Seringkali kalau berkendara di jalanan Jakarta, kita bisa melihat ragam aktivitas pekerjaan. Ada yang mengambil tempat pedestrian untuk menggelar lapak berjualannya, sebagian lain menjadi tukang parkir, tukang tambal ban, penjual minum, hingga pengamen. Dari fenomena yang tampak biasa itu dan dianggap lumrah saja kalau sudah demikian adanya, sebenarnya terselip sebuah cermin tentang problematika dunia kerja saat ini.
Dalam upaya membantu merefleksikan peluang dan tantangan ‘dunia kerja’, Life Project 4 Youth (LP4Y) yang merupakan organisasi sosial internasional dari Prancis menyelenggarakan suatu acara bertajuk Youth Inclusion Forum (YIF) di Hotel Cabin, Jakarta (31/5). LP4Y adalah federasi dari 17 organisasi di 14 negara yang memiliki misi pengembangan solusi inovatif untuk inklusi profesional dan sosial bagi kaum muda (usia 17-24) dari kemiskinan ekstrem dan korban pengucilan struktural. Khusus di Indonesia, LP4Y memiliki dua training center, yaitu di Cilincing Jakarta dan Surabaya. Kolese Hermanum sebagai representasi Serikat Jesus Provindo mengambil keterlibatan dalam misi sosial ini dengan mengirimkan sejumlah frater filosofan (studi filsafat) untuk membantu memberikan training dan pendampingan anak-anak muda yang tergabung dalam organisasi LP4Y.
Membantu Menegosiasi
Salah satu tantangan dunia kerja saat ini adalah melonjaknya jumlah pekerja sektor informal. Menurut Jumisih, yang merupakan Chief Indonesian Woman Labour dan menjadi salah satu narasumber dalam YIF, dunia kerja saat ini sedemikian fleksibel. “Sekarang, banyak sekali mereka yang tergolong sebagai pekerja informal, yang bekerja tanpa upah yang optimal dan jam kerja yang layak, serta tidak dipayungi hukum.” Ia menekankan bagaimana di jalanan saja kita dapat melihat sebuah ‘dunia kerja.’ Perspektif ini menjadi sangat penting untuk merefleksikan bagaimana corak ‘dunia kerja’ kita saat ini.
Dr. Ratna Sari, sebagai Lecturer Information System – Binus University, juga menggarisbawahi tentang masalah ‘dunia kerja’ saat ini yang masih mengkotak-kotakkan pembagian kerja berdasarkan kualitas gender. “Kita masih berusaha mendapatkan kesetaraan, artinya bekerja dengan cara yang sama. Untuk itu, edukasi dibutuhkan dalam kentalnya budaya patriarki yang masih laten di Indonesia”, tegasnya.
Menurut laporan Harian Kompas (Senin, 20/5), Gen Z (kelahiran 1997-2012) terbukti makin sulit mencari pekerjaan di sektor formal dibandingkan generasi sebelumnya. Dalam catatan Tim Jurnalisme Data Kompas, “selama 15 tahun terakhir, serapan tenaga kerja di sektor formal terus menyusut.” Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi anak-anak muda.
Albertine Corne, selaku Indonesiaan Coordinator LP4Y turut memahami kenyataan masalah sulitnya mendapat pekerjaan di sektor formal. Selama menjadi relawan untuk LP4Y Indonesia sejak 2020 hingga sekarang, ia merefleksikan arti penting tentang sebuah negosiasi. “Di sini, LP4Y membantu menegosiasi dengan beberapa partner karena support system harus diciptakan terutama yang berakar dari keluarga, lingkungan, dan perusahaan di mana Youth akan bekerja. Intinya, membuka akses lebih baik,” ucapnya.
Di samping itu, Youth yang menjadi subjek pendampingan dan advokasi LP4Y turut hadir dalam Youth Inclusion Forum kali ini. Akhmad Mudehir, salah seorang Youth yang baru bergabung dengan LP4Y pada bulan Mei, mengakui bahwa LP4Y memberinya kesempatan untuk membangun rasa kepercayaan diri dan mental yang sehat melalui pelatihan mock interview. “Saya sudah sering melamar pekerjaan dan hasilnya selalu ditolak, tetapi pengalaman di LP4Y membantu saya untuk percaya diri dan belajar bagaimana berkomunikasi dengan baik. Hasilnya saya diterima bekerja di Decathlon,” katanya. Pengalaman Akhmad menjadi suatu aksi berkelanjutan dari upaya membantu anak muda mendapat akses kepada pekerjaan.
Aktualisasi Formasi Religius
Kolese Hermanum bekerja sama dengan LP4Y memberikan kesempatan bagi para frater pembelajar filsafat untuk bisa mengalami perjumpaan dengan anak-anak muda yang kesulitan mencari pekerjaan. Frater Klaus Heinrich Raditio, S.J. yang pernah mendampingi Youth LP4Y mengaku bahwa kolaborasi ini “di satu pihak membuat para frater memperoleh pengalaman terlibat dalam kerasulan sosial dan merasakan sentuhan langsung kemiskinan ibu kota, dan di lain pihak LP4Y juga mendapat pendampingan para frater.”
Di lain kesempatan, Pater Setyo Wibowo, S.J. yang merupakan fasilitator awal berdirinya LP4Y di Indonesia, dan pihak yang membantu segi-segi legal, personalia, serta operasional LP4Y menjelaskan bahwa spirit of fighting juga perlu diajarkan pada para frater melalui aneka pengalaman, teristimewa studi filsafat dan ad extra. Baginya, LP4Y adalah model NGO yang matang secara pedagogi. “Dari perjalanan panjang menemani para relawan, saya salut pada keberanian mereka. Makin hari mereka dapat membangun jaringan dengan banyak perusahaan.”
Melalui keterlibatan seperti inilah Jesuit ingin hadir dalam urgensi situasi masa kini. Dengan cara inilah Jesuit muda belajar untuk merealisasikan panggilan Paus Fransiskus bahwa Gereja membutuhkan anak muda. Seperti diungkapkan Paus Fransiskus bahwa Gereja tidak bisa membuang muka terhadap anak muda yang punya mimpi namun kerap takut mimpi itu tidak terwujud dan anak muda yang ingin mengubah dunia tapi terkadang terasa kurang.1. Kalau misalnya belum bisa melakukan hal-hal besar, kiranya benar seperti kata-kata Bruder Petrus Partono, rasul Vinsensian di pesisir Utara Jakarta yang membangun banyak rumah perawatan bagi para lansia, yaitu tetap menyalakan lilin-lilin kebaikan. Mungkin maksudnya meskipun lilin itu kecil, toh bisa menyala dengan percaya diri.
Kontributor: S Beda Holy Septianno, S.J. – Sukarelawan Life Project for Youth (LP4Y), Cilincing.
1. Diolah dari pesan Paus Fransiskus kepada 500,000 pemuda yang menghadiri acara resmi World Youth Day (WYD) di Lisbon, Portugal, 3 Agustus 2023.