Pilgrims of Christ’s Mission

Karya Pendidikan

Karya Pendidikan

Vaksinasi Covid-19 bagi Dosen dan Staf Universitas Sanata Dharma

Setelah menanti cukup lama dengan ketidakpastian, akhirnya para dosen dan staf di Universitas Sanata Dharma mendapat giliran untuk menerima vaksinasi Covid-19. Bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, Universitas Sanata Dharma melaksanakan kegiatan vaksinasi tahap I pada hari Sabtu, 17 April 2021 di Kampus I, Mrican. Untuk memperlancar kegiatan ini, petugas administrasi dilakukan oleh para staf USD. Kontributor: Eko Budi Santoso, SJ

Karya Pendidikan

Relevansi Seminari di Masa Pandemi dan Pasca-Pandemi: Merawat Percakapan Rohani

Suatu saat di kompleks Pejaten Barat 10A seorang seminaris mendekati saya dan bertanya, “Pater, saya butuh bimbingan rohani. Kapankah sebaiknya saya bisa bimbingan rohani dengan Pater?” Saya tertegun atas permintaan dan pertanyaannya. Saya menanggapi begini, “Apakah ada hal mendesak yang hendak kamu bicarakan?” Si seminaris yang masih berseragam SMA itu menjawab, “Tidak mendesak sih, Pater.” “Jika demikian, kita ketemu di hari senin depan setelah jam rohani sore di ruang tamu Gedung Rektorat ya?”, ajak saya. “Baik, Pater. Terima kasih,” jawab si seminaris dengan riang dan melangkah meninggalkan saya. Percakapan dan pertanyaan ini kerap kali terjadi pada saya. Permintaan yang membuat saya merenung sejenak dan bertanya dalam diri. “Mengapa mereka merindukan kesempatan untuk bimbingan rohani? Mengapa seminaris berani berinisiatif untuk merawat hidup dan panggilan mereka secara lebih serius?” Bila membandingkan dengan pengalaman seminaris belasan tahun yang lalu, inisiatif bimbingan rohani lebih banyak datang dari pembimbing. Kini, seminaris memohon langsung. Bahkan mereka dapat mendesak untuk melakukan bimbingan rohani. Beberapa menjawab dengan tegas bahwa mereka perlu segera mempercakapkan persoalan mereka di lingkup bimbingan rohani. Beberapa lainnya mengungkapkan bahwa belum pernah melakukan bimbingan rohani. Peristiwa sapaan di awal tulisan ini memiliki ragam yang berbeda yakni seminaris yang memang mengingatkan bahwa ia butuh bicara personal tentang hidup rohaninya. Golongan kedua adalah seminaris yang butuh pertolongan segera dalam konteks hidup panggilannya. Kelompok ketiga merupakan seminaris yang sama sekali belum pernah mencicipi bimbingan rohani. Tiga kelompok seminaris tersebut membuat saya yakin bahwa bimbingan personal seperti bimbingan rohani merupakan salah satu alat bantu yang penting bagi seminaris dalam merawat hidupnya terutama hidup panggilannya. Mempercakapkan, mendialogkan pengalaman rohani dan hidup panggilan merupakan kebutuhan utama dari seminaris jaman ini. Mereka sungguh menuntut untuk didengarkan secara lebih serius dan utuh. Masih relevankah Seminari di masa kini, khususnya di masa pandemi dan pasca-pandemi? Bagi saya, relevansi seminaris masih lestari. Letaknya ialah pada kualitas relasi antara formator dengan formandi. Orang-orang muda ini butuh disapa secara personal baik itu dari sisi rohani, sosial, dan profesional. Kesempatan tersebut mesti dapat diakses secara struktur formal terjadwal. Lebih dari itu, sapaan yang lebih bersifat informal, spontan, dan sehari-hari juga amat diperlukan. Perjumpaan seperti inilah yang membuat Seminari tetap relevan. Bimbingan rohani dan percakapan personal sejenis mesti perlu dirawat dan dilestarikan. Si seminaris mesti mendapatkan jaminan dan akses untuk mendapatkan layanan itu. Ketika Seminari harus menerapkan formasi dari rumah, tantangan mengemuka. Pandemi mengantar formator dan formandi untuk terpisah jauh. Formator berada di asrama. Seminaris di rumah. Perjumpaan yang selama ini berlangsung di asrama kini berjarak. Seminaris tidak lagi dengan mudah mengetuk pintu kamar formatornya. Seminaris kesulitan untuk menyapa langsung formatornya saat berjalan di selasar. Butuh usaha lebih dengan memanfaatkan gawai masing-masing. Menyiasati situasi berjarak ini butuh inovasi. Ada cara baru agar sapaan tetap berlangsung. Seminaris butuh telinga untuk didengarkan. Seminaris butuh arahan agar ia sampai pada sosok yang memanggilnya. Sama seperti Samuel yang bertanya pada Eli lantaran ia mendengar nama Samuel dipanggil, “Samuel, Samuel”. Butuh tiga kali bagi Eli untuk paham bahwa yang memanggil Samuel ialah Allah sendiri. Eli pun berpesan pada Samuel, “Bila suara itu hadir lagi katakanlah, ‘berbicaralah ya, Tuhan, hamba-Mu mendengarkan.” Pertukaran informasi, pertanyaan, perasaan, pikiran, dan kehendak seperti ini mesti tetap terawat. Pemanfaatan sarana komunikasi digital dapat jadi solusi sementara. Perjumpaan tatap muka memang lebih bernilai dan kaya karena melibatkan semua aspek jiwa raga antar manusia yang saling tatap. Komunikasi digital hanya menampilkan beberapa aspeknya saja. Seminari menjadi tetap relevan dan lestari di masa-masa pandemi ini bila si seminaris memiliki kesempatan untuk berbincang, bercakap, bertukar pikiran-perasaan-kehendak-pengalaman, dan didengar-mendengarkan melalui bimbingan rohani atau pun percakapan personal lainnya. Kontributor: P. Gerardus Hadian Panamokta, SJ Staf Seminari Wacana Bhakti – Jakarta

Karya Pendidikan

Pendidikan Seminari: Masa Mempersiapkan Perubahan

Saya memulai cerita ini dari latar belakang keluarga terkait dengan pentingnya pendidikan dalam keluarga besar. Tradisi di dalam keluarga besar kami, setiap anak setelah lulus sekolah dasar akan dikirim ke Seminari untuk pendidikan lanjutan untuk anak laki-laki dan ke sekolah berasrama putri untuk anak perempuan. Pendidikan berasrama dalam tradisi katolik memiliki satu kelebihan yaitu membangun mental dan kemandirian anak. Sekolah, dalam keluarga kami itu ya pendidikan Katolik yang berasrama. Saya sendiri, selepas SD langsung masuk ke sebuah asrama di Blitar untuk menempuh pendidikan lanjutan. Kita bisa paham hal-hal ini terjadi karena orangtua pada saat itu tidak terlalu berpikir kompleks. Mereka banyak memutuskan persoalan secara sederhana saja, yaitu kalau mau menjadi anak yang baik harus dididik di asrama, bukan dididik sendiri di rumah. Pendidikan adalah warisan bagi anak yang sangat bernilai dan tak tergantikan oleh apapun. Namun bagi saya pribadi, dulu dan sekarang, walau sudah banyak perubahan, esensi pendidikan di Seminari masih tetap sama. Saya memiliki seorang anak yang dididik juga dalam Seminari dan sampai saat ini masih menjalani masa formasinya menjadi seorang imam. Saya percaya Seminari “mendidik” seorang anak secara berbeda dengan pendidikan di luar, terutama dalam hal karakter dan membentuk kepribadian anak. Pendidikan memang menjadi sebuah proses bagi individu untuk berkembang dan menjadi pribadi dan individu yang berkualitas. Namun di Seminari, perkembangan seorang anak sangat diperhatikan dan dijaga sehingga sebagai orangtua saya tidak khawatir kalau anak saya akan menjadi buruk. Saya percaya, tradisi yang ada di asrama itu mendukung untuk maju dan berkembang seperti bagaimana interaksi antar seminaris, interaksi dengan dunia luar Seminari, juga pengalaman live in di rumah penduduk. Pendidikan Seminari zaman ini memiliki tantangan yang berbeda dengan zaman dulu. Di zaman sekarang yang disebut dengan zaman digital, salah satu yang berubah adalah pola interaksi antar individu dan pribadi. Dulu orang tua kurang tahu apa yang terjadi dengan anaknya di Seminari. Ada unsur kepercayaan dan mungkin bisa disebut “iman” katoliknya. Saat ini, dengan perubahan pola interaksi karena kemajuan teknologi, orangtua pun juga semakin demanding terhadap apa yang terjadi pada anaknya di Seminari. Pendidikan di Seminari memang mempunyai tujuan khusus yaitu menyiapkan calon imam meskipun tetap ada seleksi terhadap siapa yang boleh lanjut atau tidak boleh lanjut. Hal ini menjadi kekhawatiran orangtua dengan logika sederhana bahwa anak saya sudah kehilangan waktu dan tertinggal dari teman-temannya di sekolah umum. Secara logika, kekhawatiran tersebut benar tetapi kurang tepat. Ada yang luput dari pemahaman tersebut, yaitu peran orang tua dalam mendampingi anak selama di Seminari. Dengan segala kondisi plus/minus pendidikan di Seminari, saya menjadi paham dan mengerti kalau pendidikan Seminari itu memang sangat on the right track dan masih sama sampai hari ini secara esensial. Kalau perlu dilakukan perubahan program pun adalah pada bagian mendidik orangtua supaya memiliki kesadaran dan pemahaman akan peran sosial seorang imam dan calon imam katolik. Secara pribadi dalam perspektif seorang Ibu, pendidikan Seminari masih penting, yaitu bagaimana mendidik karakter yang berdasar pada nilai-nilai. Para formator di Seminari tentu tidak sembarangan dalam mendidik Seminaris. Bagi saya, pendidikan di Sekolah umum seperti menjadi alat untuk mencapai tujuan yang diarahkan untuk menggapai ke suatu profesi. Tujuan itu tidak salah, tetapi ada yang kurang dari pengarahan pada tujuan profesi yang dimaksud. Para murid belajar mati-matian hingga lulus hanya mengarahkan dirinya pada profesi yang ingin dicapai. Tujuan tersebut penting namun belum lengkap karena hanya menjadikan mereka pribadi yang kompetitif dan keras, bukan mendidik seorang anak untuk berkembang dan menjadi pribadi yang tangguh dan bertanggungjawab. Maka, pendidikan Seminari menjadi penting karena Seminari masih mendidik manusia menjadi bermartabat karena nilai-nilai yang ditanamkan baik dari segi kognitif, afektif, dan karakter. Peran keluarga di Seminari zaman sekarang ini menjadi signifikan. Keluarga tidak bisa dibiarkan “lepas” begitu saja. Mereka harus memberikan pemahaman juga kepada anaknya bahwa hidup yang dijalani anaknya ini adalah hidup yang tengah mempersiapkan anaknya pada perubahan dari seorang awam menjadi seorang imam yang akan dihormati banyak orang. Maka, orang tua tidak bisa memanjakan anaknya di Seminari dengan meminta perlakuan khusus melalui formatornya atau membela anaknya di depan para formator, melainkan tetap percaya bahwa anaknya akan menjadi seorang imam yang menjadi teladan banyak orang. Dengan demikian, orangtua juga berperan besar dalam membentuk seorang imam yang baikm sehingga Ketika seseorang ditahbiskan menjadi imam tidak seperti OKB (Orang Kaya Baru), melainkan menjadi imam seturut doa yang baik dari orangtuanya dan panggilan imannya. Bagi saya, Seminari adalah masa mempersiapkan perubahan tersebut dan orangtua berperan dalam perubahan tersebut. Masa persiapan ini adalah masa mempersiapkan itu membentuk mental dan memahami panggilan hidupnya. Maka, selain dukungan orangtua, pendidikan Seminari yang sangat baik adalah saat mereka belajar di lapangan tentang apa itu keadilan sosial, yaitu bagaimana hubungan dirinya dengan orang “miskin”, dengan lawan jenis dan lainnya. Lewat pendidikan ini, saya percaya setiap orang dididik untuk menghargai orang lain. Maka, bagaimana seseorang imam memperlakukan orang lain tanpa melecehkan merupakan buah dari pendidikan tersebut. Masa pendidikan ini tentu saja terlihat mengerikan bagi orang tua karena melihat anaknya bergaul dengan gelandangan, orang terbelakang atau perempuan yang cantik. Namun, ketika kita percaya bahwa ini adalah pendidikan yang harus mereka capai, maka kita sebagai orangtua tidak perlu ikut campur atau melarang anaknya untuk tidak melakukan eksperimen yang bagi orangtua dianggap kurang layak tersebut. Kita percaya walau mereka hidup dalam satu rumah yang tertutup namun formator mendidik mereka untuk tidak tertutup dalam berelasi dengan orang lain atau dengan lawan jenis. Usia para Seminaris memang usia krusial secara psikologis karena di usia tersebut mereka sedang mengalami pencarian dan mulai pembentukan jati diri. Jika mereka tidak bisa melampaui masa krusial ini saya yakin bahwa mereka akan menjadi imam yang menyulitkan. Maka, masa yang krusial ini seorang seminaris harus ditemani dengan baik agar mereka bisa menemukan, membangun, dan menghidupkan jati dirinya. Harapannya, ia dapat menjadi seorang imam yang baik serta tidak melecehkan “keimamannya”. Kontributor: Cornelia Istiani – Orangtua Seminaris Foto Cover: Paul Prabowo, SJ

Karya Pendidikan

Seminaris dan Pandemi

Tanpa terasa pandemi Covid-19 sudah berlangsung selama 1 tahun. Dan seperti yang kita lihat hampir seluruh aspek kehidupan mau tidak mau harus beradaptasi dengan kondisi ini. Salah satunya adalah dunia pendidikan, para siswa terpaksa melakukan pembelajaran dari rumah dengan tetap didampingi para guru melalui daring. Hal ini pun dirasakan oleh para seminaris, yang biasanya mereka belajar, berdoa, berdiskusi dan berdiskresi bersama di asrama, terpaksa mereka lakukan semua itu di rumah. Apa saja tantangan yang mereka hadapi selama melakukan pembelajaran di rumah saja? Bagaimanakah mereka merefleksikannya? Berikut adalah cerita para seminaris dalam menghadapi belajar dalam kondisi seperti ini. Bahagia itu mudah Rafaelo Dergio Augusto Novaro Rangkuty Seminari Menengah Wacana Bhakti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) merupakan kegiatan belajar dari rumah masing-masing termasuk saya yang melaksanakan kegiatan pembelajaran jarak jauh ini dari seminari. Sebagai seorang seminaris banyak suka-duka ataupun makna pengalaman yang saya alami selama PJJ. PJJ ini mengajarkan saya untuk bisa beradaptasi karena hal ini adalah hal yang baru bagi saya. Selama PJJ, waktu sekolah menjadi lebih singkat dan PJJ juga tidak membuat panggilan saya menurun, melainkan memiliki banyak waktu, saya mempunyai quality time tersendiri dengan Tuhan. Dengan memiliki banyak waktu saya bisa berkomunikasi dengan Tuhan dengan curhat dengan-Nya. PJJ ini mengajarkan saya untuk bisa mencari kebahagiaan dengan Tuhan di tengah keterbatasan, karena sesungguhnya bahagia itu sederhana. PJJ Siapa takut? Aloysius Gonzaga Rikito Teguh Santosa Seminari Menengah Wacana Bhakti Seminari Menengah Wacana BhaktiPembelajaran Jarak Jauh atau PJJ memang merepotkan, terutama di seminari. PJJ sangat mengandalkan komputer dan internet, tetapi di satu sisi, jadwal penggunaan komputer dan internet di Seminari terbatas. Sehingga terkadang saya merasa kesulitan. Tetapi apa yang bisa saya lakukan? Apakah saya akan mengeluh? Sebagai seorang siswa dan seminaris, saya diajak untuk tidak mengeluh. Saya harus tetap bersemangat dan berusaha semaksimal mungkin menghadapi tantangan PJJ ini. Karena saya percaya bahwa Tuhan selalu menyertai saya sepanjang hidup saya dan Tuhan tidak akan memberi tantangan yang melebihi kekuatan saya. Semoga saya semakin dikuatkan dalam menjalani tantangan PJJ ini. Seminari Mengubah Diri Juan Carlo Suban Mukin Seminari Menengah Mertoyudan Hidup di Seminari adalah suatu rahmat yang sangat saya syukuri. Saya telah dibimbing selama kurang lebih tiga setengah tahun oleh para staf Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan Magelang. Berbekal benih yang bernama “panggilan”, saya menyerahkan diri agar “disemai” dan dibentuk menjadi pribadi yang lebih baik. Percaya diri, tahan banting, dan berkehendak yang kuat, serta banyak hal lainnya dilatih di Seminari. Nilai yang ditanamkan nampak utopis namun dilatih lewat berbagai aktivitas yang sederhana. Perayaan Ekaristi, Kegiatan Belajar Mengajar, dan ekstrakurikuler adalah beberapa rutinitas dari sekian banyak aktivitas yang menanamkan nilai-nilai tersebut. Di Seminari, saya diajak untuk menyadari dan menerima kekurangan diri melalui correctio fraterna (saling memberi apresiasi atau masukan/sumbangan rohani pada teman se-komunitas). Saya jadi memahami bahwa selalu saja ada orang yang tidak cocok atau tidak suka dengan saya. Namun demikian, bukanya mewek atau cengeng melainkan saya berusaha lebih adaptif terhadap situasi, terbuka terhadap masukan yang ada dan tetap menjadi pribadi yang autentik. Saya diundang untuk terus berubah menjadi yang terbaik versi diri saya. Saya yang dulu bukan saya yang sekarang. Saya yang sekarang mempersiapkan diri untuk masa mendatang. Kini “benih” yang sudah dan terus ditumbuh-kembangkan diuji oleh pandemi Covid-19. Saya adalah salah seorang penyintasnya. Kesetiaan terhadap formasi diuji Ketika saya berada di rumah apalagi ketika terjangkit Covid-19. Segala kondisi dan keterbatasan tidak dapat terus-terusan menjadi alasan untuk mengeluh. Usaha untuk menjadi setia, dipadukan dengan pertolongan rahmat melalui doa senantiasa digaungkan. Hanya doa dan usaha yang bisa dilakukan di saat seperti ini untuk setia pada pembentukan diri. Sisanya biarlah kehendak Tuhan yang terjadi. PENGKONDISIAN (HARUSNYA) BERBUAH DALAM KESADARAN Christofer Edgar Liauwnardo Seminari Menengah Mertoyudan Siapa bilang Formasi Jarak Jauh (FJJ) enggak formatif? Formasi formal di Seminari itu penuh “pengkondisian” yang semakin dirunut semakin berkesan dan membekas. Ada jadwal harian, peraturan, kegiatan komunitas, dan aneka dinamika bersama yang ngangenin. Di rumah, pengkondisian itu berubah bentuk menjadi kontrol pribadi. Alih-alih didesak oleh pengkondisian, aku malah merasa didesak oleh kesadaran penuh untuk mempertahankan tradisi dan pengembangan diri secara holistik. Contohnya, di tengah persiapan Ujian Sekolah, aku mencoba tetap melakukan bacaan rohani di sore hari—salah satu jadwal harian seminaris, karena memang itu sarana baik untuk menegaskan identitasku sebagai calon imam. Kontrol yang lemah hanya akan menghasilkan kebiasaan yang terpaksa dan kurang mengakar. Kontrol internal itulah yang coba kuolah lebih jauh di rumah, tanpa ada penilaian pamong, tanpa dilihat orang lain, seolah-olah melakukan segala-galanya tersembunyi. Bagaimanapun, formasi di rumah—jika dimanfaatkan secara sungguh—bisa menguji benih-benih panggilan dan keutamaan ke arah yang lebih murni. Tentulah bukan pelaksanaan secara idealis dan naif yang diharapkan, melainkan cukup kegiatan formatif yang memang berakar dari kesadaran itu—kalau aku baru memilih bacaan rohani. Sudah saatnya bagi para seminaris untuk mempraktikkan secara proporsional hasil pengkondisian di Seminari dalam pergumulan konkrit di rumah. Kalau toh rumahku juga formatif, kenapa engga? #

Karya Pendidikan

Discerning Habit

“Siang malam kuselalu menatap layar terpaku untuk online online online online jari dan keyboard beradu pasang earphone dengar lagu aku online online online online”. Potongan lirik Saykoji (2010) ini terasa sangat dekat dengan hidup harian seminaris Seminari Menengah Mertoyudan saat ini. Sudah setahun pandemi tak kunjung sirna. Setelah libur Natal 2020 yang lalu, para seminaris menjalani Formasi Jarak Jauh (FJJ) dari rumah. Semuanya gagap dan bingung bersikap. Pertanyaan besarnya: apa bentuk program pembinaan yang cocok di tengah pandemi? Semua program kini berbasis virtual. Tak ada pendampingan tatap muka langsung apalagi pengawasan dari kepamongan. Kami merefleksikan bahwa FJJ menjadi momen uji dan pemurnian yang nyata. Justru dalam kebebasan inilah, apakah para seminaris tetap dapat merawat kebiasaan yang sudah baik selama ini dan mampu membuat pilihan formatif bagi hidup dan panggilannya? Never stop learning, because life never stops teaching. Belum lama ini kami mengadakan rekoleksi bertema “Homo Digitalis: Aku Terkoneksi maka Aku Ada”. Rekoleksi ini dimulai dengan webinar tentang media sosial. Seminaris tidak kami minta mematikan HP. Sebaliknya, para seminaris kami ajak untuk mengidentifikasi konten yang sering diakses, unggahan atau komentar di akun medsos mereka lalu merefleksikannya. Bagaimana intensitasnya, apa yang dominan di akses ketika browsing, bagaimana bahasa chat yang digunakan, dst. Lewat pintu inilah kami menjadi partner diskresi sekaligus sahabat seperjalanan di tengah FJJ yang tidak pasti ini. Saya merefleksikan bahwa sudah saatnya para seminaris diajak untuk dapat menghidupi “tegangan” (tension) di tengah kemajuan teknologi komunikasi ini. Tidak menjauhkan diri atau “anti” teknologi. Dibutuhkan pembiasaan dan kemampuan untuk mengambil jarak. Ada satu seminaris yang pernah kami minta untuk tidak mengakses medsos-nya selama 30 hari. Ia sangat gelisah dan bergumul. Namun, dari situ ia belajar untuk mampu mengambil jarak, tidak lekat (addict) dan mampu menggunakannya secara proporsional. Selanjutnya para seminaris perlu ditemani untuk mengenali gerak-gerak batin seraya berani memilih di tengah kompleksitas dunia digital: beragam narasi, bombardir informasi, pornografi, cyber bullying, dst. Film dokumenter Netflix, the Social Dilemma (2020) dengan ciamik memberi gambaran betapa algoritma dan AI memengaruhi para pengguna media sosial dengan cara tak terbayangkan. Tidak diragukan lagi bahwa distraksi terbesar FJJ yang dialami Generasi Z ini adalah sentuhan dengan gawai, apalagi bagi seminaris yang selama di asrama tidak diperbolehkan membawa HP. Kini mereka bisa bebas menggunakan gawai untuk mengakses apapun di dalam genggamannya. Bagaimanapun situasinya, rumah-rumah pembinaan calon imam tetap harus berjalan seiring dengan lahirnya aneka tantangan di tengah arus zaman. Model “parenting” gaya baru dan pendampingan sinergis bersama orang tua juga sangat penting. Di tengah kebebasan pilihannya, tentu ada ekses bagi ruang untuk jatuh sekaligus tumbuh. Di sinilah tugas kepamongan untuk menemani para seminaris secara merdeka dalam proses refleksi, memberi kepercayaan yang disertai nilai tanggungjawab, serta mengembangkan kebiasaan diskresi (discerning habit). Jika seorang seminaris tumbuh berkembang kita apresiasi dan didukung. Sebaliknya, jika seorang seminaris terjatuh, kita ingatkan dengan kasih (tulus) dan membantunya bangkit. Kita mohon rahmat agar Sang Guru menunjukkan jalan-jalan terbaik pendampingan sehingga dapat membentuk para calon Gembala Gereja masa depan sebagai: men of discernment (bdk. RFIS, Pedoman Pembinaan Hidup Imamat di Indonesia, no. 100). Kontributor: P. Paulus Prabowo, S.J. Pamong Medan Utama Seminari Menengah St. Petrus Canisius, Mertoyudan

Karya Pendidikan

“Thinking Differently, Serve Lovely”Live In Ekskursi SMA Kolese Loyola

Seorang pejuang pembaharu dunia hendaknya memiliki kematangan dan keluasan pandangan sosial. Secara emosional para pejuang harus mampu melihat suatu masalah secara utuh dan memiliki kontrol yang baik dalam mengendalikan kondisi yang kritis. Akan tetapi dalam pembelajaran online, bagaimana implementasi formasi pendidikan karakter di Kolese Jesuit bagi para siswi-siswa? Dari latar belakang inilah, SMA Kolese Loyola membuat inovasi, agar formasi pendidikan karakter tetap dapat dilakukan dan tetap memperhatikan protokol kesehatan demi kesejahteraan bersama. Maka diselenggarakanlah dua kegiatan dalam format daring, yaitu: (1) Live in daring bagi kelas X dengan tema “Think Different”; dan (2) Ekskursi daring bagi kelas XI dengan tema “Melayani dengan kasih”. Dalam konteks live in daring, tema “Think Different”  merupakan salah satu terjemahan dari semangat Ignasian  untuk senantiasa memiliki keluasan pengetahuan dan menjadi berkat bagi sesama. Think different dimaknai sebagai usaha mencari kedalaman pengetahuan, sehingga menjadi sumber kebahagiaan bagi sesama. Kebahagiaan dalam arti memberi semangat baru, melalui kehadiran kita di tengah-tengah keluarga. Live in daring  ini mengajak para siswa menyelami potensi keluarga mereka, di mana keluarga menjadi tempat tumbuhnya kebiasaan-kebiasan, nilai-nilai agama, penalaran berpikir dan intuisi dari seorang anak. Siswa akan menemukan banyak informasi dari keluarga yang sifatnya tidak tertulis namun diyakini kebenarannya. Selain itu, siswa diharapkan juga bisa menemukan banyak pengalaman penggunaan panca indera sebagai penumbuh potensi anggota keluarga. Live in daring diselenggarakan selama lima hari. Alur hari pertama mengambil tema Healthy Family. Para siswa diajak untuk mencari data tentang kesehatan keluarga, pola hidup, pola makan, dan kebiasaan hidup sehat keluarga. Upaya mencari data hidup sehat dan merancang proyek hidup sehat yang kontekstual bersama keluarga, misalnya: makan bersama empat sehat lima sempurna, rekreasi bersama, cerita bersama, atau olahraga. Hari kedua Best Family Vocation menjadi fokus bersama dan diimplementasikan dalam ragam bentuk kegiatan seperti: para siswa mengikuti pekerjaan orang tua, mencari data terkait pekerjaan orang tua dan latar belakang keluarga, pendidikan, hingga rintisan karir.  Hari ketiga, tema Fire God diarahkan agar para siswa  mencari data agama, kepercayaan, atau spiritualitas keluarga yang menjadi kekhasan dari keluarga. Mengapa keluarga memilih agama atau kepercayaan tertentu, dan bagaimana keluarga membangun toleransi dengan keluarga yang berbeda. Sebagai aksi nyata, para siswa merancang sebuah proyek kegiatan rohani bersama keluarga. Hari keempat mengangkat tema Paradise Family. Para siswa didampingi untuk melihat apa yang sedang diharapkan atau dibutuhkan ada dalam keluarga. Lalu mereka membuat sebuah rancangan perwujudan dalam sebuah desain kegiatan tertulis dengan dua tujuan, yaitu: mempererat relasi antar anggota keluarga dan membuat salah satu sudut ruangan menjadi lebih nyaman bagi keluarga. Umumnya membuat candle light dinner, cooking challenge, tik tok family, mendesain ulang ruang tamu, mendesain ulang ruang makan, mendesain ulang ruang garasi. Puncak live in daring ditutup dengan “Niatan Konstruktif” dengan tujuan mencari bentuk kebiasaan positif yang bisa dilatihkan dalam kegiatan harian di keluarga, lalu disatukan dengan perayaan Ekaristi bersama. Kegiatan kedua ialah Ekskursi daring bagi para siswi-siswa kelas XI. Ekskursi tahun 2021 kali ini dilakukan di rumah masing-masing, dan kegiatan ini merupakan kelanjutan dari kegiatan Rekoleksi Kelas XI yang dilakukan pada bulan Maret 2021. Fokus dari kegiatan Rekoleksi Kelas XIrekoleksi kelas XI adalah pengembangan diri bersama anggota komunitas kelas, sedangkan fokus kegiatan ekskursi ialah melakukan aksi nyata kepada orang lain yang membutuhkan di luar komunitas kelas dan di luar SMA Kolese Loyola. Kegiatan ekskursi sangat penting untuk pengembangan nilai compassion siswi-siswa kepada sesama. Mereka dihadapkan pada realita kehidupan yang mungkin belum pernah dijumpai dalam rutinitas harian. Mereka diharapkan akan menjadi semakin peka dengan penderitaan orang lain, dan akhirnya mereka diharapkan melakukan aksi nyata sesuai dengan karakter kelasnya masing-masing. Aksi yang dilakukan adalah hasil diskusi dan diskresi dari komunitas kelas bersama wali kelasnya, sehingga setiap kelas memiliki dinamika yang berbeda-beda.  Dari kegiatan Live in daring kelas X dan Ekskursi kelas XI, para siswa dan orang tua yang terlibat sungguh merasakan kehadiran dan karya Allah yang menyertai dan melindungi mereka di tengah segala keraguan dan ketakutan di masa pandemi. Bagaimana mengenali jejak-jejak karya Allah, bekerja dengan mengikuti cara Allah, dan bersama dengan banyak orang yang berkehendak baik. St. Ignatius Loyola menyebutkan dalam Latihan Rohani bahwa cinta harus lebih diwujudkan dalam tindakan nyata daripada dalam ungkapan kata-kata. Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium mengatakan bahwa kita perlu memperdalam dan memperluas cara pandang kita, menempatkan iman, keadilan dan solidaritas dengan yang miskin, serta tersingkir sebagai unsur sentral dari perutusan kita mengenai rekonsiliasi. Semoga kegiatan Live in daring dan Ekskursi ini mampu mengobarkan semangat mereka untuk menjadi saluran berkat untuk sesama, to be “Men and Women for and with others”. AMDG Kontributor: Pak Kriswan dan Pak Anton – SMA Kolese Loyola

Karya Pendidikan

Ignite: Menyalakan Hidup! Ngurupke Urip!

Situasi pandemi memaksa kita untuk menyesuaikan diri, berpikir kreatif untuk menemukan peluang-peluang ruang formatif proses pembelajaran bagi para siswa dan guru serta karyawan di institusi pendidikan termasuk SMA Kolese Loyola. Dengan keyakinan bahwa kita dapat menemukan Allah dan berjumpa dengan-Nya secara personal melalui dunia virtual, maka kami memberanikan diri untuk mengadakan retret online bagi para siswa kelas XII. Retret daring kali ini dirancang sedemikian rupa agar menyentuh dinamika kehidupan siswa siswi, yang dibagi dalam tiga bagian, yaitu: (1) bagaimana mereka merasa dicintai oleh keluarga; (2) bagaimana mereka merasa dicintai oleh teman dan komunitas kelas; dan (3) mengkonfirmasi diri untuk siap menjadi pribadi yang mandiri dan siap diutus. Banyak strategi yang kami buat supaya nuansa retret benar-benar bisa dihadirkan dalam suasana online dalam rumah masing-masing. Kehadiran orang tua dalam retret ini sangat dibutuhkan, karena siswa-siswi semua ada dirumah masing-masing, maka kami mengajak keterlibatan orang tua siswa dalam retret ini. Kehadiran orang tua siswa dalam retret yang dilakukan SMA Kolese Loyola agar para peserta melihat “histeriogenesis” masing-masing dalam keluarga melalui colloquium / percakapan rohani. Salah satu siswa mengungkapkan bahwa colloquium menjadi pengalaman yang meneguhkan dirinya. Hasil refleksi dari anak tentang keluarga sungguh sangat menjadikan mereka pribadi yang sungguh dicintai dalam keluarga dan akan selalu mengingat kebaikan orang tua.   Dari pengalaman yang sudah terjadi, retret daring ternyata membawa rahmatnya tersendiri. Relasi antar siswa di dalam kelas justru terasa lebih dekat, sehingga mendukung untuk saling terbuka, bercanda, dan merefleksikan pengalaman hidup di dalam keterbatasan. Seorang guru pendamping mengatakan, “Dalam retret ini saya belajar bagaimana melihat sungguh karya Allah dalam refleksi para siswa perwalian yang berusaha keras mengamati gerak batinnya di tengah keramaian rumah, dan bergulat mengatasi godaan digital dan gempuran media sosial”. Retret daring SMA Kolese Loyola diakhiri dengan pemberian kembali bekal 4C (Competence, Conscience, Compassion, dan Commitment) dari sekolah yang telah tertanam pada diri siswa. Harapannya, ketika para siswa sudah lulus dan berada di masyarakat, nilai tersebut selalu diingat dan sadar akan kasih Tuhan. Rasa syukur atas retret daring ini ditutup dengan perayaan ekaristi. Selain itu, kehadiran orang tua dalam Ekaristi penutupan, serta sharing pengalaman mereka dalam mendampingi putra-putri sungguh menjadi pengalaman yang mendalam bagi anak-anak semua. Benang merah retret pun dapat dirasakan oleh anak-anak secara mendalam, sehingga mereka memiliki semangat baru dalam hidup sebagai individu dan masyarakat. Di sanalah Allah yang secara personal sungguh dirasakan kehadiran-Nya dalam perjumpaan, dan tetap berkarya di dalam proses retret daring.  Semoga komitmen yang dibangun untuk menjadi pribadi yang mandiri serta memiliki hidup yang lebih bermakna bagi diri sendiri & orang lain (ngurupke urip) terus tertanam di hati setiap peserta. Kontributor: Tim Retret SMA Kolese Loyola – Riki, Dewi, Ningsih, Yoas

Karya Pendidikan

UAP Kolese Mikael: Antara Being dan Doing

Pada tanggal 4-6 Februari 2020, perwakilan unit-unit kerja yang bernaung di bawah Kolese Mikael, Surakarta berkumpul bersama di Rumah Retret Panti Semedi, Klaten untuk membahas implementasi Universal Apostolic Preferences (UAP). Unit usaha yang hadir dalam pertemuan ini diwakili oleh direktur PT. ATMI Solo, PT. ATMI IGI, PT. AKE, PT. ADE, dan staf pelatihan ATMI Bizdec. Sementara itu, unit edukasi diwakili kepala sekolah SMK Mikael dan direktur Politeknik ATMI. Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh perwakilan dari Yayasan Karya Bakti Surakarta, Ignatian Center, dan anggota-anggota residensi ATMI. Pada kesempatan kali ini, Pater A. Suyadi, SJ dan Pater Joseph Situmorang, SJ, selaku tim implementasi UAP, menemani proses dinamika tersebut. Dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan, Kolese Mikael berusaha untuk memahami dan mempelajari hal apa yang harus dilakukan agar UAP dapat dijalankan di setiap unit Kolese. Proses selama tiga hari dua malam ini bisa dikatakan sebagai workshop. Para peserta yang ikut dalam acara ini dilatih sehingga dapat menjadi penggerak-penggerak implementasi di setiap unit karya. Dalam pengantar awal, Pater Suyadi mengatakan bahwa proses perencanaan implementasi ini tidak bisa hanya berhenti di pertemuan tiga hari dua malam. Proses implementasi harus dilakukan melalui proses diskresi dan pertimbangan terus-menerus. Lebih lanjut, Pater Suyadi mengajak para peserta menemukan being yang dilanjutkan doing. Pada hari pertama dan kedua pertemuan, para peserta diajak untuk melakukan percakapan rohani. Ada dua kali percakapan rohani. Percakapan rohani pertama dilakukan untuk menemukan panggilan pribadi macam apa guna menjawab empat poin UAP. Para peserta diminta untuk melepaskan diri sejenak dari “embel-embelnya”, entah sebagai kepala sekolah, direktur, dll. Harapan dan pengalaman pribadi setiap peserta menjadi tekanan utama dalam refleksi dan percakapan rohani.  Pada percakapan rohani kedua, panggilan-panggilan pribadi diinventarisasi dan diendapkan hingga menemukan spirit utama, yang pada akhirnya dapat dihidupi oleh Kolese Mikael. Dengan kata lain, implementasi UAP diharapkan dapat dihidupi dari dalam hati masing-masing orang dan bukan sekedar mencocok-cocokkan dengan rencana kerja yang sudah ada. Ada gerak yang berasal dari dalam menuju ke institusi. Pater Suyadi juga mengharapkan bahwa UAP bukan dilihat sebagai program kerja semata, tetapi lebih sebagai spirit yang dipeluk dan dihidupi. Dengan kata lain, UAP diharapkan dapat menginspirasi para peserta untuk menemukan being dari Kolese Mikael. Setelah dua hari berkutat pada spirit dan kedalaman pribadi atau institusi. Hari terakhir, para peserta diajak untuk mulai merencanakan doing. Dengan kemampuannya di bidang manajemen, Pater Joseph memberikan gambaran singkat dan poin-poin yang bisa dilakukan sehingga program-program implementasi UAP dapat berjalan serta termonitor dengan baik. Dalam diskusi-diskusi singkat yang terjadi, para peserta terlihat antusias merancang hal-hal apa saja yang sekiranya bisa dilakukan di tingkat Kolese. Pertemuan tiga hari dua malam ini merupakan langkah awal bagi Kolese Mikael untuk berproses dan menjawab panggilan UAP. Momen ini benar-benar menjadi kesempatan berharga bagi setiap peserta untuk merasakan tuntunan Roh Allah sendiri, yang menunjukkan arah gerak Kolese Mikael ke depannya. Roh ini menjiwai, mendorong para Jesuit, dan rekan-rekan awam untuk berjalan bersama melalui upaya edukasi dan produksi di Kolese Mikael. Dengan demikian, semakin banyak orang dapat menemukan Allah, martabat kaum miskin semakin terangkat, bumi semakin layak menjadi “rumah bersama”, dan masa depan kaum muda semakin cerah. Menemukan dan mengikuti gerakan Roh itu sendiri tetap menjadi tantangan. Orang-orang yang berkarya di Kolese Mikael sudah terbiasa membuat dan menjalankan program kerja. Secara manajemen pun Kolese Mikael memiliki orang-orang yang mumpuni. Akan tetapi, tidak selalu mudah menemukan Roh di balik setiap program yang dijalankan, tanpa muncul kecenderungan untuk serta-merta berpikir dan bertindak secara praktis. Jebakan untuk terburu-buru merumuskan doing itu selalu ada. Demikian pula, proses belajar juga terus berlangsung demi dapat membuat suatu program kerja yang sungguh-sungguh memiliki Roh. Untuk bisa menemukan roh itu, akhirnya kami harus kembali melihat lagi raison d’être yang membentuk Kolese Mikael menjadi being. Menemukan being adalah titik tolak merumuskan dan melakukan doing yang dijiwai oleh Roh. Selama delapan bulan ke depan, hingga bulan Oktober 2021, Kolese Mikael masih diajak untuk merumuskan being dan doing secara lebih konkrit. Rumusan tersebut juga masih perlu diimplementasikan ke unit karya masing-masing dengan segala kekhasannya. Dengan demikian, proses implementasi UAP masih belum selesai dan akan terus berjalan. Pada akhirnya, UAP kiranya memang tidak dimaksudkan untuk segera selesai dengan segala program kerja dan produk yang sudah jadi. Sesuai semangatnya, UAP diharapkan terus menjadi tuntunan dalam ongoing mission Kolese Mikael dengan segala inovasi dan pelayanannya. Foto-foto dokumentasi oleh Ardi, SJ dan Dodo, SJ Kontributor tulisan: Barry Ekaputra, SJ dan Mathando Hinganaday, SJ