Sebagai seorang yang masih single dan belum menjadi seorang parent, saya sering bertanya-tanya, apa yang menyebabkan seseorang memilih untuk menjadi seorang single parent. Dalam banyak kisah, ada pasangan-pasangan yang memutuskan untuk berpisah, bercerai secara resmi, atau ada orang-orang yang meninggalkan pasangan dan anak-anaknya. Sebagai seorang Katolik yang meyakini bahwa pernikahan yang telah disatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia, awalnya saya gagal paham, mengapa orang memutuskan untuk berpisah. Rasa penasaran dan ketidakpahaman saya itu menimbulkan pertanyaan lain tentang dampak single parenting bagi anak-anaknya. Hal ini membawa saya melakukan penelitian tentang isu ini dan melibatkan diri dalam komunitas single parents Indonesia in motion (SPINMOTION) sejak tahun 2015.

Single Parent: Apa dan Bagaimana
Single parent adalah sebuah kondisi di mana seseorang mengasuh anak tanpa pasangan. Single parenting bisa terjadi karena berbagai hal, yakni adanya perceraian secara legal (cerai hidup), meninggalnya salah satu orang tua (cerai mati), adanya perpisahan (tanpa cerai resmi), penelantaran (salah satu pasangan meninggalkan keluarga), seseorang yang memilih tidak menikah setelah mengalami kehamilan tidak dikehendaki, adopsi anak oleh seseorang yang belum atau tidak menikah, atau inseminasi pada ibu tunggal. Sekitar dua tahun lalu, ada anggota baru di SPINMOTION dengan kriteria berbeda. Ia masih terikat dalam pernikahan resmi, namun ia menjadi “orang tua tunggal” dalam keluarga karena pasangan tidak bisa berfungsi optimal, misalnya karena mengalami penyakit kronis tertentu, gangguan mental, maupun disabilitas lainnya. Dari pengalaman saya menemani komunitas SPINMOTION, sebetulnya tidak ada satu orang pun yang secara sepenuh hati dengan sukarela dan sukacita memilih menjadi seorang single parent. Perpisahan seringkali menjadi pilihan terakhir yang harus diambil karena relasi yang terjalin justru merugikan salah satu atau kedua belah pihak.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terdapat 3,97 juta atau 1,46% penduduk Indonesia yang memiliki status pernikahan cerai hidup hingga akhir Juni 2021. Dalam masa pandemi Covid-19, kasus kekerasan dalam rumah tangga mengalami peningkatan, dan kasus perceraian pun meningkat. Selain itu, angka kematian sebagai dampak langsung dari pandemi Covid-19 juga menambah jumlah single parents di Indonesia.

Terdapat berbagai konsekuensi dan dampak dari kondisi seseorang sebagai single parent. Dampak emosional seperti kesepian, minder, tidak berdaya kebingungan identitas mungkin terjadi akibat perubahan status menjadi single parent. Masih ada dampak finansial dan sosial terkait dengan status hidup dan relasinya dengan anak. Stigma, diskriminasi, dan penolakan sering dialami oleh para single parents, bahkan terkadang dari orang terdekat mereka. Salah satu single mother pernah berbicara pada saya demikian, “Ketika suami saya meninggal, saya baru tahu bahwa saya juga terkonfirmasi positif HIV. Kalau boleh jujur, hal yang paling berat buat saya bukan status HIV positif, tapi kenyataan bahwa saya sekarang berstatus sebagai ibu tunggal. Saya harus apa-apa sendiri sekarang. Biasanya kan ada suami untuk berbagi keluh kesah, berbincang, apalagi soal anak, tapi sekarang saya harus pikir sendiri apa yang harus saya lakukan,” Di sisi lain, ada dampak berupa peningkatan kerentanan anak, dengan orang tua tunggal. Hal ini terkait masalah emosi, pendidikan dan prestasi, kesehatan, pekerjaan dan ekonomi, relasi dengan orang lain, serta masalah dalam perilaku. Anak-anak dalam keluarga dengan orang tua tunggal bisa jadi kurang memiliki pengalaman untuk menjalin kedekatan maupun memperoleh kontrol dari sosok laki-laki dewasa dan perempuan dewasa sekaligus. Hal ini dapat berdampak pada bagaimana persepsi mereka hingga dewasa kelak.
Tidak bisa dipungkiri, praktik pengasuhan single parents mengalami banyak tantangan. Single parents harus menjalani peran ganda sebagai ayah dan ibu sekaligus, sebagai pencari nafkah serta mengurus rumah dan mengasuh anak. Konsekuensinya, waktu untuk menjalin kedekatan maupun untuk mengajarkan kedisiplinan pada anak bisa jadi kurang. Beberapa single parent yang berpisah atau cerai hidup kadang juga kesulitan untuk menjelaskan ke anak tentang kondisi pernikahan kedua orang tuanya, terlebih jika masih tersisa konflik di antara mereka. Co-parenting atau mengasuh bersama bisa jadi pilihan, namun kenyataannya seringkali tidak semudah itu. Opsi lain yang sering dijalankan oleh para single parents adalah bekerja sama dengan keluarga besar untuk mengasuh anak. Co-parenting maupun pengasuhan oleh keluarga besar mengalami tantangan yang sama, yakni konsistensi. Dari mini riset yang saya lakukan pada 2018, ibu tunggal, terlebih yang bercerai dengan suaminya, cenderung mengasuh anaknya dengan kehangatan yang tinggi. Kehangatan yang tinggi ini menimbulkan kepercayaan dan kelekatan anak terhadap ibu. Akibatnya, ada anak yang enggan menuruti orang lain selain ibu, dan anak menunjukkan sikap protektif pada ibu. Di sisi lain, single parents rentan melakukan praktik pengasuhan yang inefektif, misalnya dengan menakut-nakuti atau mengancam anak, bahkan melakukan kekerasan fisik dan verbal pada anak. Hal semacam ini umumnya terjadi karena kelelahan yang dialami single parents dalam menjalankan tanggung jawabnya. Permasalahan dalam pengasuhan juga umumnya muncul lagi ketika ayah maupun ibu memiliki pasangan baru.

Single Parents dan Pendidikan Iman
Dalam pengalaman saya menemani para single parents, ketika mengalami masa-masa sulit maupun ketika sudah menjadi single parents, umumnya mereka melakukan upaya untuk semakin dekat pada Tuhan. Bagi para ibu tunggal, umumnya mereka mengenalkan sosok Tuhan dan tokoh agama sebagai sosok ayah yang bisa dijadikan sandaran sekaligus panutan. Meski demikian, beberapa single parents merasa kesulitan untuk mengajarkan hal ini pada anak-anak mereka. Dalam banyak kasus, kesulitan tersebut berkaitan dengan kondisi para single parents yang juga mengalami pergulatan iman dalam diri mereka. Tantangan ini biasanya coba diatasi dengan melibatkan orang lain dalam pendidikan iman anak.
Keterlibatan dan dukungan dari orang lain adalah salah satu kebutuhan utama bagi seorang single parent. Dukungan emosional berupa penguatan, apresiasi, penerimaan, orang-orang yang bersedia mendengarkan keluh kesah, tempat berbagi saran dan informasi, serta perasaan senasib sepenanggungan adalah hal-hal yang bisa membantu para single parents berfungsi lebih optimal. Di tengah kenyataan bahwa keluarga mereka tidak lagi utuh, kehadiran komunitas dapat menjadi keluarga baru bagi single parents. Kenyataan ini menjadi undangan bagi Gereja untuk menampilkan wajah Allah yang penuh kasih dan kerahiman-Nya yang memancar bagi semua orang, termasuk para single parents.
Kontributor : Stella Vania Puspitasari, M.Psi. – Psikolog