Pilgrims of Christ’s Mission

Author name: Komunikator Serikat Jesus

Provindo

SBC 2021: Ignatian Pedagogical Paradigm di Tengah Pandemi

Setelah Scholastics and Brothers Circle (SBC) tahun 2020 yang mestinya diselenggarakan di Provinsi kita dibatalkan karena pandemi, SBC tahun 2021 kembali hadir pada bulan Desember secara daring. Perwakilan 54 skolastik dari semua wilayah JCAP bertemu via Zoom selama lima hari pada 26-30 Desember 2021. Provinsi Indonesia sendiri mengirimkan lima skolastik perwakilan filosofan, TOKer, dan teologan ditambah dua skolastik Indonesia yang sedang TOK di Kamboja dan studi di Manila. Selain para skolastik dari Asia Pasifik, juga bergabung dua skolastik dari Afrika yang sedang menjalani studi di Jepang.  SBC kali ini dapat berjalan berkat kerja keras tim panitia dari komunitas Arrupe International Residence Manila (AIR) yang dikoordinasi oleh Skolastik Damo Chour dari Kamboja. Rangkaian acara dibuka oleh P Tony Moreno, S.J., Presiden JCAP, dan ditutup oleh P Riyo Mursanto, S.J.,  Rektor AIR dan Delegat Formasi JCAP. Setiap hari selama lima hari tersebut, para skolastik menjalani tiga sesi, di mana sesi pertama adalah percakapan rohani tiga putaran dalam kelompok kecil (4-5 orang) dan sesi-sesi berikutnya diisi pemaparan materi dan diskusi dengan para narasumber. Oleh karena itu, selain mendengarkan pemaparan dalam ruang besar, para skolastik juga mendapat kesempatan untuk mengenal kelompok percakapan rohaninya secara lebih personal dengan saling berbagi refleksi atas topik terkait.  Para narasumber yang dihadirkan pun sangat beragam, mulai dari para Jesuit sendiri, kebanyakan dari Provinsi Filipina dan pengajar di Ateneo de Manila dan Zamboanga, guru-guru awam, hingga para murid dari beberapa sekolah Jesuit dalam wilayah JCAP. Hal ini sejalan dengan tema yang diusung, yaitu pendidikan khas Jesuit sebagaimana dirumuskan dalam Ignatian Pedagogical Paradigm (IPP) dan penerapannya selama pandemi. Setelah mendapat penjelasan umum mengenai IPP, tema tersebut dibedah lagi dalam topik-topik lebih rinci, misalnya landasan alkitabiah bagi pendidikan Kristiani, kepemimpinan dan visi sekolah Jesuit dalam masa pandemi, penggunaan teknologi untuk membantu penerapan IPP, pentingnya kesehatan mental di sekolah-sekolah Jesuit, posisi pendidikan daring dalam UAP, dan tak ketinggalan adalah kesaksian langsung para guru dan murid dari sekolah-sekolah Jesuit dari aneka penjuru Asia Pasifik. Para peserta SBC dapat mendengarkan berbagai pengalaman untuk menerapkan IPP dalam aneka konteks dan memahami IPP sebagai Latihan Rohani yang diterjemahkan ke dalam dunia pendidikan. Ragam peserta SBC dan narasumber yang membagikan pengalaman mereka menunjukkan ragam konteks wilayah penerapan IPP yang mewujud dalam perbedaan perjuangan guru dan murid di wilayah yang berbeda-beda. Di Australia guru berjuang agar para murid tidak banyak terdistraksi oleh media sosial atau online gaming. Di Kamboja guru berjuang agar murid dan orang tua bisa menggunakan platform daring yang ada di tengah kesulitan ekonomi di sana. Di Jepang para murid mengalami tekanan karena budaya tuntutan pendidikan yang keras. Di Myanmar tekanan keras junta militer tidak menciptakan harapan cerah bagi generasi muda. Juga menjadi tantangan bahwa di negara seperti Filipina yang mayoritas Katolik dan memiliki banyak sekolah Jesuit masih banyak terjadi ketidakadilan. Konteks yang berbeda menuntut penerapan yang berbeda-beda pula. Ragam penerapan ini juga memberi inspirasi dan dorongan bagi kami untuk semakin mengenali konteks Indonesia.  Selain itu, IPP dari kacamata spiritual lebih dari sekadar sepaket prosedur atau sebuah kurikulum, melainkan Latihan Rohani yang diterjemahkan ke dalam dunia pendidikan secara sistematis. Dalam IPP, proses pendidikan harus mencakup pemahaman konteks, adanya pengalaman, refleksi atas pengalaman, tindakan yang muncul setelah refleksi, dan pada akhirnya evaluasi atas seluruh proses. Tujuan dari IPP pada akhirnya adalah menghasilkan murid-murid yang mampu berdiskresi. Br. Jeff Pioquinto, SJ dari Ateneo de Zamboanga bercerita bahwa dalam menerapkan IPP, atau bisa juga dikatakan sebagai proses mengajarkan para muridnya berdiskresi, kebanyakan murid tidak langsung memahaminya pada masa sekolahnya tersebut. Akan tetapi, setelah beberapa tahun lulus mereka menyadari dan sungguh berterima kasih atas pendidikannya selama di sekolah tersebut karena mereka dapat berdiskresi untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang magis dalam hidup mereka. Oleh karena itu, mempelajari bersama IPP dalam SBC kemarin sesungguhnya adalah undangan juga bagi para skolastik untuk kembali pada Latihan Rohani itu sendiri. Hal ini dikarenakan pedagogi Latihan Rohani inilah yang akan menjadi hal yang dibagikan dalam bentuknya sebagai IPP dalam perutusan kelak dalam dunia pendidikan khas Jesuit.  Kontributor: Frater Daud Kefas Raditya, SJ & Frater Teilhard A. Soesilo, SJ Dokumentasi: Panitia SBC 2021

Kuria Roma

Seri Video Berjalan bersama Ignatius episode 4: Impian Baru untuk Gereja

Di dalam Gereja, sebagai umat Allah yang berziarah dalam lorong-lorong sejarah, berbagai macam panggilan dan karisma muncul untuk berkolaborasi dalam mewartakan karya keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Kita, para Jesuit dan penghidup semangat Ignasian didorong untuk terus memperbarui kesiapsediaan bekerjasama dalam mengemban tugas perutusan Kristus. Kita membawa di kedalaman panggilan kita kasih Kristus yang amat besar kepada Gereja serta ketaatan khusus kepada Bapa Suci. Dalam semangat itu, kita siap sedia diutus di tempat-tempat paling tepi di dunia ini seperti dikehendaki Gereja. Pada Tahun Ignasian ini kita memohon agar Tuhan menganugerahkan rahmat discernment. Tujuannya adalah kita dapat memahami tanda-tanda zaman dan mewartakan kabar sukacita Yesus dengan penuh keberanian dan kesetiaan kreatif. Kita ini pendosa dan rapuh, namun Tuhan berkenan memanggil kita untuk bersama dengan Gereja menjadi pelayan perutusan-Nya. Kita diajak untuk terus meleburkan diri dalam impian Gereja papa yang melayani mereka yang miskin dan menjadi suaka penuh keramahan dan kebaikan hati bagi mereka yang tersingkir. Kita digerakkan oleh hasrat yang sama dengan hasrat yang menggerakkan Santo Ignatius dan para sahabat pertama untuk melayani orang-orang yang paling membutuhkan dengan setulus hati. Panggilan untuk pertobatan yang kita alami hari ini juga menghendaki adanya pembaruan kesiapsediaan kita, baik dengan tindakan maupun ucapan, untuk menghadirkan wajah Tuhan yang dekat dan penuh kasih kepada orang-orang di tempat yang membutuhkan. Semoga kita semakin setia kepada panggilan sehingga mampu mencintai dan melayani perutusan kita dengan sepenuh hati. Siapkah kita? Marilah kita berdoa, baik secara pribadi maupun bersama-sama sebagai sebuah komunitas, dengan inti doa seperti ditunjukkan pada bagian akhir bab keempat buku Berjalan bersama Ignatius yang saya tulis. (Lihat: Berjalan Bersama Ignatius karangan Arturo Sosa, S.J. terbitan PT. Kanisius dan Serikat Jesus Provinsi Indonesia, 2021 hlm. 143 – 145).

Pengumuman A24

Pengumuman Kaul Akhir

Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J. dalam keputusannnya tertanggal 3 Januari 2022, dan 8 Januari 2022, telah mengundang saudara-saudara kita di bawah ini untuk mengucapkan kaul akhir dalam Serikat Jesus: 1. Br. Fransiskus Xaverius Marsono, S.J. 2. P. Bruno Herman Tjahja, S.J. 3. P. Justinus Sigit Prasadja, S.J. Kita mengucapkan Proficiat untuk saudara kita ini dan membawanya dalam doa-doa kita. Tempat dan tanggal pengucapan kaul akhir akan diumumkan menyusul. Bambang A. Sipayung, S. J. Socius Provinsial SJ Indonesia.

Provindo

Webinar Spiritualitas Ignasian di Era Masyarakat 5.0

Masyarakat 5.0 adalah sebuah konsep mengenai masyarakat yang berpusat pada manusia (human-centered) dan berbasis teknologi (technology based) yang pada awalnya dikembangkan di Jepang. Konsep ini lahir dari Revolusi Industri 4.0 yang dinilai dapat mendegradasi peran manusia. Di tengah fenomena tersebut, bagaimana Spiritualitas Ignasian dapat ditawarkan? Apa tantangan dan peluangnya? Untuk menanggapi dan mendiskusikannya, diadakan webinar ke-3 bertajuk Peluang dan Tantangan Spiritualitas Ignasian di Era Society 5.0 pada Kamis, 9 Desember 2021.  Webinar ke-3 ini menghadirkan Pater Paulus Suparno, S.J. sebagai narasumber utama. Selain itu, ada beberapa perwakilan dari kelompok yang mendalami Spiritualitas Ignasian, antara lain Pak Djoto Halim dari komunitas Schooled by the Spirit, Angeline Ivone dari LRP (Latihan Rohani Pemula), Sr. Anita Sampe, S.J.M.J sebagai biarawati penghidup Latihan Rohani, dan Gregorious Tjaidjadi dari CLC (Christian Life Community).  Diawali dengan pengantar oleh Pater Eko Budi Santoso, webinar ke-3 dimoderatori oleh Sr. Dewi, FCJ dan fr. Ferry Setiawan, S.J. bersama Revita sebagai pemandu acara. Spiritualitas Ignasian dan Pelayanannya di Provindo Pada bagian awal presentasinya, Pater Paul Suparno mengatakan bahwa Spiritualitas Ignasian adalah Spiritualitas Kristiani yang didasarkan pada pengalaman Latihan Rohani St. Ignatius. Pater Paul menekankan bahwa Latihan Rohani bertujuan membantu seseorang mengikuti Kristus dalam situasi apapun. Dalam kesempatan ini, secara khusus, Pater Paul juga berbagi apa yang Serikat Jesus Provindo telah lakukan dengan Spiritualitas Ignasian itu selama 50 tahun di Indonesia beriringan dengan peluang dan tantangan perkembangan masyarakat 5.0.   Pater Paul membagikan keberagaman pelayanan Spiritualitas Ignasian ke dalam empat kategori, yaitu: 1) Institusi rumah retret yang meliputi Rumah Retret Sangkal Putung, Rumah Retret Girisonta, dan Rumah Retret Civita; 2) Institusi non-rumah retret, antara lain Universitas Sanata Dharma, ATMI, kolese-kolese, sekolah-sekolah Yayasan Kanisius dan Strada, Paroki, dan JRS (Jesuit Refugee Service); 3) Kelompok-kelompok, yakni biarawan-biarawati, awam (orang tua, guru, pelajar, pedagang, CLC, LRP); dan 4) Media yang meliputi Majalah Rohani, Utusan, Basis, Percetakan Kanisius, dan sebagainya. Pada bagian akhir presentasinya, Pater Paul mengajukan sebuah pertanyaan reflektif, “Siapkah SJ Provindo berkolaborasi dengan awam untuk menawarkan Spiritualitas Ignasian di era masyarakat 5.0?” Sharing dari Keempat Penghidup Spiritualitas Ignasian Sr. Anita membagikan keterkesanannya akan  diskresi dan refleksi a la Spiritualitas Ignasian sebagai alarm hidup rohani. Baginya, Spiritualitas Ignasian masih relevan di tengah masyarakat 5.0. Dengannya, seseorang dapat lebih terbantu menemukan dan menciptakan makna di dalam hidupnya. Provindo sangat diharapkan tetap berkomitmen membagikan Spiritualitas Ignasian lewat sarana digital dan merangkul kaum awam untuk melestarikan Spiritualitas Ignasian. Pak Djoto juga membagikan pengalaman mengenal dan menghidupi Spiritualitas Ignasian yang mulai dikenalnya dalam kursus Schooled by the Spirit. Lewat Spiritualitas Ignasian, Pak Djoto semakin merasa dicintai dan mencintai Tuhan, sebuah transformasi personal baginya. Selain itu, Gregorius membagikan pengalamannya mulai mengenal Spiritualitas Ignasian di Civita Youth Camp. Setelahnya, pengalaman studi di Universitas Sanata Dharma perlahan-lahan mengantarnya pada CLC (Christian Life Community). Gregorius juga menyampaikan salah satu cita-cita besar CLC, yakni ingin mampu melakukan communal discernment di tengah perkembangan zaman. Baginya, sapaan dan perjumpaan dalam proses-proses interaksi di tengah zaman yang terus berubah ini penting. Di dalam dunia kerja, Angel Ivone terbantu lewat Spiritualitas Ignasian sebagai Ignatian tools, seperti eksamen, percakapan tiga putaran, dan discernment dalam memaknai hidup hariannya. Baginya, tools tersebut dapat membantunya untuk  memaknai hidup. Menawarkan Jalan kepada Yesus di Era Masyarakat 5.0? Dalam diskusi, Pater Paul menggarisbawahi bahwa yang paling utama dalam berbagai spiritualitas Kristiani adalah menghantar orang sampai kepada Yesus. Spiritualitas Ignasian adalah satu dari sekian banyak jalan menuju Yesus. Tak dapat dimungkiri, spiritualitas lain dalam Gereja pun dapat membantu seseorang berkembang baik sebagai seorang Kristiani. Sejalan dengan pendapat Pater Paul Suparno, Sr. Dewi, FCJ menyampaikan benang merah bahwa spiritualitas Ignasian merupakan salah satu jalan di antara spiritualitas lain yang membantu seseorang mengarah kepada Yesus. Sharing keempat penghidup Spiritualitas Ignasian menunjukan bagaimana Spiritualitas Ignasian sebagai jalan itu dapat membantu seseorang secara konkret.  Menyadari hadirnya era masyarakat 5.0, maka ini menjadi tantangan bagi Provindo untuk membagikan Spiritualitas Ignasian seefektif mungkin dalam membantu seseorang sampai kepada Yesus. Siapkah?

Pelayanan Gereja

Mengapa Allah Datang ke Dunia dalam Rupa Seorang Bayi?

Mengapa Allah datang kepada kita, dalam rupa seorang bayi? Bayinya pun bukan dari keluarga yang kaya-raya, bahkan tidak memiliki gelar atau status melainkan seorang bayi yang lahir dari keluarga sederhana. Pernahkah pertanyaan tersebut terlintas di benak Anda? Pertanyaan yang cukup sulit dijawab ini dilontarkan oleh Pastor Kepala Paroki Blok B, Gereja St. Yohanes Penginjil, Pater Antonius Dhimas Hardjuna, S.J. dalam homilinya pada Perayaan Ekaristi Malam Natal 2021. Sudahkah Anda menemukan jawabannya? Jawabannya adalah Allah ingin kita mendekat. Ia hadir di dunia memilih sosok yang sederhana, menjadi bayi biasa agar manusia mendekatkan diri kepada-Nya. Inilah kisah Natal. “Natal artinya kita diajak menatap Allah dalam rupa bayi yang sederhana tapi berdaya kuat. Bayi ini membuat kita merdeka, bebas memilih, dan membukakan jati diri kita yang sesungguhnya, bahwa dalam diri kita ada sesuatu yang baik yang mengajak kita untuk membangun suatu persaudaraan,” tutur Pater Dhimas.  Hal ini juga selaras dengan Pesan Natal 2021 dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yakni Cinta Kasih Kristus yang Menggerakan Persaudaraan.  Pater Dhimas juga menambahkan bahwa Natal mengajarkan kita tentang makna kerendahan hati dan kesederhanaan yang melebur dalam hidup sehari-hari. Dalam Injil Lukas 2:1-14 tertulis, “Maria melahirkan anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di palungan karena tidak ada tempat bagi  mereka di rumah penginapan.” Bagi Pater Dhimas, Lukas hendak menyampaikan bahwa dalam kisah kelahiran Yesus, Yosef dan Maria bukan ditolak tetapi memang penginapan ketika itu sudah penuh sehingga hanya tersedia tempat umum untuk beristirahat di situ. Kalau zaman sekarang mungkin dapat dibayangkan seperti suasana mudik. Maria melahirkan Yesus di tempat yang mudah dijangkau oleh khalayak umum (orang biasa), misalnya rest area.  Pada kesempatan yang sama, Pater Dhimas juga menyampaikan permenungan saat Perayaan Ekaristi Malam Natal bersama OMK. “Allah berkata, Aku mengasihimu dengan kasih yang abadi.”  Manusia dengan segala kerapuhan dan kelemahannya menanggung derita. Yesus pun merasakan hal sama, menanggung penderitaan, kelemahan, dan kerapuhan kita karena Ia begitu mengasihi kita. Kasih adalah rahmat yang diberikan Allah kepada kita dan Yesus hadir di tengah-tengah kita untuk memberitahukan hal itu. “Sekarang, maukah kita membagi kasih Allah itu kepada saudara kita?” tanya Pater Dhimas   Tahun ini adalah kali kedua merayakan Natal dalam suasana pandemi. Tahun 2021 ini, Perayaan Ekaristi Natal Paroki Blok B diselenggarakan di dua tempat, yakni di Aula St. Ignatius, Gedung Yohanes, Melawai dan GOR Sekolah Pangudi Luhur, Jakarta Selatan secara tatap muka dan ditayangkan secara daring di Youtube Official Komsos Paroki Blok B. Perayaan Ekaristi ini diperuntukkan tidak hanya bagi lansia dan umum, tetapi secara khusus juga dipersembahkan bagi orang muda. Perayaan Ekaristi Malam Natal dirayakan secara meriah bersama para imam yang berkarya di Paroki Blok B, yakni Pater Justinus Muji Santara, S.J. dan Pater Aluisius Pramudya Daniswara, S.J. Misa Natal pagi, 25 Desember, dirayakan bersama Pater Rafael Mathando Hinganaday, S.J. dan Pater Agustinus Suharyadi, S.J. Karina Chrisyantia – Elisabeth Bait (Komsos Paroki Blok B) Foto Head: Kandang Natal di Aula St. Ignatius, Gedung Yohanes, Blok B, Melawai.(Dokumentasi: Komsos Paroki Blok B) Foto 2: Pater Dhimas membagikan komuni saat Perayaan Ekaristi Hari Natal Kaum Muda, 24 Desember 2021, di GOR Pangudi Luhur, Jakarta Selatan.(Dokumentasi: Komsos Paroki Blok B)

Feature

Melihat Segala Sesuatu Baru di dalam Kristus: Benih Panggilan dalam Formasi Bersama

Pengantar Akhir abad lalu kebanyakan tarekat ‘memvonis’ kalau ada calon yang mau masuk dengan latar belakang keluarga ruwet dan keruh (butheg) tidak akan diterima atau diterima dengan uji coba. Sikap seperti ini mungkin dipengaruhi cara berpikir yang disebut determinisme ala predestinasi (ketentuan Tuhan atau takdir). Sikap determinisme banyak dilacak dalam interaksi hidup sehari-hari dengan sesama kita. Kita cepat-cepat menyimpulkan sesuatu secara sempit entah secara deduktif atau induktif. Yang dikorbankan ialah ruang perkembangan, pertobatan dan menyediakan ruang untuk  ‘rahmat’. Seseorang akan memunculkan label, kacamata hitam atau putih atas suatu perkara dan menutup diri terhadap fakta-fakta baru. Tidak ada penyebab tunggal baik bagi keberhasilan atau kegagalan. Banyak faktor seperti keluarga, ekonomi, budaya, politik, sosial, pendidikan, iman/agama yang mempengaruhi dan mewarnai kisah sukses dan gagal. Semua hal ini mempengaruhi pula formasi para religius. Tidak bisa serta-merta bahwa latar belakang keluarga sempurna tanpa cacat cela ‘pasti’ akan menghasilkan proses formasi yang mudah. Sebaliknya, kalau latar belakang keluarga, maaf seribu maaf, gelap suram seperti perceraian orang tua, single parent, yatim, piatu atau keduanya, tidak rukun, penuh kekerasan dan lain-lain, ‘pasti’ akan sulit bahkan gagal dalam proses formasi. Keduanya adalah determinisme, hanya isi berbeda, tapi bentuknya ‘sebelas duabelas’, alias identik. Keduanya menutup kran atau pintu ‘rahmat’, campur tangan Allah. Zaman sekarang ini ditandai oleh kompleksitas dan multi dimensi kehidupan. Tidak ada hal yang begitu saja mudah dijelaskan tanpa kait mengait dengan banyak faktor lain. Karena itu, pola berpikir hendaknya tidak terkurung oleh paradigma pribadi, tradisi, prasangka dan lain-lain. Sobat saya Pater Haryatmoko menyarankan berpikir pola abuktif, yaitu mencari solusi alternatif dan kreatif. Dalam kerangka teologis, kita diajak untuk menyediakan ruang bagi rahmat dan campur tangan Allah. Muncul labelisasi, tidak terbuka akan fakta-fakta baru, apalagi kalau ada rasa ‘tidak suka’, bahkan yang baik pun dilihat dengan kacamata minus-plus-silindris, gelap atau kabur. Tentu saja ada alasan-alasan yang sangat masuk akal untuk menerima atau tidak menerima. Ilmu psikologi dengan perkembangan yang super cepat menyajikan horison ilmu yang sangat berguna bagi formasi. Zaman sekarang formasi kita sangat kompleks dan rumit, atau dengan kata lain multi dimensi.        Allah adalah Formator “par excellence” Ignatius menyimpulkan seluruh perjalanan formasi, baik rohani maupun ‘hal-hal praksis’ selalu dalam konteks Allah Sang Formator, melalui diskresi, mencari kehendak-Nya. Bahkan Allah sebagai guru dengan penuh kebapaan dan kesabaran menuntun dan mendidiknya (Autobiografi. 27,4). Dari sudut pandang tersebut, Ignatius sampai pada puncak sekaligus sumbernya, yaitu pengalaman mistiknya, “Melihat Segala Sesuatu Baru dalam Kristus” (Autobiografi.30), motto Tahun Pertobatan Ignatian. Pater Kolvenbach merumuskan Allah sebagai pendidik ‘par excellence’ yang menggunakan sarana-sarana manusiawi. Lebih jauh dia melukiskan bahwa formasi adalah sharing dalam konteks Allah Bapa, melalui Roh Kudus, mempertontonkan serta memoles sikap batin dan cara bertindak Sang Putra dalam hati orang-orang muda (Kolvenbach, The Formation of Jesuits, Roma, 2003, hal. 2-3). Melalui pendekatan lain, Pater Kolvenbach merumuskan sekaligus menyimpulkan empat kategori ‘penulis’ proses internalisasi dua unsur rahmat dan seni, mystical and ascetical aspect, yaitu Ignatius penulis buku Latihan Rohani Pembimbing penulis kedua Retretan atau kita penulis ketiga Tuhan, par excellence penulis utama dan pertama Saya mau melihat dan menggunakan dua kisah orang kudus Jesuit yaitu St. Ignatius dan St. Alfonsus Rodriguez untuk melihat proses penulisan unsur rahmat dan seni. Sebagai anak, keduanya hidup di bawah asuhan single parent. St. Alfonsus Rodriguez bahkan kemudian ditinggal mati oleh anak-anak dan istrinya. Kita lihat contoh-contoh di bawah ini. (1). Ignatius Loyola Kita lihat latar belakang Ignatius di masa kecilnya, dia anak bungsu dari 13 bersaudara. Ibunya meninggal saat dia, dapat dikatakan, masih bayi. Hal ini tampak dalam kesaksian proses kanonisasinya dari perempuan, istri seorang petani sederhana yang menyusuinya, Maria Gorin (Hugo Rahner, 1980, hal. 2-10). Dari data sejarah tidak diketemukan laporan kapan ibunya meninggal. Ditambah lagi Ayahnya meninggal pada saat Ignatius berusia 16 tahun (1507) atau setahun setelah dia meninggalkan Loyola ke Arevalo atas ‘perintah’ ayahnya. Usia bayi kehilangan ibu dan usia remaja kehilangan ayah memperlihatkan bahwa dia mengalami absennya figur ayah dan ibu dalam masa-masa penting pertumbuhan Ignatius. Tinggal kita menafsirkan dari sudut mana, positif atau negatif? Karena kurangnya sentuhan afeksi dari kedua orang tuanya, lantas muncul pertanyaan apakah ini mutlak ‘kutuk’ atau sebaliknya ‘rahmat tersembunyi’ atau keduanya, dan di antaranya? Idigoras (Solo y a Pie ‘Alone and on Foot’, hal. 17-18), mengutip pandangan ‘tokoh kedokteran psikosomatik’, Juan Rof Carballo yang memberikan pandangan bahwa Inigo kecil mempunyai kekurangan pengalaman afektif dalam jiwanya yang terdalam. Ada kekurangan (defisit) kehadiran ibu yang melindungi, membebaskan, dan menumbuhkan dalam pribadi Ignatius. Idigoras menambahkan bahwa defisit figur ibu seperti bisa memunculkan kebiasaan depresi dalam kehidupan nantinya. Selain itu, defisiti ini juga mendorong bayangan perasaan-perasaan bersalah. Idigoras lebih jauh mempertanyakan apakah jiwa petualangan Ignatius yang menjelajahi satu tempat ke tempat lain itu merupakan kerinduan akan kehadiran ibu yang penuh kehangatan. Meissner (1992, hal.9-12) menyatakan bahwa kehilangan figur ibu di masa bayi, dan pengalaman masa remaja ‘dibuang’ dan kehilangan sosok ayah, ‘bisa menciptakan bayang-bayang hitam atau depresi dalam seluruh hidupnya.  Seperti kita tahu Ignatius keluar dari kemelut ini dengan prinsip utama “Melihat segala sesuatu baru dalam Kristus” (Auto.30). Dengan bekal pengalaman tersebut Ignatius berjalan terus dan menapaki hari demi hari dengan bantuan terang Ilahi tersebut. Kerapuhan dalam dirinya yang diwarisi dari keluarga tidak berlaku bagi Allah. Kelemahan-kelemahannya dipersembahkan kepada Allah. Dia menjadi seorang santo besar dan pendiri Serikat Jesus, meski dia sendiri tidak mengakui bahwa dia pendirinya, melainkan Yesus sendiri. Di artikel lain, Meissner menyebut bahwa dalam soal rahmat, iman mempunyai peran yang penting dalam rangka memahami pribadi Ignatius. Hal ini ditambah dengan latar belakang keluarga yang terpandang dan suci. Kakaknya seorang rohaniwan di kotanya dan keluarga ibunya para Fransiskan. Sejak kecil dia dilatih berdoa oleh Maria Gorin, pengasuhnya. (2). Br Alfonso Rodriguez si Tragis sekaligus Magis; Si Rapuh yang Tangguh Ayahnya seorang pedagang wool yang kaya, meninggal dunia ketika Rodriguez berusia 14 tahun. Sebenarnya dia ingin menjadi imam Jesuit, karena itu ia pergi bersekolah di Kolese Jesuit di Alcala. Di sana, dia menerima pelajaran persiapan komunitas pertama tentang keutamaan-keutamaan dari Pater Petrus Faber, salah seorang teman-teman pertama Ignatius. Kematian ayahnya membuat dia kemudian dipanggil pulang untuk mengambil alih pekerjaan ayahnya. Ia lalu menikah dan mempunyai tiga

Feature

Allah bagi Keluarga dengan Orangtua Tunggal

PENDAHULUAN Menjadi orangtua tunggal pada umumnya bukanlah pilihan. Ini menandai perubahan besar dalam hidup seseorang entah disebabkan cerai hidup, cerai mati, ditinggal merantau, tugas studi, dinas militer, dan sebagainya. Jumlah orangtua tunggal dewasa ini meningkat. Di Indonesia ada sekitar 7 juta orangtua tunggal dan lebih dari 70 persennya adalah perempuan. Mereka harus berperan ganda menjadi ibu sekaligus bapak, atau sebaliknya. Para orangtua tunggal berjuang menghidupi keluarga dengan melibatkan banyak faktor, antara lain faktor sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan iman atau agama. Tulisan ini bermaksud mengulas tentang orangtua tunggal dari perspektif iman kristiani.   TINJAUAN BIBLIS  Dalam tradisi Yahudi, janda adalah salah satu kelompok yang wajib mendapat perhatian dan santunan. Seorang janda dianggap memiliki banyak kelemahan, antara lain statusnya di mata hukum, kehidupan sosial bermasyarakat, dan masa depannya. Hagar (isteri kedua Abraham) menjadi orangtua tunggal bagi anaknya, Ismael, akibat diusir oleh Abraham atas permintaan Sara (isteri pertama) yang tidak menghendaki Hagar tinggal bersama mereka. Karena kehabisan air minum, Ismael hampir dibuang oleh Hagar. Berkat bimbingan malaikat Tuhan, Hagar membatalkan niatnya lalu mengambil kembali dan mengasuh Ismael sampai Ismael menjadi orang yang berkenan di mata Allah. Maria menjadi orangtua tunggal bagi Yesus setelah Yusuf wafat. Maria setia menemani anaknya Yesus di jalan salib dan bahkan sampai wafat-Nya. Kisah janda di Sarfat yang berani berbagi dari kekurangannya (1 Raj 17:7-16), persembahan janda miskin di bait Allah (Mrk 12:41-44), dan permohonan janda di Nain kepada Yesus bagi kesembuhan anaknya yang sakit (Luk 7:11-17) memberikan banyak inspirasi dan memperlihatkan dampak besar iman kepada Allah dalam kehidupan para janda.  Belum ada kesepakatan dari para ahli mengenai pendidikan iman anak dalam tradisi Yahudi, apakah hal tersebut berlangsung dalam studi formal di sekolah atau lainnya. Beberapa teks Perjanjian Lama (Ul 32:7; Ams 3:1-3; Mzm 78:3-7) mengacu pada kesimpulan bahwa hal tersebut merupakan sebuah pewarisan iman yang semula dilaksanakan orangtua di tengah-tengah keluarga, juga oleh kelompok orang beriman pada tataran lebih luas yaitu jemaat. Keluarga dan komunitas Gereja menjadi sekolah iman bagi anak agar berkembang dengan baik dalam pengetahuan, keterampilan, dan karakter.  KENAKALAN REMAJA DAN HUBUNGAN SEKS PADA USIA DINI Dua isu utama mengenai dampak negatif terhadap anak dari keluarga dengan orangtua tunggal adalah munculnya kenakalan remaja dan kecenderungan melakukan hubungan seks pada usia dini. Ketidakhadiran salah satu orangtua berpotensi memicu stress dan perasaan tidak stabil serta inferiority (rasa rendah diri) pada anak, yang kemudian membangkitkan berbagai bentuk kenakalan sebagai kompensasi untuk memenuhi perasaan tidak lengkap di dalam dirinya.  Sebuah penelitian di Amerika Serikat membandingkan kehidupan seks seribu anak remaja usia 14 tahun yang dibesarkan tanpa ayah. Sebanyak 63,2% mengaku telah melakukan hubungan seks pada usia dini. Pada masa remaja, anak laki-laki memasuki fase pueral  (dari kata “puer” yang berarti laki-laki) di mana mereka mengalami perubahan besar yakni meningkatnya hormon seksualitas dan berkembangnya organ-organ seksual serta reproduksi. Juga muncul kebutuhan atau keinginan kuat untuk memisahkan diri dari orangtua dan membentuk kelompok sendiri dengan berbagai rahasia dan keunikan di dalam kelompoknya. Ketika mengalami kesulitan, anak-anak remaja dari orangtua tunggal cenderung bercerita kepada teman dekatnya, bukan kepada orangtuanya. Sumber-sumber bantuan yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasinya adalah keteladanan hidup orangtua tunggal, peran sistem keluarga besar (extended family system), komunikasi yang tepat antara orangtua tunggal dan anak, pendidikan seks pada usia dini, pembelajaran iman sejak dini, katekese khusus anak-anak dari orangtua tunggal, dan pengalaman berjumpa dan membangun relasi dengan role model orangtua seperti paman, bibi, guru, pemuka agama yang dapat dipercaya.  ALLAH ADALAH SEKALIGUS AYAH DAN IBU Tidak utuhnya orangtua dalam sebuah keluarga juga mempengaruhi proses identifikasi dalam pencarian jati diri, relasi-relasi sosial, dan perkembangan iman anak-anak mereka. Dalam hidup doa misalnya, ada sebuah kecenderungan bahwa anak-anak yang tidak mengalami kasih sayang ayahnya menjadi sulit menghayati Allah sebagai Bapa dan anak-anak yang kurang mengalami kedekatan dengan ibunya sulit menghayati Allah sebagai Ibu atau tidak tertarik untuk berdevosi kepada Bunda Maria. Karena keluarga adalah seminari pertama untuk anak maka penghayatan iman perlu dimulai dari orangtua. Proses kehilangan dan pemulihan membutuhkan formasi kehidupan batin yang baik di pihak orangtua tunggal. Kerja sama Hagar, Maria, dan janda di Nain masing-masing dengan rahmat Allah melalui para utusan-Nya membuahkan kehidupan iman yang matang di mana para orangtua tunggal dan anak-anak mereka hidup berkenan kepada Allah.  Allah selalu disebut sebagai Bapa dan Yesus disebut sebagai Putera yang kedua-duanya berjenis kelamin laki-laki. Bagaimana anak-anak yang tidak mengalami figur ibu dapat menangkap gambaran Allah sebagai Ibu? Roh yang menyatukan Allah Bapa dan Allah Putera memuat sifat dan karakteristik feminin dalam banyak ungkapan seperti Bapa penuh kasih sayang, Allah Maharahim, Allah Pengasih dan Penyayang, Yesus yang manis dan lemah lembut, Allah Pemelihara Kehidupan, dan sebagainya. Roh Kudus adalah dimensi feminin Allah Tritunggal sehingga kita dapat menyapa Allah sebagai Bapa dan Ibu bagi semua orang beriman. Gereja juga disebut sebagai Ibu yang memberi kita kelahiran baru melalui Sakramen Baptis. Kata ganti subjek ketiga untuk Roh Kudus dan Gereja dalam teks-teks bahasa Inggris adalah “She” (dia, perempuan), bukan “He” (dia, laki-laki). TANGGUNG JAWAB BERSAMA Banyak institusi memanfaatkan tiga tahap akhir perkembangan psikososial yang ditawarkan Erikson, sebagai titik tolak untuk membantu para orangtua tunggal melakukan rekonstruksi terhadap makna dan nilai-nilai kehidupan sehingga dapat berproses dengan baik dari tahap kehilangan menuju pemulihan yang efektif serta produktif. Tiga tahap tersebut adalah Intimasi (dalam cinta), Generativitas (dalam pekerjaan), dan Integritas (dalam spiritualitas).    Selain itu, keluarga sebagai persekutuan hidup dan cinta perlu mengembangkan self supporting agar makna dan nilai-nilai kehidupan dapat dihayati secara kreatif dan bertanggung jawab oleh semua anggota keluarga dengan orangtua tunggal. Dalam Marriage Encounter (ME) ada sebuah metode yang disebut Deeper Dialogue, yaitu metode yang terdiri atas lima langkah dengan tujuan membangun relasi yang produktif dan lebih akrab. Lima langkah tersebut adalah saling mengomunikasikan mengenai 1) bagaimana perasaanku, 2) bagaimana pikiranku, 3) bagaimana sikap dan perilaku, 4) kebutuhan apa yang sedang aku kejar, dan 5) bagaimana saya menangani kebutuhan tersebut. Deeper Dialogue bukan hanya bermanfaat bagi pasangan suami-isteri melainkan dapat sungguh efektif bila dilakukan oleh orangtua tunggal bersama anak-anak mereka. Tanggung jawab membangun relasi yang positif bukan melulu berada di pundak orangtua tunggal, namun sejak dini perlu diperkenalkan kepada anak dan diajarkan sebagai tanggung jawab bersama.

Feature

Hidup adalah Pesta harus Dirayakan!!

Single parent, sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehku. Pasanganku seorang eksekutif muda yang bekerja di luar negeri. Kami menikah bulan Februari tahun 2004. Setelah sebulan menikah, ia kembali lagi ke luar negeri untuk bekerja dan aku sudah hamil. Namun setelah beberapa bulan, aku kehilangan kontak dengan dia dan keluarganya walaupun sebenarnya tidak ada masalah di antara kami. Akhirnya aku memutuskan untuk fokus pada kehamilanku. Aku menukar kemarahan dan kejengkelanku untuk menyiapkan kelahiran dengan terus berdoa agar diberi kekuatan dan memaafkan yang sudah terjadi. Aku memutuskan untuk melahirkan di Jogja, di kota kelahiranku, ditemani oleh kedua orang tuaku. Dan anakku pun lahir ke dunia, seorang bayi laki-laki tampan yang kunanti selama ini. Setelah tiga bulan menemani bayi mungilku, aku kembali mengadu nasib ke Jakarta dan kembali menjadi wartawan. Anakku kutitipkan kepada kedua orang tuaku di Jogja. Selama tujuh tahun, dengan naik pesawat atau juga kereta api kelas ekonomi, setiap akhir pekan aku pulang pergi Jakarta-Jogja untuk menemui buah hatiku. Saat bertemu dengan anakku, rasanya semua rasa lelah karena perjalanan, bekerja, dan kuliah terbayarkan.   Aku sering meminta izin kepada kedua orang tuaku untuk membawa anakku ke Jakarta dan  tinggal bersama denganku namun mereka tidak pernah memperbolehkannya karena aku belum memiliki tempat tinggal sendiri. Suatu hari ada seorang teman menawariku apartemennya yang akan ia jual karena tidak cukup luas untuk ditinggali bersama keluarganya. Akhirnya, aku memutuskan untuk membeli apartemen itu. Aku pun kembali meminta izin kepada orang tua untuk membawa anakku tinggal di Jakarta, namun tetap saja tidak diperbolehkan karena aku belum memiliki pasangan. Di umurnya yang menginjak tujuh tahun, anakku belum bisa membaca dan menulis sampai orang tuaku bingung mengatasinya. Akhirnya aku meminta izin kembali untuk membawa anakku tinggal bersamaku di Jakarta agar aku bisa mengajarinya membaca dan menulis. Kali ini mereka mengizinkannya. Dalam waktu sebulan anakku sudah bisa membaca dan menulis. Bukan hal yang mudah menjadi seorang single parent. Ada banyak tantangan yang harus dilalui. Salah satunya adalah ketika anak baru berusia tiga tahun, ia bertanya, “Aku gak punya ayah ya?” Hal yang berat untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya terjadi ketika dia masih kecil. Namun aku mencoba jujur dari awal untuk menceritakan bagaimana kondisi sebenarnya. Selain itu, ada rasa yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata ketika menatap anak yang melihat temannya dijemput atau bermain dengan ayahnya. Anakku sepertinya merindukan sosok ayah dalam hidupnya. Namun aku selalu berusaha untuk mengajak dia bermain atau melakukan sesuatu untuk mengalihkan kerinduannya kepada sosok ayah.  Tantangan tidak hanya datang dari anakku saja, namun juga dari orang-orang sekitar. Terlepas dari semua itu aku memiliki prinsip bahwa segala sesuatu hal yang dibicarakan di belakangku aku anggap tidak ada. Jika memang membutuhkan penjelasan atau tidak nyaman denganku silakan berbicara langsung di depanku. Toh, sampai berapa lama mereka akan bertahan dan membicarakan aku. Dan aku beruntung berada di lingkunganku yang respek dengan kondisiku sebagai seorang single parent. Ketika aku mendaftarkan dia sekolah, aku menceritakan statusku yang single parent dan meminta pihak sekolah untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap anakku. Dan aku mengajarkan ke anakku bahwa proses dan kejujuran dalam mengerjakan sesuatu lebih penting daripada hasil. Nah, waktu itu anakku mendapatkan nilai 2,5 untuk ulangan matematikanya. Saat aku tanya, ia jawab bahwa itu sudah naik karena sebelumnya hanya mendapat nilai 2 dan bahkan temannya ada yang mendapat nilai di bawahnya. Ia menggarisbawahi bahwa ia telah mengerjakan ulangan dengan jujur. Menurutku jawabannya keren meskipun dalam hati  aku merasa geli.  Sejak ia masih kecil aku selalu berpesan kepadanya bahwa sekolah menyenangkan atau tidak menyenangkan tergantung bagaimana kita menikmati dan menjalaninya. Karena di sekolah bukan bagaimana kita mencari nilai, tidak harus pintar di pelajaran ini atau itu. Yang terpenting adalah kita bisa menikmati proses belajar, berteman, dan membentuk karakter. Dari situ, ia mulai menentukan sendiri di mana ia akan bersekolah dan mengurus sendiri semua kebutuhan untuk mendaftar sekolah. Dalam hal pendidikan iman Katolik, aku merasa belum begitu maksimal dalam mendampingi anakku. Sejak kecil dia didampingi oleh orangtuaku, diajak ke gereja, diajari berdoa secara Katolik, dan juga bersekolah di sekolah Katolik. Dan ini menjadi PR besar untuk mengajak anak berdiskusi mengenai agama, kemanusiaan, dan berbuat baik. Sejauh ini aku menanamkan hal baik untuk anakku dan dia mau menerima walaupun terkadang kami harus beradu pendapat. Proses menjadi orang tua bukanlah menjadi hal yang mudah karena harus terus-menerus belajar. Cara mendampingi anak pun akan berubah sejalan dengan tahap pertumbuhan mereka. Ketika masih kecil, kita mungkin bisa mendikte mereka, namun ketika mereka menjadi remaja, maka kita belajar untuk menjadi teman mereka. Dan keluarga kudus merupakan sebuah gambaran perjalanan hidup yang penuh kepasrahan yang bukan berarti lemah dan tidak melakukan apa-apa. Mampu pasrah untuk kemudian bangkit kembali. Ini seperti kisah Bunda Maria yang dalam kondisi hamil harus berjalan jauh ditemani Yusuf suaminya. Mereka ditolak di penginapan dan akhirnya Maria harus melahirkan di kandang. Sebuah kepasrahan yang luar biasa yang dimiliki oleh Bunda Maria dan Yusuf. Mereka percaya bahwa ini jalan yang harus mereka tempuh. Yesus lahir di kandang namun kelahirannya disambut para malaikat dan gembala. Seperti halnya hidup, apapun yang menimpa kita, baik suka maupun duka, patutlah untuk dirayakan. Emmy Kuswandhani – Single Mother