja dan berjerih. Cara menemukan dan ikut serta dengan Tuhan, bergulat membuat segala sesuatu mencapai kepenuhannya merupakan sesuatu yang sentral bagi “Cara Bertindak Jesuit”. Caranya adalah mengadakan penegasan penuh doa, yakni “suatu jalinan terus menerus antara pengalaman, refleksi dan aksi”.
  • Melalui penegasan apostolis, baik pribadi maupun komunal yang dihayati dalam ketaatan, para Jesuit bertanggung jawab atas pilihan-pilihan rasulinya dalam dunia dewasa ini.

Satu tubuh rasuli dalam Gereja

  • Kita bukan semata-mata rekan kerja; kita dalah sahabat-sahabat dalam Tuhan. Komunitas di mana kita hadir adalah seluruh tubuh Serikat itu sendiri, betapapun tersebarnya di seluruh muka bumi.
  • Dan dalam pelayanan kita bersama dengan Allah, dan Gereja mempelai-Nya, Umat Allah, kita secara khusus disatukan dengan Pimpinan Gereja Roma untuk diutus ke misi-misi yang dipercayakan kepada kita.

Dalam solidaritas dengan mereka yang amat berkekurangan

  • Ignatius dan kawan-kawannya mulai berkotbah dalam kemiskinan.
  • Kini, apapun bentuk kerasulan kita, kita para Jesuit terjun dalam solidaritas dengan kaum miskin, orang-orang yang terpinggirkan, dan mereka yang tanpa suara, dengan maksud membuat mereka mampu untuk ikut serta dalam proses yang membentuk masyarakat di mana mereka hidup dan bekerja.

Kemitraan dengan orang-orang lain

  • Kemitraan dan kerja sama dengan orang lain dalam pelayanan bukanlah suatu strategi pragmatis yang lahir karena semakin berkurangnya tenaga kerja, tetapi merupakan dimensi dasar dari cara bertindak Jesuit masa kini.
  • Kemitraan dan kerja sama mengarah pada perwujudan bahwa untuk menata dunia kita yang terbagi-bagi dan kompleks bagi kedatangan Kerajaan Allah menuntut keanekaragaman kurnia, sudut pandang dan pengalaman, baik internasional maupun dalam ragam budaya.
  • Demikian Jesuit bekerja sama dengan awam-awam baik pria maupun wanita dalam Gereja, dengan kaum religius, para imam, dan uskup Gereja lokal di mana kita bekerja, dengan penganut-penganut agama-agama lain, dan dengan semyanyang berkehendak baik.

Dipanggil untuk pelayanan yang terpelajar

  • Dalam Formula Institusi kita membaca, “Institut ini membutuhkan orang-orang yang seutuhnya rendah hati, bijak dalam Kristus dan sekaligus unggul (conspicuus) dalam kesatuan antara kehidupan kristiani dan pengetahuan (Formula Institusi 9).
  • Demikianlah menjadi ciri khas Jesuit, menyatukan dalam suatu tegangan kreatif, tuntutan Ignatian ini, yaitu menggunakan seluruh sarana manusiawi, ilmu, seni, studi, kemampuan-kemampuan alami seraya pada saat yang sama secara total menyandarkan diri pada rahmat ilahi.

Orang-orang yang diutus, selalu siap sedia untuk misi-misi baru

  • Karisma kita dan alasan keberadaan kita adalah bahwa kita akan pergi ke tampat apapun di mana ada kebutuhan yang tidak terjawab.
  • Cara bertindak kita mendukung mobilitas seperti itu.
  • Para Jesuit selalu dalam keadaan “Siap setiap waktu untuk pergi ke segala bagian di dunia ini ke manapun dia diutus oleh Bapa Suci atau oleh pembesar mereka sendiri”.
  • Sesuatu yang khas dalam cara bertindak kita adalah bahwa kita hidup dalam kemerdekaan yang efektif: terbuka, mampu menyesuaikan diri, bahkan bergairah untuk segala tugas perutusan yang bisa diberikan pada kita.
  • Yang ideal (dari hidup Jesuit) adalah persembahan diri tanpa syarat bagi perutusan, bebas dari segala minat keduniawian dan bebas untuk melayani semua pria dan wanita. Perutusan kita meluas sampai menggelorakan semangat yang sama ini pada orang lain.

Selalu mencari yang magis

  • Magis tidak hanya salah atu butir dari daftar kekhasan Jesuit. Magis menaungi segalanya.
  • Seluruh hidup Ignatius adalah ziarah pencarian akan magis, kemuliaan Allah yang lebih besar, pelayanan yang semakin penuh pada sesama, kebaikan yang semakin universal dan sarana-sarana rasuli yang efektif.
  • “Sikap setengah-setengah tidak punya tempat dalam pandangan dunia Ignatius”.

L.A. Sardi, S.J.

Diambil dari buku, “Rohani, Rasuli, Formatif. Retret Reformatio Vitae Komunitas”, halaman 181-184.