Pilgrims of Christ’s Mission

Karya Pendidikan

Karya Pendidikan

Bangga Produk Vokasi

Semua orang merasa bangga menjadi bagian dari pendidikan vokasi. Entah sebagai pelajar ataupun pekerja. Baik sebagai penghasil maupun konsumen produk vokasi. Kira-kira pesan itulah yang ingin disampaikan oleh Wikan Sakarinto, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, saat berkunjung ke Kolese Mikael Surakarta, Selasa (18/8) lalu. Kunjungan tersebut diadakan dalam rangka peluncuran (launching) program “pernikahan” pendidikan vokasi dengan dunia usaha dan industri (DUDI). Selain beliau, hadir pula kepala-kepala SMK di Surakarta, beberapa perwakilan politeknik dan  pelaku industri. Beberapa SMK dan politeknik di Surakarta juga memamerkan karya andalannya. Sebut saja, antara lain, SMK St. Mikael dan Poltek ATMI dengan mesin CNC-nya, SMK Farmasi dengan obat parem kocok yang hangatnya tahan lama, dan Sekolah Vokasi Universitas Negeri Surakarta (UNS) dengan printer 3D. SMKN 8 yang fokus pada seni juga menampilkan tarian Cakilnya. Sementara itu, PT. ATMI Solo dan PT. ATMI-IGI hadir dan secara simbolis mewakili DUDI dalam acara tersebut. Dalam sambutannya, P. V. Istanto Pramuja, SJ sebagai ketua Yayasan Karya Bakti Surakarta mengingatkan mengenai komitmen. “Pernikahan menuntut komitmen,” demikian pesan beliau. Memang diharapkan bahwa “pernikahan” vokasi dan DUDI tidak berhenti menjadi slogan belaka. Lebih dalam lagi, dibutuhkan keberanian pihak yang “menikah”: vokasi berkomitmen meningkatkan kualitas SDM-nya, DUDI berkomitmen menggunakan produk vokasi. Bangga dengan Vokasi “Pesta pernikahan” vokasi dengan DUDI ini memang sarat dengan pesan. Selain menggugah, pesan itu pun menggugat. Pesan Wikan yang disarikan pada awal tulisan ini, misalnya. Pada satu sisi, pesan tersebut menggugah para pelaku vokasi agar terus bersemangat dalam menghasilkan SDM siap kerja dan produk-produk inovatif. Rasa minder dan perasaan diri sebagai warga kelas 2 (di bawah SMA atau S1) dibuang jauh-jauh. Di sisi lain, pesan tersebut juga menggugat mereka yang selama ini enggan mendukung pendidikan vokasi. Pihak-pihak yang meremehkan atau tidak melihat kontribusi pendidikan vokasi bagi kemajuan bangsa ini diajak untuk membuka mata dan pemahaman mereka. Dengan riset berkelanjutan sebagai bentuk kerja sama sekolah vokasi-DUDI-pemerintah, diharapkan kualitas produk vokasi pun meningkat dan layak guna. Tantangan pun diberikan oleh Wikan: menunjukkan kebanggaan sebagai orang Indonesia dengan menggunakan produk vokasi, yang pasti merupakan produk buatan Indonesia. “Pesta pernikahan” vokasi dengan DUDI ini pun menjadi momen yang tepat untuk bersyukur atas kontribusi kita melalui karya-karya vokasi, khususnya lewat Kolese PIKA Semarang dan Kolese Mikael Surakarta. Belum lagi kalau menyebut institusi yang menaungi pendidikan kejuruan, baik yang sedang atau pernah kita layani, seperti Universitas Sanata Dharma, ATMI Cikarang, Strada Jakarta, dan Kanisius Semarang. Rasa syukur tersebut kiranya akan memunculkan kedekatan dan rasa memiliki terhadap karya-karya vokasi, bersama dengan kebanggaan kita atas sumbangsih Serikat kepada masyarakat dan Gereja melalui karya-karya lainnya. Rafael Mathando Hinganaday, SJ

Karya Pendidikan

PERESMIAN KAMPUS TIGA POLITEKNIK ATMI SURAKARTA

Bulan Agustus 2020 menjadi momen bersejarah bagi Politeknik ATMI Surakarta. Kampus 3 Politeknik ATMI Surakarta yang terletak di utara Kampus 2 (Kampus Gonzaga, atau yang dulu dikenal dengan Kampus Intercamp, Blulukan) telah selesai dibangun dan siap digunakan. Pembangunan gedung yang memakan waktu sekitar setengah tahun ini bisa terwujud oleh karena hibah yang diberikan oleh Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia dalam rangka Polytechnic Education Development Project. Kampus 3 ini secara khusus akan digunakan oleh para mahasiswa ATMI dari prodi Mekatronika, Teknik Perancangan Mekanik dan Mesin, dan Perancangan Manufaktur. Sebelum  resmi digunakan, upacara pemberkatan gedung dilaksanakan pada hari Senin, 10 Agustus 2020. Pemberkatan gedung dihadiri oleh para romo, frater, kaprodi, beberapa staf, dan juga perwakilan mahasiswa. Acara yang dihadiri kurang lebih 30 orang tersebut berjalan dengan hikmat dan tentu dengan protokol COVID-19 yang lengkap. Dalam upacara pemberkatan ini, Kampus 3 juga secara resmi disebut sebagai Kampus Arrupe. Pater Pedro Arrupe dipilih menjadi pelindung sekaligus teladan dari kampus ini. Politeknik ATMI menyadari bahwa Politeknik semakin dipanggil untuk berjalan dengan orang miskin dan tersingkir, sesuai dengan Preferensi Kerasulan Universal Serikat Jesus. Oleh karena itu, Pater Pedro Arrupe, seorang Jesuit yang sangat peduli pada orang miskin dan tersingkir, diharapkan menjadi teladan sekaligus pemberi semangat untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Secara khusus, Politeknik ATMI Surakarta ingin mengembangkan pendidikan vokasi maupun industri yang terarah kepada tiga bidang, yakni pertanian, kesehatan, dan teknologi informasi. Ketiga hal tersebut dipilih untuk menjawab tantangan zaman sekarang ini. Pertanian pertama-tama dipilih dengan kesadaran bahwa pertanian menjadi  sumber utama gizi bagi orang muda Indonesia. Tanpa adanya gizi yang baik, tentu orang muda tidak dapat berkembang secara maksimal. Sementara itu, kesehatan dipilih dengan maksud menanggapi situasi pandemi sekarang ini. Terakhir, teknologi informasi dipilih karena melihat perkembangan teknologi yang memang niscaya di dunia kita sekarang ini. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut, diharapkan para dosen, instruktur, maupun mahasiswa secara aktif melakukan penelitian maupun inovasi guna memajukan dan mengembangkan ketiga bidang tersebut. Semoga dengan kehadiran Gedung Arrupe ini, Politeknik ATMI Surakarta bertransformasi menjadi institusi yang semakin peka mendengar panggilan zaman dan memberikan wajah yang semakin manusiawi pada teknologi dan dunia industri. Barry Ekaputra, SJ

Karya Pendidikan

TELADAN MARIA DI MATA PEREMPUAN ATMI

Bunda Maria adalah sosok yang melampaui zaman. Teladannya terus hidup hingga saat ini. Era kolaborasi teknologi Internet, nirkabel, dan mesin otomatis yang kita hidupi saat ini jelas belum terbayangkan ketika Maria masih hidup bersama Yusuf, Yesus, dan para rasul. Akan tetapi, kecanggihan zaman, yang dikenal sebagai Era Revolusi Industri 4.0, ini tidak menjadikan teladan Sang Bunda tampak kuno. Justru teladan itu lestari dan selalu menginspirasi lintas zaman. Berlanjutnya teladan Bunda Maria itu, antara lain, ditunjukkan oleh tiga perempuan yang berkarya di lingkungan Kolese Mikael. Ketiga perempuan itu adalah Maria Marcelina Widyastuti (Politeknik ATMI Solo), Asworo Wahyunindyah (PT. ATMI Duta Engineering), dan Hartanti (ATMI-IGI Centre). Akhir Mei 2020, mereka diwawancarai oleh tim Michael College Ministry (MCM). Wawancara tersebut merupakan salah satu program kelompok campus ministry Kolese Mikael yang dikoordinasi oleh Fr. Vincentius Doni Erlangga, SJ ini dalam rangka Bulan Maria yang lalu. Maria Marcelina Widyastuti merasa diinspirasi oleh semangat pelayanan, kesederhanaan, jiwa yang penuh syukur, dan kerendahan hati Bunda Maria. Semua itu terangkum dalam ungkapan Sang Bunda, “Aku ini hamba Tuhan. Terjadilah padaku seturut perkataan-Mu.” Sebagai seorang instruktur muda di politeknik, ia lalu terdorong untuk menciptakan iklim belajar yang nyaman bagi para mahasiswa dan mahasiswinya. “Mahasiswa dapat berkonsultasi apabila memiliki permasalahan atau kesulitan dalam memahami pelajaran yang diberikan,” ujarnya. Lain lagi dengan Asworo Wahyunindyah. Staf Human Resources Department (HRD) di PT. ATMI Duta Engineering (ADE) ini melihat Maria sebagai sosok pemberani. Keberanian Maria ditunjukkan dengan mau mengambil risiko menerima perutusan untuk mengandung Yesus, walaupun belum bersuami. Sang Bunda menjalaninya dengan sukacita. Mencoba mengaitkan dengan hidup dan karyanya di PT. ADE, Asworo menyadari hidupnya yang juga penuh risiko dan tantangan. “Ini terus terang saya di staf HRD baru. […] Sebelumnya saya berada di staf administrasi marketing. […] Awalnya sih saya merasa ‘Kayaknya nggak mungkin, saya tidak punya background sama sekali di bidang hukum ataupun psikologi ataupun untuk menangani, menghadapi teman-teman.’ Cuma akhirnya, dengan semangat dari keluarga, dengan dukungan dari teman-teman, akhirnya saya memutuskan untuk ‘Oke, saya mengambil tantangan ini.’” Ia pun menambahkan, “Yang penting saya tahu apa yang saya lakukan itu benar dan bermanfaat bagi orang banyak.” Sementara itu, Hartanti mengagumi Bunda Maria sebagai sosok yang beriman dan taat pada kehendak Allah. Oleh karena itu, sebagai pegawai ATMI-IGI Centre, ia berusaha pula untuk melaksanakan perintah atasan sebaik-baiknya. “Karena pekerjaan yang kita lakukan tidak semata-mata hanya untuk mencari uang atau mematuhi perintah atasan, tetapi bekerja dengan iman adalah bagaimana kita setia terhadap pekerjaan itu sehingga kita dapat berguna dan bermanfaat bagi diri sendiri, sesama, dan terlebih untuk kemuliaan Allah.” Hartanti juga berpesan, “Bekerja harus ikhlas, bekerja tidak semata-mata mencari uang, tetapi bisa menjadi berkat bagi sesama.” Ketiga perempuan perkasa ini adalah sebagian dari sedikit pegawai perempuan di tengah belantara mesin, yang kerap dianggap identik dengan dunia lelaki. Memang, tidak semuanya berhadapan dengan mesin pendukung Revolusi Industri 4.0 di lingkungan Kolese Mikael. Ada pula yang berhadapan dengan para operator mesin-mesin tersebut. Akan tetapi, entah itu berhadapan dengan mesin ataupun manusia, teladan dari Bunda Maria menginspirasi mereka di tempat karya masing-masing. Inspirasi itu pun tidak disimpan menjadi kekayaan rohani pribadi. Mereka terdorong pula untuk menyebarkannya kepada orang-orang di sekitar. Seperti diungkapkan Asworo, “Meskipun kita hanyalah segelintir wanita, yakinlah kita bisa membawa perubahan yang baik untuk lingkungan sekitar kita.” Rafael Mathando Hinganaday, SJ

Karya Pendidikan

Lebaran, Hari Kemenangan yang #dirumahaja

Tahun 2020 adalah tahun yang spesial. Tahun di mana saya merayakan Hari Kemenangan, Idul Fitri, dalam suasana tenang, di rumah aja. Saat di mana saya merasakan kehangatan keluarga yang dalam dan juga saat saya menjadikan gadget sebagai barang yang banyak sisi positifnya. Tahun yang unik yang memang harus dialami namun tahun yang saya sendiri tidak ingin kembali lagi. Yang jelas, saya ingin dalam menjalani tahun ini, saya dan keluarga tetap sehat walafiat. Puasa di masa pandemi memang menyenangkan karena tidak banyak aktivitas berat karena kuliah bisa di rumah aja. Namun lebaran di masa pandemi sangatlah tidak menarik karena kami merayakan hari kemenangan dalam suasana tenang dan biasa aja. Tidak ada kemeriahan dan silaturahmi yang sangat menggembirakan sehingga setelah lebaran, saya tidak dapat membeli barang-barang yang saya suka. Setelah salat Ied pun, kami langsung berada di rumah dan semuanya terjadi seperti hari-hari biasa saja. Mungkin ini takdir dari Allah yang membuat kami harus merayakan Idul Fitri dengan penuh kesederhanaan, namun saya yakin bahwa Allah punya rencana yang akan menyelesaikan semua masalah pandemi ini dengan sangat bijaksana. Saya bersyukur karena masih diberikan hidup sampai saat ini. Tentu saja, selama pandemi ini, kami taat pada protokol yang diberikan. Di desa saya, di Turi, protokol ini sangat berlaku. Kadang, beberapa orang yang ngeyel ditakut-takuti akan bahaya penularan Covid yang sangat mengerikan. Saya sendiri tidak terlalu memikirkan hal-hal yang mengerikan tersebut karena saya tetap bersyukur selama pandemi suasana keluarga, di rumah, menjadi semakin hangat. Kebersamaan sangat kuat dan kami saling mendukung satu sama lain untuk mengikuti protokol yang ditentukan. Kakak saya yang sudah bekerja, saat sampai rumah, selalu diminta cuci tangan dan setelah itu mandi sebelum bertemu dengan anggota keluarga lainnya. Kebisingan di desa ini juga semakin berkurang karena polusi suara dan polusi udara menjadi berkurang. Saya menikmati indahnya suasana alam di desa ini. Begitu juga dengan hubungan dengan tetangga-tetangga di desa. Banyak orang di rumah aja dan sebagai orang muda saya sering terlibat dalam kegiatan solidaritas desa. Karena aktivitas tersebut, saya menjadi semakin mengenal orang-orang yang ada di desa saya. Biasanya kami sangat sibuk, pergi pagi pulang malam, namun dengan pandemi ini, kami menjadi saling mengenal satu sama lain. Tentu saja, Idul Fitri kali ini jauh berbeda dari harapan. Saya merasa ada suasana yang hilang, ada yang kurang dalam suasana kemenangan kali ini. Saya tidak terlalu nyaman dengan adanya silaturahmi via gadget, saya juga tidak terlalu nyaman dengan kuliah online, dan saya juga tidak suka dengan salat yang berjarak. Secara umum, saya sendiri tidak suka dengan suasana yang membatasi gerak seperti ini yang tidak sesuai dengan jiwa muda saya. Namun saya percaya hal baik akan datang pada waktunya sehingga saya tetap stay at home dan tidak melakukan aktivitas-aktivitas yang diluar protokol. Fitri Kusuma (Mahasiswi Sanata Dharma, FKIP Biologi)

Karya Pendidikan

Belajar Bermurah Hati Seperti Sang Ibu

Refleksi Relawan Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Oleh Andi Suryadi, Arya Nugraha, Dyah Andriani, dan Stanislaus Dio Zevalukito “Menjadi muda tidak hanya berarti mencari kesenangan sementara dan kesuksesan yang dangkal. Supaya kemudaan dapat mewujudkan tujuannya dalam perjalanan hidup kalian, kemudaan itu haruslah menjadi waktu pemberian yang murah hati, persembahan yang tulus, pengorbanan yang sulit namun membuat kita berbuah.”  Penggalan kalimat di atas berasal dari dokumen Christus Vivit yang ditulis oleh Paus Fransiskus. Dokumen tersebut memang untuk orang muda dan itu mengikat rasa akan pentingnya waktu pemberian yang murah hati, persembahan tulus dan pengorbanan berbuah. Sungguh rasanya konteks tersebut relevan saat memaknai perjalanan kami hari-hari belakangan ini.  Kami mengelola kemurahan hati Universitas Sanata Dharma dan para donaturnya yang dijembatani oleh Bruder Yohanes Sarju, SJ, MM, selaku Kepala Lembaga Kesejahteraan Mahasiswa (LKM) Universitas Sanata Dharma (USD). Pandemi Covid-19 ini telah membuat banyak mahasiswa/i Sadhar mengalami kesulitan, entah karena daerah rumah mereka di lockdown sehingga tidak bisa pulang atau keluarga mereka ada yang terkena PHK sehingga tidak bisa mengirimkan uang bulanan. Mereka datang ke kampus dan Br. Sarju menerima mereka dengan baik. Saat pagi menyingsing hingga sebelum fajar menyapa kami, ditemani Br. Sarju, menanti mereka yang datang dengan kekhawatiran di Pasturan Kapel Robertus Bellarminus, Kampus 1 USD. Kami memberikan mereka paket makanan. Lebih dari 1.700 paket bahan makanan telah disalurkan kepada mahasiswa USD yang kesulitan akibat terdampak pandemi Covid-19. Perjalanan ini setidaknya telah mencoba membangun harapan di tengah kesulitan.  Realisasi penyediaan bahan pangan tersebut dilakukan secara kontinyu, terutama dengan tujuan meringankan beban mahasiswa yang mengalami karantina wilayah hingga pergeseran alokasi belanja. Sebab, realitas yang dihadapi menuntut cara bertahan dan melangkah dalam segala keterbatasan. Para Mahasiswa harus beradaptasi dengan mekanisme kuliah daringyang tidak murah, apalagi saluran keuangan terkendala karantina wilayah dan lainnya.  Pusparagam ceritera kian mengolah rasa jauh di sanubari kami. Tak jarang kami pun harus keluar dari penantian. Sebagian mahasiswa mengalami kesulitan lebih jauh, seperti kendala transportasi dan keterbatasan harta. Kami dipanggil bukan hanya untuk menyalurkan sembako kepada mereka, tetapi menjadi sahabat yang bersedia merangkul mereka. Dalam keterbatasan kami, kami coba mengakomodir kesulitan lanjut itu dengan mengantar paket kebutuhan ke tempat tujuan atau sekadar memanfaatkan jasa ojek daring. Sebab, kami menyadari bahwa goresan-goresan peristiwa yang kami alami sejatinya sedang membentuk sebuah narasi cinta. Rentetan kisah yang kami lalui berangkat dari rasa syukur atas kemurahan hati. Perjalanan kami juga dilandasi kemauan untuk mengambil peran agar mampu memberikan kemanfaatan hidup bagi sesama. Pengalaman terlibat dalam distribusi sembako ini membawa kami pada kesadaran untuk mendengarkan, berbagi energi positif dan saling menguatkan, serta mengelola secara bijak cinta kasih universitas dan para donatur.  Perjalanan memaknai semangat muda ini didampingi oleh Bruder Sarju yang senantiasa memberikan warna berbeda. Bruder mengajarkan pentingnya bela rasa dan jejaring dalam situasi sulit. Nilai kebersamaan perlu dihidupi untuk melangkah bersama dalam pengharapan. Anak muda tidak boleh berhenti berharap dalam masa-masa sulit. Selain itu, Bruder juga mematri nilai bela rasa yang mampu menumbuhkan harapan dan meyakinkan bahwa hari esok akan selalu ada matahari terbit dari timur. Warna itu kian bercorak dengan ragam kisah nan-indah yang kami dengarkan dari Romo Bambang Irawan, SJ, Romo H. Angga Indraswara SJ, Romo Heri Setyawan SJ, Romo Antonius Subanar SJ. Narasi-narasi yang dibangun kerap kali mampu menembus tingkap cakrawala pengetahuan kami dan mengisi perbendaharaan pemaknaan hidup. Situasi seperti ini sekiranya menuntut setiap kami memiliki kebesaran hati seorang ibu. Bruder Sarju SJ senantiasa menyiratkan makna untuk memandang masalah dengan diri kita sebagai solusi. Artinya, dalam segala kesulitan, kita perlu mengambil peran lebih dari sekadar penggembira, tetapi melayani dalam keterbatasan.  Mengalami pengalaman yang nadir membawa kami seutuhnya menjadi diri sendiri. Prudentia bukan proses yang natura non facit saltum. Belarasa juga bukan perkara baperan yang tidak berlanjut pada aksi nyata. Keduanya menyiratkan kegembiraan hati yang terkoneksi pada sesama, sehingga dapat mengambil posisi dan berbagi hidup. 

Karya Pendidikan

Semarang Hebat, Loyola Asri

Kerjasama SMA Kolese Loyola dan Pemerintah Kota Semarang (Rabu, 03 Juni 2020) – Yayasan Loyola dan Pemerintah Kota Semarang mengadakan kerja sama untuk membangun pedestrian di depan Loyola yang semula kumuh menjadi lebih asri dan nyaman bagi pejalan kaki dan para siswa. Visi untuk bergerak bersama menjadi suatu kolaborasi yang indah antara Yayasan Loyola dan Pememerintah Kota Semarang. Pada 3 Juni 2020, secara resmi Pemerintah Kota Semarang melakukan serah terima hibah pembangunan infrastruktur di halaman depan SMA Kolese Loyola. Infrastruktur yang dibangun adalah trotoar di depan SMA Kolese Loyola sepanjang 150 meter dan lebar 1,7 meter di Jalan Karanganyar. Pembangunan trotoar baru tersebut menggunakan material ekologis dan terdapat biopori di bawah trotoar sebagai resapan air. Yayasan Loyola melihat keprihatinan yang nyata bahwa di depan SMA Kolese Loyola tatanan trotoar sangat kumuh yakni dipakai sebagai tempat mengecat mobil dan juga berdagang. Atas inisiatif Yayasan Loyola maka terciptalah ide untuk membangun dan mempercantik kawasan di depan SMA Kolese Loyola dengan berkolaborasi bersama Pemerintah Kota Semarang. Pak Hendrar Prihadi selaku Wali Kota Semarang yang sekaligus membuka acara serah terima tersebut mengatakan bahwa merasa senang karena Yayasan Loyola memberikan dukungan dan ikut program KOMPAK (Kolaborasi Masyarakat Bersama Pemerintah Kota) untuk meningkatkan infrastruktur Kota Semarang. Pak Hendi berharap bahwa kelompok-kelompok lain juga meniru apa yang dibuat oleh Yayasan Loyola sehingga bukan saja pemerintah yang peduli melainkan juga ada partisipasi aktif dari masyarakat untuk menjaga dan memperindah tata kota di Kawasan Kota Semarang. Fr. Antonius Bagas Prasetya

Karya Pendidikan

Money Is COINED FREEDOM

Terlepas dari dinamika jatuh-bangun memenuhi tuntutan profesionalitas bekerja dan susah payah mengembangkan karya kerasulan, formasi TOK  adalah  masa yang menyenangkan. Mengapa? Dari segi tuntutan objektif lembaga, kami bukanlah penanggung jawab utama. Kami hanya membantu dan berpartisipasi dalam tugas seorang direktur karya. Tanggung jawab penuh tetap ada pada mereka. Namun, di sisi lain, sejumlah wewenang (otoritas) di unit kerja memberi perasaan berkuasa/powerful. Kami punya rekan kerja, asisten kerja, maupun siswa/umat dampingan yang posisinya sub-ordinatif dengan kami. Misalnya, sebagai sub pamong Kolese (asisten wakil kepala sekolah bidang kesiswaan), saya punya wewenang untuk memberi perlakuan/ proses formatif bagi siswa yang melanggar tata tertib. Saya punya wewenang untuk memberi persetujuan atau tidak pada permohonan siswa untuk siswa tidak  masuk sekolah atau kegiatan seputar persekolahan lainnya. Setiap jam istirahat atau pulang sekolah para siswa antre mencari saya. Ini memberi rasa dibutuhkan.  Sering kali mereka datang dengan gesture tubuh yang merunduk, memelas, dan memohon-mohon. Itulah momen-momen konkret ketika saya merasakan bahwa ditaati itu sungguh menyenangkan. Ya… sebagai manusia, hal-hal semacam itu memberi rasa berkuasa dan dihormati.  Hal menyenangkan lain, yang kadang malu-malu kami akui, adalah memegang uang dan mendapat gaji. Ya…bagi  saya yang berasal dari seminari, masa TOK adalah pengalaman pertama mendapat gaji dan uang  jajan yang relatif besar (setidak-tidaknya tiga kali lipat dibandingkan uang saku ketika masih dalam masa studi filsafat). Selain uang jajan itu, kami juga mendapat upah dari jabatan struktural kami di karya kerasulan. Jumlahnya tentu saja ditentukan dengan standar penggajian sesuai ijazah kesarjanaan yang saya miliki.  Memang, sebagai seorang Jesuit, gaji profesional yang kami peroleh tidak pernah langsung masuk dompet kami. Kami juga tidak mengelola (baca: menggunakan) gaji tersebut secara mandiri. Gaji langsung diserahkan atau otomatis ditransfer oleh Yayasan kepada bendahara/ekonom komunitas untuk menunjang kehidupan bersama sebagai komunitas Jesuit. Meskipun demikian, setiap bulan kami menerima slip gaji yang menunjukkan digit-digit nominal. Pundi-pundi rupiah itu memunculkan perasaan senang, karena merasa diri berkontribusi dan menghasilkan sesuatu untuk Serikat/komunitas. Ada bagian dari diri yang serasa teraktualisasikan. Ada kepuasan ketika jerih keringat selama sebulan dihargai. Bagi sebagian besar orang, tentu hal semacam itu  sudah terasa sangat biasa. Tetapi, sekali lagi, bagi orang-orang seperti saya, ini adalah pengalaman pertama yang membawa serta sensasi unik. Saya rasa sensasi unik ini secara tepat terbahasakan dalam ungkapan tentang uang oleh Fyodor Dostoevsky. Money is coined freedom. Secara jeli, novelis asal Rusia ini menyingkapkan relasi erat uang dan kebebasan, Pengalaman menunjukkan pada kita bahwa bebas adalah suatu sifat umum dari hal-hal yang dapat didatangkan dengan uang. Rasanya sulit menyangkal Dostoevsky. Ada kebebasan tertentu yang kita rasakan ketika kita mempunyai uang. Dengan uang saku saat ini,  saya tidak lagi terburu-buru menekan tombol skip untuk setiap iklan aneka perlengkapan hobi dari toko daring yang melintas di layar gawai. Posting-an teman di IG tentang tongkrongan baru, tidak lagi sekadar menimbulkan rasa iri atau kepingin, tetapi juga merangsang otak merancang  ke mana weekend ini pergi. Aneka pernak-pernik elektronika tampak ada dalam jangkauan untuk dibeli sebagai “pendamping” bagi buku-buku yang mulai kusam karena jarang dibelai di sudut-sudut kamar. Youtube bukan lagi satu-satunya pelipur diri. Netflix dan Spotify premium ada dalam genggaman. Dengan kekuatan finansial saat ini, kami bisa sungguh merealisasikan sebagian keinginan untuk memiliki atau melakukan itu dan itu –sesuatu yang ketika masa studi filsafat relatif terbatas, tak terjangkau.  *** Magis: Etos Keunggulan Iya… beginilah nuansa khas dari formasi TOK. Ada suatu keleluasaan yang kami peroleh melalui uang dan kenikmatan yang inheren dalam otoritas (meskipun tentu saja kebebasan tidaklah identik dengan uang dan otoritas)[1].  Namun, pada saat yang sama, sebenarnya persis tergelar di depan mata suatu gelanggang latihan olah diri, yang disebut oleh Ignatius; “discernment”. Di hadapkan keleluasaan ini, apakah aku  menggunakannya untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang penuh cinta? Apakah kewenangan dan jabatan ini aku pakai untuk semakin menjadi sahabat dan pelayan bagi sesama? Apakah hari ini aku bergairah bekerja atas alasan-alasan yang melampau uang dan status? Atau sebaliknya, keleluasaan (otoritas, uang, anugerah diri) ini justru semakin menjadi pusat hidupku dan menggusur pelayanan dan menghalangiku untuk bertumbuh sesuai tujuan hidupku, AMDG? Kerap kali permenungan a la meditasi Asas dan Dasar dalam Latihan Rohani St. Ignatius semacam itu berdering nyaring di sela-sela euforia bekerja. Idealisme magister Ignatius Loyola menantang saya, dan para skolastik TOK lain, untuk mampu menjawab iya atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Selain gelanggang olah hidup rohani dalam konteks yang real, masa TOK juga digariskan oleh pihak Serikat Jesus sebagai tahap kami belajar bekerja sebagai seorang Jesuit. Sebelum menjalani masa TOK, frase “belajar bekerja” ini memberi penghiburan tersendiri. Namanya juga fase belajar, tentu tidak serius-serius amat. Akan tetapi, belakangan ini, saya menyadari bahwa sebenarnya frase yang lebih mau ditekankan pada tahap formasi ini adalah bekerja sebagai Jesuit yang ditandai dengan semangat magis (etos keunggulan). Hal ini saya tangkap dalam suatu percakapan rohani saya dengan Pater Provinsial.  “Saat ini bukanlah saat belajar bekerja, tetapi ini memang saatnya kamu bekerja sebagai Jesuit!” tegas Pater Provinsial. Lebih lanjut, Pater Provinsial menantang kami, para Toker untuk mewujudkan semangat kerja keras dengan bercermin pada tahap pencobaan bagi staf funding officer baru suatu bank. Sebagai ilustrasi, setiap pegawai baru divisi funding officer bank pada tahap awal karier diberi target mencari dan mengumpulkan dana sekian kali dari gajinya. Etos kerja yang sama dapat menjadi bingkai masa TOK-mu. “Sebagai pegawai baru Serikat Jesus, kamu saya undang untuk bekerja hingga menghasilkan suatu mutu pelayanan yang bernilai secara nominal setidak-tidaknya 4 sampai 5 kali gaji profesionalmu di Kolese”    Pembicaraan ini begitu terngiang dalam hati saya. Dalam percakapan waktu itu, pemahamanku dikoreksi. Sejak saat itu, setiap Sabtu, akhir pekan, saya selalu mengevaluasi kinerja mingguanku sebagai sub pamong di Kolese De Britto dan ekonom komunitas Pastoran De Britto. Bagaimana mutu pelayananku minggu ini? Apakah mutu kerjaku bulan ini sudah cukup layak untuk dihargai 5 kali lipat gaji yang kuterima? Inilah hal yang membuat masa TOK tidak serta-merta hora-hore karena punya uang dan status. Ada saat-saat di mana, bekerja dengan tuntutan mutu tinggi seperti itu terasa bagai beban. Ada saat-saat bangun pagi terasa begitu berat. Ada saat di mana seluruh tanggal di kalender berwarna hitam.  Ada saat aku mencecap dalam-dalam sabda Yesus “tidak ada tempat untuk meletakkan kepala

Karya Pendidikan

Sembako untuk Mahasiswa Sanata Dharma

Universitas Sanata Dharma Realisasikan Sembako Bagi Mahasiswa Yang Membutuhkan di Masa Wabah Covid-19⁣⁣Universitas Sanata Dharma (USD) membentuk Tim Pencegahan Penyebaran Virus Corona yang meliputi Tim Akademik diketuai Wakil Rektor 1, Tim Kesehatan diketuai Wakil Rektor 2, dan Tim Kemahasiswaan diketuai Wakil Rektor 3. ⁣⁣Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Kemahasiswaan melalui Lembaga Kesejahteraan Mahasiswa (LKM) merealisasikan penyediaan bahan makanan untuk mahasiswa, bahan makanan ini diperuntukkan bagi mahasiswa yang benar-benar membutuhkan (terutama yang tinggal di kost). ⁣⁣Tujuan diadakannya kegiatan ini adalah untuk meringankan mahasiswa dalam menghadapi realitas yang hanya bisa berada di kost saja serta banyaknya warung-warung makan yang tutup.⁣ ⁣@usd_official⁣⁣#Sadharcare⁣#solidaritascovid19⁣#JesuitIndonesia⁣#JesuitSolidarity⁣#JesuitStories⁣#JesuitInitiatives⁣#IndonesiaLawanCovid19⁣#bersatumelawancovid19