Pilgrims of Christ’s Mission

Jesuits

Karya Pendidikan, Provindo

Dialog Memperdalam Fondasi Iman Abad 21

Discernment Sekolah-sekolah Jesuit 2024 Discernment dalam Pendidikan Jesuit terus berjalan dan tidak berhenti. Kesadaran bahwa dunia juga bergerak menyebabkan sekolah-sekolah Jesuit sadar akan pentingnya discernment bersama untuk terus membaca tanda-tanda zaman guna memunculkan kreativitas dan inovasi yang lebih mendalam dalam karya pendidikan. Tahun ini, discernment dalam dunia pendidikan Jesuit mewujud dalam momen pertemuan yang diberi nama II Seminar JESEDU-Jogja2024. Catatan ini hanyalah highlight dari discernment yang berjalan lima hari sehingga siapapun yang membaca menyadari bahwa sekolah-sekolah Jesuit terus menerus ber-discernment.   II Seminar JESEDU-Jogja2024 Selama satu minggu, perhelatan besar untuk Pendidikan Jesuit Global terjadi di Yogyakarta. II Seminar JESEDU-Jogja2024 merupakan acara internasional lanjutan dari II Colloqioum JESEDU-Global2021 dalam siklus pertemuan internasional sembilan tahunan untuk proses discernment perkembangan pendidikan di sekolah-sekolah kita. Peserta seminar kurang lebih seratus sepuluh orang Jesuit dan awam dari berbagai negara yang merupakan perwakilan dari enam konferensi. Kegiatan ini dilaksanakan pada Senin, 24 Juni – Jumat, 28 Juni 2024 di Kolese John de Britto Yogyakarta. Peserta dari Indonesia sendiri ada dua puluh orang yang merupakan perwakilan dari setiap kolese kita dan didukung kurang lebih seratus panitia lokal dari Kolese de Britto dan dari kolese yang lain.   Ada tiga pertemuan akbar yang diadakan oleh ICAJE (International Commission on the Apostolate of Jesuit Education), dimana Pater L.E.B. Winandoko, S.J. menjadi salah satu anggotanya, yaitu Seminar, Congress, dan Colloquium. ICAJE sendiri adalah komisi yang dibentuk untuk membantu Sekretaris Pendidikan Global Serikat Jesus yang saat ini dijabat oleh Pater Alberto Jose Mesa, S.J. Pater Mesa sekaligus sebagai ketua dari ICAJE ini. Putaran pertama untuk pertemuan akbar itu telah selesai: I Colloquium dilaksanakan di Boston pada tahun 2012, I Seminar diadakan di Spanyol pada tahun 2014, dan I Congres diadakan di Brazil pada tahun 2017. Putaran kedua yang kemudian diberi nama II Colloquium seharusnya dilaksanakan di Jogja tetapi karena pandemi maka acara itu tidak terjadi dan dilakukan secara online. II Colloquium JESEDU-Global2021 dilaksanakan secara online. Tahun ini dilaksanakan seminar dengan nama II Seminar JESEDU-Jogja2024. Indonesia menjadi tuan rumah.   Dalam pertemuan yang berlangsung selama satu minggu ini, para peserta membicarakan hal-hal terkait bagian pertama dari sepuluh identitas Sekolah Jesuit (dalam buku Jesuit Schools; A Living Tradition in the 21th Century yang diterbitkan tahun 2019) yaitu tentang Educating for Faith in the 21th Century. Empat tujuan utama dari seminar ini adalah: memperjelas tempat Spiritualitas Ignasian dalam proses pembentukan iman bagi siswa dan pendidik; mempromosikan pembentukan iman yang mendalam dalam konteks dialog antaragama dan multi-religi dalam menjalankan misi keadilan dan rekonsiliasi; memperjelas makna Sekolah Katolik atau Jesuit yang melayani Injil dan Gereja dalam konteks masa kini; dan identifikasi tantangan dan peluang pendidikan iman dalam konteks fundamentalisme sekular atau agama.     Pesan Pater Jendral Pater Jendral Arturo Sosa, S.J. tidak bisa hadir secara langsung dalam pertemuan ini. Beliau hadir secara virtual. Beliau menyampaikan beberapa pesan untuk para peserta Seminar ini. Ada tiga kutipan transkrip dari pesan Pater Jendral yang sungguh mengena bagi para peserta. Yang pertama adalah kesadaran mengenai konteks pendidikan Jesuit saat ini. Pater Jendral menyampaikan:   “Hari ini, kita sadar bahwa dunia kita dan juga sekolah-sekolah kita menjadi lebih beragam daripada sebelumnya dalam hal agama dan budaya. Banyak sekolah kita bekerja dalam konteks yang sebagian besar non-Katolik atau bahkan non-Kristen. Kita percaya bahwa hal ini membuat pendidikan kita lebih relevan karena memberikan kesaksian tentang kabar baik yang dibawa ke dunia oleh Kristus.”   Yang kedua terkait dengan dialog antaragama. Pater Jendral mengajak peserta seminar untuk melakukan dialog antaragama yang juga merupakan perutusan Gereja dan mimpi Paus Fransiskus. “Dialog antaragama adalah karya yang diinginkan oleh Tuhan, elemen integral dari misi penginjilan Gereja, yang menemukan ungkapan dalam pelayanan iman dan penegakan keadilan. Sekolah-sekolah kita hari ini dipanggil untuk menjadi jembatan apostolik antara keberagaman yang indah dan pemberian Tuhan serta iman kita. Mereka harus membantu kita mewujudkan mimpi Paus Fransiskus yang sejati. Marilah kita bermimpi, sebagai satu keluarga manusia, sebagai sesama peziarah yang berbagi makanan yang sama sebagai anak-anak bumi, yang merupakan rumah kita bersama.” Yang terakhir, Pater Jendral berharap bahwa seminar kali ini memberikan panduan untuk sekolah-sekolah Jesuit supaya mampu memberi perhatian terhadap formasi iman bagi para siswa. “Seminar ini harus memberikan beberapa panduan bagi sekolah-sekolah kita tentang bagaimana kita mampu menghormati fondasi ini sebagai sekolah-sekolah Katolik Jesuit yang didedikasikan untuk pelayanan Injil dalam konteks kita yang semakin multi religi dan multi keyakinan. Spiritualitas Ignasian kita memberi alat dan sumber daya penting untuk membedakan bagaimana kita dapat menjawab tantangan hari ini. Memang, tradisi hidup pendidikan kita mengundang kita semua untuk mencari dan menemukan apa yang paling sesuai dengan waktu dan konteks. Karena dunia dan masyarakat kita terus berkembang, ini adalah suatu discernment berkelanjutan yang tidak pernah berakhir. Sekolah-sekolah kita harus menciptakan ruang-ruang pertemuan yang menjadi saksi nyata bagi kabar baik dan membangun kekayaan yang merayakan akar-akar kebersamaan dan menghormati keberagaman. Ini berarti bahwa kita tidak menyembunyikan identitas kita. Sebaliknya, kita harus memperkuatnya sebagai sahabat sejati dalam misi rekonsiliasi dan keadilan di dunia kita saat ini.” Walaupun Pater Jendral tidak bisa hadir, tetapi semangat dan pesannya membawa kobaran dalam hati para peserta.     Metodologi Discernment Persiapan pertemuan ini sudah berlangsung sangat lama. Pater E. Baskoro Poedjinoegroho, S.J. sebagai penanggung jawab seminar ini mempersiapkan acara ini sejak tiga tahun yang lalu. Pertemuan-pertemuan dilaksanakan. Pak Widi Nugroho, guru SMA Kolese de Britto, menjadi ketua panitia dari acara ini. Salah satu yang menarik adalah bagaimana metodologi dari seminar ini dibuat.   Bukan hanya tema seminar yang menarik, tetapi juga bagaimana seminar ini diatur sedemikian rupa sehingga unsur doa dan discernment bisa berjalan. Salah seorang peserta mengatakan bahwa seminar ini bukan seperti seminar tetapi lebih menyerupai retret. Pada saat evaluasi akhir Pater Jose menyampaikan satu kalimat yang mengesan: “We talk a lot about discernment, but we do a little about discernment.” Kalimat ini adalah alarm bagi kita yang sering mengatakan banyak hal tentang discernment.   Terkait dengan hal ini, saya menyoroti lima hal penting yang selalu ada dalam acara ini. Yang pertama adalah peran moderator. Pater Jose menunjuk empat moderator dari berbagai negara. Penunjukan ini sesuai juga dengan bahasa yang dipakai dan juga mempertimbangkan keragaman peserta. Para moderator mendapatkan coaching singkat sebelum

Feature

Hidup Baru

Daerah Istimewa Yogyakarta kerap dinilai sebagai kota sejuta kenangan. Satu album kisah akan terus diceritakan dengan bangga kepada orang-orang di manapun berada. Kota ini terus bergerak, seakan tidak ada kisah mata tertutup beristirahat. Kadang, Yogyakarta menjadi pelarian semua insan mencari sejuta kebahagiaan. Banyak pribadi mengisi hidup memanjakan mata di berbagai tempat wisata, mempelajari sejarah memukau, menikmati enaknya varian kuliner, dan mencari banyak teman dari segala sudut Indonesia. Banyak pula rela meninggalkan keluarga sejenak di jauh sana untuk mengejar ilmu dan sejuta impian. Hidup baru terus terjadi di kota Yogyakarta.   Pengalaman semacam itulah yang dicari. Boleh aku katakan, salah satu pengalaman indah adalah pengalaman di Realino SPM. Sejarah hidupku di Realino memang dimulai demi pemenuhan syarat di kampus, tugas pengabdian sosial. Aku dan keempat teman lainnya menemukan kom unitas yang kami yakini Realino SPM adalah ruang perjumpaan yang memberi fasilitas melibatkan diri ke situasi jarang terjamah. Tempat ini menjadi ruang yang terus mengajarkan siapa saja tentang arti kehidupan.   Perjalanan kisahku di Realino aku buka dengan satu nasihat rohani tercatat di buku lama, Alkitab. Bunyinya demikian: “Kalau seseorang berkata, ‘aku mengasihi Allah’, tetapi membenci saudaranya, berarti dia berbohong. Orang yang tidak mengasihi sesama manusia yang kelihatan tidak mungkin bisa mengasihi Allah yang tidak kelihatan” (1 Yohanes 4:20). Tidak perlu lama duduk merenung memahami makna dari nasihat suci ini. Namun, butuh banyak hal perlu dilakukan untuk mewujudkannya. Perjumpaan dengan adik-adik dampingan Realino SPM mengajarkanku menghidupi kasih kepada Allah yang sesungguhnya.   Adik-adik dari Komunitas Belajar Realino, baik di Bongsuwung maupun di Jombor, banyak memberi coretan makna padaku. Tidak pernah terpikir olehku sebelumnya, mempunyai waktu bagi mereka yang tinggal di kanan-kiri jalur kereta api. Tidak banyak waktu kami bersama, hanya dua jam dari dua puluh empat jam sehari yang kupunya. Namun, dua jam itu sanggup memberi banyak perubahan. Banyak cerita bisa aku sampaikan di kesempatan lain, mungkin tidak dalam tulisan singkat ini. Cerita-cerita itu menarik, yang jika diceritakan tidak cukup di atas selembar kertas. Kali ini aku hendak membagikan beberapa kisah-kasih dari perjumpaan dengan adik-adik di Bongsuwung. Kata pertama memulai cerita adalah: lelah.   Rasa lelah menjadi bagian perjalanan kisahku selama menjadi volunteer Realino SPM. Setiap perjumpaan memiliki lelahnya masing-masing. Pengalaman memori indah adalah ketika aku membantu proses belajar di Bongsuwung. Udara kota pukul satu siang saat itu sangat tidak dapat ditoleransi. Panas sekali, kipas di ruang pertemuan pun rasanya tidak kuasa membantu. Rangkaian kegiatan yang sudah direncanakan dimulai. Saat itu aku mendapatkan tugas sesi dinamika, gerak-lagu, dan game.   Aku yang ekstrovert merasa hal itu bukan soal besar. Mudah bagiku mencari ide. Ide kudapatkan, tinggal energi perlu dipersiapkan. Hal ini disebabkan energi adik-adik di sana sungguh luar biasa. Boleh aku katakan melampaui batas? Sangat boleh. Suaraku kerap kalah dibandingkan riuh suara mereka. Kerap instruksi yang aku berikan tidak tersampaikan jelas karena mereka memilih bermain dan berteriak sendiri. Panas, lelah, sekaligus emosi terkadang perlu aku kontrol dengan baik. Untunglah, teman-teman volunteer lainnya berkolaborasi baik. Kami saling membantu, mendukung, dan melengkapi. Mereka luar biasa hebat.   Kendati demikian, pengalaman penuh berkat jauh lebih banyak aku dapatkan. Pengalaman yang tidak pernah kulupakan adalah ketika aku bersama volunteer lainnya menjemput beberapa anak yang tidak hadir untuk belajar. Pada Sabtu siang itu, adik-adik yang hadir di ruang belajar hanya sedikit. Tidak tahu apa yang menjadi alasan mereka, yang jelas bahwa ini bukan fenomena biasa. Apakah karena mager (malas gerak)? Inilah spesialnya menjadi volunteer Realino, tidak hanya mengajar namun menjadi teman dengan mencari mereka. Aku dan beberapa volunteer lainnya menjemput ke rumah-rumah mereka. Dengan cara itulah mereka mau datang ke Komunitas Belajar Realino.   Aku terhenyak. Momen itu menjadi penyedap refleksiku hari itu. Aku bisa menyaksikan langsung keadaan tempat tinggal mereka. Hidup di lingkungan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Rumah relatif seadanya. Aku baru sadar celotehan salah satu adik di sana, awalnya aku kira sebatas candaan. “Boro-boro hiasan dinding mas-mas, rumah aja dari kardus!” Kalimat kemudian baru sungguh aku sadari maksudnya. Aku sadar karena datang dan melihat. Sejak hari itu, aku mulai merenungkan sesuatu yang fundamental. Pertanyaan sederhana sekali, mendasar, tapi selalu dilupakan setiap insan karena terlalu nikmat menjalani keseharian nyaman. Apa itu hidup bagiku dan Anda?   Aku selalu bertanya, apa makna hidup bagi mereka? Dalam situasi ini, bukan perkara mudah menemukan makna. Makna dalam yang membawa mereka pada proses terus menjalaninya. Mungkin saja mereka tidak bisa membahasakan makna hidup. Akan tetapi makna itu sungguh tertanam dan berbuah pada perjuangan sesungguhnya. Sebagaimana judul di atas, hidup baru. Bagiku hidup adalah suatu pembaruan terus-menerus. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi sepersekian detik kemudian. Hal yang kita tahu adalah saat ini, masa depan adalah rencana. Hidup itu dinamis, terus berubah. Manusia hanya bisa berharap perubahan itu terjadi ke arah lebih baik.   Aku sungguh sadar, keberadaanku di tengah-tengah komunitas Realino SPM adalah berkat. Aku mengenal banyak saudara dari berbagai sudut Indonesia. Aku terlibat menyusun asa adik-adik di Komunitas Belajar Realino di Bongsuwung-Jombor agar memiliki sejuta harapan dan semakin yakin pada keterlibatan Allah dalam setiap asa yang diperjuangkan.   Kontributor: Fr. Marcelinus Wahyu Setyo Aji, SCJ – volunteer Realino SPM

Penjelajahan dengan Orang Muda

Aku Melayani-Mu

Magis Immersion Experiment 2024: Saat berjalan memasuki Kolese Hermanum, tempat pembekalan sebelum terjun ke tempat Immersion, berbagai perasaan muncul dan memenuhi diri. Ada rasa takut, khawatir, tertantang, dan setengah hati karena long weekend ini mestinya bisa dipakai untuk liburan. Wajar apabila berbagai perasaan itu muncul karena ruang bernama zona nyaman harus ditinggalkan untuk melakukan immersion, masuk ke dalam pengalaman orang-orang kecil, lemah, dan miskin di kota Jakarta. Sejenak hiruk-pikuk kehidupan ditinggalkan untuk ikut melihat, merasakan, memahami, dan berpikir seperti orang-orang yang menjadi induk semang (istilah bagi keluarga tempat peserta immersion tinggal). Tidak tahu apakah kami -yang orang-orang asing ini- akan diterima dengan baik atau tidak. Meskipun diliputi berbagai perasaan itu, ada kepercayaan bahwa rahmat-Nya akan bekerja dan menyertai selama perjalanan immersion ini. Beberapa rahmat yang kami mohonkan antara lain: rela berkorban, kerendahan hati, keterbukaan, kesabaran, dan kejujuran.   Immersion kali ini dilaksanakan di beberapa tempat yang merupakan lokasi warga binaan Lembaga Daya Dharma (LDD), yaitu Muara Baru, Muara Angke Blok Eceng, Marunda, dan Muara Angke Blok Empang. Tempat-tempat ini mungkin tidak asing di telinga namun asing untuk dikunjungi. Boleh dikatakan bahwa tempat-tempat ini adalah ‘batas wilayah’ terluar dari Kota Jakarta. Dari tempat kami melakukan immersion, terlihatlah bagaimana kesenjangan yang terjadi di Kota Jakarta: gedung pencakar langit berlomba-lomba ditegakkan, pabrik-pabrik industri yang berdiri kokoh disertai dengan berbagai polusinya, pembangunan rumah layak huni di antara rumah kumuh di sekitarnya. Di tempat ini pula mereka harus berdamai dengan keadaan lingkungan sekitar: tumpukan sampah, bau amis menyengat, tikus-tikus yang berkeliaran, sulitnya akses air bersih, dan kondisi jalanan yang hampir setiap hari banjir bahkan airnya sampai masuk ke dalam rumah. Tidak hanya dari bangunan-bangunan yang berdiri namun juga dari pekerjaan yang dihidupi induk semang kami. Mulai dari penjual kopi keliling, pengupas kerang, nelayan, sopir angkot, jasa antar pemancing, pembersih botol dan gelas plastik, penjual nasi uduk, penjual jajanan pasar, hingga pekerja serabutan. Mereka menjadi figur nyata orang-orang kecil yang mungkin selama ini hanya kami lihat dari kejauhan. Kini kami harus immerse dengan kehidupan mereka dan melayani dengan apa yang kami bisa. Belajar mewujudkan perbuatan kasih untuk meneladan Sang Guru yang terus dikenangkan dalam Ekaristi Kudus.     Induk semang kami memang bukan siapa-siapa. Pekerjaan mereka seringkali dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Kata anak-anak muda, pekerjaan mereka tidak ‘seksi’ sama sekali. Namun mereka yang dianggap kecil, terpinggirkan, dan miskin ini justru yang menguapkan berbagai perasaan negatif kami. Perasaan takut, khawatir, dan tidak nyaman yang muncul akibat sudah berprasangka terlebih dahulu, hilang. Kami yang asing ini justru diterima dengan baik oleh induk semang kami. Bahkan kami justru dianggap sebagai anak sendiri oleh mereka. Kami masih diberi makan dengan cukup, masih bisa tidur di tempat yang aman dan nyaman. Padahal mungkin untuk memenuhi makan sehari-hari anggota keluarganya mereka kesulitan. Akan tetapi, kami dapat makan secara cukup bahkan kadang diada-adakan. Kami tidak pernah bertemu dan tidak pernah melakukan perbuatan baik untuk mereka ini sebelumnya, tetapi kami diberikan sampai sebegitunya. Sungguh makanan yang kami makan selama Immersion itu menjadi makanan yang sangat enak justru karena diberikan dari kesederhanaan yang mereka punya. Merefleksikan hal ini membuat kami merasa malu. Seperti ditampar rasanya. Kadang untuk memberi saja kami masih berpikir-pikir tetapi justru mereka memberikan dari hatinya yang terdalam bagi kami orang asing ini.   Di dalam setiap hal yang kami terima dari induk semang, kami merasakan ketulusan dan keikhlasan mereka. Kami merasa bahwa induk semang kami telah begitu mengasihi kami sehingga hati kami tergerak untuk meneruskan rantai kasih ini kepada sesama yang lainnya, melayani dengan tulus dan ikhlas. Benar kata pepatah bahwa kebaikan itu menular. Ajaibnya ketergerakkan untuk melakukan kebaikan itu tidak hanya kepada orang-orang yang telah terlebih dahulu mengasihi kita tetapi juga kepada orang-orang yang tidak kita kenal sebelumnya.   Tidak hanya itu, kami juga merasa bahwa Allah sedang menyapa kami melalui orang-orang di lingkungan sekitar induk semang kami. Mereka menyapa dan memberikan senyuman yang seolah-olah memberi pesan bahwa semua akan baik-baik saja dan tidak ada yang perlu ditakutkan. Senyum ramah inilah yang menjadi salah satu penyemangat kami dalam menjalani pekerjaan di sana.     Melalui immersion ini, kiranya ada beberapa hal yang layak untuk direfleksikan. Pertama, soal melayani atau dikenal dalam pilar Service dalam Magis. Kiranya hal-hal yang kami lakukan selama immersion ini bukanlah hal-hal besar. Cenderung entah dilarang oleh induk semang karena nanti kami kelelahan atau karena membutuhkan keahlian khusus. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan kecil yang kami lakukan itu kiranya menjadi bentuk pelayanan yang dapat kami berikan. Sebab melayani -yang adalah suatu bentuk perbuatan kasih itu- tidak diukur dari besar dan kecilnya tetapi berawal dari niat dan ketergerakan bahwa aku ingin memberikan dari apa yang aku punya.   Kedua, kami juga merasakan bagaimana Allah itu sungguh hadir dan terus berkarya dalam kehidupan kami. Sosok-Nya itu kami temukan melalui kebaikan orang-orang yang dalam perjalanan pergi-pulang maupun selama immersion kami temui,terutama dari induk semang kami masing-masing. Bagaimana kami diterima, boleh mempunyai tempat berteduh dan tidur, boleh makan secara berkecukupan yang semuanya itu dalam suasana kesederhanaan menjadi bukti cinta-Nya untuk kami. Coba saja kami tidak diterima, mana bisa kami berteduh dan tidur di malam hari ketika badan sudah lelah. Mana bisa kami makan dengan berkecukupan untuk mengisi tenaga lagi. Kehadiran orang-orang ini menjadi wujud kehadiran Allah sendiri yang menyapa dan mengasihi kami.    Menutup kisah perjalanan immersion bersama orang-orang yang miskin, kecil, dan terpinggirkan di Jakarta ini kiranya bisa direfleksikan satu pertanyaan untuk melangkah ke depan: apa yang ingin dan bisa kulakukan untuk mereka yang KLMTD di Jakarta ini? Perbuatan kasih apa yang bisa kubagikan untuk sesamaku itu? Dalam gerak inilah kiranya spiritualitas Ignatian itu justru hidup. Sebab spiritualitas Ignatian tidak pernah berhenti hanya pada doa dan teori saja. Ia harus mewujud dalam tindakan-tindakan kasih bagi sesama.   Kontributor: Ancella Trilegio, Flaviantius Iko Marpaung, Basilius Kevin, Fransisca, Stepanus Igo Kewa – MAGIS Indonesia

Penjelajahan dengan Orang Muda

Teach Us to Serve as You Deserve

Dalam rentang waktu 22-26 Mei 2024, Komunitas Magis Jakarta mengadakan Magis Immersion Experiment, terdiri atas pembekalan (persiapan), pelaksanaan (aksi), dan pengendapan (refleksi). Pada 22-23 Mei 2024, setelah jam pulang kantor, para peserta immersion mengikuti pembekalan di Kolese Hermanum Unit Johar Baru. Selain hal-hal teknis, mereka juga dibekali pendalaman materi mengenai tema utama Immersion “Teach us to serve as you deserve” dan lanjutan materi mengenai Kontemplasi Penjelmaan, Meditasi Dua Panji, dan Tiga Golongan Orang. Pada 23-25 Mei 2024, para peserta disebar per kelompok ke beberapa tempat layanan Lembaga Daya Dharma (LDD) KAJ, antara lain ke Muara Angke Blok Eceng, Muara Angke Blok Empang, Muara Baru, dan Marunda. Selain itu, mereka juga disebar untuk melakukan Immersion di rumah orang-orang muda layanan LP4Y (Life Project for Youth), lembaga sosial yang berdomisili di Cilincing, Jakarta Utara. Immersion ini dilakukan di komunitas Lovely Hands Garden di Sunter, Jakarta Utara. Pada dua hari terakhir, para peserta melakukan pengendapan di Kolese Kanisius Menteng dalam bentuk refleksi personal dan komunal, serta ditutup misa bersama di Kapel Kolese Kanisius itu.     Kegiatan Immersion Experiment ini merupakan salah satu program pokok formasi Magis yang baru kembali diadakan setelah lima tahun vakum karena beragam kendala. Immersion ini merupakan sarana menginternalisasi dan mengintegrasikan Spiritualitas Ignasian bagi anggota Magis Jakarta. Konteks kota Jakarta memperlihatkan dengan kentara jurang kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Hal ini menjadi sebuah konteks refleksi yang bagus bagi Magis Jakarta setelah dibekali dan berlatih dalam enam kali pertemuan bulanan dengan pokok-pokok spiritualitas itu. Pada tahun 2024, immersion diikuti sekitar 33 peserta. Dalam kesempatan ini Komunitas Magis Jakarta berkolaborasi dengan Lembaga Daya Dharma (LDD) KAJ, Life Project for Youth (LP4Y), dan Komunitas Lovely Hands Garden. Selain mempertemukan para anggota Magis dengan mereka yang terpinggirkan, immersion menjadi kesempatan berharga dalam membangun kolaborasi sebagai Gereja yang berjalan bersama dengan mereka semua yang berkehendak baik.    Kontributor: S Alfian Ferry, S.J. – Magis Indonesia

Penjelajahan dengan Orang Muda

Cermin ‘Dunia Kerja’ Anak Muda

Seringkali kalau berkendara di jalanan Jakarta, kita bisa melihat ragam aktivitas pekerjaan. Ada yang mengambil tempat pedestrian untuk menggelar lapak berjualannya, sebagian lain menjadi tukang parkir, tukang tambal ban, penjual minum, hingga pengamen. Dari fenomena yang tampak biasa itu dan dianggap lumrah saja kalau sudah demikian adanya, sebenarnya terselip sebuah cermin tentang problematika dunia kerja saat ini.   Dalam upaya membantu merefleksikan peluang dan tantangan ‘dunia kerja’, Life Project 4 Youth (LP4Y) yang merupakan organisasi sosial internasional dari Prancis menyelenggarakan suatu acara bertajuk Youth Inclusion Forum (YIF) di Hotel Cabin, Jakarta (31/5). LP4Y adalah federasi dari 17 organisasi di 14 negara yang memiliki misi pengembangan solusi inovatif untuk inklusi profesional dan sosial bagi kaum muda (usia 17-24) dari kemiskinan ekstrem dan korban pengucilan struktural. Khusus di Indonesia, LP4Y memiliki dua training center, yaitu di Cilincing Jakarta dan Surabaya. Kolese Hermanum sebagai representasi Serikat Jesus Provindo mengambil keterlibatan dalam misi sosial ini dengan mengirimkan sejumlah frater filosofan (studi filsafat) untuk membantu memberikan training dan pendampingan anak-anak muda yang tergabung dalam organisasi LP4Y.   Membantu Menegosiasi Salah satu tantangan dunia kerja saat ini adalah melonjaknya jumlah pekerja sektor informal. Menurut Jumisih, yang merupakan Chief Indonesian Woman Labour dan menjadi salah satu narasumber dalam YIF, dunia kerja saat ini sedemikian fleksibel. “Sekarang, banyak sekali mereka yang tergolong sebagai pekerja informal, yang bekerja tanpa upah yang optimal dan jam kerja yang layak, serta tidak dipayungi hukum.” Ia menekankan bagaimana di jalanan saja kita dapat melihat sebuah ‘dunia kerja.’ Perspektif ini menjadi sangat penting untuk merefleksikan bagaimana corak ‘dunia kerja’ kita saat ini.   Dr. Ratna Sari, sebagai Lecturer Information System – Binus University, juga menggarisbawahi tentang masalah ‘dunia kerja’ saat ini yang masih mengkotak-kotakkan pembagian kerja berdasarkan kualitas gender. “Kita masih berusaha mendapatkan kesetaraan, artinya bekerja dengan cara yang sama. Untuk itu, edukasi dibutuhkan dalam kentalnya budaya patriarki yang masih laten di Indonesia”, tegasnya.     Menurut laporan Harian Kompas (Senin, 20/5), Gen Z (kelahiran 1997-2012) terbukti makin sulit mencari pekerjaan di sektor formal dibandingkan generasi sebelumnya. Dalam catatan Tim Jurnalisme Data Kompas, “selama 15 tahun terakhir, serapan tenaga kerja di sektor formal terus menyusut.” Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi anak-anak muda.   Albertine Corne, selaku Indonesiaan Coordinator LP4Y turut memahami kenyataan masalah sulitnya mendapat pekerjaan di sektor formal. Selama menjadi relawan untuk LP4Y Indonesia sejak 2020 hingga sekarang, ia merefleksikan arti penting tentang sebuah negosiasi. “Di sini, LP4Y membantu menegosiasi dengan beberapa partner karena support system harus diciptakan terutama yang berakar dari keluarga, lingkungan, dan perusahaan di mana Youth akan bekerja. Intinya, membuka akses lebih baik,” ucapnya.   Di samping itu, Youth yang menjadi subjek pendampingan dan advokasi LP4Y turut hadir dalam Youth Inclusion Forum kali ini. Akhmad Mudehir, salah seorang Youth yang baru bergabung dengan LP4Y pada bulan Mei, mengakui bahwa LP4Y memberinya kesempatan untuk membangun rasa kepercayaan diri dan mental yang sehat melalui pelatihan mock interview. “Saya sudah sering melamar pekerjaan dan hasilnya selalu ditolak, tetapi pengalaman di LP4Y membantu saya untuk percaya diri dan belajar bagaimana berkomunikasi dengan baik. Hasilnya saya diterima bekerja di Decathlon,” katanya. Pengalaman Akhmad menjadi suatu aksi berkelanjutan dari upaya membantu anak muda mendapat akses kepada pekerjaan.   Aktualisasi Formasi Religius Kolese Hermanum bekerja sama dengan LP4Y memberikan kesempatan bagi para frater pembelajar filsafat untuk bisa mengalami perjumpaan dengan anak-anak muda yang kesulitan mencari pekerjaan. Frater Klaus Heinrich Raditio, S.J. yang pernah mendampingi Youth LP4Y mengaku bahwa kolaborasi ini “di satu pihak membuat para frater memperoleh pengalaman terlibat dalam kerasulan sosial dan merasakan sentuhan langsung kemiskinan ibu kota, dan di lain pihak LP4Y juga mendapat pendampingan para frater.”   Di lain kesempatan, Pater Setyo Wibowo, S.J. yang merupakan fasilitator awal berdirinya LP4Y di Indonesia, dan pihak yang membantu segi-segi legal, personalia, serta operasional LP4Y menjelaskan bahwa spirit of fighting juga perlu diajarkan pada para frater melalui aneka pengalaman, teristimewa studi filsafat dan ad extra. Baginya, LP4Y adalah model NGO yang matang secara pedagogi. “Dari perjalanan panjang menemani para relawan, saya salut pada keberanian mereka. Makin hari mereka dapat membangun jaringan dengan banyak perusahaan.”   Melalui keterlibatan seperti inilah Jesuit ingin hadir dalam urgensi situasi masa kini. Dengan cara inilah Jesuit muda belajar untuk merealisasikan panggilan Paus Fransiskus bahwa Gereja membutuhkan anak muda. Seperti diungkapkan Paus Fransiskus bahwa Gereja tidak bisa membuang muka terhadap anak muda yang punya mimpi namun kerap takut mimpi itu tidak terwujud dan anak muda yang ingin mengubah dunia tapi terkadang terasa kurang.1. Kalau misalnya belum bisa melakukan hal-hal besar, kiranya benar seperti kata-kata Bruder Petrus Partono, rasul Vinsensian di pesisir Utara Jakarta yang membangun banyak rumah perawatan bagi para lansia, yaitu tetap menyalakan lilin-lilin kebaikan. Mungkin maksudnya meskipun lilin itu kecil, toh bisa menyala dengan percaya diri.   Kontributor: S Beda Holy Septianno, S.J. – Sukarelawan Life Project for Youth (LP4Y), Cilincing. 1. Diolah dari pesan Paus Fransiskus kepada 500,000 pemuda yang menghadiri acara resmi World Youth Day (WYD) di Lisbon, Portugal, 3 Agustus 2023.

Provindo

Panduan Cara Doa dan Cara Hidup St. Ignatius Loyola (1)

Latihan Rohani Dari perjalanan pertobatannya yang dimulai di Loyola (Autobiografi 1- 12) hingga masa-masa kematangan rohaninya dan wafat di Roma, 31 Juli 1556 sebagai Superior Jenderal Serikat Jesus, St. Ignatius mencatat pembelajaran tentang bagaimana dirinya dididik oleh rahmat-rahmat Tuhan. Narasi bagaimana dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat dia dididik oleh Tuhan tertuang di dalam Autobiografi-nya (Wasiat dan Petuah St. Ignatius, Kanisius, 1996). Sementara cara bagaimana seseorang mendisposisikan diri supaya bisa dididik oleh rahmat-rahmat Tuhan diwariskan di dalam buku Latihan Rohani. Buku kecil ini merupakan buku praktik olah rohani dan berisi cara-cara berdoa serta bahan-bahan doa yang diambil dari Kitab Suci serta bahan-bahan renungan khusus pengalaman St. Ignatius. Sebagai buku panduan praktik (manual), yang melaksanakan pertama kali dari isi buku ini adalah St. Ignatius sendiri. Dalam konteks ini, oleh karenanya, Latihan Rohani bukan hanya buku panduan doa tetapi pada akhirnya adalah juga panduan hidup sebagai orang beriman untuk menjalani panggilannya di tengah dunia. Dan memang begitulah corak kerohanian yang dilatihkan oleh cara-cara doa, yaitu mengantar ke praksis hidup yang oleh Jerónimo Nadal dirumuskan jalinan keutuhannya dengan spiritu (dari Roh), corde (dengan hati), dan practice (dalam tindakan nyata). Dalam bahasa lain dirumuskan bahwa kesempurnaan doa adalah kasih, dan kasih diwujudkan di dalam tindak nyata dan praksis hidup. Jalinan doa dan praksis hidup dengan tegangannya yang sehat dan juga kreatif (healthy and creative tension) ini perlahan-lahan membentuk sikap dan kepekaan rohani seseorang yang kemudian melahirkan kemampuan untuk mengalami kehadiran dan rahmat Tuhan di dalam segala hal (finding God in all things).   Demikianlah kita memahami ketika menjelaskan kepada Gonçalves da Camara, St. Ignatius mengatakan bahwa Latihan Rohani ditulis tidak dalam satu saat saja. “Beberapa hal yang diperhatikan dengan cermat di dalam hatinya sendiri dan yang dipandang berguna , dianggap dapat berguna untuk orang lain pula, begitu ia menuliskannya, misalnya pemeriksaan batin  … bagian mengenai pemilihan (eleksi) diperoleh dari pembedaan dalam roh dan pikirannya yang dialami waktu di Loyola ketika kakinya masih sakit” (Autobiografi 99). St. Ignatius sendiri juga meyakinkan Latihan Rohani yang dijalaninya sendiri lalu dituliskan sebagai panduan menjalaninya untuk orang lain sebagai sarana merasul yang bermanfaat untuk membantu sesama. Dalam suratnya kepada Fulvio Androzzi St. Ignatius menegaskan hal ini (San Ignacio de Loyola, Obras,  1997, 1099-1101 dan di Loyola, Gli Scritti 2007, 1466-1468). “Saudara yang saya hormati, Saudara tahu bahwa ada sarana yang istimewa di antara sarana-sarana yang bermanfaat membantu orang-orang. Yang saya maksud adalah Latihan Rohani. Karena itu, saya mengingatkan Saudara, bahwa Saudara mesti menggunakan sarana Latihan Rohani ini, yang demikian akrab sebagai sarana merasul Serikat Jesus. Minggu Pertama dan beberapa cara berdoa dapat diberikan kepada banyak orang.” Demikian, melalui Latihan Rohani St. Ignatius menyediakan ringkasan kesempurnaan hidup rohani dan menyajikan bagaimana melatihnya di jalan dan keseharian hidup ini. Tidak dalam arti menyediakan program kesempurnaan siap pakai (ready-made), melainkan menyediakan cara dan jalan yang mesti dipraktikkan dan dibiasakan dengan tekun baik sebagai cara doa maupun cara hidup, terutama di dalam menimbang dan membuat pilihan-pilihan atau keputusan. Biasa dikenal dengan berdiskresi dan membuat eleksi (Ignatius Iparraguirre, S. J., A Key to the Study of the Spiritual Exercises, 1959, 38-40). Dengan demikian, kepada orang yang pernah mendengar nama Latihan Rohani St. Ignatius Loyola dan berkenalan dengan Serikat Jesus atau karyanya, tetapi diganggu oleh rasa ingin tahu tentang Latihan Rohani dibukakan salah satu jawaban penting dan strategis, yakni  Latihan Rohani dimengerti untuk dipraktekkan atau dipahami dengan dijalani. Bagi kehidupan rohani, buku kecil ini  menempatkan supremasi praktik dan latihan. Artinya, buku merupakan panduan untuk menjalani latihan rohani yang isinya membiarkan diri dibimbing oleh rahmat-rahmat Tuhan yang diyakini terus bekerja. Letak rahasia dan efektivitasnya adalah ketika seseorang bertekun melatih dan mempraktekkannya dengan bantuan seorang pembimbing.    Cara-cara dan bahan doa Latihan Rohani memuat cara-cara doa, bahan-bahan doa beserta tuntunan dan panduan serta dinamikanya. Dimulai dengan catatan pendahuluan yang terdiri atas dua puluh nomor. Catatan-catatan ini memberi keterangan mengenai apa itu Latihan Rohani, bagaimana menggunakannya, sikap-sikap apa yang mesti dimiliki supaya Latihan Rohani yang dijalani tertata, efektif sekaligus dinamis dengan buah-buah yang diharapkannya. Keterangan dua puluh nomor (LR 20)  juga menyebut syarat-syarat untuk menjalani latihan rohani dari sisi usia dan kekuatan, pendidikan, kemampuan dan kesibukan. Bisa dibayangkan disini beragam pelaku Latihan Rohani dan latar belakangnya, tetapi satu tujuannya, menaklukkan diri dan mengatur hidup supaya selaras dengan kehendak Tuhan serta membangun disposisi untuk rahmat-rahmat Tuhan.   Catatan-catatan tersebut seperti pedoman melangkah dalam Latihan Rohani yang perlu   diperhatikan dan ditepati secara teliti supaya proses Latihan Rohani berjalan efektif dan orang mengalami banyak rahmat bimbingan Tuhan. Setelah Latihan Rohani berjalan pun, untuk mengawal kesungguhan, kedisiplinan dalam menjalani latihan rohani St. Ignatius menyajikan sepuluh aturan tambahan (LR 73 -90). Dikatakan bahwa aturan ini dimaksudkan supaya seseorang dapat lebih baik dalam melakukan Latihan Rohani dan mendapatkan rahmat yang diinginkan. Isinya antara lain preparasi doa meditasi dan kontemplasi serta refleksi; Misalnya, ketika seseorang telah menetapkan akan melakukan doa pada pagi hari dengan bahan Kitab Suci, pada malam hari sebelum tidur sudah mempersiapkan dan mengingatnya. Lalu pada saat bangun segera mengarahkan perhatian pada bahan yang akan direnungkan (LR 73-74). Untuk selalu menyadari kehadiran Tuhan, setiap kali memulai doa dan berada di tempat meditasi atau kontemplasi, sejenak  mengarahkan hati serta menyadari bahwa kita berada di hadirat Tuhan dan menyadari bahwa “Tuhan memandangku”,   lalu membuat penghormatan (LR 75). Mengenai refleksi, dikatakan bahwa setiap kali selesai latihan rohani mengambil waktu untuk melihat proses dan isi latihan rohani serta memperbaiki yang kurang dan mensyukuri serta mempertahankan yang sudah berjalan baik (LR 77).    Setelah catatan pendahuluan (LR 1-20), dan masuk ke bahan pertama “Asas dan Dasar” (LR 23) yang menegaskan tujuan hidup, sikap terhadap ciptaan, serta ajakan untuk selalu memilih yang lebih (magis) mendukung tujuan diciptakan, St. Ignatius menyajikan dua nomor penting, tujuan Latihan Rohani serta suasana relasi dan komunikasi di dalam bimbingan Latihan Rohani. Dirumuskan dengan jelas bahwa tujuan Latihan Rohani adalah menaklukan diri dan mengatur hidup.  “Tujuan Latihan Rohani adalah menaklukan diri dan mengatur hidup sehingga tidak ada keputusan diambil di bawah pengaruh rasa lekat tidak teratur mana pun juga” (LR 21). Disadari bahwa di dalam mengolah hidup rohani, ada cacat

Karya Pendidikan

“Mengenalkan Seminari dan Panggilan dengan Cara Kreatif”

Open House Seminari Mertoyudan Dalam rangka merayakan peringatan St. Petrus Canisius (PETCA), pelindung Seminari Mertoyudan, Seminari Mertoyudan menggelar acara Open House pada Minggu, 7 April 2024. Acara ini juga diadakan untuk mengenalkan panggilan dan seminari pada umat dan masyarakat sekitar. Dalam open house ini, lebih dari 1000 orang dari paroki-paroki se-Keuskupan Agung Semarang hadir, melihat apa saja yang ada di Seminari Mertoyudan, dan mengunjungi venue-venue yang disiapkan panitia. Acara open house berlangsung pada pukul 09.00 hingga 15.00 WIB.   Dalam open house ini, pengunjung dapat berkeliling seminari untuk melihat berbagai fasilitas yang ada termasuk Kapel St.Petrus Canisius yang ikonik dan lapangan sepak bola yang hijau nan ciamik. Salah satu anak PIA dari paroki Fatima Magelang mengatakan, “Wah, asyik ya di sini, bisa main bola. Lapangannya gedhe.” Ia bersama teman-temannya pun sempat mencicipi menendang-nendang bola di sana.   Selain bisa melihat-lihat, pengunjung juga bisa ikut bermain di Mertozone. Ada empat lokasi Mertozone dan di salah satu lokasinya, pengunjung dapat bermain meniup bola pingpong yang ditaruh di atas gelas berisi air. Pengunjung yang dapat memindahkan bola pingpong sampai ujung akan mendapatkan hadiah menarik yang disediakan oleh panitia. Di lokasi lain, ada permainan menembak target dengan pistol mainan dan teka-teki berhadiah. Mertozone ini ramai didatangi anak-anak hingga panitia yang menjaganya kewalahan. Wajar saja, anak-anak itu suka bermain apalagi jika berhadiah.     Seminari Mertoyudan memang sekolah untuk calon imam. Walaupun begitu, yang dikembangkan di seminari tidak hanya mengenai kerohanian dan pengetahuan tetapi juga minat masing-masing pribadi yang dapat berguna bagi kerasulan pastoral ke depannya. Minat-minat yang sudah terwadahi di seminari seperti olahraga, teater, orkes, tari, karawitan, sastra, seni lukis, seni fotografi, jurnalistik, pecinta alam, dan desain visual juga ditampilkan dalam open house baik dengan bentuk pameran, pertunjukan, maupun dengan stand-stand yang dihiasi hasil karya para seminaris.   Turut hadir juga perwakilan dari Kongregasi Suster SPM dan Kongregasi Bruder FIC yang mempromosikan panggilan hidup membiara. Pengunjung dapat lebih mengenali hidup membiara dan bertanya-tanya kepada suster dan bruder dengan datang ke stand mereka di area Joglo Semangat. Open house dimeriahkan juga dengan doorprize dan tampilan band-band yang diisi oleh para seminaris dan OMK sekitar seminari. Hal itu untuk memberi nuansa semangat muda di seminari yang sudah berusia 112 tahun saat ini. “Kita ini orang muda, maka kita tampilkan kemudaan kita sambil mengajak orang-orang muda lain untuk berani menjadi imam/biarawan-biarawati” tegas Adityo Seno, Seminaris KPA yang juga menjadi ketua panitia.   Tagline Open House tahun ini adalah Gelorakan Jiwa, Bagikan Cahaya. Dengan tagline itu, Seminari Mertoyudan berharap para pengunjung digelorakan jiwanya oleh Tuhan sendiri untuk lebih berani membagikan cahaya di tempat dan perannya masing-masing. Diharapkan dari acara open house ini, umat dan masyarakat sekitar semakin mengenal Seminari Mertoyudan dan semakin banyak pemuda yang tertarik untuk menanggapi panggilan Tuhan serta masuk mendaftar ke seminari. Come and Join Us!   Kontributor: S Bonifasius Dwi Vilas, S.J. – Seminari Mertoyudan

Karya Pendidikan

Lulus Sekolah untuk Apa?

Refleksi Retret Penegasan PIKA 49 Retret merupakan salah satu sarana bagi seseorang untuk hening sebelum mengambil keputusan penting. Bagi peserta didik kelas IV SMK PIKA Semarang, kesempatan retret dipakai untuk mengendapkan seluruh pengalaman mereka selama bersekolah guna melihat disposisi batin mereka sebelum mengakhiri pendidikan dan memulai perjalanan baru ke depan. Pengalaman magang tujuh bulan yang sebelum ini mereka alami tentu memberikan wawasan baru yang membantu mereka berdiskresi sebelum melanjutkan hidup mereka sesudah studi selesai.   Tanggal 15-17 April 2024 menjadi momen bagi peserta didik angkatan 49 untuk mengikuti Retret Penegasan. Peserta berjumlah 54 orang didampingi oleh empat pendamping dari Tim Ignatian sekolah yaitu Bp. Andhy, Bp. Eko, Bp. Tanto, dan Fr. Septian. Retret ini berlokasi di Rumah Retret Panti Semedi (RRPS) Sangkal Putung, Klaten.   Retret penegasan bertema Ite Inflammate Omnia (Go Forth and Set the World on Fire) hendak mengajak para peserta untuk mengendapkan seluruh pengalaman mereka selama empat tahun bersekolah di PIKA sehingga dapat memutuskan dengan kemerdekaan batin pilihan hidup setelah lulus. Peserta didik diharapkan tidak hanya memutuskan berdasarkan keinginan emosi sesaat, melainkan sampai pada kesadaran akan tujuan hidup yang ingin Allah tunjukkan pada mereka. Diharapkan mereka tidak hanya menjadi pribadi yang mengejar hal-hal duniawi semata, melainkan sampai pada tataran hidup untuk semakin mencintai Allah dengan segala sarana yang sudah mereka terima dengan lepas bebas. Ite Inflammate Omnia atau maju dan kobarkanlah dunia yang menjadi jargon untuk menumbuhkan kesadaran bahwa mereka diutus oleh Allah sendiri untuk menjadi agen perubahan yang positif di manapun mereka berada nantinya.     Secara umum, peserta retret merasa gembira karena dapat bertemu dengan teman-teman mereka setelah 7 bulan terpisah karena menjalani Praktik Kerja Industri (Prakerin) di berbagai tempat. Salah seorang peserta mengungkapkan bahwa kegiatan ini menjadi kegiatan kebersamaan bersama angkatan yang terakhir sebelum mengakhiri masa pendidikan empat tahun mereka di SMK PIKA Semarang.   Acara diawali dengan melihat konteks angkatan 49 saat ini untuk mengetahui disposisi batin setiap peserta. Sebelum retret, para peserta diminta mengisi form untuk membuat konteks angkatan sebagai bahan dasar berefleksi. Dengan mengetahui disposisi batin, para peserta menyadari seperti apa kondisi angkatan mereka saat ini.   Selanjutnya, dilakukan sharing berdua-dua (Emmausan) agar para peserta bisa saling tukar pikiran dan pengalaman. Sharing ini pun diatur oleh tim agar tiap peserta dipasangkan dengan peserta yang belum begitu akrab. Dengan begitu, mereka bisa saling mengenal dan berbagi cerita pengalaman transformatif yang didapat.   Acara selanjutnya adalah sharing alumni yang dibawakan oleh Kevin dari angkatan 45. Melalui sharing alumni di hari pertama, para peserta memiliki perspektif bagaimana Kevin mengambil keputusan sebagai alumni PIKA. Tentu, PIKA memiliki keuntungan selain bisa kuliah, mereka dipersiapkan bekerja setelah lulus. Kevin juga memberikan motivasi untuk mengambil kesempatan seperti mengambil kerja sambil kuliah atau pun sebaliknya. Peserta diajak untuk tidak perlu malu selagi keputusan itu tidak membawa pada dosa. Selagi masih muda, jangan takut capek maupun gagal. Kalau jatuh 7 kali, berani bangkit 8 kali.   Sharing alumni ini kemudian diperdalam di hari kedua dalam sesi tentang diskresi dan dilanjutkan dengan bimbingan rohani. Melalui materi diskresi, para peserta diajak untuk menyadari berbagai aspek dalam mengambil keputusan penting seturut petunjuk Latihan Rohani (LR) St. Ignatius. Diawali dengan mengenali Asas Dasar LR 23, peserta diajak untuk mengarahkan tujuan pengambilan keputusan semata-mata untuk menanggapi cinta Tuhan yang begitu besar. Lalu dalam sesi diskresi I peserta diajak untuk melihat berbagai aspek dalam menimbang-nimbang keputusan yang tidak hanya didasarkan pada keinginan duniawi tetapi juga menyangkut pengembangan diri yang terarah pada makin lebih besarnya kemuliaan Tuhan. Di dalam diskresi II peserta diajak untuk belajar cara mengambil keputusan yaitu dalam situasi tenang dan kemerdekaan setelah mengenali berbagai aspek positif dan negatif suatu keputusan. Dalam sesi ini dipaparkan tentang berbagai distraksi yang perlu diperhatikan dalam wujud kelemahan yang mereka temukan. Sesi Diskresi III peserta diajak untuk melihat dampak keputusan yang diambil. Apakah keputusan itu terarah pada Tuhan atau keinginan duniawi, dan bagaimana cara mengatasinya, terlebih terhadap motivasi palsu yakni peran Roh Jahat yang menggiring ke arah egoisme pribadi.   Di antara sesi-sesi tersebut, peserta mulai diajak untuk melakukan bimbingan rohani bersama pendamping masing-masing. Peserta telah dibekali panduan serta pertanyaan yang perlu mereka jawab sehingga ketika proses bimbingan dapat terarah pada penegasan atas hal-hal yang sudah mereka refleksikan. Pendamping berusaha untuk mempertajam, mengoreksi, dan menunjukkan aspek-aspek lain yang dirasa belum peserta temukan dalam refleksi mereka. Ternyata hal tersebut amatlah membantu. Tidak jarang peserta juga menemukan kegalauan saat mengambil keputusan ke depan. Kecemasan akan kegagalan, yang terkait latar belakang keluarga yang memberi pengaruh besar pada pengambilan keputusan mereka sehingga belum sampai pada kemerdekaan batin yaitu lepas bebas.   Di hari ketiga, para peserta diajak untuk lebih rileks dengan melakukan outbound. Peserta diajak untuk berjalan berkeliling di luar kompleks Rumah Retret. Peserta dikondisikan untuk benar-benar serius dan dalam suasana reflektif, di hari ketiga ini dengan menikmati kebersamaan dalam wujud games bersama kelompok. Kebersamaan dan kekompakan bersama tim yang di dalamnya bukan merupakan teman dekat ternyata membantu mereka untuk saling mengenal.     Setelah serangkaian games yang menyenangkan, peserta diajak untuk mengevaluasi dan merumuskan niat-niat baru. Bruder Marsono, selaku kepala sekolah juga sempat hadir memberikan peneguhan bahwa hidup perlu disyukuri karena masih banyak orang muda di luar sana yang belum memiliki kesempatan seperti para peserta. Acara kemudian ditutup dengan perayaan Ekaristi oleh Pater Istanto, S.J. selaku Ketua Yayasan. Dalam Ekaristi tersebut ada empat orang perwakilan peserta yang membagikan buah-buah rohani mereka yang amat menyentuh dan mewakili perasaan teman-teman mereka. Kesadaran bahwa mereka dicintai dan dibentuk oleh Allah sendiri, baik saat di sekolah maupun magang tujuh bulan di berbagai tempat menyadarkan mereka bahwa hidup adalah sebuah perutusan. Hidup tidak hanya untuk diri mereka sendiri, melainkan juga untuk dibagikan kepada semakin banyak orang yang membawa pada kebahagiaan sejati. Mereka diajak untuk menjadi manusia bagi sesama.   Akhirnya, kegiatan retret menjadi salah satu kegiatan wajib karena membantu peserta menapaki perjalanan hidup ke depan. Peserta diajak untuk tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, melainkan juga terbuka pada tuntunan Allah. Itulah mengapa pendidikan sebaiknya tidak hanya memberi bekal pada aspek kognitif saja, melainkan juga dalam pendampingan spiritual.   Kontributor: S Yohanes Krisostomus Septian Kurniawan, S.J. – Tim Ignatian