Pilgrims of Christ’s Mission

Pengumuman A24

KAUL AKHIR JUNI 2020

Dalam surat tertanggal 15 Juni 2020, Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J. mengeluarkan dekrit yang memutuskan untuk meminta saudara-saudara kita di bawah ini untuk kaul akhir dalam Serikat Jesus. Mereka adalah: 1. Herbertus Dwi Kristanto, SJ2. Fransiskus Wawan Setyadi, SJ Kita mengucapkan Proficiat untuk ke-dua saudara kita ini dan membawa mereka dalam doa-doa kita.  Tempat dan tanggal pengucapan kaul akhir akan diumumkan menyusul. Bambang A. Sipayung, SJ

Karya Pendidikan

TELADAN MARIA DI MATA PEREMPUAN ATMI

Bunda Maria adalah sosok yang melampaui zaman. Teladannya terus hidup hingga saat ini. Era kolaborasi teknologi Internet, nirkabel, dan mesin otomatis yang kita hidupi saat ini jelas belum terbayangkan ketika Maria masih hidup bersama Yusuf, Yesus, dan para rasul. Akan tetapi, kecanggihan zaman, yang dikenal sebagai Era Revolusi Industri 4.0, ini tidak menjadikan teladan Sang Bunda tampak kuno. Justru teladan itu lestari dan selalu menginspirasi lintas zaman. Berlanjutnya teladan Bunda Maria itu, antara lain, ditunjukkan oleh tiga perempuan yang berkarya di lingkungan Kolese Mikael. Ketiga perempuan itu adalah Maria Marcelina Widyastuti (Politeknik ATMI Solo), Asworo Wahyunindyah (PT. ATMI Duta Engineering), dan Hartanti (ATMI-IGI Centre). Akhir Mei 2020, mereka diwawancarai oleh tim Michael College Ministry (MCM). Wawancara tersebut merupakan salah satu program kelompok campus ministry Kolese Mikael yang dikoordinasi oleh Fr. Vincentius Doni Erlangga, SJ ini dalam rangka Bulan Maria yang lalu. Maria Marcelina Widyastuti merasa diinspirasi oleh semangat pelayanan, kesederhanaan, jiwa yang penuh syukur, dan kerendahan hati Bunda Maria. Semua itu terangkum dalam ungkapan Sang Bunda, “Aku ini hamba Tuhan. Terjadilah padaku seturut perkataan-Mu.” Sebagai seorang instruktur muda di politeknik, ia lalu terdorong untuk menciptakan iklim belajar yang nyaman bagi para mahasiswa dan mahasiswinya. “Mahasiswa dapat berkonsultasi apabila memiliki permasalahan atau kesulitan dalam memahami pelajaran yang diberikan,” ujarnya. Lain lagi dengan Asworo Wahyunindyah. Staf Human Resources Department (HRD) di PT. ATMI Duta Engineering (ADE) ini melihat Maria sebagai sosok pemberani. Keberanian Maria ditunjukkan dengan mau mengambil risiko menerima perutusan untuk mengandung Yesus, walaupun belum bersuami. Sang Bunda menjalaninya dengan sukacita. Mencoba mengaitkan dengan hidup dan karyanya di PT. ADE, Asworo menyadari hidupnya yang juga penuh risiko dan tantangan. “Ini terus terang saya di staf HRD baru. […] Sebelumnya saya berada di staf administrasi marketing. […] Awalnya sih saya merasa ‘Kayaknya nggak mungkin, saya tidak punya background sama sekali di bidang hukum ataupun psikologi ataupun untuk menangani, menghadapi teman-teman.’ Cuma akhirnya, dengan semangat dari keluarga, dengan dukungan dari teman-teman, akhirnya saya memutuskan untuk ‘Oke, saya mengambil tantangan ini.’” Ia pun menambahkan, “Yang penting saya tahu apa yang saya lakukan itu benar dan bermanfaat bagi orang banyak.” Sementara itu, Hartanti mengagumi Bunda Maria sebagai sosok yang beriman dan taat pada kehendak Allah. Oleh karena itu, sebagai pegawai ATMI-IGI Centre, ia berusaha pula untuk melaksanakan perintah atasan sebaik-baiknya. “Karena pekerjaan yang kita lakukan tidak semata-mata hanya untuk mencari uang atau mematuhi perintah atasan, tetapi bekerja dengan iman adalah bagaimana kita setia terhadap pekerjaan itu sehingga kita dapat berguna dan bermanfaat bagi diri sendiri, sesama, dan terlebih untuk kemuliaan Allah.” Hartanti juga berpesan, “Bekerja harus ikhlas, bekerja tidak semata-mata mencari uang, tetapi bisa menjadi berkat bagi sesama.” Ketiga perempuan perkasa ini adalah sebagian dari sedikit pegawai perempuan di tengah belantara mesin, yang kerap dianggap identik dengan dunia lelaki. Memang, tidak semuanya berhadapan dengan mesin pendukung Revolusi Industri 4.0 di lingkungan Kolese Mikael. Ada pula yang berhadapan dengan para operator mesin-mesin tersebut. Akan tetapi, entah itu berhadapan dengan mesin ataupun manusia, teladan dari Bunda Maria menginspirasi mereka di tempat karya masing-masing. Inspirasi itu pun tidak disimpan menjadi kekayaan rohani pribadi. Mereka terdorong pula untuk menyebarkannya kepada orang-orang di sekitar. Seperti diungkapkan Asworo, “Meskipun kita hanyalah segelintir wanita, yakinlah kita bisa membawa perubahan yang baik untuk lingkungan sekitar kita.” Rafael Mathando Hinganaday, SJ

Pelayanan Masyarakat

Komunitas Le Cocq d’Armandville Papua Tanggap Covid-19

Komunitas Le Cocq d’Armandville Nabire, Papua mau menceritakan pengalaman terlibat dalam Gerak Solidaritas Tanggap Covid-19. Gerakan utama kami adalah mengadakan dan mendistribusikan masker kain gratis bagi masyarakat, khususnya di Kota Nabire dan sekitarnya. Mulai tanggal 12 April sampai 4 Juni kemarin, total 4.445 masker kain sudah kami bagikan. Selain itu ada juga 2 gerakan lain, yakni membagikan bahan makanan bagi umat di Paroki Kristus Sahabat Kita, serta lapangan pekerjaan bagi masyarakat.Pembagian masker kain sebagai gerak utama komunitas merupakan hasil diskresi bersama berdasarkan ketepatan dan relevansi konteks Nabire saat ini. Pertimbangan ketepatan dan relevansi itu berdasarkan kemampuan kami (tenaga dan dana) serta kebutuhan masyarakat yang paling mendesak. Banyak masyarakat di sini yang masih belum sadar akan bahaya Covid-19. Terbukti dengan kerap dijumpainya masyarakat yang bepergian ke luar rumah tanpa menggunakan masker kain. Masker kain yang kami bagikan sebagian berasal dari pesanan di empat tukang jahit sekitar sini, lalu sebagian lainnya adalah sumbangan umat di Jawa (Jakarta, Bandung, dll). Semangat awalnya, kami ingin mencoba juga untuk menjahit sendiri masker-masker tersebut, tapi kemudian kami sadar tidak ada yang terampil menggunakan mesin jahit. Daripada hasilnya kacau dan tidak segera jadi, maka kami putuskan untuk menyerahkan pembuatan masker kepada para tukang jahit tersebut. Pilihan tersebut sekaligus bertujuan untuk mendayagunakan para penjahit yang sepi orderan selama awal-awal masa wabah ini. Masker-masker tersebut selanjutnya kami bagikan kepada masyarakat melalui dua cara. Pertama, kami membagikan langsung kepada mama-mama dan para pedagang di pasar tradisional. Lalu cara kedua, kami menitipkan masker di puskesmas-puskesmas untuk dibagikan kepada masyarakat yang datang berobat tanpa menggunakan masker. Kami membagikan masker kain ini ke semua masyarakat Papua, tidak pandang bulu apakah umat Katolik atau bukan, asli orang Papua atau pendatang. Rasanya campur aduk ketika membagikan masker itu. Heran, keget, sekaligus juga ada sedihnya. Ketika membagikan masker di pasar tradisional, di antara mereka ada mama-mama yang berkata, “dipakai sekarang atau nanti?” Beberapa lainnya menyatakan, “ahh…sa tra (saya tidak) mau pakai masker. Ada Tuhan Yesus, sa tra takut Corona!” Ungkapan-ungkapan itu sepintas tampak lucu. Tapi lebih dalam lagi justru menunjukkan kemirisan: sosialisasi bahaya wabah yang tidak sampai ke mereka dan terlalu beriman lurus tanpa menggunakan akal sehat. Dua realitas yang membuat miris tersebut masih mudah ditemui hingga saat ini, padahal sudah terdapat 20 kasus positif Covid-19 di kota kecil ini.Selain masker kain, kami juga membantu memberikan paket bahan makanan untuk umat di Paroki Kristus Sahabat Kita. Total 230 paket bahan makanan telah disalurkan oleh Paroki. Paket tersebut berisi beras 4 liter, minyak goreng 1 liter, gula pasir 1 kg, teh 250 gram, garam, dan mie instan 10 bungkus. Gerak terakhir yang sesuai dengan konteks masyarakat di sini adalah memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Idenya adalah bukan hanya melulu ikan yang kami berikan, tetapi kami juga mau memberikan pancingnya. Kami mencoba membantu mereka yang kesulitan pekerjaan akibat dampak dari wabah ini. Ada sekitar 6 orang masyarakat yang kami ajak bekerjasama di kebun depan Wisma SJ. Mereka mengolah tanah tersebut untuk ditanami sayuran, ketela, dan buah-buahan. Selain mendapatkan ongkos kerja, nantinya mereka juga akan menikmati hasil panenan kebun tersebut. Demikian cerita singkat yang bisa kami sharing-kan. Kami bersyukur karena di tengah keterbatasan sarana yang ada masih tetap bisa ikut terlibat dalam gerak bersama masyarakat, gereja, dan dunia untuk menghadapi wabah ini. Salam sehat dalam perutusan. A. Agung Nugroho, SJ

Formasi Iman

Menyongsong Ekologi di Tengah New Normal

Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si menuliskan, “Saudari ini (bumi) sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya” (LS 2). Keprihatinan yang sama juga ditangkap oleh Serikat Universal lewat poin keempat Preferensi Kerasulan Universal untuk “Merawat Rumah Kita Bersama”.Pada Jumat sampai dengan Minggu, 19-21 Juni 2020, keprihatinan tentang Rumah Kita Bersama coba didalami lagi oleh para Romo, Frater dan Bruder Komunitas Kolese Hermanum Jakarta dalam program Refleksi Akhir Tahun (RAT). Refleksi Akhir Tahun biasa dilakukan setiap bulan Juni. Acara ini dimaksudkan sebagai momen untuk merefleksikan satu tahun ajaran yang telah berlalu dan menggali semangat untuk menyongsong tahun ajaran yang akan datang. Caranya adalah dengan memberi jawaban atas pertanyaan “apa yang telah, sedang, dan akan aku lakukan?” (LR 53) lewat evaluasi, input dari nostri, dan pembuatan action plan. Kerangka tersebut terbagi dalam tiga hari yang (khusus tahun ini) dilakukan secara daring lewat aplikasi Google Meet. Hari Pertama (Evaluasi)Tahap pertama di hari pertama dimulai dengan pengantar dari Rm. Sudiarja (Rektor) dan evaluasi dari Br. Suprih (Minister), Rm. Nugie (Prefek Ad Extra), Fr. Rony (Bidel Umum KOLMAN), serta Fr. Popo (Perwakilan Senat Mahasiswa) pada pukul 08.00-10.00. Rm. Sudiarja memberi pengantar singkat terkait arah dasar RAT. Setelah itu, Br. Suprih memberikan evaluasi tentang besaran pengeluaran KOLMAN selama setahun, Rm. Nugie memberikan evaluasi tentang kerasulan frater dan bruder KOLMAN, Fr. Rony memberi evaluasi tentang kegiatan yang telah dialami selama satu tahun (retret, aktualia, rekoleksi, dan kursus-kursus), dan Fr. Popo memberi evaluasi tentang keterlibatan para frater dan bruder dalam Senat Mahasiswa STF Driyarkara.Setelah evaluasi komunitas besar, acara dilanjutkan dengan evaluasi dalam lingkup unit pada pukul 11.00-12.00. Evaluasi setiap unit menyesuaikan dengan action plan tahun sebelumnya dan kekhasan unit masing-masing. Tema-tema tentang hidup berkomunitas yang menjadi misi kita sejak Kongregasi Jendral 35 dominan ditekankan dalam setiap unit. Selain itu, kesadaran sebagai komunitas formasi muncul lewat upaya menyeimbangkan hidup studi, hidup berkomunitas (pemenuhan kebutuhan bersama), dan pengembangan minat pribadi. Anggota unit yang baru saja berpindah diberi kesempatan untuk menyampaikan harapan dan pertanyaan. Hari Kedua (Input Nostri)Pada hari kedua, Rm. A. Andang Listya Binawan SJ membagikan pengalamannya dalam menghidupi semangat ekologis. Cerita Rm. Andang menjadi pengantar untuk refleksi komunitas tentang “Ekologi, New Normal, dan Kehidupan Unit”. Rm. Andang memberikan kerangka pertobatan personal dan mendorong pertobatan komunitas dalam rangka memperhatikan ekologi.Beliau mengawali dengan memberi tekanan bahwa formasi itu soal bertumbuh dan berbuah bukan hanya bagi sesama (ini masih antroposentris), tetapi bagi dunia. Secara khusus, dalam formasi filsafat, seseorang dituntut untuk berpikir secara diskursif. Hal ini berbeda dengan gerak pada sisi ekologis yang lebih mengarah pada sikap intuitif. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah habitus doa dan refleksi untuk mendamaikan cara berpikir diskursif dan intuitif, lalu mengambil suatu pola tindakan habitual.Pola tindakan habitual yang berorientasi pada proses merupakan ciri gerakan iman yang berbeda dari gerakan sosial. Gerakan sosial cenderung berorientasi pada hasil sedangkan gerakan iman berorientasi pada proses dan dibangun lewat pengalaman mistik: sebuah pengalaman kesatuan dengan Allah. Menyinggung Latihan Rohani, Rm. Andang berulang kali mengutip soal Kontemplasi Mendapatkan Cinta (KMC). St. Ignatius mengajak para retretan (terkhusus Jesuit) untuk melihat segala ciptaan sebagai karya Allah dan Allah yang hadir dalam segala ciptaan. Dalam Ensiklik Laudato Si, tema besar ini ada dalam bab ketiga dan keenam.Jadi, kita diundang bukan hanya untuk melakukan tindakan seperti menghemat air, tidak menggunakan plastik, maupun membuat kompos. Bagian terpenting justru adalah pengalaman keterhubungan secara mendalam dengan Tuhan dalam tindakan-tindakan tersebut. Pertanyaan “Apa yang telah aku lakukan untuk merawat bumi?” berganti dengan “Apakah aku sudah membuka hati akan karya Tuhan dalam doa lewat ciptaan-Nya?”Dalam masa pandemi Covid-19, segala hal semakin dimurnikan. Relasi, perekonomian, bahkan cara beribadah dilakukan secara baru. Ekaristi dan kegiatan keagamaan yang bisa dilakukan secara daring, membuat kita semua perlu mencari kedalaman ekaristi itu lagi dan lagi. Oleh karena itu, New Normal sesungguhnya adalah melakukan hal-hal yang sudah dilakukan tetapi secara baru. Dalam kaitan dengan spiritualitas, cara baru ini dilakukan dalam keterhubungan dengan Allah (dengan pengalaman mistik). Dengan demikian, kesaksian hidup yang otentik dapat menjadi suatu pewartaan yang akan menarik orang. Hari Ketiga (Perumusan Action Plan)Segala input dan pertanyaan-pertanyaan reflektif yang telah diberikan oleh Rm. Andang menjadi ‘bahan bakar’ untuk acara pada hari ketiga. Pada pukul 10.00-12.00 WIB, setiap unit merumuskan Action Plan yang akan dilakukan sepanjang tahun ajaran 2020/2021. Tidak hanya komunitas unit, komunitas romo dan bruder Johar Baru juga turut merumuskan Action Plan mereka. Perumusan Action Plan tersebut bernuansa 6 hal: sampah, makanan, tanaman, ternak, listrik, dan pendalaman lewat studi/refleksi. Keenam hal ini dirumuskan seturut dengan kekhasan dan fleksibilitas setiap unit.Sebagai contoh, Unit Pulo Nangka dan Unit Wisma Dewanto yang memiliki program Cafe Puna dan Jestfriend memunculkan rencana berupa refleksi atau studi bersama dengan tema ekologi. Selain itu, Unit Johar Baru, Kramat VI, dan Kampung Ambon yang telah membiasakan pemilahan sampah memilih untuk mengadakan program lanjutan seperti pembuatan kompos maupun pendisiplinan lebih lanjut soal pemilahan.Hasil pembicaraan Action Plan di unit masing-masing akhirnya dibawa dalam pleno pada pukul 16.00-17.30 WIB. Setiap bidel unit baru mempresentasikan Action Plan untuk satu tahun ajaran ke depan. Rm. Andang menanggapi dengan menegaskan kembali soal kecenderungan manusia yang memiliki sifat egosentris, pelupa, dan tidak mau repot. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan doa, sarana-prasarana, dan kontrol/monitoring. Doa dibutuhkan untuk mengubah mindset dan menguatkan motivasi. Sementara itu, sarana-prasarana dan kontrol dibutuhkan untuk mewujudkannya sebagai suatu gerakan. Dengan demikian, Action Plan yang dirumuskan akan menjadi sebuah habitus yang datang dari kesadaran diri didukung kesadaran komunal.Semoga perumusan Action Plan ini tidak berhenti pada tataran plan semata, melainkan mengejawantah dalam action yang berakar secara spiritual sekaligus menginspirasi sebagai sebuah kesaksian ekologis. Fr. Yosephus Bayu Aji P., SJ (Filosofan tingkat III)Fr. Lambertus Alfred, SJ (Filosofan tingkat I)

Pelayanan Gereja

Berita Duka Romo Franciscus Xaverius Widyatmaka, SJ

Romo Widy, atau sering dipanggil Romo Djien, mengembuskan nafas terakhir pada hari Sabtu, 27 Juni 2020, pukul 04.30 WIB, di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta. Romo Widy lahir di Semarang pada 22 Maret 1952 dari pasangan Bp. Jonatan Kusdianto Adiwinata dan Ibu Elizabeth Listyani Sutantyo. Ia dibaptis dan menerima sakramen penguatan di Gereja St. Yusup, Gedangan, Semarang yang merupakan paroki asalnya. Setelah lulus dari SMA Kolese Loyola Semarang, Romo Widy memutuskan untuk mengikuti panggilannya menjadi imam dengan mendaftar di Kelas Persiapan Atas (KPA) Seminari Menengah Mertoyudan dan setahun kemudian melamar menjadi anggota Serikat Jesus. Ia mulai menjalani masa novisiat di St. Stanislaus Girisonta pada 31 Desember 1973 dan mengucapkan kaul pertamanya sebagai anggota Serikat Jesus pada 1 Januari . Selanjutnya, Widy muda melanjutkan pendidikan filsafat di Jakarta dari 1976 – 1979 dan menjalani Tahun Orientasi Kerasulan (ToKer) sebagai moderator di SMA Kolese Kanisius, Jakarta dari 1979 – 1981. Tahap pendidikan teologi ia selesaikan di FTW Yogyakarta tahun 1981 – 1984. Widy muda ditahbiskan sebagai diakon di Kapel Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan pada 12 Oktober 1983 dan menerima tahbisan imamat dalam upacara yang meriah di Gedung Olahraga Kridosono, Yogyakarta. Kedua tahbisan ini ia terima dari Kardinal Julius Darmaatmadja. Setelah tahbisan imamat, Romo Widy menjalani perutusan sebagai Moderator SMA Kolese Kanisius Jakarta selama dua tahun (1984-1985). Selanjutnya ia menjalani tugas perutusannya di sebagai pastor paroki di KAS dan KAJ dengan rincian tugas di Paroki St. Perawan Maria Ratu Jakarta tahun 1987-1988, Paroki St. Theresia Jakarta tahun 1989-1991, Paroki St. Martinus Weleri tahun 1991-1996, Paroki St. Antonius Padua Muntilan tahun 2001-2004, Paroki St. Petrus Paulus tahun 2004-2009, Paroki St. Yohanes Penginjil tahun 2009-2011, dan Paroki St. Anna dari tahun 2014 hingga wafatnya 27 Juni 2020. Salah satu hal yang diingat para Jesuit ialah ungkapan “Bejo kowe…” Artinya “Kamu masih untung…” Dari sana, Romo Widy mau melihat sisi positif dari sebuah peristiwa-peristiwa sedih dan malang. Ia juga menggunakan ungkapan itu untuk mengingatkan siapapun agar tidak terlena dengan kemapanan dan kenyamanan. Seperti dikatakan oleh St. Ignatius dalam Latihan Rohani kepada retretan agar dalam saat desolasi mengingat bagaimana ia mengalami konsolasi, dan pada saat konsolasi tidak menganggap itu sebagai usahanya sendiri melainkan rahmat Allah. Rahmat Allah yang samalah yang kiranya menjadi pegangannya dalam masa-masa sakit sebelum kemudian menikmati kebahagian Allah yang ia imani. Romo Widyatmaka, doakanlah kami yang sedang berziarah di dunia ini. Communicator Serikat Jesus Provinsi Indonesia

Pelayanan Gereja

Berita Duka Mgr. Julianus Sunarka, SJ

Mgr. Julianus Sunarka, S.J dalam usia 79 tahun mengembuskan nafas terakhir pada hari Jumat, 26 Juni 2020 pukul 13.50 WIB di Rumah Sakit St. Elisabeth, Semarang. Mgr. Sunarka lahir di Yogyakarta, 25 Desember 1941 dari pasangan Alm. Bapak Sakarias Wagijo Soetadikrama dan Alm. Ibu Elisabeth Ngadiyah Soetadikrama. Ia menerima Sakramen Baptis pada umur 11 tahun dan Sakramen Krisma pada umur 12 tahun di Paroki St. Petrus dan Paulus Klepu. Di masa kecilnya, Mgr. Sunarka menempuh pendidikan dasar di Klepu, Yogyakarta, lalu melanjutkan pendidikan calon guru di SGB (1954-1958) dan SGA Ambarawa (1959-1962). Sembari belajar dan mengajar, ia mencari tambahan penghasilan dengan menjadi pedagang di pasar Ambarawa. Setamat sekolah di Ambarawa, ia mengikuti ketertarikannya untuk menjadi imam dengan mendaftar di Kelas Persiapan Atas (KPA) di Seminari Menengah St. Petrus Kanisius, Mertoyudan (1962-1963) dan setahun kemudian melamar menjadi anggota Serikat Jesus. Mgr. Narko muda mulai menjalani masa formasi awal di Novisiat St. Stanislaus Kostka, Girisonta pada 7 September 1963 dan mengucapkan Kaul Pertama pada 8 September 1965. Formasi studi Filsafat ia jalankan selama tiga tahun di kota Nijmegen, Belanda dan menjalani masa Tahap Orientasi Kerasulan (TOK) di Yayasan Pendidikan Kanisius Surakarta. Tahun 1971 ia menjalani formasi Teologi di Institut Filsafat & Teologi Kentungan dan menerima tahbisan diakon dari tangan Mgr. Julius Kardinal Darmoyuwono pada 17 September 1975 serta tahbisan imamat pada 3 Desember 1975 di Gereja St. Antonius Kotabaru – Yogyakarta. Setelah tahbisan ia pernah berkarya antara lain sebagai Pastor Paroki Weleri (1975 – 1977), Ekonom KAS (1977 – 1985), Rektor Seminari Tinggi Kentungan (1985 – 1990), Ekonom Provinsi (1991 – 1996), Komisi Kerasulan Sosial KWI (1997 – 2000) dan beberapa tugas lain di yayasan Serikat Jesus. Mgr. Sunarka dikenal umat sebagai seorang pribadi dan Jesuit yang hangat dengan semua orang. Sebagai Uskup Purwokerto, ia aktif membina hubungan dengan semua lapisan masyarakat untuk memajukan kesejahteraan bersama. Talentanya untuk mencari sumber air ia gunakan untuk membantu masyarakat menemukan sumber air bersih. Pada tanggal 26 Desember 2016, Mgr. Sunarka mengajukan permohonan pengunduran diri ke Vatikan dan pada tahun 2017 berpindah ke Wisma Emmaus, Girisonta, tempat para Jesuit senior tinggal. Disana ia melanjutkan tugas perutusan sebagai pendoa bagi Gereja dan Serikat Jesus sampai wafatnya. Mgr. Sunarka, doakanlah kami yang sedang berziarah di dunia ini. Communicator Serikat Jesus Provinsi Indonesia

Formasi Iman

Tiga Skolastik Baru Serikat Jesus

Tepat pada Hari Raya Kelahiran St. Yohanes Pembaptis, tiga orang Novis “lahir kembali” dengan mengikrarkan Kaul Pertama dalam Serikat. Mereka adalah fr. Lanang SJ (Agustinus Lanang Panji Cahyo), fr. Klaus SJ (Klaus Heinrich Raditio), dan fr. Pungkas SJ (Leonardo Ardhani Escriva Pamungkas). Misa Kaul Pertama dalam Serikat Jesus yang dirayakan di Kapel St. Ignatius Girisonta ini dihadiri oleh seluruh anggota komunitas Girisonta (Novisiat, Patres, Wisma Emmaus, dan Tersiat). Tepat pukul 11.00 perayaan Ekaristi dimulai dengan diiringi lagu pembukaan “Dengan Gembira” (MB 601). Dengan gembira pula seluruh anggota komunitas mematuhi protokol Covid-19 dengan duduk mengambil jarak di dalam kapel kecil ini. Ekaristi yang sederhana dan khusyuk ini dipimpin oleh Rm. Markus Yumartana, SJ (Rektor Komunitas Girisonta) sebagai Konselebran Utama, didampingi oleh Rm. Agustinus Setyodarmono, SJ (Magister Novisiat) dan Rm. Yulius Eko Sulistyo, SJ (Socius Novisiat dan Minister Komunitas Girisonta). Homili yang disampaikan oleh Rm. Yumartana dibuka dengan kata-kata Yesus dalam Injil hari ini, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Rm. Yumartana pun melanjutkan dengan sebuah pertanyaan, “Lalu, apa yang menjadi semangat atau dasar St. Ignatius dan para sahabat pertama dalam mengabdi Allah?” Dan jawabannya adalah “Latihan Rohani!” Latihan Rohani yang mempersatukan Ignatius dan para sahabat pertama dalam mengabdi Allah di bawah panji-Nya. Kemudian, Rm. Yumartana menyampaikan tiga tantangan yang dapat dihadapi oleh seseorang dalam mengikuti Yesus, yaitu: (1) narsisme, (2) viktimisme, dan (3) pesimisme. Ketiganya sejalan dengan pesan Paus Fransiskus pada waktu Hari Raya Pentakosta yang lalu. Tiga hal ini yang perlu dihindari, “Jangan-jangan kita tidak mengabdi Allah, justru hanya membawa ‘cermin’ (berpusat pada diri sendiri), melihat diriku sebagai korban dari kesalahan orang lain, dan selalu pesimis tanpa harapan dalam hidup ini.” Selain itu, fr. Klaus – mewakili para frater yang berkaul – menyampaikan sambutannya di akhir misa. “Masih segar dalam ingatan kami homili Romo Magister saat Misa penutupan Retret Agung tahun 2018 tentang 5 ibu dalam hidup kita: Ibu Maria, Ibu Kandung, Ibu Pertiwi, Ibu Gereja, dan Ibu Serikat. Setelah meninggalkan Girisonta ini, mungkin kami harus menambahkan satu lagi, yaitu: Ibu-Kota. Berbeda dengan 5 Ibu yang disampaikan oleh Romo Magister, Ibu-Kota bukanlah figur yang bersahabat. Orang bilang, ‘Sekejam-kejamnya Ibu Tiri, jauh lebih kejam Ibu-Kota. Maka jelaslah bahwa bagi kami, Jakarta adalah sungguh-sungguh medan perang. […] Ibu Serikat melepas kami berjuang sambil membawakan setumpuk bekal: kasih sayang, perhatian, pengolahan hidup, doa-doa, dan yang terpenting adalah Latihan Rohani dan Konstitusi. Dengan bekal-bekal ini kami akan maju bertempur berdarah-darah di Ibu-Kota.” Sesudah komuni, lagu Ndherek Dewi Mariyah pun terdengar diiringi oleh iringan musik oleh fr. Dennis untuk mengantar ketiga frater yang berkaul, bersujud dan berdoa di hadapan Patung Bunda Maria di Kapel St. Ignatius ini. Ada yang pernah mengatakan, “Kecantikan dan keanggunan Patung Maria di kapel ini rasanya belum ada yang bisa menandinginya. Sejak saya masuk Novisiat hingga saat ini, tidak pernah berubah.” Maksudnya adalah patung bunda maria ini tidak termakan oleh usia karena sejak dulu hingga sekarang, patung ini selalu saja cantik dan anggun. Di hadapan Bunda Maria inilah, ketiga frater kita ini ikut serta dalam pengabdian pada Ibu Gereja dan Ibu Serikat. Marilah kita doakan perjalanan mereka selanjutnya. Berkah Dalem.      Nikolas Kristiyanto, SJ