Refleksi Relawan Mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Oleh Andi Suryadi, Arya Nugraha, Dyah Andriani, dan Stanislaus Dio Zevalukito
“Menjadi muda tidak hanya berarti mencari kesenangan sementara dan kesuksesan yang dangkal. Supaya kemudaan dapat mewujudkan tujuannya dalam perjalanan hidup kalian, kemudaan itu haruslah menjadi waktu pemberian yang murah hati, persembahan yang tulus, pengorbanan yang sulit namun membuat kita berbuah.”
Penggalan kalimat di atas berasal dari dokumen Christus Vivit yang ditulis oleh Paus Fransiskus. Dokumen tersebut memang untuk orang muda dan itu mengikat rasa akan pentingnya waktu pemberian yang murah hati, persembahan tulus dan pengorbanan berbuah. Sungguh rasanya konteks tersebut relevan saat memaknai perjalanan kami hari-hari belakangan ini.
Kami mengelola kemurahan hati Universitas Sanata Dharma dan para donaturnya yang dijembatani oleh Bruder Yohanes Sarju, SJ, MM, selaku Kepala Lembaga Kesejahteraan Mahasiswa (LKM) Universitas Sanata Dharma (USD). Pandemi Covid-19 ini telah membuat banyak mahasiswa/i Sadhar mengalami kesulitan, entah karena daerah rumah mereka di lockdown sehingga tidak bisa pulang atau keluarga mereka ada yang terkena PHK sehingga tidak bisa mengirimkan uang bulanan. Mereka datang ke kampus dan Br. Sarju menerima mereka dengan baik. Saat pagi menyingsing hingga sebelum fajar menyapa kami, ditemani Br. Sarju, menanti mereka yang datang dengan kekhawatiran di Pasturan Kapel Robertus Bellarminus, Kampus 1 USD. Kami memberikan mereka paket makanan. Lebih dari 1.700 paket bahan makanan telah disalurkan kepada mahasiswa USD yang kesulitan akibat terdampak pandemi Covid-19. Perjalanan ini setidaknya telah mencoba membangun harapan di tengah kesulitan.
Realisasi penyediaan bahan pangan tersebut dilakukan secara kontinyu, terutama dengan tujuan meringankan beban mahasiswa yang mengalami karantina wilayah hingga pergeseran alokasi belanja. Sebab, realitas yang dihadapi menuntut cara bertahan dan melangkah dalam segala keterbatasan. Para Mahasiswa harus beradaptasi dengan mekanisme kuliah daringyang tidak murah, apalagi saluran keuangan terkendala karantina wilayah dan lainnya.
Pusparagam ceritera kian mengolah rasa jauh di sanubari kami. Tak jarang kami pun harus keluar dari penantian. Sebagian mahasiswa mengalami kesulitan lebih jauh, seperti kendala transportasi dan keterbatasan harta. Kami dipanggil bukan hanya untuk menyalurkan sembako kepada mereka, tetapi menjadi sahabat yang bersedia merangkul mereka. Dalam keterbatasan kami, kami coba mengakomodir kesulitan lanjut itu dengan mengantar paket kebutuhan ke tempat tujuan atau sekadar memanfaatkan jasa ojek daring. Sebab, kami menyadari bahwa goresan-goresan peristiwa yang kami alami sejatinya sedang membentuk sebuah narasi cinta.
Rentetan kisah yang kami lalui berangkat dari rasa syukur atas kemurahan hati. Perjalanan kami juga dilandasi kemauan untuk mengambil peran agar mampu memberikan kemanfaatan hidup bagi sesama. Pengalaman terlibat dalam distribusi sembako ini membawa kami pada kesadaran untuk mendengarkan, berbagi energi positif dan saling menguatkan, serta mengelola secara bijak cinta kasih universitas dan para donatur.
Perjalanan memaknai semangat muda ini didampingi oleh Bruder Sarju yang senantiasa memberikan warna berbeda. Bruder mengajarkan pentingnya bela rasa dan jejaring dalam situasi sulit. Nilai kebersamaan perlu dihidupi untuk melangkah bersama dalam pengharapan. Anak muda tidak boleh berhenti berharap dalam masa-masa sulit. Selain itu, Bruder juga mematri nilai bela rasa yang mampu menumbuhkan harapan dan meyakinkan bahwa hari esok akan selalu ada matahari terbit dari timur. Warna itu kian bercorak dengan ragam kisah nan-indah yang kami dengarkan dari Romo Bambang Irawan, SJ, Romo H. Angga Indraswara SJ, Romo Heri Setyawan SJ, Romo Antonius Subanar SJ. Narasi-narasi yang dibangun kerap kali mampu menembus tingkap cakrawala pengetahuan kami dan mengisi perbendaharaan pemaknaan hidup.
Situasi seperti ini sekiranya menuntut setiap kami memiliki kebesaran hati seorang ibu. Bruder Sarju SJ senantiasa menyiratkan makna untuk memandang masalah dengan diri kita sebagai solusi. Artinya, dalam segala kesulitan, kita perlu mengambil peran lebih dari sekadar penggembira, tetapi melayani dalam keterbatasan.
Mengalami pengalaman yang nadir membawa kami seutuhnya menjadi diri sendiri. Prudentia bukan proses yang natura non facit saltum. Belarasa juga bukan perkara baperan yang tidak berlanjut pada aksi nyata. Keduanya menyiratkan kegembiraan hati yang terkoneksi pada sesama, sehingga dapat mengambil posisi dan berbagi hidup.