Pilgrims of Christ’s Mission

serikat yesus

Provindo

Latihan Rohani: Panduan Cara Doa dan Cara Hidup St. Ignatius Loyola (2)

Berbagi Cara Hidup Jika kita memperhatikan hakikat, isi, dinamika, proses, dan asal usulnya, Latihan Rohani adalah sharing pengalaman St.Ignatius dalam perjalanan rohaninya. Kita memahami dan mengalami bahwa Latihan Rohani merupakan penerusan pengalaman rohani St. Ignatius yang tidak hanya menyajikan cara berdoa tetapi juga cara hidup. Diwariskan olehnya pembelajaran dan cara-cara untuk mempersiapkan jiwa serta menyediakan hati supaya orang bersih dari rasa lekat tidak teratur yang menghambat kerja Rahmat Tuhan, keselamatan jiwa, serta rahmat-rahmat lain yang menyertainya (LR 1). Berkenaan dengan Latihan Rohani sebagai sarana untuk membangun disposisi jiwa, mengingat biasanya seseorang tidak memulai dari nol, Latihan Rohani akan menjadi efektif serta berjalan dan menghasilkan buah ketika didukung oleh persiapan berkenaan dengan hal-hal mendasar. Misalnya, membiasakan diri dalam keheningan dan doa batin (lectio divina, meditasi, kontemplasi dan examen conscientiae) serta wawasan Kitab Suci dan mengakrabinya, mengingat bahan utama Latihan Rohani adalah misteri-misteri hidup Kristus.   Demikian yang ditegaskan di nomor pertama sebelum semua proses latihan rohani dijalankan lengkap dengan pelbagai kemungkinan adaptasinya. Dari segi bentuk dan cara berdoa, Latihan Rohani mencakup banyak hal. Hal penting yang ditegaskan oleh St. Ignatius dari pelbagai bentuk latihan rohani adalah fungsinya, membantu membangun disposisi hati untuk rahmat Tuhan. Karena itu, tidak sulit untuk memahami kebenaran makna latihan rohani yang diperluas pemaknaannya dan menjangkau praksis hidup.   “Yang dimaksud dengan kata latihan rohani ialah setiap cara memeriksa hati, meditasi, kontemplasi, dan doa lisan atau batin, dan segala aktivitas rohani lainnya, seperti yang akan dikatakan kemudian. … semua cara mempersiapkan jiwa dan menyediakan hati untuk melepaskan diri dari segala rasa lekat tidak teratur dan setelah itu, mencari dan mendapatkan kehendak Ilahi dalam hal mengatur hidup, guna keselamatan jiwanya” (LR 1).   Sebagai sharing, adalah jelas bahwa St. Ignatius telah mengalami dulu apa yang ditulis di dalam Latihan Rohani. Lebih daripada itu, St. Ignatius telah menggunakannya untuk membantu orang lain, baik akhirnya orang-orang tersebut bergabung serta bersamanya mendirikan dan menjadi anggota Serikat, seperti misalnya St. Fransiskus Xaverius dan St. Petrus Faber, maupun membantu memperjelas dan memperkuat untuk berkomitmen terhadap panggilan pribadinya. Dalam Serikat Jesus selanjutnya Latihan Rohani menjadi cara untuk merekrut para anggota baru. Setelah Serikat dibubarkan pada 21 Juli 1773 oleh Paus Klemens XIV dengan bulla Dominus ac Redemptor, dan kemudian direstorasi serta dikembalikan lagi oleh Paus Pius VII pada 7 Agustus 1814 dengan bulla Sollicitudo omnium Ecclesiarum, pelan-pelan Serikat dilahirkan kembali dan dibangun lagi dengan pondasi dasar Latihan Rohani. Para Jesuit yang menghilang selama masa Serikat “tidak ada” dan mau kembali lagi, langkah pertama yang dilakukan adalah menjalani Latihan Rohani. Boleh jadi, dalam hal ini kita bisa berkata, Serikat bisa dibubarkan tetapi Latihan Rohani sebagai rahim yang melahirkannya tidak pernah mati dan bisa dimatikan.   Membangun Disposisi Batin Dari keterangan apa itu Latihan Rohani (LR 1), ditegaskan pentingnya menyiapkan hati. Selanjutnya bisa dimengerti, ibarat seorang petani, dalam satu arti latihan rohani adalah bagian menyiapkan tanah supaya siap untuk ditaburi benih-benih rahmat Tuhan dan ditanami pelbagai jenis tanaman. Dalam proses itu ada saatnya menghancurkan batu-batu kecil dan menggemburkan tanah. Namun demikian juga ada saatnya sekedar mengaturnya supaya tidak menghambat penanaman dan proses tumbuh. Ketika memang ada batu besar yang tidak bisa dihancurkan dan diubah menjadi tanah, Latihan Rohani membantu meletakkan pada tempatnya dan tidak membodohi diri atau menghibur diri mengatakan bisa mengubah batu menjadi tanah subur. Dalam hal ini, Latihan Rohani membantu mengenal dan menerima diri lalu berjalan dengan menjadi optimal dalam segala keterbatasannya. St. Ignatius bahkan secara istimewa bisa menerapkan hal ini kurang lebih saat membimbing St. Petrus Faber. Pelbagai kelemahan disposisi psikologisnya ditata sehingga melalui Latihan Rohani dengan persiapan lebih dari tiga tahun, St. Petrus Faber terbantu menjadi pemberi Latihan Rohani terbaik menurut St. Ignatius (bdk. L. A. Sardi, S. J., Jesuit Magis, Pengalaman Latihan Rohani 6 Jesuit Awal, Kanisius, 2023, “Pengalaman Latihan Rohani Petrus Faber, 133-150).   Dalam usaha membangun disposisi ini, salah satu kunci yang penting adalah habituasi, pembiasaan untuk terus membuatnya sehingga tanah yang tidak subur menjadi subur, tanah yang subur dijaga kesuburannya dan dikembangkan. Itulah mengapa Serikat Jesus mewajibkan para anggotanya untuk menjalani Latihan Rohani tahunan selama 8 hari serta banyak sahabat yang terbantu dan terinspirasi oleh spiritualitas Ignatian melakukan retret periodik yang sama dengan pelbagai adaptasinya.   Latihan Rohani untuk membangun disposisi batin ini perlu dimaknai dan ditempatkan juga di dalam proses perjalanan hidup rohani. Karena itu, disposisi tersebut adalah disposisi yang dinamis dan bergerak maju. Disposisi yang terbangun untuk rahmat Tuhan akan membentuk disposisi batin selanjutnya untuk rahmat-rahmat Tuhan berikutnya. Inspirasi ini terkandung di dalam semangat magis (lebih) Ignatian.   Bersama Pembimbing Dalam semua itu, berkenaan buku Latihan Rohani, St. Ignatius telah menjalani lebih dulu dan selanjutnya menggunakannya untuk membantu yang lain dengan bantuan pembimbingnya. Artinya, dalam latihan rohani, salah satu yang juga disyaratkan adalah adanya bantuan pembimbing. Bukan karena Tuhan tidak bisa bertindak langsung tetapi oleh karena yang terjadi di dalam latihan rohani adalah proses olah batin, tepatnya mencermati gerak-gerak roh, diperlukan orang lain untuk membantu menguji, meluruskan maupun menambah wawasan. Secara faktual dan tradisional juga jelas, yaitu bahwa pada dasarnya seperti kelihatan di dalam catatan-catatan pendahuluan Latihan Rohani (1-20), buku kecil ini memang dirancang untuk pembimbing latihan rohani atau dalam Bahasa Spanyol untuk yang memberi bahan-bahan (el que da). Ungkapan ini memuat kebenaran bahwa Latihan Rohani akan menjadi lebih optimal buah-buahnya ketika dijalankan bersama seorang pembimbing.   Pada pengalaman St. Ignatius, peranan pembimbing itu dialami sejak awal pertobatannya, terutama ketika di Montserrat. Untuk pertama kalinya St. Ignatius mengungkapkan pengalaman batinnya dan rencana hidup baru pertobatannya. Ketika itu, pembimbingnya adalah seorang rahib benediktin dan lebih daripada sekadar bimbingan, St. Ignatius mengalami diperluas wawasan rohaninya karena diperkenalkan dengan buku-buku tradisi rohani zamannya, yaitu Devotio Moderna (Bdk. Autobiografi 13-18). Selanjutnya ketika berada di Manresa dengan pergulatan rohaninya yang intens, St. Ignatius dibimbing oleh seorang dominikan dan seperti kita ingat, terutama di dalam keterpilihannya sebagai Jenderal di Roma, St. Ignatius dibimbing oleh seorang Fransiskan. Mengingat di dalam Latihan Rohani seseorang juga menjalankan diskresi, kehadiran pembimbing juga berperan membantu objektivasi pengalaman diskresi.   Penutup Bila kita menempatkan Latihan Rohani sebagai buku istimewa bagi Serikat Jesus dan para anggotanya serta menjadi sarana yang melaluinya

Provindo

Mencintai Dia dalam Segala

Mencintai Dia dalam Segala merupakan hasil refleksi bersama dari ketiga novis yang mengucapkan kaul pertama dalam Serikat pada 24 Juni 2024 ini. Ketiga novis yang mengucapkan kaul pertama adalah Fr. Albert Aryasatya Ray Raja, nS.J.; nS Fr. Fransiskus Xaverius Satrio Nugraha, nS.J.; dan Br. Yosef Marternus, nS.J. Kaul pertama ini diselenggarakan di kapel La Storta Novisiat St. Stanislaus Girisonta pukul 10.00 WIB dalam perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Provinsial Pater Benedictus Hari Juliawan, S.J.; Superior Komunitas Kolese Santo Stanislaus Kostka, Pater Hilarius Budiarto Gomulia, S.J; dan Magister Novisiat, Pater Petrus Sunu Hardiyanta, S.J. serta dihadiri oleh keluarga, para Jesuit, dan tamu undangan.   Dalam homilinya, Pater Benny menyampaikan bahwa para novis telah ditangkap oleh Yesus. Seperti dalam bacaan hari itu Yesus menangkap Paulus dan Petrus, hingga akhirnya mereka menyerahkan diri mereka untuk mengikuti Yesus, seperti para novis yang mengucapkan kaul pertama ini. Dalam masa formasinya para novis sudah berubah banyak dibandingkan dengan ketika awal mereka datang. Setelah ini mereka akan diutus serta akan menghadapi banyak gangguan yang bisa membuat mereka kehilangan fokus dan daya ubahnya. Pater Benny mengingatkan mereka bahwa kaul ini adalah bekal yang akan membantu para novis dalam mengemban tugas yang baru serta mempertahankan api yang sudah membakar selama ini. Kaul ini akan menemani dan menjadi senjata untuk melawan distraksi. “Kaul yang akan kalian ucapkan adalah alat yang akan membantu untuk mengemban tugas ini. Pertahankan api yang sudah membakar kalian untuk membantu menghadapi kesulitan. Kaul ini juga menjadi sarana kalian untuk diubah. Jadi, ini bukan akhir melainkan awal dari perjalanan. Kalian dibekali oleh kaul-kaul ini untuk melawan segala distraksi.”   Setelah Ekaristi, keluarga, para Jesuit, dan tamu undangan diajak menikmati jamuan makan sederhana. Selanjutnya, Frater Albert dan Frater Tio mendapat perutusan melanjutkan ke jenjang formasi filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, sedangkan Br Yosef diutus untuk belajar katekese di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan tinggal di Kolese Santo Ignatius, Kotabaru. Mari kita berdoa agar mereka sungguh-sungguh dituntun oleh Roh Kudus untuk menjadi rasul-rasul-Nya. Selamat melanjutkan masa formasi agar semakin mencintai Dia dalam segala.    Kontributor: Margareta Revita – Tim Komunikator Jesuit Indonesia

Karya Pendidikan, Provindo

Dialog Memperdalam Fondasi Iman Abad 21

Discernment Sekolah-sekolah Jesuit 2024 Discernment dalam Pendidikan Jesuit terus berjalan dan tidak berhenti. Kesadaran bahwa dunia juga bergerak menyebabkan sekolah-sekolah Jesuit sadar akan pentingnya discernment bersama untuk terus membaca tanda-tanda zaman guna memunculkan kreativitas dan inovasi yang lebih mendalam dalam karya pendidikan. Tahun ini, discernment dalam dunia pendidikan Jesuit mewujud dalam momen pertemuan yang diberi nama II Seminar JESEDU-Jogja2024. Catatan ini hanyalah highlight dari discernment yang berjalan lima hari sehingga siapapun yang membaca menyadari bahwa sekolah-sekolah Jesuit terus menerus ber-discernment.   II Seminar JESEDU-Jogja2024 Selama satu minggu, perhelatan besar untuk Pendidikan Jesuit Global terjadi di Yogyakarta. II Seminar JESEDU-Jogja2024 merupakan acara internasional lanjutan dari II Colloqioum JESEDU-Global2021 dalam siklus pertemuan internasional sembilan tahunan untuk proses discernment perkembangan pendidikan di sekolah-sekolah kita. Peserta seminar kurang lebih seratus sepuluh orang Jesuit dan awam dari berbagai negara yang merupakan perwakilan dari enam konferensi. Kegiatan ini dilaksanakan pada Senin, 24 Juni – Jumat, 28 Juni 2024 di Kolese John de Britto Yogyakarta. Peserta dari Indonesia sendiri ada dua puluh orang yang merupakan perwakilan dari setiap kolese kita dan didukung kurang lebih seratus panitia lokal dari Kolese de Britto dan dari kolese yang lain.   Ada tiga pertemuan akbar yang diadakan oleh ICAJE (International Commission on the Apostolate of Jesuit Education), dimana Pater L.E.B. Winandoko, S.J. menjadi salah satu anggotanya, yaitu Seminar, Congress, dan Colloquium. ICAJE sendiri adalah komisi yang dibentuk untuk membantu Sekretaris Pendidikan Global Serikat Jesus yang saat ini dijabat oleh Pater Alberto Jose Mesa, S.J. Pater Mesa sekaligus sebagai ketua dari ICAJE ini. Putaran pertama untuk pertemuan akbar itu telah selesai: I Colloquium dilaksanakan di Boston pada tahun 2012, I Seminar diadakan di Spanyol pada tahun 2014, dan I Congres diadakan di Brazil pada tahun 2017. Putaran kedua yang kemudian diberi nama II Colloquium seharusnya dilaksanakan di Jogja tetapi karena pandemi maka acara itu tidak terjadi dan dilakukan secara online. II Colloquium JESEDU-Global2021 dilaksanakan secara online. Tahun ini dilaksanakan seminar dengan nama II Seminar JESEDU-Jogja2024. Indonesia menjadi tuan rumah.   Dalam pertemuan yang berlangsung selama satu minggu ini, para peserta membicarakan hal-hal terkait bagian pertama dari sepuluh identitas Sekolah Jesuit (dalam buku Jesuit Schools; A Living Tradition in the 21th Century yang diterbitkan tahun 2019) yaitu tentang Educating for Faith in the 21th Century. Empat tujuan utama dari seminar ini adalah: memperjelas tempat Spiritualitas Ignasian dalam proses pembentukan iman bagi siswa dan pendidik; mempromosikan pembentukan iman yang mendalam dalam konteks dialog antaragama dan multi-religi dalam menjalankan misi keadilan dan rekonsiliasi; memperjelas makna Sekolah Katolik atau Jesuit yang melayani Injil dan Gereja dalam konteks masa kini; dan identifikasi tantangan dan peluang pendidikan iman dalam konteks fundamentalisme sekular atau agama.     Pesan Pater Jendral Pater Jendral Arturo Sosa, S.J. tidak bisa hadir secara langsung dalam pertemuan ini. Beliau hadir secara virtual. Beliau menyampaikan beberapa pesan untuk para peserta Seminar ini. Ada tiga kutipan transkrip dari pesan Pater Jendral yang sungguh mengena bagi para peserta. Yang pertama adalah kesadaran mengenai konteks pendidikan Jesuit saat ini. Pater Jendral menyampaikan:   “Hari ini, kita sadar bahwa dunia kita dan juga sekolah-sekolah kita menjadi lebih beragam daripada sebelumnya dalam hal agama dan budaya. Banyak sekolah kita bekerja dalam konteks yang sebagian besar non-Katolik atau bahkan non-Kristen. Kita percaya bahwa hal ini membuat pendidikan kita lebih relevan karena memberikan kesaksian tentang kabar baik yang dibawa ke dunia oleh Kristus.”   Yang kedua terkait dengan dialog antaragama. Pater Jendral mengajak peserta seminar untuk melakukan dialog antaragama yang juga merupakan perutusan Gereja dan mimpi Paus Fransiskus. “Dialog antaragama adalah karya yang diinginkan oleh Tuhan, elemen integral dari misi penginjilan Gereja, yang menemukan ungkapan dalam pelayanan iman dan penegakan keadilan. Sekolah-sekolah kita hari ini dipanggil untuk menjadi jembatan apostolik antara keberagaman yang indah dan pemberian Tuhan serta iman kita. Mereka harus membantu kita mewujudkan mimpi Paus Fransiskus yang sejati. Marilah kita bermimpi, sebagai satu keluarga manusia, sebagai sesama peziarah yang berbagi makanan yang sama sebagai anak-anak bumi, yang merupakan rumah kita bersama.” Yang terakhir, Pater Jendral berharap bahwa seminar kali ini memberikan panduan untuk sekolah-sekolah Jesuit supaya mampu memberi perhatian terhadap formasi iman bagi para siswa. “Seminar ini harus memberikan beberapa panduan bagi sekolah-sekolah kita tentang bagaimana kita mampu menghormati fondasi ini sebagai sekolah-sekolah Katolik Jesuit yang didedikasikan untuk pelayanan Injil dalam konteks kita yang semakin multi religi dan multi keyakinan. Spiritualitas Ignasian kita memberi alat dan sumber daya penting untuk membedakan bagaimana kita dapat menjawab tantangan hari ini. Memang, tradisi hidup pendidikan kita mengundang kita semua untuk mencari dan menemukan apa yang paling sesuai dengan waktu dan konteks. Karena dunia dan masyarakat kita terus berkembang, ini adalah suatu discernment berkelanjutan yang tidak pernah berakhir. Sekolah-sekolah kita harus menciptakan ruang-ruang pertemuan yang menjadi saksi nyata bagi kabar baik dan membangun kekayaan yang merayakan akar-akar kebersamaan dan menghormati keberagaman. Ini berarti bahwa kita tidak menyembunyikan identitas kita. Sebaliknya, kita harus memperkuatnya sebagai sahabat sejati dalam misi rekonsiliasi dan keadilan di dunia kita saat ini.” Walaupun Pater Jendral tidak bisa hadir, tetapi semangat dan pesannya membawa kobaran dalam hati para peserta.     Metodologi Discernment Persiapan pertemuan ini sudah berlangsung sangat lama. Pater E. Baskoro Poedjinoegroho, S.J. sebagai penanggung jawab seminar ini mempersiapkan acara ini sejak tiga tahun yang lalu. Pertemuan-pertemuan dilaksanakan. Pak Widi Nugroho, guru SMA Kolese de Britto, menjadi ketua panitia dari acara ini. Salah satu yang menarik adalah bagaimana metodologi dari seminar ini dibuat.   Bukan hanya tema seminar yang menarik, tetapi juga bagaimana seminar ini diatur sedemikian rupa sehingga unsur doa dan discernment bisa berjalan. Salah seorang peserta mengatakan bahwa seminar ini bukan seperti seminar tetapi lebih menyerupai retret. Pada saat evaluasi akhir Pater Jose menyampaikan satu kalimat yang mengesan: “We talk a lot about discernment, but we do a little about discernment.” Kalimat ini adalah alarm bagi kita yang sering mengatakan banyak hal tentang discernment.   Terkait dengan hal ini, saya menyoroti lima hal penting yang selalu ada dalam acara ini. Yang pertama adalah peran moderator. Pater Jose menunjuk empat moderator dari berbagai negara. Penunjukan ini sesuai juga dengan bahasa yang dipakai dan juga mempertimbangkan keragaman peserta. Para moderator mendapatkan coaching singkat sebelum

Feature

Hidup Baru

Daerah Istimewa Yogyakarta kerap dinilai sebagai kota sejuta kenangan. Satu album kisah akan terus diceritakan dengan bangga kepada orang-orang di manapun berada. Kota ini terus bergerak, seakan tidak ada kisah mata tertutup beristirahat. Kadang, Yogyakarta menjadi pelarian semua insan mencari sejuta kebahagiaan. Banyak pribadi mengisi hidup memanjakan mata di berbagai tempat wisata, mempelajari sejarah memukau, menikmati enaknya varian kuliner, dan mencari banyak teman dari segala sudut Indonesia. Banyak pula rela meninggalkan keluarga sejenak di jauh sana untuk mengejar ilmu dan sejuta impian. Hidup baru terus terjadi di kota Yogyakarta.   Pengalaman semacam itulah yang dicari. Boleh aku katakan, salah satu pengalaman indah adalah pengalaman di Realino SPM. Sejarah hidupku di Realino memang dimulai demi pemenuhan syarat di kampus, tugas pengabdian sosial. Aku dan keempat teman lainnya menemukan kom unitas yang kami yakini Realino SPM adalah ruang perjumpaan yang memberi fasilitas melibatkan diri ke situasi jarang terjamah. Tempat ini menjadi ruang yang terus mengajarkan siapa saja tentang arti kehidupan.   Perjalanan kisahku di Realino aku buka dengan satu nasihat rohani tercatat di buku lama, Alkitab. Bunyinya demikian: “Kalau seseorang berkata, ‘aku mengasihi Allah’, tetapi membenci saudaranya, berarti dia berbohong. Orang yang tidak mengasihi sesama manusia yang kelihatan tidak mungkin bisa mengasihi Allah yang tidak kelihatan” (1 Yohanes 4:20). Tidak perlu lama duduk merenung memahami makna dari nasihat suci ini. Namun, butuh banyak hal perlu dilakukan untuk mewujudkannya. Perjumpaan dengan adik-adik dampingan Realino SPM mengajarkanku menghidupi kasih kepada Allah yang sesungguhnya.   Adik-adik dari Komunitas Belajar Realino, baik di Bongsuwung maupun di Jombor, banyak memberi coretan makna padaku. Tidak pernah terpikir olehku sebelumnya, mempunyai waktu bagi mereka yang tinggal di kanan-kiri jalur kereta api. Tidak banyak waktu kami bersama, hanya dua jam dari dua puluh empat jam sehari yang kupunya. Namun, dua jam itu sanggup memberi banyak perubahan. Banyak cerita bisa aku sampaikan di kesempatan lain, mungkin tidak dalam tulisan singkat ini. Cerita-cerita itu menarik, yang jika diceritakan tidak cukup di atas selembar kertas. Kali ini aku hendak membagikan beberapa kisah-kasih dari perjumpaan dengan adik-adik di Bongsuwung. Kata pertama memulai cerita adalah: lelah.   Rasa lelah menjadi bagian perjalanan kisahku selama menjadi volunteer Realino SPM. Setiap perjumpaan memiliki lelahnya masing-masing. Pengalaman memori indah adalah ketika aku membantu proses belajar di Bongsuwung. Udara kota pukul satu siang saat itu sangat tidak dapat ditoleransi. Panas sekali, kipas di ruang pertemuan pun rasanya tidak kuasa membantu. Rangkaian kegiatan yang sudah direncanakan dimulai. Saat itu aku mendapatkan tugas sesi dinamika, gerak-lagu, dan game.   Aku yang ekstrovert merasa hal itu bukan soal besar. Mudah bagiku mencari ide. Ide kudapatkan, tinggal energi perlu dipersiapkan. Hal ini disebabkan energi adik-adik di sana sungguh luar biasa. Boleh aku katakan melampaui batas? Sangat boleh. Suaraku kerap kalah dibandingkan riuh suara mereka. Kerap instruksi yang aku berikan tidak tersampaikan jelas karena mereka memilih bermain dan berteriak sendiri. Panas, lelah, sekaligus emosi terkadang perlu aku kontrol dengan baik. Untunglah, teman-teman volunteer lainnya berkolaborasi baik. Kami saling membantu, mendukung, dan melengkapi. Mereka luar biasa hebat.   Kendati demikian, pengalaman penuh berkat jauh lebih banyak aku dapatkan. Pengalaman yang tidak pernah kulupakan adalah ketika aku bersama volunteer lainnya menjemput beberapa anak yang tidak hadir untuk belajar. Pada Sabtu siang itu, adik-adik yang hadir di ruang belajar hanya sedikit. Tidak tahu apa yang menjadi alasan mereka, yang jelas bahwa ini bukan fenomena biasa. Apakah karena mager (malas gerak)? Inilah spesialnya menjadi volunteer Realino, tidak hanya mengajar namun menjadi teman dengan mencari mereka. Aku dan beberapa volunteer lainnya menjemput ke rumah-rumah mereka. Dengan cara itulah mereka mau datang ke Komunitas Belajar Realino.   Aku terhenyak. Momen itu menjadi penyedap refleksiku hari itu. Aku bisa menyaksikan langsung keadaan tempat tinggal mereka. Hidup di lingkungan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Rumah relatif seadanya. Aku baru sadar celotehan salah satu adik di sana, awalnya aku kira sebatas candaan. “Boro-boro hiasan dinding mas-mas, rumah aja dari kardus!” Kalimat kemudian baru sungguh aku sadari maksudnya. Aku sadar karena datang dan melihat. Sejak hari itu, aku mulai merenungkan sesuatu yang fundamental. Pertanyaan sederhana sekali, mendasar, tapi selalu dilupakan setiap insan karena terlalu nikmat menjalani keseharian nyaman. Apa itu hidup bagiku dan Anda?   Aku selalu bertanya, apa makna hidup bagi mereka? Dalam situasi ini, bukan perkara mudah menemukan makna. Makna dalam yang membawa mereka pada proses terus menjalaninya. Mungkin saja mereka tidak bisa membahasakan makna hidup. Akan tetapi makna itu sungguh tertanam dan berbuah pada perjuangan sesungguhnya. Sebagaimana judul di atas, hidup baru. Bagiku hidup adalah suatu pembaruan terus-menerus. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi sepersekian detik kemudian. Hal yang kita tahu adalah saat ini, masa depan adalah rencana. Hidup itu dinamis, terus berubah. Manusia hanya bisa berharap perubahan itu terjadi ke arah lebih baik.   Aku sungguh sadar, keberadaanku di tengah-tengah komunitas Realino SPM adalah berkat. Aku mengenal banyak saudara dari berbagai sudut Indonesia. Aku terlibat menyusun asa adik-adik di Komunitas Belajar Realino di Bongsuwung-Jombor agar memiliki sejuta harapan dan semakin yakin pada keterlibatan Allah dalam setiap asa yang diperjuangkan.   Kontributor: Fr. Marcelinus Wahyu Setyo Aji, SCJ – volunteer Realino SPM

Penjelajahan dengan Orang Muda

Aku Melayani-Mu

Magis Immersion Experiment 2024: Saat berjalan memasuki Kolese Hermanum, tempat pembekalan sebelum terjun ke tempat Immersion, berbagai perasaan muncul dan memenuhi diri. Ada rasa takut, khawatir, tertantang, dan setengah hati karena long weekend ini mestinya bisa dipakai untuk liburan. Wajar apabila berbagai perasaan itu muncul karena ruang bernama zona nyaman harus ditinggalkan untuk melakukan immersion, masuk ke dalam pengalaman orang-orang kecil, lemah, dan miskin di kota Jakarta. Sejenak hiruk-pikuk kehidupan ditinggalkan untuk ikut melihat, merasakan, memahami, dan berpikir seperti orang-orang yang menjadi induk semang (istilah bagi keluarga tempat peserta immersion tinggal). Tidak tahu apakah kami -yang orang-orang asing ini- akan diterima dengan baik atau tidak. Meskipun diliputi berbagai perasaan itu, ada kepercayaan bahwa rahmat-Nya akan bekerja dan menyertai selama perjalanan immersion ini. Beberapa rahmat yang kami mohonkan antara lain: rela berkorban, kerendahan hati, keterbukaan, kesabaran, dan kejujuran.   Immersion kali ini dilaksanakan di beberapa tempat yang merupakan lokasi warga binaan Lembaga Daya Dharma (LDD), yaitu Muara Baru, Muara Angke Blok Eceng, Marunda, dan Muara Angke Blok Empang. Tempat-tempat ini mungkin tidak asing di telinga namun asing untuk dikunjungi. Boleh dikatakan bahwa tempat-tempat ini adalah ‘batas wilayah’ terluar dari Kota Jakarta. Dari tempat kami melakukan immersion, terlihatlah bagaimana kesenjangan yang terjadi di Kota Jakarta: gedung pencakar langit berlomba-lomba ditegakkan, pabrik-pabrik industri yang berdiri kokoh disertai dengan berbagai polusinya, pembangunan rumah layak huni di antara rumah kumuh di sekitarnya. Di tempat ini pula mereka harus berdamai dengan keadaan lingkungan sekitar: tumpukan sampah, bau amis menyengat, tikus-tikus yang berkeliaran, sulitnya akses air bersih, dan kondisi jalanan yang hampir setiap hari banjir bahkan airnya sampai masuk ke dalam rumah. Tidak hanya dari bangunan-bangunan yang berdiri namun juga dari pekerjaan yang dihidupi induk semang kami. Mulai dari penjual kopi keliling, pengupas kerang, nelayan, sopir angkot, jasa antar pemancing, pembersih botol dan gelas plastik, penjual nasi uduk, penjual jajanan pasar, hingga pekerja serabutan. Mereka menjadi figur nyata orang-orang kecil yang mungkin selama ini hanya kami lihat dari kejauhan. Kini kami harus immerse dengan kehidupan mereka dan melayani dengan apa yang kami bisa. Belajar mewujudkan perbuatan kasih untuk meneladan Sang Guru yang terus dikenangkan dalam Ekaristi Kudus.     Induk semang kami memang bukan siapa-siapa. Pekerjaan mereka seringkali dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Kata anak-anak muda, pekerjaan mereka tidak ‘seksi’ sama sekali. Namun mereka yang dianggap kecil, terpinggirkan, dan miskin ini justru yang menguapkan berbagai perasaan negatif kami. Perasaan takut, khawatir, dan tidak nyaman yang muncul akibat sudah berprasangka terlebih dahulu, hilang. Kami yang asing ini justru diterima dengan baik oleh induk semang kami. Bahkan kami justru dianggap sebagai anak sendiri oleh mereka. Kami masih diberi makan dengan cukup, masih bisa tidur di tempat yang aman dan nyaman. Padahal mungkin untuk memenuhi makan sehari-hari anggota keluarganya mereka kesulitan. Akan tetapi, kami dapat makan secara cukup bahkan kadang diada-adakan. Kami tidak pernah bertemu dan tidak pernah melakukan perbuatan baik untuk mereka ini sebelumnya, tetapi kami diberikan sampai sebegitunya. Sungguh makanan yang kami makan selama Immersion itu menjadi makanan yang sangat enak justru karena diberikan dari kesederhanaan yang mereka punya. Merefleksikan hal ini membuat kami merasa malu. Seperti ditampar rasanya. Kadang untuk memberi saja kami masih berpikir-pikir tetapi justru mereka memberikan dari hatinya yang terdalam bagi kami orang asing ini.   Di dalam setiap hal yang kami terima dari induk semang, kami merasakan ketulusan dan keikhlasan mereka. Kami merasa bahwa induk semang kami telah begitu mengasihi kami sehingga hati kami tergerak untuk meneruskan rantai kasih ini kepada sesama yang lainnya, melayani dengan tulus dan ikhlas. Benar kata pepatah bahwa kebaikan itu menular. Ajaibnya ketergerakkan untuk melakukan kebaikan itu tidak hanya kepada orang-orang yang telah terlebih dahulu mengasihi kita tetapi juga kepada orang-orang yang tidak kita kenal sebelumnya.   Tidak hanya itu, kami juga merasa bahwa Allah sedang menyapa kami melalui orang-orang di lingkungan sekitar induk semang kami. Mereka menyapa dan memberikan senyuman yang seolah-olah memberi pesan bahwa semua akan baik-baik saja dan tidak ada yang perlu ditakutkan. Senyum ramah inilah yang menjadi salah satu penyemangat kami dalam menjalani pekerjaan di sana.     Melalui immersion ini, kiranya ada beberapa hal yang layak untuk direfleksikan. Pertama, soal melayani atau dikenal dalam pilar Service dalam Magis. Kiranya hal-hal yang kami lakukan selama immersion ini bukanlah hal-hal besar. Cenderung entah dilarang oleh induk semang karena nanti kami kelelahan atau karena membutuhkan keahlian khusus. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan kecil yang kami lakukan itu kiranya menjadi bentuk pelayanan yang dapat kami berikan. Sebab melayani -yang adalah suatu bentuk perbuatan kasih itu- tidak diukur dari besar dan kecilnya tetapi berawal dari niat dan ketergerakan bahwa aku ingin memberikan dari apa yang aku punya.   Kedua, kami juga merasakan bagaimana Allah itu sungguh hadir dan terus berkarya dalam kehidupan kami. Sosok-Nya itu kami temukan melalui kebaikan orang-orang yang dalam perjalanan pergi-pulang maupun selama immersion kami temui,terutama dari induk semang kami masing-masing. Bagaimana kami diterima, boleh mempunyai tempat berteduh dan tidur, boleh makan secara berkecukupan yang semuanya itu dalam suasana kesederhanaan menjadi bukti cinta-Nya untuk kami. Coba saja kami tidak diterima, mana bisa kami berteduh dan tidur di malam hari ketika badan sudah lelah. Mana bisa kami makan dengan berkecukupan untuk mengisi tenaga lagi. Kehadiran orang-orang ini menjadi wujud kehadiran Allah sendiri yang menyapa dan mengasihi kami.    Menutup kisah perjalanan immersion bersama orang-orang yang miskin, kecil, dan terpinggirkan di Jakarta ini kiranya bisa direfleksikan satu pertanyaan untuk melangkah ke depan: apa yang ingin dan bisa kulakukan untuk mereka yang KLMTD di Jakarta ini? Perbuatan kasih apa yang bisa kubagikan untuk sesamaku itu? Dalam gerak inilah kiranya spiritualitas Ignatian itu justru hidup. Sebab spiritualitas Ignatian tidak pernah berhenti hanya pada doa dan teori saja. Ia harus mewujud dalam tindakan-tindakan kasih bagi sesama.   Kontributor: Ancella Trilegio, Flaviantius Iko Marpaung, Basilius Kevin, Fransisca, Stepanus Igo Kewa – MAGIS Indonesia

Penjelajahan dengan Orang Muda

Teach Us to Serve as You Deserve

Dalam rentang waktu 22-26 Mei 2024, Komunitas Magis Jakarta mengadakan Magis Immersion Experiment, terdiri atas pembekalan (persiapan), pelaksanaan (aksi), dan pengendapan (refleksi). Pada 22-23 Mei 2024, setelah jam pulang kantor, para peserta immersion mengikuti pembekalan di Kolese Hermanum Unit Johar Baru. Selain hal-hal teknis, mereka juga dibekali pendalaman materi mengenai tema utama Immersion “Teach us to serve as you deserve” dan lanjutan materi mengenai Kontemplasi Penjelmaan, Meditasi Dua Panji, dan Tiga Golongan Orang. Pada 23-25 Mei 2024, para peserta disebar per kelompok ke beberapa tempat layanan Lembaga Daya Dharma (LDD) KAJ, antara lain ke Muara Angke Blok Eceng, Muara Angke Blok Empang, Muara Baru, dan Marunda. Selain itu, mereka juga disebar untuk melakukan Immersion di rumah orang-orang muda layanan LP4Y (Life Project for Youth), lembaga sosial yang berdomisili di Cilincing, Jakarta Utara. Immersion ini dilakukan di komunitas Lovely Hands Garden di Sunter, Jakarta Utara. Pada dua hari terakhir, para peserta melakukan pengendapan di Kolese Kanisius Menteng dalam bentuk refleksi personal dan komunal, serta ditutup misa bersama di Kapel Kolese Kanisius itu.     Kegiatan Immersion Experiment ini merupakan salah satu program pokok formasi Magis yang baru kembali diadakan setelah lima tahun vakum karena beragam kendala. Immersion ini merupakan sarana menginternalisasi dan mengintegrasikan Spiritualitas Ignasian bagi anggota Magis Jakarta. Konteks kota Jakarta memperlihatkan dengan kentara jurang kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Hal ini menjadi sebuah konteks refleksi yang bagus bagi Magis Jakarta setelah dibekali dan berlatih dalam enam kali pertemuan bulanan dengan pokok-pokok spiritualitas itu. Pada tahun 2024, immersion diikuti sekitar 33 peserta. Dalam kesempatan ini Komunitas Magis Jakarta berkolaborasi dengan Lembaga Daya Dharma (LDD) KAJ, Life Project for Youth (LP4Y), dan Komunitas Lovely Hands Garden. Selain mempertemukan para anggota Magis dengan mereka yang terpinggirkan, immersion menjadi kesempatan berharga dalam membangun kolaborasi sebagai Gereja yang berjalan bersama dengan mereka semua yang berkehendak baik.    Kontributor: S Alfian Ferry, S.J. – Magis Indonesia

Penjelajahan dengan Orang Muda

Cermin ‘Dunia Kerja’ Anak Muda

Seringkali kalau berkendara di jalanan Jakarta, kita bisa melihat ragam aktivitas pekerjaan. Ada yang mengambil tempat pedestrian untuk menggelar lapak berjualannya, sebagian lain menjadi tukang parkir, tukang tambal ban, penjual minum, hingga pengamen. Dari fenomena yang tampak biasa itu dan dianggap lumrah saja kalau sudah demikian adanya, sebenarnya terselip sebuah cermin tentang problematika dunia kerja saat ini.   Dalam upaya membantu merefleksikan peluang dan tantangan ‘dunia kerja’, Life Project 4 Youth (LP4Y) yang merupakan organisasi sosial internasional dari Prancis menyelenggarakan suatu acara bertajuk Youth Inclusion Forum (YIF) di Hotel Cabin, Jakarta (31/5). LP4Y adalah federasi dari 17 organisasi di 14 negara yang memiliki misi pengembangan solusi inovatif untuk inklusi profesional dan sosial bagi kaum muda (usia 17-24) dari kemiskinan ekstrem dan korban pengucilan struktural. Khusus di Indonesia, LP4Y memiliki dua training center, yaitu di Cilincing Jakarta dan Surabaya. Kolese Hermanum sebagai representasi Serikat Jesus Provindo mengambil keterlibatan dalam misi sosial ini dengan mengirimkan sejumlah frater filosofan (studi filsafat) untuk membantu memberikan training dan pendampingan anak-anak muda yang tergabung dalam organisasi LP4Y.   Membantu Menegosiasi Salah satu tantangan dunia kerja saat ini adalah melonjaknya jumlah pekerja sektor informal. Menurut Jumisih, yang merupakan Chief Indonesian Woman Labour dan menjadi salah satu narasumber dalam YIF, dunia kerja saat ini sedemikian fleksibel. “Sekarang, banyak sekali mereka yang tergolong sebagai pekerja informal, yang bekerja tanpa upah yang optimal dan jam kerja yang layak, serta tidak dipayungi hukum.” Ia menekankan bagaimana di jalanan saja kita dapat melihat sebuah ‘dunia kerja.’ Perspektif ini menjadi sangat penting untuk merefleksikan bagaimana corak ‘dunia kerja’ kita saat ini.   Dr. Ratna Sari, sebagai Lecturer Information System – Binus University, juga menggarisbawahi tentang masalah ‘dunia kerja’ saat ini yang masih mengkotak-kotakkan pembagian kerja berdasarkan kualitas gender. “Kita masih berusaha mendapatkan kesetaraan, artinya bekerja dengan cara yang sama. Untuk itu, edukasi dibutuhkan dalam kentalnya budaya patriarki yang masih laten di Indonesia”, tegasnya.     Menurut laporan Harian Kompas (Senin, 20/5), Gen Z (kelahiran 1997-2012) terbukti makin sulit mencari pekerjaan di sektor formal dibandingkan generasi sebelumnya. Dalam catatan Tim Jurnalisme Data Kompas, “selama 15 tahun terakhir, serapan tenaga kerja di sektor formal terus menyusut.” Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi anak-anak muda.   Albertine Corne, selaku Indonesiaan Coordinator LP4Y turut memahami kenyataan masalah sulitnya mendapat pekerjaan di sektor formal. Selama menjadi relawan untuk LP4Y Indonesia sejak 2020 hingga sekarang, ia merefleksikan arti penting tentang sebuah negosiasi. “Di sini, LP4Y membantu menegosiasi dengan beberapa partner karena support system harus diciptakan terutama yang berakar dari keluarga, lingkungan, dan perusahaan di mana Youth akan bekerja. Intinya, membuka akses lebih baik,” ucapnya.   Di samping itu, Youth yang menjadi subjek pendampingan dan advokasi LP4Y turut hadir dalam Youth Inclusion Forum kali ini. Akhmad Mudehir, salah seorang Youth yang baru bergabung dengan LP4Y pada bulan Mei, mengakui bahwa LP4Y memberinya kesempatan untuk membangun rasa kepercayaan diri dan mental yang sehat melalui pelatihan mock interview. “Saya sudah sering melamar pekerjaan dan hasilnya selalu ditolak, tetapi pengalaman di LP4Y membantu saya untuk percaya diri dan belajar bagaimana berkomunikasi dengan baik. Hasilnya saya diterima bekerja di Decathlon,” katanya. Pengalaman Akhmad menjadi suatu aksi berkelanjutan dari upaya membantu anak muda mendapat akses kepada pekerjaan.   Aktualisasi Formasi Religius Kolese Hermanum bekerja sama dengan LP4Y memberikan kesempatan bagi para frater pembelajar filsafat untuk bisa mengalami perjumpaan dengan anak-anak muda yang kesulitan mencari pekerjaan. Frater Klaus Heinrich Raditio, S.J. yang pernah mendampingi Youth LP4Y mengaku bahwa kolaborasi ini “di satu pihak membuat para frater memperoleh pengalaman terlibat dalam kerasulan sosial dan merasakan sentuhan langsung kemiskinan ibu kota, dan di lain pihak LP4Y juga mendapat pendampingan para frater.”   Di lain kesempatan, Pater Setyo Wibowo, S.J. yang merupakan fasilitator awal berdirinya LP4Y di Indonesia, dan pihak yang membantu segi-segi legal, personalia, serta operasional LP4Y menjelaskan bahwa spirit of fighting juga perlu diajarkan pada para frater melalui aneka pengalaman, teristimewa studi filsafat dan ad extra. Baginya, LP4Y adalah model NGO yang matang secara pedagogi. “Dari perjalanan panjang menemani para relawan, saya salut pada keberanian mereka. Makin hari mereka dapat membangun jaringan dengan banyak perusahaan.”   Melalui keterlibatan seperti inilah Jesuit ingin hadir dalam urgensi situasi masa kini. Dengan cara inilah Jesuit muda belajar untuk merealisasikan panggilan Paus Fransiskus bahwa Gereja membutuhkan anak muda. Seperti diungkapkan Paus Fransiskus bahwa Gereja tidak bisa membuang muka terhadap anak muda yang punya mimpi namun kerap takut mimpi itu tidak terwujud dan anak muda yang ingin mengubah dunia tapi terkadang terasa kurang.1. Kalau misalnya belum bisa melakukan hal-hal besar, kiranya benar seperti kata-kata Bruder Petrus Partono, rasul Vinsensian di pesisir Utara Jakarta yang membangun banyak rumah perawatan bagi para lansia, yaitu tetap menyalakan lilin-lilin kebaikan. Mungkin maksudnya meskipun lilin itu kecil, toh bisa menyala dengan percaya diri.   Kontributor: S Beda Holy Septianno, S.J. – Sukarelawan Life Project for Youth (LP4Y), Cilincing. 1. Diolah dari pesan Paus Fransiskus kepada 500,000 pemuda yang menghadiri acara resmi World Youth Day (WYD) di Lisbon, Portugal, 3 Agustus 2023.

Penjelajahan dengan Orang Muda

Kemiskinan: Harta Dalam Hidup Bersahaja

Kaul kemiskinan? Menjadi orang miskin? Atau gimana? Apa sih maksudnya, ter?” Itulah pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak ketika poster Café PuNa edisi Mei 2024 yang mengambil tema kaul kemiskinan mulai dibagikan di berbagai platform media sosial.   Kamis, 30 Mei 2024 malam, dengan wajah sumringah dan penuh kehangatan, para Pater dan Skolastik Jesuit di Komunitas Pulo Nangka menyambut umat yang hadir ke Komunitas Pulo Nangka untuk mengikuti acara Café PuNa. Acara ini diadakan rutin setiap semester sekali. Café PuNa edisi bulan Mei 2024 ini mengangkat tema Kaul Kemiskinan: Harta Dalam Hidup Bersahaja. Tema ini dipilih untuk melengkapi dua edisi Cafe PuNa sebelumnya yang telah membahas kaul ketaatan (Mei 2023) dan kaul kemurnian (November 2023).   Membahas kaul kemiskinan selalu menarik dan relevan bagi siapa saja. Hal ini terbukti dari kehadiran dan antusiasme umat yang berpartisipasi baik secara luring maupun daring via Zoom. Mulai dari yang muda hingga yang tua hadir memeriahkan dan larut dalam presentasi yang dibawakan oleh Frater Alexius Aji dan Frater Matthias Zo Hlun. Frater Kevin yang menjadi MC pun mampu membawakan acara dengan baik, menarik, dan menghibur.   Kemiskinan: Harta dalam Hidup Bersahaja Presentasi dari Fr. Alex dan Fr. Matthias dibuka dengan sebuah pembahasan mengenai kemiskinan pada umumnya untuk memberi konteks besar. Fr. Matthias menjelaskan bahwa kemiskinan pada umumnya dipahami sebagai “kondisi tidak berharta, serba kekurangan, atau berpenghasilan sangat rendah”. Lalu, pertanyaan yang muncul adalah “Jika kemiskinan digambarkan sebagai kondisi serba berkekurangan, apakah ada orang yang mau ‘mengambil pilihan’ untuk hidup miskin, khususnya dengan kapitalisme dan konsumerisme di zaman ini?” Kemiskinan yang dipahami demikianlah yang kadang kala menjadi padanan atau perbandingan bagi kaul kemiskinan yang secara sukarela diikrarkan oleh para religius. Maka sudah tentu dan pasti akan muncul beragam pertanyaan terkait kaul kemiskinan.   Kalau begitu, kaul kemiskinan itu yang seperti apa sih? Apakah sama seperti kemiskinan yang digambarkan dan dipahami sebagai keadaan serba berkekurangan? Fr. Alex mencoba membahas hal ini dengan menarik dalam bagian selanjutnya. Frater Alex mengawalinya dengan sebuah cerita tentang Sannyasi yang berhasil menggelisahkan hati dan pikiran karena dengan rela dan begitu saja memberikan batu permatanya kepada seseorang.   Fr. Alex melanjutkan presentasinya dengan memberikan penjelasan mengenai kaul kemiskinan yang diikrarkan oleh para religius sebagai usaha Imitatio Christi atau meniru Kristus. Kaul kemiskinan merupakan kaul yang diinspirasikan oleh Yesus Sang Allah Putera yang menjelma ke dunia dan mengosongkan diri menjadi manusia miskin. Kedekatan Yesus dengan orang miskin pada zaman-Nya banyak digambarkan di dalam Injil. Inilah yang menjadi sumber inspirasi dari kaul kemiskinan para religius.     Kemiskinan a la Jesuit Dengan mendasarkan pada Konstitusi Serikat Jesus, Fr. Alex mengupas lebih dalam mengenai kemiskinan yang khas Jesuit atau yang dihayati oleh para Jesuit. St. Ignatius menulis di dalam Konstitusi SJ bahwa kemiskinan merupakan benteng hidup religius yang harus dicintai dan dipelihara [Kons. 553]. St. Ignatius meminta para Jesuit untuk melepaskan keterikatan pada barang-barang duniawi dan menyerahkan hidup sepenuhnya pada penyelenggaraan Ilahi melalui komunitasnya.   Kekhasan lain dari kemiskinan a la Jesuit, yang juga dihayati oleh kaum religius lain, adalah kaul kemiskinan sebagai ungkapan rasa syukur yang ditandai dengan kemurahan hati untuk mewujudkan kebebasan batin dan lahiriah saat menjalankan karya kerasulan. “Seorang Jesuit bekerja bukan untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan demi cintanya pada Kristus dan sesama,” demikian Fr. Alex memberikan penjelasannya.   Tentu kaul kemiskinan memiliki tegangannya sendiri, yaitu penggunaan sarana duniawi sejauh mendukung pelayanan dalam kerasulan yang dijalankan oleh seorang Jesuit. Tidak ada halangan bagi seorang Jesuit untuk menggunakan sarana duniawi apapun apabila sarana tersebut mendukung pelayanannya dalam mengembangkan institusi dan komunitas dan bukan untuk memperkaya diri sendiri.   Dengan demikian, kaul kemiskinan menjadi harta dalam hidup bersahaja bagi seorang Jesuit karena kemiskinan bukan hanya berarti menjadi miskin seperti yang dipahami oleh kebanyakan orang. Kaul kemiskinan juga dihayati sebagai sebuah cara hidup yang diinspirasi oleh Yesus dengan tujuan apostolis. Dengan sarana yang dimiliki, kaul kemiskinan menuntut ketekunan dan kerja keras setiap Jesuit dalam mengusahakan perkembangan karya kerasulan dan komunitas. Fr. Alex menambahkan bahwa ada hal yang tidak bisa dilepaskan dari kaul kemiskinan, yaitu akuntabilitas dan option for the poor. Lebih lanjut Fr. Alex membagikan beberapa usaha untuk menghidupi kedua hal tersebut, yaitu pembuatan laporan keuangan bulanan yang dibuat oleh para skolastik Jesuit dan program Nasi Berkah yang saat ini dijalankan semua unit skolastik SJ di Jakarta.   Panggilan untuk Dekat dengan Orang Miskin Fr. Matthias membagikan pengalamannya hidup bersama para penderita kusta di Myanmar saat dia masih seorang novis. Pengalaman tersebut membawanya pada refleksi akan Yesus yang menginspirasinya untuk dekat, membantu mereka yang membutuhkan, dan mau bersama mereka yang miskin. Pengalaman kedekatan dengan orang miskin ini memberinya rasa bahagia karena ada cara pandang baru mengenai kaul kemiskinan sebagai rasa syukur dan undangan untuk menerima orang lain seperti yang dilakukan Yesus sendiri.   Fr. Alex juga memperkaya refleksi mengenai kaul kemiskinan dengan membagikan pengalaman menghidupi kemiskinan secara konkret sebagai skolastik di Jakarta. Misalnya, dengan membuat laporan keuangan bulanan, menumbuhkan sense of belonging, keterbukaan pada pembesar dan komunitas, dan undangan untuk terus memiliki pengalaman kedekatan dengan orang miskin lewat kerasulan ad extra yang dijalaninya di Lembaga Daya Dharma-Keuskupan Agung Jakarta.     Penutup Café PuNa kali ini juga terasa istimewa karena bukan hanya kedua Pater Unit komunitas Pulo Nangka yang hadir. Ada juga Pater Hendricus Satya Wening, S.J., Pater Windar Santoso, S.J., serta Pater Antonius Siwi Dharma Jati, S.J. yang hadir secara daring dari Perancis dan Pater L. A. Sardi, SJ yang juga hadir secara daring dari Roma. Kehadiran mereka sangat meneguhkan para umat yang hadir, khususnya ketika para Pater ini membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para umat yang hadir.   Ketika berbicara mengenai kaul kemiskinan, kita tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari kemurahan hati. Karena itulah, Café PuNa edisi Mei 2024 ditutup dengan acara menikmati santapan berkat kemurahan hati yang dibawa oleh para umat yang hadir. Semua hidangan dinikmati secara bersama-sama dan penuh kehangatan serta obrolan seru. SAMPAI JUMPA LAGI DI CAFÉ PUNA EDISI BERIKUTNYA!!!!!!!   Kontributor: S Yohanes Deo Yudistiro Utomo, S.J.