Pilgrims of Christ’s Mission

Pelayanan Masyarakat

Kepak Sayap Kemerdekaan

Berkibarlah bendera negeriku  Berkibarlah engkau di dadaku  Tunjukkanlah kepada dunia  Semangatmu yang panas membara  Daku ingin jiwa raga ini  Selaraskan keanggunan  Daku ingin jemariku ini  Menuliskan karismamu Sepenggal syair dari lagu BERKIBARLAH BENDERA NEGERIKU itu karya Soedjarwoto  Soemarsono (Gombloh). Kali ini dinyanyikan oleh para penyandang disabilitas yang tergabung  dalam Laetitia Disability Choir (LDC) dampingan Lembaga Daya Dharma – Keuskupan Agung  Jakarta (LDD KAJ). Para anggota LDC terdiri dari para penyandang disabilitas netra dan daksa.  Mereka dengan segala kemampuan dan keterbatasannya telah berupaya merekam suara dan  gambar video dirinya bernyanyi dari tempat tinggal mereka masing-masing untuk bisa tampil  menginspirasi publik melalui kanal youtube Gue LDD pada program NADA UNTUK NEGERI (NADI)  edisi perayaan kemerdekaan RI ke 76 tahun 2021. Bait-bait pada lagu ini semakin mendapatkan makna yang menggetarkan jiwa ketika  bangsa Indonesia bersama bangsa-bangsa di dunia sedang berjuang melawan pandemi Covid-19.  Pada kondisi yang serba sulit ini, Sang Merah Putih mengundang seluruh anak bangsa untuk terlibat dalam aneka gerakan kreatif membangun ketangguhan warga melawan virus corona dan  dampak pandemi ini bagi kesejahteraan hidup bersama.   Kita semua diajak untuk merayakan kemerdekaan RI ke-76 dengan terus mengobarkan  semangat merah putih, yaitu semangat berani dalam kesucian dengan cara mengambil peran berjuang  dan bekerja sama melawan penyebaran virus covid-19 dan membantu warga bangsa yang  mengalami dampak dari pandemi ini.   Berikut ini pesan lengkap dari Romo C. Kristiono Puspo, S.J. sebagai Direktur LDD KAJ pada pengantar program NADI episode merayakan kemerdekaan Agustus 2021. “Saya atas nama  Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung Jakarta, mengucapkan Dirgahayu Kemerdekaan  Republik Indonesia ke-76. Jayalah Indonesia. Dan tentunya dalam situasi seperti saat ini, kita diajak untuk terus berjuang, berani memperjuangkan kesadaran bersama, untuk bertumbuh bersama, dan untuk bergandengan tangan bersama di dalam situasi pandemi ini. Kita diundang untuk dengan tulus berani berjuang meretas dan menyingkirkan pandemi covid-19 secara bersama-sama. Kita perlu bergandengan tangan, roh yang sama dulu dan sekarang terus menggerakan kita untuk  berjuang melawan covid -19 ini.”  DOMUS ISOMAN  Salah satu gerakan bela rasa yang bertumbuh di KAJ menanggapi dampak dari pademi ini  adalah DOMUS ISOMAN. Sepercik gerakan belarasa ini untuk membantu para penyintas covid 19 agar bisa melakukan isolasi secara mandiri dan tersentral. Ide ini hadir ketika kondisi  penyebaran covid di DKI Jakarta pada periode bulan Juni s.d Agustus 2021 mengalami lonjakan  yang sangat drastis sehingga rumah sakit dan tempat-tempat isolasi yang disediakan oleh  pemerintah mengalami kesulitan untuk melayani warga penyintas covid-19.  Bergandengan tengan; Komisi PSE – Komisi Pendidikan – Komisi Kesehatan – dan LDD  Keuskupan Agung Jakarta bersama paroki, sekolah, kongregasi, biara, rumah sakit, pemerintah,  para relawan, dan para donatur menyelenggarakan pelayanan “isolasi mandiri terpusat” yang  diperuntukkan bagi penyintas dari warga pra sejahtera (baca: miskin).   Salah satu penyelenggara Domus Isoman adalah Para Suster Gembala Baik. Domus  Isoman St. Maria de Fatima ini hadir berkat kolaborasi Kongregasi para Suster Gembala Baik  dengan alumni sekolah Santa Maria, Paroki Matraman, Rumah Sakit St. Carolus, KAJ, serta para  relawan dan donatur. Bertempat di komplek biara dan sekolah Santa Maria, Jatinegara, Jakarta  Timur, Domus Isoman ini akhirnya bisa melayani penyintas covid-19 dari keluarga pra sejahtera.  Sr. Magdalena Rini, RGS sebagai ketua Yayasan Gembala Baik mengungkapkan rasa syukurnya  karena bisa ikut serta mengambil bagian dari perjuangan Gereja bersama segenap umat dalam  situasi perang tanpa senjata untuk melawan penyebaran virus covid-19.   Berikut ini adalah pesan syukur yang disampaikan oleh Sr. Magdalena, RGS dalam  program NADI di GueLDD edisi Kepak Sayap Kemerdekaan bulan Agustus 2021. “kami, para  suster Gembala Baik bersyukur, karena akhirnya pada hari ini secara resmi kami boleh ikut ambil  bagian dalam Gereja yang sedang berjuang bersama umat dalam situasi perang tanpa senjata ini.  Kami bersyukur karena kami boleh bersama-sama alumni, para donatur, dan para relawan  menyediakan tempat ini bagi saudara dan saudari kami yang membutuhkan tempat isoman.” V O L T   Volunteering and Leadership Training (VOLT) adalah program kaderisasi orang muda  untuk penggerak sosial bela rasa dan penerus gerakan kerelawanan di LDD KAJ. Program perdana  telah diselenggarakan LDD KAJ pada bulan Juli 2021. Desain utama dari program VOLT adalah olah  pikir, olah hati, dan olah tindak. Olah pikir agar orang muda semakin mampu memahami kondisi,  ancaman, dan tantangan sosial yang up to date dan terjadi di lingkungan hidup sekitarnya. Dari  proses ini diharapkan para peserta mampu berpikir secara kritis menemukan akar penyebab masalah dan mau terlibat memberikan sumbang pikir untuk mengatasi masalah yang ada. Olah  hati agar para peserta semakin bertumbuh menjadi generasi peduli yang memiliki hati nurani; yang tidak puas dengan keberhasilan diri jika tidak terlibat untuk memperbaiki kondisi sosial  di sekitarnya. Olah tindakan dimaksudkan agar para peserta VOLT ini bisa terlibat langsung dalam  gerakan sosial bela rasa yang diselenggarakan oleh LDD KAJ dan mitra gerakan serta oleh orang  muda ini sendiri dalam project-project sosial yang kreatif.   Dalam masa pandemi ini, terlebih di bulan Juli dimana eskalasi sebaran kasus covid di DKI  Jakarta menunjukkan peningkatan drastis, maka VOLT terpaksa diselenggarakan secara virtual  penuh. Sudah barang tentu banyak hal dari tujuan VOLT belum bisa dicapai. Namun kehadiran  para narasumber dalam sesi-sesi pembelajaran bersama telah memberikan makna tersendiri.   Salah satunya adalah M. Wahid Emha yang akrab disapa Gus Wahid. Pimpinan Lembaga  Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim – Nahdatul Ulama (LPBI – NU) ini membagikan inspirasi nilai toleransi kepada peserta VOLT yang datang dari aneka latar belakang. Beliau menunjukkan fakta  perbedaan dan toleransi alamiah yang ada pada tubuh manusia. Semua alat pada tubuh manusia tidak  sama persis, namun fungsinya untuk saling melengkapi dan menguatkan. Demikian juga dalam kehidupan  sosial kemasyarakatan; setiap individu diciptakan dengan keunikan sekaligus kebebasan yang berbeda- beda, namun perbedaan itu hendaknya dikelola untuk saling melengkapi demi terwujudnya  kesempurnaan hidup dalam perdamaian bersama.  Selain isu keberagaman dan toleransi, ada pula isu aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, isu  lingkungan hidup dan perubahan iklim, isu hak-hak asasi manusia, isu kepemimpinan, dan isu khas bagi  anak muda terkait roadmap pencarian dan pengembangan potensi diri.   UNTUK IBU PERTIWI  Mengakhiri program NADI edisi merayakan kemerdekaan RI ke-76, para alumni peserta VOLT  berkolaborasi dengan tim penyelenggara VOLT yang terdiri atas para relawan muda LDD KAJ  mempersembahkan “energi emas” mereka dalam kesatuan suara untuk IBU PERTIWI ciptaan Ismail  Marzuki/Kamsidi Samsudin. Iringan

Karya Pendidikan

Membangun Fondasi Pendidikan di Tanah Papua (Bagian 1)

Kondisi pendidikan dan kesehatan di wilayah Indonesia Timur berbeda dengan wilayah Indonesia Barat. Mengapa kemajuan SDM (Sumber Daya Manusia) di wilayah Indonesia Timur, terutama di Papua, lambat berjalan? Ada banyak sebab.  Sekurang-kurangnya tiga faktor yang akan kami cermati berikut ini memberi kontribusi yang signifikan: geografi, pendidikan dan kesehatan, serta teknologi digital.   1. Geografi  Peradaban yang kita kenal sekarang ini baru mulai sejak nenek moyang kita mengenal budaya pertanian. Pada 13.000 tahun yang lalu di Afrika, terjadi disrupsi yang mengubah sejarah. Hal ini dipicu oleh kekeringan hebat yang mengubah cara bertahan  hidup. Homo Sapiens yang bertahan hidup dengan berburu dan meramu, dipaksa keadaan untuk mencari benih-benih tanaman yang kemudian dapat dibibitkan dan jenis hewan-hewan yang dapat didomestikasi. Maka, mulailah budaya bertani dan beternak. Dari sana berkembang kebutuhan untuk menciptakan teknologi pertanian, peternakan, transportasi, alat senjata, dst. Berbeda dengan Afrika, di Papua tidak pernah terjadi kekeringan dan kelaparan – setidaknya ketika mereka masih memilih untuk memaksakan diri memakan nasi. Hujan sepanjang tahun. Hutan lebat. Kekayaan alam melimpah. Orang di Papua sudah bisa hidup tanpa perlu bertani atau beternak. Alam memanjakan mereka. Tidak dibutuhkan inovasi teknologi agar bisa bertahan hidup. Kondisi masyarakat dengan kultur berburu dan meramu di Papua saat ini, sebanyak 16% (kal.) dari  populasi OAP (Orang Asli Papua), tidak berbeda jauh dari nenek moyang kita sebelum 13.000 tahun yang lalu.  Selain kultur berburu dan meramu, terdapat pula kultur petani 28% (kal.) dan kultur urban 56% (kal.). Menurut data resmi Badan Pusat Statistik tahun 2020, di seluruh tanah Papua, 67% penduduk tinggal di desa, sedangkan 33% di kota. Di Papua sendiri sebanyak  68.8% penduduk tinggal di desa, sedangkan di Papua Barat 65.1%. Artinya, kultur modernitas urban sudah mempengaruhi lebih dari separuh populasi OAP baik di perkotaan maupun di pedesaan.  Kultur urban yang berciri serba praktis, cepat dan instan mulai mengubah pola kebiasaan konsumsi OAP. Cukup banyak OAP mengonsumsi nasi, bukan lagi ubi atau nota, sebagai akibat kebijakan politik “beras-isasi” Papua. Mama-mama Papua menjual nota untuk membeli indomie. Ikan dari danau dijual untuk ditukar dengan sarden. Pisang dijual untuk membeli pisang goreng. Banyak orang dari pedalaman senang pergi ke pusat-pusat kota kabupaten atau dari kabupaten pedalaman ke kota di pesisir pantai karena berbagai alasan atau tujuan. Ada yang ingin melakukan transaksi jual-beli barang dan jasa, mencari akses internet, mencari tempat yang dirasa lebih aman, atau hanya sekedar jalan-jalan melihat keramaian. Moda transportasi modern telah membuat kebutuhan untuk bergerak dengan cepat terlayani dengan relatif mudah. Bentang alam di Papua juga luar biasa kaya. Di Indonesia, hanya Papua yang mempunyai topografi pesisir pantai dan juga pegunungan hingga glacier. Bahkan Puncak Mandala (5050 mdpl), yang tertinggi di Indonesia, ada di Papua. Papua mempunyai rawa, hutan hujan dataran rendah dan dataran tinggi, terumbu karang, dan mangrove. Variasi bentang alam memisahkan satu daerah dengan daerah lainnya. Baik itu dibatasi oleh pegunungan dan perbukitan, danau, sungai yang lebar dengan arusnya yang deras hingga bentangan laut dengan musim anginnya. Selain itu, tanah Papua kaya dengan potensi tambang yang meliputi minyak dan gas bumi, emas, tembaga, batubara, nikel, pasir besi dan sebagainya. Faktor geografis Papua dengan kekayaan alam yang melimpah dan mendukung penghidupan masyarakatnya juga berkontribusi pada pemerataan akses kebutuhan hidup yang esensial.  Melihat kekayaan alam seperti ini, siapa tidak tergiur? Selain Free Port, banyak perusahaan mencari keberuntungan di Papua. Mereka bermain di segala sektor, entah di pengelolaan hasil hutan, tambang, atau laut. Ketika kepentingan ekonomi berkoalisi dengan kekuasaan negara, konflik terbuka tak bisa dihindarkan. Konflik bersenjata seperti yang terjadi saat ini di Intan Jaya, misalnya, ditengarai sarat dengan kepentingan ekonomi.  2. Pendidikan dan Kesehatan  Di manapun di dunia ini, pendidikan dan kesehatan selalu membantu masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Bagaimana dengan kondisi pendidikan dan kesehatan secara umum di Papua?  Keluarga-keluarga yang mempunyai motivasi agar anaknya memiliki peluang lebih besar dan bisa mendapat pekerjaan yang lebih  baik di era modern, akan mengirimkan anaknya ke sekolah-sekolah yang dianggap berkualitas di daerahnya. Meskipun  demikian, keinginan mendapat hasil tanpa proses panjang atau pemahaman bahwa pendidikan merupakan proses barter untuk  mendapat ijazah karena sudah membayar—warisan kultur berburu dan meramu–juga masih banyak terjadi. Biasanya mereka menuntut sekolah agar anaknya tetap lulus atau naik kelas, meskipun tidak bisa membaca atau jarang masuk  sekolah.   Masih banyak didapati, meskipun sudah usia SMA atau bahkan perguruan tinggi, mereka tidak lancar membaca dan berhitung. Banyak gedung sekolah berdiri tetapi tidak ada KBM (Kegiatan Belajar Mengajar). Kurangnya guru baik dari segi kuantitas maupun kualitas.  Guru yang ada terlalu sering absen. Banyak murid tidak memiliki buku pelajaran meskipun dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) disediakan. Guru memberi nilai bagus supaya anak naik atau lulus meskipun anak tidak bisa membaca. Situasi tersebut umum terjadi di banyak tempat di tanah Papua.  Prevalensi Malaria, TBC, dan HIV/AIDS cukup tinggi. Namun pengobatan penyakit seperti ini pada umumnya hanya tersedia di pusat-pusat kota. Di pedalaman banyak gedung puskesmas berdiri tetapi tidak ada obat, tidak ada dokter, tidak ada perawat.  Faktor geografis di poin pertama tadi, berkontribusi terhadap tersedianya fasilitas bagi tenaga kesehatan dan tenaga pendidik, juga distribusi obat atau buku. Nakes dan nadik di pedalaman harus mau hidup cukup terisolasi, jauh dari keluarganya. Penyediaan alat pendidikan dan kesehatan lebih mahal karena biaya transportasi. Oleh karena itu, semakin jauh dari pusat kota, semakin sedikit tenaga guru dan kesehatan yang mau mengabdikan diri. Guru-guru lokal yang diangkat sebagai ASN/PNS sering tidak masuk. Di Pulau Jawa guru tidak masuk paling sehari atau dua hari; di Papua bisa satu bulan atau lebih. Banyak tenaga kesehatan yang bersedia mengabdi di tempat terpencil akhirnya harus menyerah dan kembali ke kota karena minimnya fasilitas.  Belum ada kebijakan publik di Papua yang membawa dampak perubahan positif, kecuali proyek infrastruktur jalan trans Papua (LoC 495). Kebijakan-kebijakan lain di level yang rendah. Kondisi pendidikan di level terendah LoC 38, kesehatan LoC 49. Pengiriman TNI ke Intan Jaya dan lokasi-lokasi konflik untuk memerangi OPM/KKB LoC 89. Otonomi Khusus LoC 99. Semua kebijakan publik di bawah level 200 belum akan mendatangkan perubahan yang positif bagi masyarakat.  Pulau Papua terkaya dibanding semua pulau di Nusantara. Pulaunya sebesar 4-5 kali pulau Jawa. Populasinya tidak sampai ½ dari penduduk Jakarta.

Karya Pendidikan

Kolaborasi HUT ke-73 SMA Kolese de Britto dan SMA Stella Duce 1 Yogyakarta : Tigre Arciera

Kamis, 19 Agustus merupakan hari Ulang Tahun SMA Kolese de Britto dan SMA Stella Duce 1 Yogyakarta. Pada perayaan HUT yang ke-73 kali ini, Presidium SMA Kolese de Britto dan OSIS SMA Stella Duce 1 Yogyakarta berkolaborasi menyelenggarakan acara bersama dengan tajuk “Tigre Arciera”. Kegiatan HUT Ke-73 SMA Kolese De Britto dan SMA Stella Duce 1 ini mengusung tema “Bertumbuh dalam Semangat Magis melalui Pribadi yang Bersyukur dan Bersolidaritas.” Tema ini mengambil empat poin penting, yaitu tumbuh, magis, bersyukur, dan solidaritas. Keempat poin ini dipilih karena dinilai memiliki makna yang dapat dikembangkan oleh siswa maupun siswi dalam keadaan saat ini. Kegiatan “Tigre Arciera” dilaksanakan selama 3 hari, yaitu pada 17 Agustus 2021,  18 Agustus 2021, dan 20 Agustus 2021. Untuk kegiatan-kegiatan yang ada dalam rangkaian perayaan HUT SMA Kolese de Britto dan SMA Stella Duce 1, serta HUT RI akan dilakukan secara online, mengingat situasi pandemi COVID-19 yang belum usai. Berbagai kegiatan yang sudah dirancang, antara lain pada 17 Agustus terdapat upacara bendera bersama secara online, kemudian terdapat webinar dengan tema “Timeless Relationship” dengan narasumber Mas Andre dan Mbak Siska. Pada 18 Agustus ada webinar kembali, mengusung tema “A Way to Success: before 30” dengan narasumber Kak Gusti Arirang dari Tashoora Band dan Kak Laksamana Mustika, lalu disertai dengan kegiatan forum angkatan. Untuk hari terakhir, 20 Agustus, diadakan misa, penampilan-penampilan, pemutaran video pemenang lomba video kreatif, titip salam/question box, dan makrab (games & forum). Diharapkan dengan kegiatan-kegiatan tersebut dapat menjadi sarana mempererat tali persaudaraan antara keluarga SMA Kolese de Britto dan SMA Stella Duce 1. Selain tentu saja, acara ini diadakan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan terhadap sekolah yang sudah berdiri selama 73 tahun dan juga syukur atas kemerdekaan Indonesia yang ke-76. Kontributor : Alif dan Sherly – Panitia Tigre Arciera

Pelayanan Masyarakat

Cerita dari Shelter Kampoeng Media

Ketika pandemi Covid-19 mulai menjalar di Indonesia dalam bulan Maret 2020, kampung-kampung di Sinduharjo  mulai mengunci diri, termasuk kampung Jaban, tempat Kampoeng Media (SAV dan PT. Alam Media) berada. Aneka kegiatan yang sudah direncanakan sepanjang tahun dan melibatkan banyak orang, terpaksa dibatalkan. Kompleks penginapan yang baru saja selesai direnovasi urung digunakan. Staf pun mulai bergiliran masuk kerja.  Kami (Rm. Murti dan Rm. Iswara) gelisah. Apa yang bisa dilakukan untuk membantu masyarakat pada masa krisis ini? Salah satu kemungkinan adalah Penginapan Kampoeng Media yang kosong dijadikan Shelter bagi para tenaga kesehatan, tetapi RT/RW setempat tidak memberi izin karena mereka tidak ingin orang luar masuk kampung dan membawa virus. Pada saat Pandemi Covid-19 gelombang pertama, kami hanya bisa membantu sembako bagi orang-orang yang terdampak Covid-19 dan sumbangan untuk keperluan pencegahan Covid-19 di Kampung Jaban. Shelter Kampoeng Media Pada awal Mei 2021 program-program pelatihan yang menggunakan penginapan Kampoeng Media sudah bisa dibuka kembali, tetapi ternyata dalam bulan Juni 2021 kasus infeksi C-19 kembali meningkat tajam. Pandemi gelombang kedua mulai merebak. Banyak rumah sakit mulai kewalahan menangani pasien. Masa darurat ditetapkan oleh pemerintah.  Program-program dibatalkan dan Kampoeng Media kosong lagi. Kami gelisah lagi. Namun SAV masih bisa secara rutin memberi pencerahan terkait kesehatan dan bagaimana memaknai masa krisis ini melalui Bincang MoTV dan Program Katekese Bener 20 yang disiarkan lewat Youtube. Apalagi yang masih bisa kami buat? Kebetulan pada akhir Juni Romo Provinsial menanyakan kepada Rm. Murti apakah Kampoeng Media bisa digunakan sebagai tempat isolasi mandiri?  Kami berdua berdiskresi. Jawaban kami: bisa, tetapi kami harus minta  persetujuan  RT/RW lebih dulu.  Ide dasarnya adalah  Shelter Kampoeng Media diprioritaskan 50% untuk warga sekitar, dan 50% mitra kerja kami (guru-guru SD Kanisius, karyawan lingkungan Yayasan Pusat Kateketik, Yayasan Sanata Dharma, dan karyawan PT Kanisius). Tujuannya adalah mengurangi beban rumah sakit dan memisahkan orang sakit dari orang sehat, terutama mereka yang di rumahnya tidak ada tempat untuk isolasi. Saat itu kami hanya punya modal tempat, sedangkan relawan, tenaga kesehatan, dana, peralatan, dan pengalaman belum kami punyai.  Langkah pertama adalah berdialog dengan Ketua RT 03 Jaban dan RW 25. Saya mendatangi Ketua RT 03 dan berdialog dengan beliau. Ternyata pak Ketua RT 03 sepaham dengan gagasan di atas. Kalau pada awal 2020 virus masih jauh, sekarang virus sudah ada di tengah warga Jaban, maka perlu dicari solusi agar warga yang terpapar mendapat pertolongan. Pak Ketua RT 03 berjanji untuk berembug dengan pengurus RT yang lain. Setelah berembug hari itu juga, mereka semua mendukung. Termasuk pak Ketua RW 25 pun setuju.  Pak Ketua RT 03 meminta agar semua rencana dituangkan dalam surat proposal secara terperinci untuk disampaikan kepada Lurah Sinduharjo, Satgas Covid-19 Kelurahan Sinduharjo, dan Puskesmas Kecamatan Ngaglik.  Sementara itu, Rm. Murti sebagai PIC Shelter Kampoeng Media telah menjalin komunikasi dengan Sonjo (Solidaritas Yogya) yang sudah merintis shelter untuk warga. Rm. Murti juga menghubungi RS Panti Rapih untuk mendapatkan masukan tentang tata cara mengelola shelter dari segi kesehatan, sekaligus mencari bantuan dokter atau tenaga medis lainnya sebagai konsultan bagi para Isoman.  Dengan surat proposal atas nama PT Alam Media yang bekerja sama dengan SAV-USD  dan yang sudah ditandatangani Ketua RT 03 Jaban, kami bertemu pak Lurah Sinduharjo, Satgas Covid Kelurahan, dan Puskesmas Kecamatan Ngaglik. Mereka semua mendukung, terutama pak Lurah sangat bergembira. Pak Lurah telah menghubungi sekolah-sekolah yang ada di kelurahan Sinduharjo, tetapi tak satu pun dari sekolah-sekolah itu merelakan gedungnya untuk dipakai sebagai tempat isolasi mandiri. Ini sangat kebetulan, ada lembaga yang menawarkan diri. Pak Lurah sangat senang, bahkan Shelter Kampoeng Media diakui sebagai satu-satunya shelter di tingkat Kelurahan Sinduharjo.  Puskesmas Ngaglik juga mendukung, tetapi tidak bisa menyediakan tenaga kesehatan, namun berjanji untuk menyuplai vitamin. Setelah ada kepastian izin tersebut, Provinsialat memberi dana awal sehingga kami mulai bergerak untuk mengatur tempat dan juga menyiapkan alat-alat pokok yang diperlukan. Peralatan medis termasuk APD masih terbatas sekali, tetapi sambil jalan dapat dilengkapi. Kami menyiapkan 21 kamar. Sebetulnya setiap kamar bisa diisi dua orang, namun demi efektivitas isolasi para dokter mengusulkan agar setiap kamar hanya diisi satu orang saja. Ternyata ketika kabar bahwa kami mau membuka shelter mulai tersebar, banyak pihak  tertarik untuk membantu. Para relawan bermunculan: dua mahasiswa dari Kerabat Kerja Ibu Teresa, beberapa mahasiswa di Yogya, Suster-suster ADM, Suster-suster FCJ, Frater-frater SJ, dan Staf SAV. Kelompok Sego Mubeng dari Paroki Kotabaru ikut menyuplai makanan siap saji, terutama bila jumlah Isoman melebihi sepuluh orang. Suster CB Syantikara menyiapkan minuman sehat setiap hari. RS Panti Rapih menyediakan tenaga kesehatan termasuk dua dokter yang menjadi konsultan kami. Ada banyak donatur yang silih berganti mengirim sembako, alat-alat kesehatan, obat-obatan, dll. Juga banyak donatur yang mengirim uang entah jumlah besar atau kecil. Semua kami terima dengan senang hati. Berkat kemurahan hati banyak orang, shelter Kampoeng Media bisa membagi sembako dan makanan siap saji bagi warga Jaban RW 25 dan 26  yang sedang isoman di rumah masing-masing. Tanpa upacara macam-macam, Shelter Kampoeng Media  dibuka pada 12 Juli 2021 untuk warga sekitar dan mitra kerja kami (inklusif).  Syaratnya OTG tanpa komorbid dan dinyatakan positif melalui PCR/Antigen serta masih bisa mandiri. Tim Kesehatan RS Panti Rapih menjadi tim seleksi penerimaan Isoman dan sekaligus tim kosultan bagi para Isoman. Setiap hari jumlah Isoman bertambah, sehingga angkatan 1 berjumlah 22 orang.  Angkatan 2 berjumlah 17 orang. Tepat pada tanggal 16 Agustus 2021 sore, semua Isoman sudah sembuh dan Shelter Kampoeng Media ditutup karena tidak ada lagi warga yang hendak melakukan Isoman. Betul-betul para Isoman dan kami semua dapat merayakan Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke-76. Pelayanan berbasis WA Pelayanan Shelter Kampoeng Media berbasis WhatsApp baik pada saat pendaftaran, selama berada di shelter, maupun saat para Isoman meninggalkan shelter. Pengelola, tenaga kesehatan, dan para relawan sangat minim berkontak langsung dengan para Isoman. Satu dua relawan saja yang berkontak dengan mereka, yaitu saat kedatangan dan saat mengantar mereka ke Puskesmas untuk mendapatkan tanda lulus. Pelayanan berbasis WA ini dikoordinasi oleh sekretariat (Ibu Elis, relawan dari SAV). Ada tiga group WA di Shelter Kampoeng Media, yaitu Grup Pengelola dan Nakes, Grup Relawan Kampoeng Media dan Pengelola/Nakes, dan Grup Isoman bersama Pengelola dan Relawan.  Sesuai dengan syarat-syarat pendaftaran yang kami sebarkan lewat media

Feature

Bersama dalam Pandemi Covid 19

Beberapa lembaga ikut terlibat dalam upaya mempercepat proses vaksinasi bagi masyarakat. Beberapa sekolah dan paroki, seperti SMA Kanisius dan SMA Loyola,  yang dikelola oleh Serikat Jesus sudah mengambil inisiatif ini. SMA Kolese de Britto dan Paroki St. Hati St. Perawan Maria Tak Bernoda (HSPMTB), Tangerang mengikuti upaya proses percepatan vaksinasi ini di lingkungan mereka masing-masing. SMA Kolese de Britto Yogyakarta menyelenggarakannya dalam menyambut tahun ajaran baru 2021/2022 dengan 1.000 dosis vaksin untuk siswa, keluarga siswa, alumni, dan keluarga pegawai. Kegiatan ini merupakan kerja sama sekolah, Tim Satgas Covid 19 JB, Satgas Covid Alumni JB, dan JB medis. Kegiatan yang didukung oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, Puskemas Depok III dan Polsek Depok Barat ini dilakukan Pelaksanaan vaksinasi dilaksanakan dua kali, yaitu pada hari Minggu, 11 Juli 2021 dan 18 Juli 2021 mulai pukul 08.00 WIB. Vaksinasi pada Minggu, 11 Juli 2021 diprioritaskan bagi para siswa dan keluarga inti siswa. Sedangkan vaksinasi pada Minggu, 18 Juli 2021 diprioritaskan bagi alumni dan keluarga pegawai. SMA Kolese de Britto merupakan sekolah pertama di Sleman yang menyelenggarakan vaksinasi untuk anak usia sekolah Paroki HSPMTB, Tangerang mengadakan program vaksinasi ini untuk sekolah SMA Strada St. Thomas Aquino, siswa SMK Strada Daan Mogot (Damos), umat Katolik Paroki Tangerang  dan Dekenat Tangerang I, dan masyarakat sekitar pada 3 Agustus 2021 mulai pagi. Acara yang berjalan dengan lancar ini terlaksana atas kerjasama banyak pihak, yakni Walubi, Institusi TNI, Sekolah Strada St. Thomas cabang Tangerang, dan Tim Pusat Penanggulangan Covid-19 (TPPC) Paroki Tangerang. Tercatat 1.010 orang memanfaatkan kesempatan ini.  Selain vaksinasi, dua lembaga yaitu Studi Audio Visual (SAV), Yogyakarta dan Pusat Tenaga Pendamping Masyarakat (PTPM), Yogyakarta berinisiatif mengadakan shelter isolasi mandiri bagi invidu yang bergejalan ringan atau tanpa gejala Covid 19. P. Effendy Sunur menjawab keresahan dan kesulitan masyarakat warga Kecamatan Gedongtengen, Yogyakarta yang membutuhkan shelter untuk isolasi mandiri (isoman). Proses untuk mewujudkan shelter isoman karena kendala kesibukan dan ketersediaan sumber-sumber daya. Tingginya angkat penularan di DI Yogyakarta praktis membuat fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan kewalahan. Syukurlah, kendala-kendala itu akhirnya berbuah dengan munculnya tenaga-tenaga relawan termasuk para dokter dari UGM. Ada tenaga dokter yang bersedia untuk mendampingi, relawan-relawan yang bersedia menemani mereka yang isolasi dan dukungan finansial dari beberapa donatur. Tanggal 12 Juli 2021, orang pertama yang menjalani isoman mulai tinggal di Wisma PTPM. Masyarakat sekitar yang awalnya resah, akhirnya bisa menerima perubahan fungsi Wisma PTPM sebagai shelter isoman.  Pandemi ini menjadi tantangan bersama yang membutuhkan kerjasama dan kesediaan untuk menghadapinya. Dari sini, kita belajar untuk mendalami hidup bersama sebagai sebuah perhatian terhadap mereka yang sedang mengalami kesusahan dan bukan untuk menarik dan mengunci diri. Kontributor : P. Ignatius Suryadi P., S.J. – Tangerang; P. Effendy Kusuma Sunur, S.J, – PTPM; H. J. Sriyanto – SMA De Britto

Tahbisan

Kisah Kecil tentang Sukacita

Sungguh terasa ada kegembiraan dan rasa syukur atas ditahbiskannya delapan diakon Serikat Jesus Provinsi Indonesia menjadi imam oleh Bapak Uskup Robertus Rubiyatmoko, Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang, pada Kamis, 19 Agustus 2021 di Gereja St. Antonius Padua, Kotabaru, Yogyakarta. Karena kasus Covid-19 tetap menjadi perhatian besar, penyelenggara membatasi jumlah umat yang hadir. Hanya sejumlah kecil anggota keluarga para diakon dengan hasil tes PCR negatif yang diizinkan untuk hadir. Semua orang yang hadir dalam perayaan ini juga diharuskan memiliki keterangan negatif Covid-19 berdasar tes PCR. Memang banyak orang yang tidak bisa mengalami kemeriahan perayaan tersebut, tetapi mereka justru dapat merasakan kekhidmatan dan kegembiraan melalui misa yang disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube Jesuit Indonesia. Para imam yang baru ditahbiskan (neomis) itu berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Pater Martinus Juprianto Bulu Toding adalah salah satu yang berasal dari Kalimantan. Kalimantan juga menjadi karya misi baru bagi Serikat Jesus Provinsi Indonesia. Empat imam baru lainnya, yaitu Pater Fransiskus Pieter Dolle, Pater Aluisius Dian Permana, Pater Philipus Bagus Widyawan,  dan Pater Alfonsus Ardi Jatmiko berasal dari Keuskupan Agung Semarang. Dua diantaranya berasal dari paroki-paroki yang digembalakan oleh imam Jesuit. Pater Hugo Bayu Hadibowo, berasal dari Keuskupan Agung Jakarta. Dua lainnya, Pater Martinus Dam Febrianto dan Pater Evodius Sapto Jati Nugroho, berasal dari dua keuskupan di Sumatera, yaitu Keuskupan Lampung dan Keuskupan Pangkalpinang. Misa tahbisan dipimpin oleh Bapak Uskup Robertus Rubiyatmoko, Uskup Agung Semarang, dengan didampingi dua konselebran, Pater Provinsial Benedictus Hari Juliawan, S.J. dan Rektor Kolese St. Ignatius Pater Ignasius Aria Dewanto, S.J. Dalam homilinya Bapak Uskup Rubiyatmoko menegaskan bahwa kita dipanggil untuk menjadi manusia pendoa, manusia injil, dan manusia gereja. Dengan membawa tema tahbisan Berbagi Kasih Karunia dan Kasih Tuhan dengan Sukacita para imam baru ini tampak bersemangat dan siap sedia memberikan kesaksian iman melalui tindakan nyata dalam pelayanan kepada Tuhan dan seluruh umat. Bagi Serikat Jesus Provinsi Indonesia, peristiwa tahbisan benar-benar merupakan suatu kebahagiaan. Karena pandemi, tahbisan imamat untuk mereka menjadi tertunda selama lebih dari satu tahun. Pada bulan Juni dan Juli 2021 ini, Indonesia mencatat rekor tertinggi infeksi dan kematian akibat Covid-19. Sebagian besar masyarakat harus berjuang melawan Covid-19 dan kegiatan sosial dan ekonomi juga sangat dibatasi oleh pemerintah. Bagi para imam baru tertahbis, konteks ini pastilah akan menjadi perhatian bagi pelayanan dan hidup doa mereka di masa depan. Kontributor : Pater Nikolas Kristiyanto, S.J.

Karya Pendidikan

Dari Pustaka Digital ke Sekolah Digital

Pandemi meluluhlantakkan dan menunggangbalikkan banyak sendi kehidupan. Namun, di sisi lain pandemi juga telah memacu dan memicu terciptanya banyak karya, inovasi, dan pemikiran baru. Siapa sangka dari Papua yang lama terbelakang dalam banyak sendi kehidupan bisa muncul karya yang mulai dilirik orang dalam dunia pendidikan? Maret 2020, Pater Sudriyanto, S.J. terjebak di Jakarta setelah menghadiri pertemuan. Dia tak bisa langsung kembali ke Nabire. Dalam keterkurungan, tak bisa ke mana-mana, dia mulai berpikir apa yang harus dilakukan untuk mengisi waktu. Sukhri, volunteer yang seharusnya mulai bergabung bulan Juli 2020, diajak bergabung di Jakarta. Sukhri mengenal Pater Sudri, S.J. ketika beliau bertugas di JRS Aceh.  Mereka berpikir untuk mengembangkan “sekolah rakyat.” Konsepnya, anak-anak harus tetap bisa belajar walaupun terhalang oleh pandemi dan akses internet. Mulailah pustaka digital digarap. Namanya Pustaka Neo-EduTech atau disingkat PNE 4.0.  Dukungan dan sumbangan, baik dana, fasilitas, maupun pemikiran, perlahan mengalir.  Para pentolan Asosiasi Alumni Sekolah Jesuit (AAJI) dan beberapa aktivis pendidikan lainnya terlibat sejak awal. Juga beberapa alumni Kolese Le Cocq dan sobat dari Papua yang berada di Jakarta. Mereka seringkali datang di markas kerja PNE di Jl. Canadyanti, Jakarta Selatan. Bersama mereka tim PNE banyak berdiskusi, merumuskan visi, dan mencari strategi agar PNE ini nantinya bisa terwujud dan terdistribusi di Papua dan wilayah-wilayah lain tanpa akses internet. Akhirnya, setelah 6 bulan kerja keras sepanjang hari, jadilah perangkat wifi pendidikan yang mampu menyebarkan materi digital tanpa sambungan internet. Sebanyak 50 ribu buku dan video, tentang pendidikan mulai dari PAUD sampai SMA/SMK, dan pengetahuan umum. Sesudah berhasil menciptakan platform wifi pendidikan ini, tim merasa perlu untuk melakukan uji coba. Ternyata Yayasan Strada sangat tertarik dan merasa platform ini dibutuhkan di sekolah-sekolah Strada di pinggiran Jakarta dan Tangerang. Jadilah Yayasan Strada memesan 10 unit. Misi SJ di Kalimantan Timur juga sudah memakai 3 unit dan Lembaga Daya Dharma 8 unit. Melihat visi PNE 4.0 untuk menyediakan layanan akses wifi pendidikan di wilayah-wilayah tanpa akses internet, para petinggi PT Primacom sangat terkesan. Mereka kemudian mendukung program PNE 4.0 dengan menyediakan VSat untuk update materi digital dan menyediakan layanan kompresi data. Dalam 6 bulan sejak PNE 4.0 didistribusikan di Papua, sudah 4 titik VSat terpasang, yaitu di Kabupaten Nabire, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Deiyai, dan Kabupaten Paniai. Kerja sama tim PNE 4.0 dan PT Primacom telah menghasilkan kontribusi yang sangat berharga. Dalam periode Januari-Juli 2021, sebanyak 110 unit PNE 4.0 Versi 1 (versi mobile) sudah terdistribusi di sekitar 100 sekolah di 9 kabupaten di Papua (Serui, Nabire, Deiyai, Dogiyai, Paniai, Intan Jaya, Manokwari, Sorong, dan Fakfak). Keterlibatan Bupati, Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah mempermudah pengenalan pustaka digital ini. CARA KERJA Platform wifi pendidikan PNE 4.0 ini mudah dioperasikan. Tidak membutuhkan instalasi. Tinggal plug and play, colok ke listrik dan siap pakai. Tidak membutuhkan pulsa data atau sambungan ke internet. Bisa diakses di mana saja, entah di tengah hutan, di pulau terpencil, atau di pinggir pantai, yang penting ada alur listrik, entah listrik PLN, generator, atau tenaga surya (solar cell). PNE Versi 1 bisa diakses 10-15 pengguna sekaligus. Pengguna bisa streaming, downloading, uploading, dan chatting. Sistem intranet ini sangat berguna bagi sekolah-sekolah yang mengalami kesulitan mengakses internet. Anak-anak atau orang tua/wali bisa datang ke sekolah untuk mengunduh materi yang diperlukan secara gratis atau tanpa pulsa data. Sangat umum didapati bahwa anak-anak di Papua tidak memiliki buku pelajaran. Dengan adanya PNE 4.0 ini, mereka bisa memiliki buku pelajaran dan video pembelajaran dalam jumlah yang berlimpah. HAK CIPTA Buku-buku dan video yang tersedia dalam PNE 4.0 berasal dari sumber open source, sehingga tidak ada masalah hak cipta yang dilanggar. Sebagai contoh, buku paket dari Kementrian Pendidikan Nasional, tertulis dalam watermark, diunduh dari psmk.kemdikbud.go.id/psmk. MINAT BACA Pemunculan PNE 4.0 ini menimbulkan pertanyaan besar. Apa gunanya pustaka digital kalau anak-anak tidak mempunyai minat baca? Menunggu anak memiliki minat baca yang tinggi membutuhkan waktu panjang. Menurut Sugata Mitra, peneliti dan pendidik di India, pendidikan adalah sebuah proses yang berjalan dengan sendirinya asal anak punya motivasi atau punya dorongan ingin tahu dan ada teknologi yang tepat. Sugata melakukan eksperimen ini dengan menempatkan perangkat desktop usang dengan akses internet yang cukup, di sebuah tembok luar di beberapa wilayah pedalaman India. Tanpa bantuan guru atau orang dewasa, awalnya anak-anak saling mengajar bagaimana menggunakan desktop, kemudian mengakses materi-materi menarik. Perlahan kemampuan membaca dan berpikir mereka berkembang (lih. Sugata Mitra, Kids can teach themselves, Ted.com). Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa anak tidak harus bisa membaca terlebih dahulu untuk bisa menggunakan perangkat digital. Sebaliknya, teknologi digital justru dapat mempercepat literasi membaca.  ADI LUHUR DAN SEKITARNYA Saat ini dengan bantuan VSat Primacom, SMA Adi Luhur bisa menggunakan internet lebih lancar dan bisa mengakses pustaka digital PNE 4.0. Jaringan PNE 4.0 ini disebarkan dari Wisma SJ ke tujuh titik, yaitu Pastoran KSK, Asrama Putri, Asrama Putra, SMA YPPK Adi Luhur, SMP YPPK St. Antonius, dan SD YPPK St. Petrus. PENGEMBANGAN Pada Juli 2021 sudah selesai platform wifi pendidikan PNE 4.0 Versi 2. Platform Versi 2 ini dibuat untuk mendukung terciptanya sekolah digital. Fungsinya bukan hanya untuk menyebarkan materi digital tanpa internet, tetapi untuk memfasilitasi KBM berbasis digital.  Pada bulan Juli 2021 ini, dua sekolah tingkat SMA di Nabire sudah menggunakan PNE 4.0 Versi 2 ini untuk mendukung KBM berbasis digital. Sebanyak lebih dari 300 murid di masing-masing sekolah beserta gurunya mulai memanfaatkan platform wifi pendidikan dan materi pendidikan yang disediakan. Tanpa sadar semangat save paper (hemat kertas) mulai merasuk. Apabila pandemi Covid-19 berakhir, diharapkan sekolah digital ini tetap berlangsung. Karena dunia di masa depan tidak bisa dilepaskan dari penguasaan digital. Dengan demikian sekolah mulai saat ini harus membiasakan anak didik terampil dalam menggunakan teknologi digital. Tim PNE sudah merencanakan untuk memperluas distribusi PNE 4.0 ini ke seluruh tanah Papua, baik Versi 1 maupun Versi 2. Luasnya wilayah dan sulitnya medan tidak menyurutkan semangat tim PNE. Mengapa? Perangkat dan konten PNE 4.0 bukan hanya relevan di tanah Papua, tetapi juga mendesak di berbagai daerah. Tim bertemu dengan fakta ini, yaitu bahwa literasi membaca anak-anak Papua tergolong paling rendah, langkanya buku pelajaran sekolah bagi murid, susahnya akses internet di banyak wilayah pedalaman, tersendatnya KBM karena tingginya ketidakhadiran

Karya Pendidikan

Asa dalam Pendidikan Daring

Proses-proses Pendidikan Karakter yang lazim terjadi pada masa sekolah offline, secara substansial dapat diselenggarakan di tengah himpitan pandemi. Problem hilangnya tatap muka dapat disiasati dengan kemitraan dengan orang tua dan modul bersama. Namun bagaimana dengan hasil dan efektifitasnya? Menurut hemat saya, tuntutan untuk menunjukkan pengukuran yang objektif dan komprehensif sebenarnya tampak sebagai sesuatu yang tidak etis pada masa-masa sulit dan penuh ketidakpastian seperti ini. Selain waktu dan energi yang terbatas untuk melakukannya, hal ini seolah juga akan terasa kurang menghargai para guru yang dengan segala keterbatasannya telah berdarah-darah berjuang, mulai dari rapat-rapat yang berderet menyiapkan strategi, usaha besar dalam penguasaan sarana teknologi, hingga waktu kerja yang hampir tidak berjeda. Meskipun demikian, demi kemajuan tetaplah pertanyaan tersebut penting dan perlu ditemukan jawabannya. Oleh karena itu, bolehlah untuk sementara pertanyaan mengenai hasil dan efektifitas model ini kita lihat cukup dari produk yang dihasilkan dan umpan balik dari berbagai pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam program ini. Pertama, gambaran hasil ini dapat kita lihat dari ketercapaian tujuan pendampingan, yakni kedalaman emosional, intelektual, spiritual, dan sosial. Tujuan tersebut dikonkretkan di setiap jenjang kelas secara berbeda di awal penyusunan program. Untuk kelas X, target formasi yang diharapkan adalah kemampuan siswa mengenal dan mencintai diri. Sementara untuk kelas XI, target yang diharapkan adalah siswa mampu menemukan orientasi hidupnya. Dan siswa kelas XII diharapkan mampu mengambil keputusan secara matang untuk langkah studi selanjutnya. Apabila diukur dari target tersebut, secara umum dapat dikatakan program-program formasi online dapat membantu siswa mencapainya. Melalui menulis autobiografi diri, mendalami biografi Santo Ignatius dan percakapan rohani di keluarga, tampak sebagian siswa kelas X mampu mengidentifikasi unsur-unsur penting dalam hidupnya: Bahasa Kasih, Pola Relasi dengan Orangtua, Model Parenting yang Diterima, Peristiwa Penting. Hal ini dapat kita rasakan dalam refleksi atau laporan percakapan mereka dengan orang tua di keluarga. Saat saya melakukan refleksi bersama keluarga, saya bersama ibu saya dan bapak saya, kakak saya sedang pergi. Percakapan kami berjalan dengan lancar, kami membahas tentang karakter masa depan saya dan juga bahasa kasih. Ibu dan bapak saya memberitahu saya bahwa mereka melihat seberapa besar saya sudah berkembang. Mereka juga akan selalu support saya dalam membangun karakter pada masa remaja ini. Saya juga mengangkat topik Bahasa Kasih. Dalam topik ini saya membawa 2 bahasa kasih saya, yaitu Touch dan Quality Time. Dalam poin Touch, saya membahas bahwa sebuah pelukan dari orang tua itu sangat membantu saya untuk tenang dan juga membuat saya semangat untuk menjalani apapun yang saya hadapi. Dalam poin Quality Time, saya dan orang tua saya sangat setuju bahwa quality time bersama keluarga adalah salah satu hal terpenting dalam memperketat hubungan keluarga. Saya sangat mencintai orang tua saya. Hasil baik lain juga tergambar dalam sebuah refleksi siswa kelas XI. Setelah mengikuti seri webinar tentang berbagai macam prospek karier dan profesi, para siswa mampu menentukan orientasi hidup dan pilihan profesi melalui perspektif asas dan dasar Ignatian. Hidup yang aku dambakan adalah hidup sederhana dengan penuh makna dan membawa manfaat bagi lingkungan sekitar. Bidang yang aku merasa mampu adalah bidang sejarah terutama pada cabang arkeologi dan antropologi. Sementara, bidang sejarah adalah bidang 7 yang aku minati, karena setiap mempelajarinya ada ikatan emosional yang membuat aku jatuh cinta pada bidang ini. Profesi atau karier yang aku inginkan adalah menjadi arkeolog di bidang epigrafi sekaligus penulis majalah seperti: National Geographic. Untuk itu, komitmenku adalah menguasai bahasa inggris. Aku akan berusaha mempelajarinya hingga aku lulus standar TOEFL yang baik, dan aku benar-benar profesional dalam bidang ini. Nantinya bahasa Inggris akan menunjang studi lanjutan dan profesi yang aku pilih. Aku juga akan akan mencoba untuk mengikuti perlombaan-perlombaan untuk mengasah kemampuanku dan aku akan mencoba untuk pergi ke situs sejarah yang menunjang profesiku kelak. Setidaknya aku belajar mengenal lingkungan profesiku terlebih dahulu. Sementara dalam tulisan refleksi siswa kelas XII atas percakapannya bersama orang tua, terbaca kemampuan dan keberanian mengambil keputusan terkait jurusan dan pilihan perguruan tinggi melalui metode discernment Ignatian. Saya mempresentasikan hasil pemikiran saya mengenai keputusan pengambilan jurusan kepada kedua orang tua saya (ibu yang mengambil gambar). Saya menerangkan bagaimana cara agar masuk ke perguruan yang saya inginkan dan alasan saya mengambil jurusan itu. Saya sampaikan perimbangan pro-kontra setiap pilihannya. Ibu saya setuju dengan apa yang saya pilih, karena beliau yakin saya sudah bisa berpikir matang dan bisa mengambil keputusan dengan baik. Bapak saya memberi saya saran dan beberapa kritikan, seperti apa saja risiko yang bisa didapat jika mengambil jurusan kedokteran. Bapak juga menyarankan beberapa jurusan lain seperti STAN, PNS, dll. Dalam tulisan refleksi para siswa tersebut kita bisa melihat ‘hasil’ pendampingan. Siswa mampu mendeskripsikan siapa dirinya, mengkomunikasikan keinginan terdalamnya dan pada akhirnya juga berani mengambil keputusan penting untuk hidupnya. Kemampuan-kemampuan praktis tersebut dapatlah merupakan muara dari serangkaian proses yang telah didesain dan telah dijalani sebelumnya. Fakta lain yang menggembirakan adalah bahwa sebagian besar siswa dapat mencapai tuntutan tersebut. Di setiap kelas, hampir tidak ada siswa yang tidak mampu mengumpulkan worksheet pengembangan diri untuk setiap programnya yang diminta. Umpan balik lain yang perlu ditampilkan di sini adalah testimoni para orang tua. Selama 1,5 tahun menjalankan berbagai program formasi non-akademis online, rasanya kami lebih banyak menerima apresiasi daripada kritik terkait program formasi kesiswaan. Misalnya, salah satu orang tua memberikan testimoni tentang program ‘Ignatian Virtual Pilgrimage.’ Inti program ini adalah mengajak para siswa bersama orang tua mengenal biografi Santo Ignatius Loyola melalui kegiatan rutin 30-60 menit berjalan kaki sambil merenungkan kisah perjalanan Ignatius dari kota ke kota (walking meditation). Rupanya, di mata orangtua program ini menjawab keprihatinan mendalam yang muncul selama sekolah online, yakni siswa jarang bergerak/olah raga. Dengan adanya penugasan dan target mengumpulkan jarak jalan kaki melalui aplikasi Strava per kelas, para orang tua punya kesempatan untuk lebih mendorong anak aktif bergerak setiap harinya. “Menurut kami program ini sangat tepat dan perlu dilanjutkan. Selain mengajak anak bergerak dan membangun gaya hidup sehat, melalui program ini saya sebagai orangtua menjadi punya kesempatan bercakap-cakap dengan anak secara lebih mendalam.” Demikianlah gambaran hasil dan efektifitas berbagai program formasi online. Selain feedback yang bersifat kualitatif dan subjektif dalam refleksi siswa dan testimoni orang tua tersebut, sebenarnya ada pula umpan balik yang