Aku lahir di sebuah keluarga kecil sebagai anak tunggal. Tahun 2005 bapak mulai berubah sikapnya dan berakhir dengan meninggalkan rumah. Akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai dan aku tinggal bersama ibu di Bekasi. Setelah bapak pergi aku merasa seperti mati rasa, karena aku tidak bisa mengetahui perasaan yang sedang kurasakan. Ibu menjadi satu-satunya orang tempat aku bergantung. Beliau berusaha mengajariku berdoa, tapi aku tak pernah mau. Ibu juga konsisten mengajakku ke gereja walaupun aku sering menolak. Beliau tidak pernah menyerah mengajakku agar aku ke gereja. Beliau yang mencukupi segala kebutuhan dan memperjuangkan hidup yang layak untukku selama ini. Aku tahu, beliau mengalami pergulatan yang amat panjang. Namun di satu sisi aku merasa kesepian karena ibu jarang sekali menemaniku dengan ritme kerjanya yang berangkat pagi pulang malam.
Untuk mengurangi rasa sepiku ini aku lebih sering main bareng teman-teman, terkadang aku main juga ke rumah mereka. Ketika menjumpai keluarga temanku yang utuh, aku selalu bingung saat bertemu dengan seorang bapak. Ada rasa canggung, apa yang harus aku lakukan dan menentukan topik pembicaraan ketika aku bertemu dengan ayah dari teman-temanku. Mungkin karena aku dekat dengan ibu menjadikanku tidak begitu canggung ketika bertemu dengan ibu teman-temanku.
Walaupun aku dibesarkan oleh single parent, namun aku bangga dengan ibuku. Beliau selalu berjuang yang terbaik untuk anaknya dan aku bangga kami bisa sampai di tahap ini. Dan aku sudah bisa menerima perpisahan orang tuaku. Bisa saja kalau mereka tidak berpisah aku tidak akan menjadi seseorang seperti sekarang ini. Beliau memberi kebebasan penuh kepadaku untuk menentukan jalan hidup. Beliau selalu mendukungku. Demikian pula keluarga besar ibuku. Tantanganku dalam menjalani pilihanku ini tidak berasal dari ibu atau keluarga besar ibuku, namun dari keluarga besar bapak. Mereka mengekang dan tidak mendukungku masuk ke novisiat.
Menurutku keluarga kudus tidak tunggal seperti ayah yang menggambarkan figur Yusuf atau ibu yang menggambarkan figur Maria. Mungkin karena aku tidak memiliki figur ayah. Aku bisa menemukan figur Maria di sosok ibu, nenek, tante, atau sosok perempuan yang dekat denganku. Sosok-sosok ini saling melengkapi kekurangan dan kelebihan satu sama lain sehingga membentuk figur Maria yang sempurna. Begitu pula figur Yusuf, bisa kudapatkan dari sosok laki-laki yang ada di sekitarku, yaitu kakek, om, pakde, pendamping rohani, dan lainnya. Dalam bayanganku, keluarga kudus itu tidak tunggal, namun seperti puzzle yang dirangkai membentuk keluarga kudus yang sebenarnya.
Fr. Daud Kefas Raditya, S.J. – Skolastik Jesuit