capture imaginations, awaken desires, unite the Jesuits and Collaborators in Christ mission

Aku Melayani-Mu

Date

Magis Immersion Experiment 2024:

Saat berjalan memasuki Kolese Hermanum, tempat pembekalan sebelum terjun ke tempat Immersion, berbagai perasaan muncul dan memenuhi diri. Ada rasa takut, khawatir, tertantang, dan setengah hati karena long weekend ini mestinya bisa dipakai untuk liburan. Wajar apabila berbagai perasaan itu muncul karena ruang bernama zona nyaman harus ditinggalkan untuk melakukan immersion, masuk ke dalam pengalaman orang-orang kecil, lemah, dan miskin di kota Jakarta. Sejenak hiruk-pikuk kehidupan ditinggalkan untuk ikut melihat, merasakan, memahami, dan berpikir seperti orang-orang yang menjadi induk semang (istilah bagi keluarga tempat peserta immersion tinggal). Tidak tahu apakah kami -yang orang-orang asing ini- akan diterima dengan baik atau tidak. Meskipun diliputi berbagai perasaan itu, ada kepercayaan bahwa rahmat-Nya akan bekerja dan menyertai selama perjalanan immersion ini. Beberapa rahmat yang kami mohonkan antara lain: rela berkorban, kerendahan hati, keterbukaan, kesabaran, dan kejujuran.

 

Immersion kali ini dilaksanakan di beberapa tempat yang merupakan lokasi warga binaan Lembaga Daya Dharma (LDD), yaitu Muara Baru, Muara Angke Blok Eceng, Marunda, dan Muara Angke Blok Empang. Tempat-tempat ini mungkin tidak asing di telinga namun asing untuk dikunjungi. Boleh dikatakan bahwa tempat-tempat ini adalah ‘batas wilayah’ terluar dari Kota Jakarta. Dari tempat kami melakukan immersion, terlihatlah bagaimana kesenjangan yang terjadi di Kota Jakarta: gedung pencakar langit berlomba-lomba ditegakkan, pabrik-pabrik industri yang berdiri kokoh disertai dengan berbagai polusinya, pembangunan rumah layak huni di antara rumah kumuh di sekitarnya. Di tempat ini pula mereka harus berdamai dengan keadaan lingkungan sekitar: tumpukan sampah, bau amis menyengat, tikus-tikus yang berkeliaran, sulitnya akses air bersih, dan kondisi jalanan yang hampir setiap hari banjir bahkan airnya sampai masuk ke dalam rumah. Tidak hanya dari bangunan-bangunan yang berdiri namun juga dari pekerjaan yang dihidupi induk semang kami. Mulai dari penjual kopi keliling, pengupas kerang, nelayan, sopir angkot, jasa antar pemancing, pembersih botol dan gelas plastik, penjual nasi uduk, penjual jajanan pasar, hingga pekerja serabutan. Mereka menjadi figur nyata orang-orang kecil yang mungkin selama ini hanya kami lihat dari kejauhan. Kini kami harus immerse dengan kehidupan mereka dan melayani dengan apa yang kami bisa. Belajar mewujudkan perbuatan kasih untuk meneladan Sang Guru yang terus dikenangkan dalam Ekaristi Kudus.

 

Memandang realitas tempat Immersion Experiment. Dokumentasi: Magis Indonesia.

 

Induk semang kami memang bukan siapa-siapa. Pekerjaan mereka seringkali dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Kata anak-anak muda, pekerjaan mereka tidak ‘seksi’ sama sekali. Namun mereka yang dianggap kecil, terpinggirkan, dan miskin ini justru yang menguapkan berbagai perasaan negatif kami. Perasaan takut, khawatir, dan tidak nyaman yang muncul akibat sudah berprasangka terlebih dahulu, hilang. Kami yang asing ini justru diterima dengan baik oleh induk semang kami. Bahkan kami justru dianggap sebagai anak sendiri oleh mereka. Kami masih diberi makan dengan cukup, masih bisa tidur di tempat yang aman dan nyaman. Padahal mungkin untuk memenuhi makan sehari-hari anggota keluarganya mereka kesulitan. Akan tetapi, kami dapat makan secara cukup bahkan kadang diada-adakan. Kami tidak pernah bertemu dan tidak pernah melakukan perbuatan baik untuk mereka ini sebelumnya, tetapi kami diberikan sampai sebegitunya. Sungguh makanan yang kami makan selama Immersion itu menjadi makanan yang sangat enak justru karena diberikan dari kesederhanaan yang mereka punya. Merefleksikan hal ini membuat kami merasa malu. Seperti ditampar rasanya. Kadang untuk memberi saja kami masih berpikir-pikir tetapi justru mereka memberikan dari hatinya yang terdalam bagi kami orang asing ini.

 

Di dalam setiap hal yang kami terima dari induk semang, kami merasakan ketulusan dan keikhlasan mereka. Kami merasa bahwa induk semang kami telah begitu mengasihi kami sehingga hati kami tergerak untuk meneruskan rantai kasih ini kepada sesama yang lainnya, melayani dengan tulus dan ikhlas. Benar kata pepatah bahwa kebaikan itu menular. Ajaibnya ketergerakkan untuk melakukan kebaikan itu tidak hanya kepada orang-orang yang telah terlebih dahulu mengasihi kita tetapi juga kepada orang-orang yang tidak kita kenal sebelumnya.

 

Tidak hanya itu, kami juga merasa bahwa Allah sedang menyapa kami melalui orang-orang di lingkungan sekitar induk semang kami. Mereka menyapa dan memberikan senyuman yang seolah-olah memberi pesan bahwa semua akan baik-baik saja dan tidak ada yang perlu ditakutkan. Senyum ramah inilah yang menjadi salah satu penyemangat kami dalam menjalani pekerjaan di sana.

 

Para peserta Immersion sedang menjemur kulit kerang di salah seorang rumah induk semang. Dokumentasi: Magis Indonesia.

 

Melalui immersion ini, kiranya ada beberapa hal yang layak untuk direfleksikan. Pertama, soal melayani atau dikenal dalam pilar Service dalam Magis. Kiranya hal-hal yang kami lakukan selama immersion ini bukanlah hal-hal besar. Cenderung entah dilarang oleh induk semang karena nanti kami kelelahan atau karena membutuhkan keahlian khusus. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan kecil yang kami lakukan itu kiranya menjadi bentuk pelayanan yang dapat kami berikan. Sebab melayani -yang adalah suatu bentuk perbuatan kasih itu- tidak diukur dari besar dan kecilnya tetapi berawal dari niat dan ketergerakan bahwa aku ingin memberikan dari apa yang aku punya.

 

Kedua, kami juga merasakan bagaimana Allah itu sungguh hadir dan terus berkarya dalam kehidupan kami. Sosok-Nya itu kami temukan melalui kebaikan orang-orang yang dalam perjalanan pergi-pulang maupun selama immersion kami temui,terutama dari induk semang kami masing-masing. Bagaimana kami diterima, boleh mempunyai tempat berteduh dan tidur, boleh makan secara berkecukupan yang semuanya itu dalam suasana kesederhanaan menjadi bukti cinta-Nya untuk kami. Coba saja kami tidak diterima, mana bisa kami berteduh dan tidur di malam hari ketika badan sudah lelah. Mana bisa kami makan dengan berkecukupan untuk mengisi tenaga lagi. Kehadiran orang-orang ini menjadi wujud kehadiran Allah sendiri yang menyapa dan mengasihi kami. 

 

Menutup kisah perjalanan immersion bersama orang-orang yang miskin, kecil, dan terpinggirkan di Jakarta ini kiranya bisa direfleksikan satu pertanyaan untuk melangkah ke depan: apa yang ingin dan bisa kulakukan untuk mereka yang KLMTD di Jakarta ini? Perbuatan kasih apa yang bisa kubagikan untuk sesamaku itu? Dalam gerak inilah kiranya spiritualitas Ignatian itu justru hidup. Sebab spiritualitas Ignatian tidak pernah berhenti hanya pada doa dan teori saja. Ia harus mewujud dalam tindakan-tindakan kasih bagi sesama.

 

Kontributor: Ancella Trilegio, Flaviantius Iko Marpaung, Basilius Kevin, Fransisca, Stepanus Igo Kewa – MAGIS Indonesia

More
articles

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *