Daerah Istimewa Yogyakarta kerap dinilai sebagai kota sejuta kenangan. Satu album kisah akan terus diceritakan dengan bangga kepada orang-orang di manapun berada. Kota ini terus bergerak, seakan tidak ada kisah mata tertutup beristirahat. Kadang, Yogyakarta menjadi pelarian semua insan mencari sejuta kebahagiaan. Banyak pribadi mengisi hidup memanjakan mata di berbagai tempat wisata, mempelajari sejarah memukau, menikmati enaknya varian kuliner, dan mencari banyak teman dari segala sudut Indonesia. Banyak pula rela meninggalkan keluarga sejenak di jauh sana untuk mengejar ilmu dan sejuta impian. Hidup baru terus terjadi di kota Yogyakarta.
Pengalaman semacam itulah yang dicari. Boleh aku katakan, salah satu pengalaman indah adalah pengalaman di Realino SPM. Sejarah hidupku di Realino memang dimulai demi pemenuhan syarat di kampus, tugas pengabdian sosial. Aku dan keempat teman lainnya menemukan kom unitas yang kami yakini Realino SPM adalah ruang perjumpaan yang memberi fasilitas melibatkan diri ke situasi jarang terjamah. Tempat ini menjadi ruang yang terus mengajarkan siapa saja tentang arti kehidupan.
Perjalanan kisahku di Realino aku buka dengan satu nasihat rohani tercatat di buku lama, Alkitab. Bunyinya demikian: “Kalau seseorang berkata, ‘aku mengasihi Allah’, tetapi membenci saudaranya, berarti dia berbohong. Orang yang tidak mengasihi sesama manusia yang kelihatan tidak mungkin bisa mengasihi Allah yang tidak kelihatan” (1 Yohanes 4:20). Tidak perlu lama duduk merenung memahami makna dari nasihat suci ini. Namun, butuh banyak hal perlu dilakukan untuk mewujudkannya. Perjumpaan dengan adik-adik dampingan Realino SPM mengajarkanku menghidupi kasih kepada Allah yang sesungguhnya.
Adik-adik dari Komunitas Belajar Realino, baik di Bongsuwung maupun di Jombor, banyak memberi coretan makna padaku. Tidak pernah terpikir olehku sebelumnya, mempunyai waktu bagi mereka yang tinggal di kanan-kiri jalur kereta api. Tidak banyak waktu kami bersama, hanya dua jam dari dua puluh empat jam sehari yang kupunya. Namun, dua jam itu sanggup memberi banyak perubahan. Banyak cerita bisa aku sampaikan di kesempatan lain, mungkin tidak dalam tulisan singkat ini. Cerita-cerita itu menarik, yang jika diceritakan tidak cukup di atas selembar kertas. Kali ini aku hendak membagikan beberapa kisah-kasih dari perjumpaan dengan adik-adik di Bongsuwung. Kata pertama memulai cerita adalah: lelah.
Rasa lelah menjadi bagian perjalanan kisahku selama menjadi volunteer Realino SPM. Setiap perjumpaan memiliki lelahnya masing-masing. Pengalaman memori indah adalah ketika aku membantu proses belajar di Bongsuwung. Udara kota pukul satu siang saat itu sangat tidak dapat ditoleransi. Panas sekali, kipas di ruang pertemuan pun rasanya tidak kuasa membantu. Rangkaian kegiatan yang sudah direncanakan dimulai. Saat itu aku mendapatkan tugas sesi dinamika, gerak-lagu, dan game.
Aku yang ekstrovert merasa hal itu bukan soal besar. Mudah bagiku mencari ide. Ide kudapatkan, tinggal energi perlu dipersiapkan. Hal ini disebabkan energi adik-adik di sana sungguh luar biasa. Boleh aku katakan melampaui batas? Sangat boleh. Suaraku kerap kalah dibandingkan riuh suara mereka. Kerap instruksi yang aku berikan tidak tersampaikan jelas karena mereka memilih bermain dan berteriak sendiri. Panas, lelah, sekaligus emosi terkadang perlu aku kontrol dengan baik. Untunglah, teman-teman volunteer lainnya berkolaborasi baik. Kami saling membantu, mendukung, dan melengkapi. Mereka luar biasa hebat.
Kendati demikian, pengalaman penuh berkat jauh lebih banyak aku dapatkan. Pengalaman yang tidak pernah kulupakan adalah ketika aku bersama volunteer lainnya menjemput beberapa anak yang tidak hadir untuk belajar. Pada Sabtu siang itu, adik-adik yang hadir di ruang belajar hanya sedikit. Tidak tahu apa yang menjadi alasan mereka, yang jelas bahwa ini bukan fenomena biasa. Apakah karena mager (malas gerak)? Inilah spesialnya menjadi volunteer Realino, tidak hanya mengajar namun menjadi teman dengan mencari mereka. Aku dan beberapa volunteer lainnya menjemput ke rumah-rumah mereka. Dengan cara itulah mereka mau datang ke Komunitas Belajar Realino.
Aku terhenyak. Momen itu menjadi penyedap refleksiku hari itu. Aku bisa menyaksikan langsung keadaan tempat tinggal mereka. Hidup di lingkungan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Rumah relatif seadanya. Aku baru sadar celotehan salah satu adik di sana, awalnya aku kira sebatas candaan. “Boro-boro hiasan dinding mas-mas, rumah aja dari kardus!” Kalimat kemudian baru sungguh aku sadari maksudnya. Aku sadar karena datang dan melihat. Sejak hari itu, aku mulai merenungkan sesuatu yang fundamental. Pertanyaan sederhana sekali, mendasar, tapi selalu dilupakan setiap insan karena terlalu nikmat menjalani keseharian nyaman. Apa itu hidup bagiku dan Anda?
Aku selalu bertanya, apa makna hidup bagi mereka? Dalam situasi ini, bukan perkara mudah menemukan makna. Makna dalam yang membawa mereka pada proses terus menjalaninya. Mungkin saja mereka tidak bisa membahasakan makna hidup. Akan tetapi makna itu sungguh tertanam dan berbuah pada perjuangan sesungguhnya. Sebagaimana judul di atas, hidup baru. Bagiku hidup adalah suatu pembaruan terus-menerus. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi sepersekian detik kemudian. Hal yang kita tahu adalah saat ini, masa depan adalah rencana. Hidup itu dinamis, terus berubah. Manusia hanya bisa berharap perubahan itu terjadi ke arah lebih baik.
Aku sungguh sadar, keberadaanku di tengah-tengah komunitas Realino SPM adalah berkat. Aku mengenal banyak saudara dari berbagai sudut Indonesia. Aku terlibat menyusun asa adik-adik di Komunitas Belajar Realino di Bongsuwung-Jombor agar memiliki sejuta harapan dan semakin yakin pada keterlibatan Allah dalam setiap asa yang diperjuangkan.
Kontributor: Fr. Marcelinus Wahyu Setyo Aji, SCJ – volunteer Realino SPM