Pilgrims of Christ’s Mission

Pelayanan Gereja

Vigili Kelahiran Pancasila

Gereja St. Theresia, Bongsari mengadakan vigili Kelahiran Pancasila, pada 31 Mei 2020. Acara ini bekerja sama dengan komunitas Persaudaraan Lintas Agama dan turut mengundang tokoh-tokoh lintas agama di Kota Semarang untuk berdoa bagi NKRI yang sedang menghadapi wabah covid-19 sekaligus untuk berefleksi tentang arti Pancasila dalam situasi seperti ini. Acara ini juga dihadiri oleh Bhiku Cattamano (Budha), Indriani Hadisumarta (Konghucu), Ida Bagus Gde Winaya(Hindu), Pdt Sediyoko (Kristen Protestan), Ahmad Sajidin (Islam), Arifin (Penghayat Kepercayaan Komunitas Sapta Dharma) dan Setyawan Budi (Pelita). Proses acara berlangsung dengan lancar dengan diawali menyanyikan lagu Indonesia. Kemudian dilanjutkan doa oleh Rm Didik untuk Tanah Air dilanjutkan dengan refleksi Pancasila makna Pancasila. Dalam refleksinya tersebut, Rm Didik bercerita tentang “Blangkon”. Blangkon adalah penutup kepala yang biasa dipakai masyarakat Jawa. Dalam pandangan filosofis masyarakat Jawa terkait “Blangkon” adalah sebagai “jagad gede“. Masyarakat Jawa berjumpa dengan sesuatu yang Agung dan yang Ilahi dan di sana terkandung juga kebijaksanaan dan tuntunan hidup agar manusia selamat. Sedangkan orang yang memakainya, dipandang sebagai “jagad cilik“. Maksudnya adalah, manusia selalu dalam tekanan antara yang baik dan yang jahat. Setiap manusia itu membutuhkan pegangan dan tuntunan hidup. Maka ketika seseorang menggunakan “Blangkon”, ia siap berserah pada Sang Jaga Gede dan siap menyelaraskan hidupnya dengan nilai-nilai kebijaksanaan agar selamat.” Maka, setiap manusia di Indonesia pada dasarnya membutuhkan pegangan dan tuntunan hidup. Dalam konteks Indonesia ini Pancasila dapat menjadi “platform”. Pancasila dengan nilai-nilainya menguasai cara berpikir,cara merasa dan cara bertindak masyarakat Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Indonesia beruntung memiliki Pancasila yang dapat mempersatukan masyarakat. Begitu juga dengan Covid-19. Selain telah memakan korban jiwa dan harta benda, Covid-19 telah menawarkan pelajaran yang berharga. Covid 19 dapat menunjukkan kebobrokan sistem masyarakat kita dimana ada sekelompok orang yang seenaknya tidak mengindahkan protokol dan akhirnya membuat sengsara bangsa karena PSBB makin diperpanjang. NKRI pantas bersyukur karena memiliki Pancasila yang nilai-nilainya berakar kuat dalam kehidipan warganya. Hal ini tampak ketika masyarakat dapat bahu membahu peduli sesama melawan virus corona dan memperhatikan kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya. Covid-19 telah menyerang masyarakat tanpa diskriminasi maka kita diajak untuk melawannya tanpa diskriminasi juga. Dalam kehidupan pada masa “new normal“, harapannya kehidupan bermasyarakat di Indonesia sudah tidak ada lagi yang bersikap diskriminatif.” Semoga bangsa kita tidak ada lagi orang yang seenaknya atau dengan penuh intensi merusak Pancasila ini. Suasana doa bersama untuk Negeri ini berakhir dengan amat syahdu ketika para pemuka agama saling bergantian berdoa dengan kekhasannya masing-masing. Acara ditutup dengan menyanyikan lagu “Garuda Pancasila” dan diakhir berkat meriah oleh Rm. Didik. Edwardus Didik Cahyono

Karya Pendidikan

Lebaran, Hari Kemenangan yang #dirumahaja

Tahun 2020 adalah tahun yang spesial. Tahun di mana saya merayakan Hari Kemenangan, Idul Fitri, dalam suasana tenang, di rumah aja. Saat di mana saya merasakan kehangatan keluarga yang dalam dan juga saat saya menjadikan gadget sebagai barang yang banyak sisi positifnya. Tahun yang unik yang memang harus dialami namun tahun yang saya sendiri tidak ingin kembali lagi. Yang jelas, saya ingin dalam menjalani tahun ini, saya dan keluarga tetap sehat walafiat. Puasa di masa pandemi memang menyenangkan karena tidak banyak aktivitas berat karena kuliah bisa di rumah aja. Namun lebaran di masa pandemi sangatlah tidak menarik karena kami merayakan hari kemenangan dalam suasana tenang dan biasa aja. Tidak ada kemeriahan dan silaturahmi yang sangat menggembirakan sehingga setelah lebaran, saya tidak dapat membeli barang-barang yang saya suka. Setelah salat Ied pun, kami langsung berada di rumah dan semuanya terjadi seperti hari-hari biasa saja. Mungkin ini takdir dari Allah yang membuat kami harus merayakan Idul Fitri dengan penuh kesederhanaan, namun saya yakin bahwa Allah punya rencana yang akan menyelesaikan semua masalah pandemi ini dengan sangat bijaksana. Saya bersyukur karena masih diberikan hidup sampai saat ini. Tentu saja, selama pandemi ini, kami taat pada protokol yang diberikan. Di desa saya, di Turi, protokol ini sangat berlaku. Kadang, beberapa orang yang ngeyel ditakut-takuti akan bahaya penularan Covid yang sangat mengerikan. Saya sendiri tidak terlalu memikirkan hal-hal yang mengerikan tersebut karena saya tetap bersyukur selama pandemi suasana keluarga, di rumah, menjadi semakin hangat. Kebersamaan sangat kuat dan kami saling mendukung satu sama lain untuk mengikuti protokol yang ditentukan. Kakak saya yang sudah bekerja, saat sampai rumah, selalu diminta cuci tangan dan setelah itu mandi sebelum bertemu dengan anggota keluarga lainnya. Kebisingan di desa ini juga semakin berkurang karena polusi suara dan polusi udara menjadi berkurang. Saya menikmati indahnya suasana alam di desa ini. Begitu juga dengan hubungan dengan tetangga-tetangga di desa. Banyak orang di rumah aja dan sebagai orang muda saya sering terlibat dalam kegiatan solidaritas desa. Karena aktivitas tersebut, saya menjadi semakin mengenal orang-orang yang ada di desa saya. Biasanya kami sangat sibuk, pergi pagi pulang malam, namun dengan pandemi ini, kami menjadi saling mengenal satu sama lain. Tentu saja, Idul Fitri kali ini jauh berbeda dari harapan. Saya merasa ada suasana yang hilang, ada yang kurang dalam suasana kemenangan kali ini. Saya tidak terlalu nyaman dengan adanya silaturahmi via gadget, saya juga tidak terlalu nyaman dengan kuliah online, dan saya juga tidak suka dengan salat yang berjarak. Secara umum, saya sendiri tidak suka dengan suasana yang membatasi gerak seperti ini yang tidak sesuai dengan jiwa muda saya. Namun saya percaya hal baik akan datang pada waktunya sehingga saya tetap stay at home dan tidak melakukan aktivitas-aktivitas yang diluar protokol. Fitri Kusuma (Mahasiswi Sanata Dharma, FKIP Biologi)

Karya Pendidikan

Belajar Bermurah Hati Seperti Sang Ibu

Refleksi Relawan Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Oleh Andi Suryadi, Arya Nugraha, Dyah Andriani, dan Stanislaus Dio Zevalukito “Menjadi muda tidak hanya berarti mencari kesenangan sementara dan kesuksesan yang dangkal. Supaya kemudaan dapat mewujudkan tujuannya dalam perjalanan hidup kalian, kemudaan itu haruslah menjadi waktu pemberian yang murah hati, persembahan yang tulus, pengorbanan yang sulit namun membuat kita berbuah.”  Penggalan kalimat di atas berasal dari dokumen Christus Vivit yang ditulis oleh Paus Fransiskus. Dokumen tersebut memang untuk orang muda dan itu mengikat rasa akan pentingnya waktu pemberian yang murah hati, persembahan tulus dan pengorbanan berbuah. Sungguh rasanya konteks tersebut relevan saat memaknai perjalanan kami hari-hari belakangan ini.  Kami mengelola kemurahan hati Universitas Sanata Dharma dan para donaturnya yang dijembatani oleh Bruder Yohanes Sarju, SJ, MM, selaku Kepala Lembaga Kesejahteraan Mahasiswa (LKM) Universitas Sanata Dharma (USD). Pandemi Covid-19 ini telah membuat banyak mahasiswa/i Sadhar mengalami kesulitan, entah karena daerah rumah mereka di lockdown sehingga tidak bisa pulang atau keluarga mereka ada yang terkena PHK sehingga tidak bisa mengirimkan uang bulanan. Mereka datang ke kampus dan Br. Sarju menerima mereka dengan baik. Saat pagi menyingsing hingga sebelum fajar menyapa kami, ditemani Br. Sarju, menanti mereka yang datang dengan kekhawatiran di Pasturan Kapel Robertus Bellarminus, Kampus 1 USD. Kami memberikan mereka paket makanan. Lebih dari 1.700 paket bahan makanan telah disalurkan kepada mahasiswa USD yang kesulitan akibat terdampak pandemi Covid-19. Perjalanan ini setidaknya telah mencoba membangun harapan di tengah kesulitan.  Realisasi penyediaan bahan pangan tersebut dilakukan secara kontinyu, terutama dengan tujuan meringankan beban mahasiswa yang mengalami karantina wilayah hingga pergeseran alokasi belanja. Sebab, realitas yang dihadapi menuntut cara bertahan dan melangkah dalam segala keterbatasan. Para Mahasiswa harus beradaptasi dengan mekanisme kuliah daringyang tidak murah, apalagi saluran keuangan terkendala karantina wilayah dan lainnya.  Pusparagam ceritera kian mengolah rasa jauh di sanubari kami. Tak jarang kami pun harus keluar dari penantian. Sebagian mahasiswa mengalami kesulitan lebih jauh, seperti kendala transportasi dan keterbatasan harta. Kami dipanggil bukan hanya untuk menyalurkan sembako kepada mereka, tetapi menjadi sahabat yang bersedia merangkul mereka. Dalam keterbatasan kami, kami coba mengakomodir kesulitan lanjut itu dengan mengantar paket kebutuhan ke tempat tujuan atau sekadar memanfaatkan jasa ojek daring. Sebab, kami menyadari bahwa goresan-goresan peristiwa yang kami alami sejatinya sedang membentuk sebuah narasi cinta. Rentetan kisah yang kami lalui berangkat dari rasa syukur atas kemurahan hati. Perjalanan kami juga dilandasi kemauan untuk mengambil peran agar mampu memberikan kemanfaatan hidup bagi sesama. Pengalaman terlibat dalam distribusi sembako ini membawa kami pada kesadaran untuk mendengarkan, berbagi energi positif dan saling menguatkan, serta mengelola secara bijak cinta kasih universitas dan para donatur.  Perjalanan memaknai semangat muda ini didampingi oleh Bruder Sarju yang senantiasa memberikan warna berbeda. Bruder mengajarkan pentingnya bela rasa dan jejaring dalam situasi sulit. Nilai kebersamaan perlu dihidupi untuk melangkah bersama dalam pengharapan. Anak muda tidak boleh berhenti berharap dalam masa-masa sulit. Selain itu, Bruder juga mematri nilai bela rasa yang mampu menumbuhkan harapan dan meyakinkan bahwa hari esok akan selalu ada matahari terbit dari timur. Warna itu kian bercorak dengan ragam kisah nan-indah yang kami dengarkan dari Romo Bambang Irawan, SJ, Romo H. Angga Indraswara SJ, Romo Heri Setyawan SJ, Romo Antonius Subanar SJ. Narasi-narasi yang dibangun kerap kali mampu menembus tingkap cakrawala pengetahuan kami dan mengisi perbendaharaan pemaknaan hidup. Situasi seperti ini sekiranya menuntut setiap kami memiliki kebesaran hati seorang ibu. Bruder Sarju SJ senantiasa menyiratkan makna untuk memandang masalah dengan diri kita sebagai solusi. Artinya, dalam segala kesulitan, kita perlu mengambil peran lebih dari sekadar penggembira, tetapi melayani dalam keterbatasan.  Mengalami pengalaman yang nadir membawa kami seutuhnya menjadi diri sendiri. Prudentia bukan proses yang natura non facit saltum. Belarasa juga bukan perkara baperan yang tidak berlanjut pada aksi nyata. Keduanya menyiratkan kegembiraan hati yang terkoneksi pada sesama, sehingga dapat mengambil posisi dan berbagi hidup. 

Formasi Iman

MENSYUKURI NARASI KECIL

Terhitung lebih dari 60 hari, komunitas Unit Pulo Nangka bersama warga DKI Jakarta lainnya mulai menjalani pembatasan fisik, bahkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan laju penyebaran Covid-19. Aktivitas serba terbatas. Beberapa kegiatan pun terpaksa dilakukan secara daring (online). Kegiatan sehari-hari dan orang-orang yang ditemui hampir tidak pernah berubah. Ada nuansa bosan, sekalipun secara nalar memang tidak banyak hal lain yang dapat menjadi pilihan. Akan tetapi, dibalik narasi besar merebaknya Covid-19 komunitas Pulo Nangka bersyukur karena dapat menemukan narasi-narasi kecil. Inilah yang menjadi oase di tengah gurun karantina yang sejak 15 Maret kami jalani. Ada tiga narasi kecil. Pertama, kebersamaan yang intensif dalam komunitas, membuat pengenalan antar anggota semakin dalam. Tanpa disadari, Covid-19 bahkan menjadi sarana untuk memupuk solidaritas dan companionship antaranggota komunitas. Alih-alih sekedar lahan perutusan, komunitas semakin disadari sebagai rumah fisik, afeksi, bahkan spiritual. Kedua, Covid-19 menjadi kesempatan untuk memperhatikan rumah. Fakta bahwa dinamika harian dilakukan 24 Jam memantik kreativitas anggota unit untuk mengatur rumah agar semakin nyaman ditinggali. Hal inilah yang membuat anggota unit krasan untuk rehat sejenak dari kesibukan dengan duduk, ngobrol, dan menikmati angin senja di beranda. Ketiga, solidaritas anggota unit pun semakin diteguhkan dalam kegiatan menyalurkan sembako bagi warga yang tinggal di sekitar unit. Bekerja sama dengan Komunitas Gua Maria Kanna (KGMK), unit Pulo Nangka bersyukur karena komunitas tetap dapat membantu meringankan beban para petugas kebersihan, penjaga keamanan, dan pedagang asongan yang  biasa berkeliling di sekitar kompleks. Ada rasa syukur ketika melihat kegembiraan pada wajah mereka yang membutuhkan. Kegiatan inilah yang meneguhkan dimensi sosial dalam komunitas.  Merebaknya pageblug Covid-19 tidak menampik akan adanya kekalutan, kebingungan, dan ketakutan. Covid-19 menatapkan setiap manusia pada kondisi yang serba terbatas dengan physical distancing, PSBB, dsb. Akan tetapi, batas kerap kali juga menjadi sarana pertumbuhan bagi manusia. Kita dapat mensyukuri pengalaman sederhana yang dialami dan merefleksikannya dengan paradigma yang baru. Covid-19 mempertajam radar kita untuk dapat menemukan wajah-Nya dalam segala. Semoga di tengah narasi besar merebaknya Covid-19, kita tidak lupa untuk mensyukuri narasi-narasi kecil dalam komunitas dan karya perutusan kita, dimanapun kita berada. Semoga narasi kecil inilah yang senantiasa memelihara rasa syukur, kebahagiaan, sekaligus harapan kita di tengah Corona. Stay Safe. Stay Healthy.

Pelayanan Gereja

Allah Terkesan Diam, namun bukan berarti Dia Tidak Ada

Refleksi terlibat dalam Belarasa dan Solidaritas Covid-19 di Paroki Blok B Awalnya aku tak pernah membayangkan sedikitpun, bahwa aku akan mengalami masa-masa sulit dalam hidupku yaitu pandemi COVID-19. Sebelum adanya pandemi ini, rutinitas keseharianku biasanya aku habiskan untuk bekerja dan pelayanan di gereja. Aku bekerja di salah satu perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang Food and Beverage. Ada sekitar enam puluh lima outlet restauran yang tersebar di wilayah Jakarta, Depok, Tangerang dan Bekasi. Sedangkan untuk pelayanan di gereja aku termasuk salah satu orang muda yang aktif berkegiatan. Menjadi seorang lektris, prodiakones, koor orang muda, dan juga membantu urusan administrasi (sekretaris) adalah bentuk pelayanan yang kupilih sendiri untuk kujalani di dalam parokiku. Dan sebelum pandemi ini pula, aku telah merencanakan banyak hal termasuk pergi liburan bersama dengan teman-temanku. Namun ketika pandemi COVID-19 ini datang, semua aktivitas yang sudah ku sebutkan dan ku rencanakan seakan-akan lenyap begitu saja. Gagal liburan, tidak bisa lagi ke kantor karena harus work from home (WFH) dan tidak bisa lagi beraktifitas di gereja. Aku hanya bisa berdiam diri di rumah, menjadi kaum rebahan di rumah. Sedih rasanya mengetahui keadaan kantorku yang bisa dibilang langsung drop terkena dampak dari pandemi ini. Dari enam puluh lima outlet, empat puluh tiga di antaranya harus terpaksa tutup sementara, sedangkan sisanya, harus berjuang tetap buka walau hanya dengan konsep delivery saja. Dalam keadaan kantorku yang seperti ini, otomatis pendapatanku sangat berkurang signifikan. Pendapatan semua karyawan dipangkas empat puluh hingga enam puluh persen dari biasanya. Bisa dibayangkan gimana rasanya? sedih, terlebih sangat khawatir bagaimana aku mampu untuk menjalani hari hari ku kedepannya dengan kondisi seperti ini. Seringkali aku berdoa namun aku merasakan doaku sangat kering, perasaaan takut dan cemas selalu lebih besar. “Tuhan, Engkau dimana? Sampai kapan ini Tuhan? Kenapa Tuhan diam saja?” Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sering kuserukan dalam setiap doa-doa pribadiku. Dalam situasi kacau ini, tiba-tiba aku dikontak oleh salah seorang teman pelayanan di paroki. Dia mengajakku untuk membantu membagikan bansos yaitu berupa nasi bungkus dan juga sembako. Ajakan ini tentu saja membuatku sangat antusias. Kebanyakan berada di rumah membuatku bosan dan jenuh. Aku ingin keluar namun aku juga sadar bahwa keluar rumah artinya berbahaya untuk kesehatanku. Bisa-bisa aku tertular virus ini di luar sana. Temanku ini menyakinkan bahwa tim relawan bansos akan diberikan alat perlindungan diri yaitu berupa masker, sarung tangan, face shield, vitamin c, dan juga hand sanitizer. Tanpa berpikir panjang lagi aku langsung bersedia ikut. Dengan beberapa kali mengikuti kegiatan ini, akupun sadar bahwa banyak orang di luar sana yang juga merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan bahkan bisa dikatakan lebih berat lagi dari apa yang ku alami. Ada yang kehilangan pekerjaan, ada yang tidak bisa membeli makanan, dan ada juga yang tidak bisa membeli bahan-bahan kebutuhan pokok lainnya.Ketika aku menyalurkan bansos tersebut, ku lihat ada senyum kebahagian terpancar dari wajah-wajah mereka. Tak jarang kudengar pula mereka spontan melafalkan doa syukur dan langsung mendoakan kami agar dimudahkan rejekinya he…he..he… Dari kejadian ini aku disadarkan agar aku tidak hanya mengejar kepuasan diri sendiri saja; dapat gaji, liburan utk relaksasi diri atau jadi kaum rebahan yang cuma bisa istirahat. Namun ternyata ada kehidupan baru yang tercipta ditengah situasi sulit ini yaitu kehidupan untuk berbagi kasih bagi sesama, yang mungkin selama ini jarang atau bahkan tidak pernah aku lakukan. Mungkin jika tidak adanya pandemi ini, aku hanya menjadi orang yang sibuk tanpa pernah melihat sekelilingku dengan mata dan hati yang terbuka. Kadang aku berpikir “Apakah pandemi ini pertanda kiamat?” semuanya terhenti begitu saja dan besok akan muncul bumi yang baru, atau sebenarnya kita sedang maju bersama-sama dengan Tuhan untuk tetap bisa kreatif beriman dengan berbagai kemajuan zaman. Kemanusiaan tidak terhenti melainkan semakin mendalam dengan berani berbelarasa dan bersolidaritas untuk sesama. Melalui kejadian ini pula, aku diajarkan bahwa Allah mungkin terkesan diam, namun bukan berarti Dia tidak bekerja. Dia berperan dalam diriku. Aku dibuatnya takut dan susah pada awalnya namun aku dibuatnya kuat dan bahagia pada akhirnya. Mungkin ayat ini sungguh-sungguh bisa aku resapi dan menjadi kekuatan dalam diriku “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm 8:28) Aku belajar untuk lebih bersabar, menerima segala keadaan dan menjalaninya dengan tekun. Dalam setiap kelemahan dan kesulitanku, aku yakin ada hal baik yang tumbuh dalam diriku dan ada banyak hal baik yang ingin Tuhan ajarkan kepadaku. Elizabeth Bait (OMK Blok B)

Karya Pendidikan

Semarang Hebat, Loyola Asri

Kerjasama SMA Kolese Loyola dan Pemerintah Kota Semarang (Rabu, 03 Juni 2020) – Yayasan Loyola dan Pemerintah Kota Semarang mengadakan kerja sama untuk membangun pedestrian di depan Loyola yang semula kumuh menjadi lebih asri dan nyaman bagi pejalan kaki dan para siswa. Visi untuk bergerak bersama menjadi suatu kolaborasi yang indah antara Yayasan Loyola dan Pememerintah Kota Semarang. Pada 3 Juni 2020, secara resmi Pemerintah Kota Semarang melakukan serah terima hibah pembangunan infrastruktur di halaman depan SMA Kolese Loyola. Infrastruktur yang dibangun adalah trotoar di depan SMA Kolese Loyola sepanjang 150 meter dan lebar 1,7 meter di Jalan Karanganyar. Pembangunan trotoar baru tersebut menggunakan material ekologis dan terdapat biopori di bawah trotoar sebagai resapan air. Yayasan Loyola melihat keprihatinan yang nyata bahwa di depan SMA Kolese Loyola tatanan trotoar sangat kumuh yakni dipakai sebagai tempat mengecat mobil dan juga berdagang. Atas inisiatif Yayasan Loyola maka terciptalah ide untuk membangun dan mempercantik kawasan di depan SMA Kolese Loyola dengan berkolaborasi bersama Pemerintah Kota Semarang. Pak Hendrar Prihadi selaku Wali Kota Semarang yang sekaligus membuka acara serah terima tersebut mengatakan bahwa merasa senang karena Yayasan Loyola memberikan dukungan dan ikut program KOMPAK (Kolaborasi Masyarakat Bersama Pemerintah Kota) untuk meningkatkan infrastruktur Kota Semarang. Pak Hendi berharap bahwa kelompok-kelompok lain juga meniru apa yang dibuat oleh Yayasan Loyola sehingga bukan saja pemerintah yang peduli melainkan juga ada partisipasi aktif dari masyarakat untuk menjaga dan memperindah tata kota di Kawasan Kota Semarang. Fr. Antonius Bagas Prasetya

Pelayanan Spiritualitas

Mengenang Keindahan Pribadi Pater Adolfo Nicholas, S.J.

Pater Nicholas adalah pribadi yang sangat ‘friendly’. Kehadirannya membuat diri merasa aman, berharga, damai, gembira dan optimis. Sebagai Jendral Serikat Jesus beliau sangat ramah, penuh humor sekaligus mendalam dan tegas. Sebagai Provinsial, saya selalu bisa ‘rely on him’ atau selalu bisa mengandalkan beliau. Itulah sebabnya dalam mengemban perutusan melayani Provindo, sebagai Provinsial, saya merasa aman karena memiliki sahabat, seorang pimpinan yang bisa saya andalkan. Dalam beberapa pertemuan dengan beliau saya menikmati kegembiraan, optimisme, kedalaman dan rasa sebagai sahabat dalam Tuhan, juga ketika bertemu beliau di Manila dan di Jepang setelah mengundurkan diri sebagai Jenderal Serikat Jesus. Jendral Serikat yang Penuh Rasa Humor dan Bersahabat Dalam beberapa kali pertemuan dengan Pater Adolfo Nicholas, saya selalu terkesan dengan KEGEMBIRAAN, KEDALAMAN dan KEHENINGAN-nya yang bersatu dengan RASA HUMOR YANG CERDAS. Sapaan personal dengan mengatakan ‘Selamat Pagi atau Selamat Sore’ selalu beliau sampaikan setiap kali kami bertemu. Tentu saja beliau akrab dengan sapaan dalam Bahasa Indonesia tersebut karena kebersamaan beliau dengan Rm. Riyo Mursanto yang menjadi Sociusnya saat Pater Nicholas menjabat sebagai Presiden Jesuit Conference Asia Pacific (JCAP). Sapaan sederhana ini mengungkapkan perhatian dan persahabatan yang sederhana dan mendalam. Ketika saya melihat kembali pengalaman-pengalaman bertemu Pater Nico, ternyata saya selalu merindukan cerita-cerita humornya yang sangat segar. Bila ada kesempatan saya sangat senang duduk semeja makan dengan beliau karena pasti akan mendengar pengalaman yang sangat bernilai sekaligus cerita-cerita segar. Rasa humor beliau yang berasal dari kedalaman selalu mengejutkan dan membuat teman-teman di sekeliling beliau merasa dekat, gembira dan optimis. Beliau selalu membagikan kisah-kisah lucu entah saat makan bersama atau saat snack maupun pada kesempatan lain. Salah satu contoh yaitu ketika kita mengadakan misa pembukaan Kongregasi Prokurator di Nairobi 2012. Dalam berkat penutup beliau mengatakan, “The Mass is ended but …. the Congregation begins” dan spontan seluruh peserta Kongregasi Prokurator tertawa terhibur. Contoh lain lagi ketika Pater Arturo Sosa terpilih untuk menggantikan beliau sebagai Jendral Serikat. Beliau mendapatkan kesempatan pertama untuk maju ke depan dan memberikan ucapan selamat. Persis dua tiga langkah di hadapan Pater Arturo, beliau memberi hormat bagai hormat militer. Kontan seluruh peserta KJ 36 tertawa gembira melihat adegan lucu yang cerdas tersebut. Itulah gambaran singkat Pater Nicholas yang saya kagumi. Ia pribadi yang gembira, optimis, penuh humor, mendalam dan bersahabat. Rowing into the Deep ‘Rowing into the deep’. Itulah undangan yang selalu disampaikan oleh Pater Nicholas kepada seluruh anggota dan karya-karya Serikat.  Ketika Serikat mengadakan Kongregasi Prokurator ke-70 di Nairobi ( 9-16 Juli 2012) dalam De Statu Serikat, Pater Nicholas menyampaikan refleksi sangat dalam mengenai situasi hidup rohani Serikat. Dari laporan para Prokurator, Pater Nicholas menangkap betapa laporan mengenai hidup rohani sangat tipis dibandingkan laporan mengenai Karya Kerasulan. Secara  bergurau Pater Nicholas mengatakan ‘barangkali para Jesuit sedemikian bersemangat merasul, sehingga hidup rohaninya tergambar di dalam karya mereka’. Melalui ungkapan itu Beliau mengajak Serikat dan setiap Jesuit untuk sungguh-sungguh membaharui hidup Rohaninya. Refleksi tersebut disambung dengan pertanyaan mendasar: mengapa Latihan Rohani tidak mentransformasi kita sedalam yang kita harapkan? Pertanyaan penting ini diangkat kembali dalam KJ 36. The question that confronts the Society today is why the Exercises do not change us as deeply as we would hope. What elements in our lives, works, or lifestyles hinder our ability to let God’s gracious mercy transform us? This Congregation is deeply convinced that God is calling the entire Society to a profound spiritual renewal (KJ 36 Dekrit 1, n.  18). Undangan untuk masuk ke KEDALAMAN merupakan sentuhan khas Pater Adolfo Nicholas. Pater Nicholas menyebutkan salah satu hal yang menghalangi seseorang mengalami transformasi ke kedalaman adalah DISTRAKSI.  Banyak Jesuit membiarkan hidupnya terdistraksi oleh banyak hal yang tidak penting: seperti gadget. Banyak dari kita terdistraksi dalam mengerjakan hal-hal yang bukan merupakan tugas perutusannya namun sibuk dengan banyak hal sampai tidak memiliki waktu untuk memperhatikan hidup rohaninya.  Orang tidak lagi punya RUANG untuk hening, untuk membiarkan Allah bekerja di dalam dirinya. Menurutnya, pribadi-pribadi yang mengalami transformasi Latihan Rohani dapat tampak dari hidup, panggilan dan perutusannya. Hidupnya selalu diwarnai kegembiraan otentik, fokus dengan tugas perutusan dari Serikat, kata dan perbuatannya menginspirasi banyak orang, serta persahabatannya menyenangkan. Berani Menanggalkan Diri, Membuka Ruang bagi Allah Refleksi Pater Nicholas mengenai KEDALAMAN dan TRANSFORMASI yang bersumber dari Latihan Rohani ini sungguh masih relevan bagi kita semua. Tanda bahwa seseorang bertransformasi tidak lain adalah bahwa perkataan dan perbuatannya MENGINSPIRASI. Hanya perkataan dan perbuatan yang berasal dari Kedalaman Hidup Rohani, Kedalaman Intelektual dan Kedalaman Sosial yang akan menarik dan karenanya dapat menginspirasi serta mentransformasi diri sendiri dan orang lain. Pater Adolfo Nicholas adalah contohnya. Sebagai misionaris beliau membuka ruang dalam dirinya untuk memeluk budaya dan kekayaan tradisi Jepang. Itulah sebabnya ketika memimpin Serikat sebagai Jendral, beliau mengajak seluruh anggota Serikat untuk berani menanggalkan ‘comfort zones’ dan memasuki tantangan-tantangan baru. Salah satu gebrakan yang beliau lakukan adalah Serikat mengadakan restrukturisasi Gubernasi besar-besaran. Banyak provinsi di Spanyol, Brasil, Amerika dan Eropa di-merger menjadi satu provinsi. Saya bisa merasakan betapa undangan untuk merestrukturisasi Gubernasi Serikat tidak mudah dipeluk oleh banyak Jesuit, tetapi dengan kedalaman, keheningan, kegembiraan dan optimisme, Pater Nicholas mampu mengajak seluruh Serikat merestrukturisasi Gubernasinya demi melayani tantangan perutusan zaman ini. Begitu juga dengan Eksamen Karya Provindo tahun 2015-2017 yang dirancang dan dilaksanakan  dengan bersumber pada Surat Pater Jendral 2014/01 The Apostolic Institutions at the Service of the Mission,  yang mengajak seluruh institusi karya untuk merefleksikan dirinya dihadapkan pada tuntutan kerasulan zaman ini. Melalui Eksamen Karya tersebut, kita memohon keterbukaan batin, kemerdekaan batin untuk menimbang Karya-Karya kita agar tetap formatif, apostolic, proper serta sustainable. Beberapa bulan sebelum KJ 36, Pater Nicholas memberikan Latihan Rohani bagi orang-orang muda Eropa. Dalam salah satu refleksinya, beliau mengundang dan menantang para Jesuit untuk memberikan Latihan Rohani bukan hanya kepada orang-orang Kristiani, tetapi juga pada mereka dari tradisi iman yang lain dan bahkan Latihan Rohani untuk orang-orang atheist. Bisakah kita berbagi kekayaan Latihan Rohani dengan mereka ini? Undangan ini pada dasarnya menantang kita untuk berani ‘masuk’ ke dalam pengalaman mereka, menantang kita untuk berani menanggalkan rasa aman (comfort zones) dan menghidupi pengalaman-pengalaman mereka. Pengalaman beliau menjadi misionaris Jepang sampai akhir hayat, rupa-rupanya menjiwai semangat KETERBUKAAN beliau. Terbuka untuk menanggalkan diri dan memeluk

Pelayanan Spiritualitas

Jerapah Pater Nico

Dalam satu kesempatan rapat di Roma, saya menginap di Kuria Jenderalat. Pagi itu saya masuk ruang makan untuk sarapan. Di meja paling ujung dekat dapur sudah duduk Pater Nico bersama seorang lain. Mungkin karena saya terlihat canggung, Pater Nico lalu meminta saya duduk di meja yang sama. Begitu mengenali tampang Asia ini, Pater Nico lancar bercerita tentang bagian dunia yang paling dikenalnya. Hangat, ramah dan sederhana. Itulah kesan pertama siapapun yang berjumpa dengannya. Menurut pengakuannya sendiri, Pater Nico adalah Jenderal pertama yang memakai email dan internet. Ia mengalami dunia yang ribut dengan banjir informasi dan kesibukan tak perlu, sekaligus dunia yang berjejaring dan menjanjikan keluasan. Dalam hal inilah ia akan terus dikenang dengan pesannya tentang kedalaman. Kedalaman pemikiran dan imajinasi yang berakar dalam perjumpaan dengan Allah di dunia akan mengobati globalisasi kedangkalan yang meracuni hati dan budi banyak orang. Konon, binatang kesukaan Pater Nico adalah jerapah karena punya jantung raksasa yang menggambarkan kedalaman empati dan leher panjang untuk melihat jauh ke depan. Serikat telah kehilangan seorang yang punya hati besar dan wawasan yang mendugai seluk beluk dunia. Selamat jalan Pater Nico. P. Benedictus Hari Juliawan, SJ