Aku lahir di sebuah keluarga dengan empat orang anak. Ketika berusia 4 tahun, ibuku mengalami kecelakaan yang mengakibatkan gegar otak dan tak lama kemudian meninggal. Sejak ibu meninggal, bapak mengambil alih semua peran ibu. Beliau yang mengatur ekonomi keluarga. Keluarga kami juga dibantu oleh saudara-saudara lainnya karena bapak tidak bekerja. Dalam perkembangan pertumbuhanku, terkadang aku merasa mengapa aku berbeda dengan yang lainnya. Mereka memiliki ibu yang menjaga dan mengantarkan anak-anaknya, mengapa ibuku tidak ada. Bahkan ketika masuk Seminari, teman-temanku datang bersama dengan orang tua utuh sedangkan aku hanya datang dengan bapak saja. Sempat muncul pemikiran mungkin enak ya punya keluarga yang utuh, tapi mau bagaimana lagi aku harus menerima kondisi keluargaku.
Di Seminari, aku dibantu untuk mengolah semua keresahan dan ketidakberdayaanku dalam menerima kondisi keluargaku. Namun dalam menghayati panggilanku di Seminari, tak lepas juga dari tantangan. Salah satunya ketika mengikuti retret yang bertema keluarga. Saat aku diminta untuk membayangkan orang tua, yang terlintas di pikiranku hanya bapak, dan aku selalu mencari-cari di mana sosok ibuku. Hal ini yang terkadang membuat aku sedih.
Aku terbantu banyak menghidupi situasi ini lewat refleksi atas Keluarga Kudus. Keluarga kudus menurutku bukan hanya keluarga yang suci, namun keluarga yang mau dan mampu menerima kehadiran, kekurangan, serta situasi anggota keluarga itu.
Polycarpus Benny Wijaya – Seminari Mertoyudan