Pilgrims of Christ’s Mission

Formasi Iman

Formasi Iman

Menyongsong Ekologi di Tengah New Normal

Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si menuliskan, “Saudari ini (bumi) sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya” (LS 2). Keprihatinan yang sama juga ditangkap oleh Serikat Universal lewat poin keempat Preferensi Kerasulan Universal untuk “Merawat Rumah Kita Bersama”.Pada Jumat sampai dengan Minggu, 19-21 Juni 2020, keprihatinan tentang Rumah Kita Bersama coba didalami lagi oleh para Romo, Frater dan Bruder Komunitas Kolese Hermanum Jakarta dalam program Refleksi Akhir Tahun (RAT). Refleksi Akhir Tahun biasa dilakukan setiap bulan Juni. Acara ini dimaksudkan sebagai momen untuk merefleksikan satu tahun ajaran yang telah berlalu dan menggali semangat untuk menyongsong tahun ajaran yang akan datang. Caranya adalah dengan memberi jawaban atas pertanyaan “apa yang telah, sedang, dan akan aku lakukan?” (LR 53) lewat evaluasi, input dari nostri, dan pembuatan action plan. Kerangka tersebut terbagi dalam tiga hari yang (khusus tahun ini) dilakukan secara daring lewat aplikasi Google Meet. Hari Pertama (Evaluasi)Tahap pertama di hari pertama dimulai dengan pengantar dari Rm. Sudiarja (Rektor) dan evaluasi dari Br. Suprih (Minister), Rm. Nugie (Prefek Ad Extra), Fr. Rony (Bidel Umum KOLMAN), serta Fr. Popo (Perwakilan Senat Mahasiswa) pada pukul 08.00-10.00. Rm. Sudiarja memberi pengantar singkat terkait arah dasar RAT. Setelah itu, Br. Suprih memberikan evaluasi tentang besaran pengeluaran KOLMAN selama setahun, Rm. Nugie memberikan evaluasi tentang kerasulan frater dan bruder KOLMAN, Fr. Rony memberi evaluasi tentang kegiatan yang telah dialami selama satu tahun (retret, aktualia, rekoleksi, dan kursus-kursus), dan Fr. Popo memberi evaluasi tentang keterlibatan para frater dan bruder dalam Senat Mahasiswa STF Driyarkara.Setelah evaluasi komunitas besar, acara dilanjutkan dengan evaluasi dalam lingkup unit pada pukul 11.00-12.00. Evaluasi setiap unit menyesuaikan dengan action plan tahun sebelumnya dan kekhasan unit masing-masing. Tema-tema tentang hidup berkomunitas yang menjadi misi kita sejak Kongregasi Jendral 35 dominan ditekankan dalam setiap unit. Selain itu, kesadaran sebagai komunitas formasi muncul lewat upaya menyeimbangkan hidup studi, hidup berkomunitas (pemenuhan kebutuhan bersama), dan pengembangan minat pribadi. Anggota unit yang baru saja berpindah diberi kesempatan untuk menyampaikan harapan dan pertanyaan. Hari Kedua (Input Nostri)Pada hari kedua, Rm. A. Andang Listya Binawan SJ membagikan pengalamannya dalam menghidupi semangat ekologis. Cerita Rm. Andang menjadi pengantar untuk refleksi komunitas tentang “Ekologi, New Normal, dan Kehidupan Unit”. Rm. Andang memberikan kerangka pertobatan personal dan mendorong pertobatan komunitas dalam rangka memperhatikan ekologi.Beliau mengawali dengan memberi tekanan bahwa formasi itu soal bertumbuh dan berbuah bukan hanya bagi sesama (ini masih antroposentris), tetapi bagi dunia. Secara khusus, dalam formasi filsafat, seseorang dituntut untuk berpikir secara diskursif. Hal ini berbeda dengan gerak pada sisi ekologis yang lebih mengarah pada sikap intuitif. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah habitus doa dan refleksi untuk mendamaikan cara berpikir diskursif dan intuitif, lalu mengambil suatu pola tindakan habitual.Pola tindakan habitual yang berorientasi pada proses merupakan ciri gerakan iman yang berbeda dari gerakan sosial. Gerakan sosial cenderung berorientasi pada hasil sedangkan gerakan iman berorientasi pada proses dan dibangun lewat pengalaman mistik: sebuah pengalaman kesatuan dengan Allah. Menyinggung Latihan Rohani, Rm. Andang berulang kali mengutip soal Kontemplasi Mendapatkan Cinta (KMC). St. Ignatius mengajak para retretan (terkhusus Jesuit) untuk melihat segala ciptaan sebagai karya Allah dan Allah yang hadir dalam segala ciptaan. Dalam Ensiklik Laudato Si, tema besar ini ada dalam bab ketiga dan keenam.Jadi, kita diundang bukan hanya untuk melakukan tindakan seperti menghemat air, tidak menggunakan plastik, maupun membuat kompos. Bagian terpenting justru adalah pengalaman keterhubungan secara mendalam dengan Tuhan dalam tindakan-tindakan tersebut. Pertanyaan “Apa yang telah aku lakukan untuk merawat bumi?” berganti dengan “Apakah aku sudah membuka hati akan karya Tuhan dalam doa lewat ciptaan-Nya?”Dalam masa pandemi Covid-19, segala hal semakin dimurnikan. Relasi, perekonomian, bahkan cara beribadah dilakukan secara baru. Ekaristi dan kegiatan keagamaan yang bisa dilakukan secara daring, membuat kita semua perlu mencari kedalaman ekaristi itu lagi dan lagi. Oleh karena itu, New Normal sesungguhnya adalah melakukan hal-hal yang sudah dilakukan tetapi secara baru. Dalam kaitan dengan spiritualitas, cara baru ini dilakukan dalam keterhubungan dengan Allah (dengan pengalaman mistik). Dengan demikian, kesaksian hidup yang otentik dapat menjadi suatu pewartaan yang akan menarik orang. Hari Ketiga (Perumusan Action Plan)Segala input dan pertanyaan-pertanyaan reflektif yang telah diberikan oleh Rm. Andang menjadi ‘bahan bakar’ untuk acara pada hari ketiga. Pada pukul 10.00-12.00 WIB, setiap unit merumuskan Action Plan yang akan dilakukan sepanjang tahun ajaran 2020/2021. Tidak hanya komunitas unit, komunitas romo dan bruder Johar Baru juga turut merumuskan Action Plan mereka. Perumusan Action Plan tersebut bernuansa 6 hal: sampah, makanan, tanaman, ternak, listrik, dan pendalaman lewat studi/refleksi. Keenam hal ini dirumuskan seturut dengan kekhasan dan fleksibilitas setiap unit.Sebagai contoh, Unit Pulo Nangka dan Unit Wisma Dewanto yang memiliki program Cafe Puna dan Jestfriend memunculkan rencana berupa refleksi atau studi bersama dengan tema ekologi. Selain itu, Unit Johar Baru, Kramat VI, dan Kampung Ambon yang telah membiasakan pemilahan sampah memilih untuk mengadakan program lanjutan seperti pembuatan kompos maupun pendisiplinan lebih lanjut soal pemilahan.Hasil pembicaraan Action Plan di unit masing-masing akhirnya dibawa dalam pleno pada pukul 16.00-17.30 WIB. Setiap bidel unit baru mempresentasikan Action Plan untuk satu tahun ajaran ke depan. Rm. Andang menanggapi dengan menegaskan kembali soal kecenderungan manusia yang memiliki sifat egosentris, pelupa, dan tidak mau repot. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan doa, sarana-prasarana, dan kontrol/monitoring. Doa dibutuhkan untuk mengubah mindset dan menguatkan motivasi. Sementara itu, sarana-prasarana dan kontrol dibutuhkan untuk mewujudkannya sebagai suatu gerakan. Dengan demikian, Action Plan yang dirumuskan akan menjadi sebuah habitus yang datang dari kesadaran diri didukung kesadaran komunal.Semoga perumusan Action Plan ini tidak berhenti pada tataran plan semata, melainkan mengejawantah dalam action yang berakar secara spiritual sekaligus menginspirasi sebagai sebuah kesaksian ekologis. Fr. Yosephus Bayu Aji P., SJ (Filosofan tingkat III)Fr. Lambertus Alfred, SJ (Filosofan tingkat I)

Formasi Iman

Tiga Skolastik Baru Serikat Jesus

Tepat pada Hari Raya Kelahiran St. Yohanes Pembaptis, tiga orang Novis “lahir kembali” dengan mengikrarkan Kaul Pertama dalam Serikat. Mereka adalah fr. Lanang SJ (Agustinus Lanang Panji Cahyo), fr. Klaus SJ (Klaus Heinrich Raditio), dan fr. Pungkas SJ (Leonardo Ardhani Escriva Pamungkas). Misa Kaul Pertama dalam Serikat Jesus yang dirayakan di Kapel St. Ignatius Girisonta ini dihadiri oleh seluruh anggota komunitas Girisonta (Novisiat, Patres, Wisma Emmaus, dan Tersiat). Tepat pukul 11.00 perayaan Ekaristi dimulai dengan diiringi lagu pembukaan “Dengan Gembira” (MB 601). Dengan gembira pula seluruh anggota komunitas mematuhi protokol Covid-19 dengan duduk mengambil jarak di dalam kapel kecil ini. Ekaristi yang sederhana dan khusyuk ini dipimpin oleh Rm. Markus Yumartana, SJ (Rektor Komunitas Girisonta) sebagai Konselebran Utama, didampingi oleh Rm. Agustinus Setyodarmono, SJ (Magister Novisiat) dan Rm. Yulius Eko Sulistyo, SJ (Socius Novisiat dan Minister Komunitas Girisonta). Homili yang disampaikan oleh Rm. Yumartana dibuka dengan kata-kata Yesus dalam Injil hari ini, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Rm. Yumartana pun melanjutkan dengan sebuah pertanyaan, “Lalu, apa yang menjadi semangat atau dasar St. Ignatius dan para sahabat pertama dalam mengabdi Allah?” Dan jawabannya adalah “Latihan Rohani!” Latihan Rohani yang mempersatukan Ignatius dan para sahabat pertama dalam mengabdi Allah di bawah panji-Nya. Kemudian, Rm. Yumartana menyampaikan tiga tantangan yang dapat dihadapi oleh seseorang dalam mengikuti Yesus, yaitu: (1) narsisme, (2) viktimisme, dan (3) pesimisme. Ketiganya sejalan dengan pesan Paus Fransiskus pada waktu Hari Raya Pentakosta yang lalu. Tiga hal ini yang perlu dihindari, “Jangan-jangan kita tidak mengabdi Allah, justru hanya membawa ‘cermin’ (berpusat pada diri sendiri), melihat diriku sebagai korban dari kesalahan orang lain, dan selalu pesimis tanpa harapan dalam hidup ini.” Selain itu, fr. Klaus – mewakili para frater yang berkaul – menyampaikan sambutannya di akhir misa. “Masih segar dalam ingatan kami homili Romo Magister saat Misa penutupan Retret Agung tahun 2018 tentang 5 ibu dalam hidup kita: Ibu Maria, Ibu Kandung, Ibu Pertiwi, Ibu Gereja, dan Ibu Serikat. Setelah meninggalkan Girisonta ini, mungkin kami harus menambahkan satu lagi, yaitu: Ibu-Kota. Berbeda dengan 5 Ibu yang disampaikan oleh Romo Magister, Ibu-Kota bukanlah figur yang bersahabat. Orang bilang, ‘Sekejam-kejamnya Ibu Tiri, jauh lebih kejam Ibu-Kota. Maka jelaslah bahwa bagi kami, Jakarta adalah sungguh-sungguh medan perang. […] Ibu Serikat melepas kami berjuang sambil membawakan setumpuk bekal: kasih sayang, perhatian, pengolahan hidup, doa-doa, dan yang terpenting adalah Latihan Rohani dan Konstitusi. Dengan bekal-bekal ini kami akan maju bertempur berdarah-darah di Ibu-Kota.” Sesudah komuni, lagu Ndherek Dewi Mariyah pun terdengar diiringi oleh iringan musik oleh fr. Dennis untuk mengantar ketiga frater yang berkaul, bersujud dan berdoa di hadapan Patung Bunda Maria di Kapel St. Ignatius ini. Ada yang pernah mengatakan, “Kecantikan dan keanggunan Patung Maria di kapel ini rasanya belum ada yang bisa menandinginya. Sejak saya masuk Novisiat hingga saat ini, tidak pernah berubah.” Maksudnya adalah patung bunda maria ini tidak termakan oleh usia karena sejak dulu hingga sekarang, patung ini selalu saja cantik dan anggun. Di hadapan Bunda Maria inilah, ketiga frater kita ini ikut serta dalam pengabdian pada Ibu Gereja dan Ibu Serikat. Marilah kita doakan perjalanan mereka selanjutnya. Berkah Dalem.      Nikolas Kristiyanto, SJ

Formasi Iman

MENSYUKURI NARASI KECIL

Terhitung lebih dari 60 hari, komunitas Unit Pulo Nangka bersama warga DKI Jakarta lainnya mulai menjalani pembatasan fisik, bahkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan laju penyebaran Covid-19. Aktivitas serba terbatas. Beberapa kegiatan pun terpaksa dilakukan secara daring (online). Kegiatan sehari-hari dan orang-orang yang ditemui hampir tidak pernah berubah. Ada nuansa bosan, sekalipun secara nalar memang tidak banyak hal lain yang dapat menjadi pilihan. Akan tetapi, dibalik narasi besar merebaknya Covid-19 komunitas Pulo Nangka bersyukur karena dapat menemukan narasi-narasi kecil. Inilah yang menjadi oase di tengah gurun karantina yang sejak 15 Maret kami jalani. Ada tiga narasi kecil. Pertama, kebersamaan yang intensif dalam komunitas, membuat pengenalan antar anggota semakin dalam. Tanpa disadari, Covid-19 bahkan menjadi sarana untuk memupuk solidaritas dan companionship antaranggota komunitas. Alih-alih sekedar lahan perutusan, komunitas semakin disadari sebagai rumah fisik, afeksi, bahkan spiritual. Kedua, Covid-19 menjadi kesempatan untuk memperhatikan rumah. Fakta bahwa dinamika harian dilakukan 24 Jam memantik kreativitas anggota unit untuk mengatur rumah agar semakin nyaman ditinggali. Hal inilah yang membuat anggota unit krasan untuk rehat sejenak dari kesibukan dengan duduk, ngobrol, dan menikmati angin senja di beranda. Ketiga, solidaritas anggota unit pun semakin diteguhkan dalam kegiatan menyalurkan sembako bagi warga yang tinggal di sekitar unit. Bekerja sama dengan Komunitas Gua Maria Kanna (KGMK), unit Pulo Nangka bersyukur karena komunitas tetap dapat membantu meringankan beban para petugas kebersihan, penjaga keamanan, dan pedagang asongan yang  biasa berkeliling di sekitar kompleks. Ada rasa syukur ketika melihat kegembiraan pada wajah mereka yang membutuhkan. Kegiatan inilah yang meneguhkan dimensi sosial dalam komunitas.  Merebaknya pageblug Covid-19 tidak menampik akan adanya kekalutan, kebingungan, dan ketakutan. Covid-19 menatapkan setiap manusia pada kondisi yang serba terbatas dengan physical distancing, PSBB, dsb. Akan tetapi, batas kerap kali juga menjadi sarana pertumbuhan bagi manusia. Kita dapat mensyukuri pengalaman sederhana yang dialami dan merefleksikannya dengan paradigma yang baru. Covid-19 mempertajam radar kita untuk dapat menemukan wajah-Nya dalam segala. Semoga di tengah narasi besar merebaknya Covid-19, kita tidak lupa untuk mensyukuri narasi-narasi kecil dalam komunitas dan karya perutusan kita, dimanapun kita berada. Semoga narasi kecil inilah yang senantiasa memelihara rasa syukur, kebahagiaan, sekaligus harapan kita di tengah Corona. Stay Safe. Stay Healthy.

Formasi Iman

KEMURAHAN HATI YANG MENGUATKAN

Pada 26-28 Desember 2019 lalu diselenggarakan pertemuan para yesuit imam dan bruder muda di Rumah Retret Hening Griya Batu Raden. Pertemuan ini dihadiri 53 yesuit muda, bersama dengan Rama Edi Mulyono sebagai delegatus Imam Muda dan Rama Provinsial.

Formasi Iman

INIKAH YANG NAMANYA KONSOLASI – DESOLASI?

Kamis, 21 November 2019 Komunitas Kolese Hermanum, unit Pulo Nangka mengadakan Café Puna dengan judul “Konsolasi atau Desolasi, Kedalaman Rasa a la Ignasian”. Acara ini dihadiri oleh sekitar 81 orang. Selain dari umat lingkungan sekitar unit skolastik SJ Pulo Nangka, peserta merupakan anggota kelompok Magis, para sahabat yang tertarik pada spiritualitas Ignasian, dosen STF Driyarkara dan para frater skolastik Kolman (Kampung Ambon, Johar Baru dan Wisma Dewanto) sendiri. Sebagai langkah lanjutan dari bedah buku Trilogi Ignasian yang diadakan bulan September 2019, di Paroki St. Bonaventura Pulomas lalu, Café Puna kali ini menyasar orang muda; mengajak mereka ke kedalaman dengan memperkenalkan cara bertindak Ignasian. Acara yang dimulai pukul 19.30 WIB ini dipandu oleh Fr. James, skolastik tingkat II dari Myanmar. Di awal acara, Rm. Widy memperkenalkan kepada umat yang hadir susunan anggota keluarga unit Pulo Nangka yang baru dan menyampaikan bahwa acara Café Puna ini merupakan kesempatan untuk belajar membagikan kedalaman hidup dan merajut persaudaraan. Bermula dari keprihatinan bahwa banyak di antara orang muda tidak tahu metode apa yang harus digunakan untuk masuk ke kedalaman, Fr. Wahyu Santosa membagikan pengenalannya atas diskresi Ignasian dan bagaimana cara mempraktikkannya. Harapannya, dengan memberi perhatian pada pengalaman hidup harian sederhana dan rasa-perasaan yang menyertainya, orang muda dimampukan untuk masuk ke kedalaman dengan semboyan yang baru, yakni simple is better, yet deeper. Fr. T.B. Pramudita sebagai presentator kedua berangkat dari keprihatinan atas banyak orang muda yang tidak memahami dengan tepat makna konsolasi dan desolasi. Fenomena ini ditandaskan oleh Survei Café Puna yang diadakan secara online pada tanggal 11-12 November 2019 yang melibatkan 124 orang muda. Berdasarkan data tersebut, ada 81% orang muda yang masih perlu mendapatkan penjelasan yang tepat mengenai konsolasi dan desolasi. Bagi Fr. TB, pengertian yang salah tentang konsolasi dan desolasi harus diluruskan agar orang muda dibantu bergerak maju dalam hidup rohani. Presentasi berjalan dengan baik. Para peserta tampak antusias dan nyaman selama Frs. Wahyu dan TB membagikan pengalaman dan refleksi mereka terkait dengan pedoman I-IV (LR 314-317). Beberapa pertanyaan dari pendengar dan tanggapan dari Rm. Guido dan Rm. Widy menandaskan bahwa cara bertindak Ignasian ini bukan suatu hal yang sekali jadi. Dibutuhkan ketekunan untuk melatihkannya hari demi hari sehingga menjadi semakin terampil, peka dan titis dalam mengenali gerak-gerak roh. Sekitar pukul 21.30, kebersamaan dilanjutkan dengan ramah tamah. Obrolan, canda dan tawa mewarnai ruang makan unit Pulo Nangka. Kami bersama menikmati bubur Manado, empek-empek Palembang, bakmi, puding, pastel, risoles dan beberapa kue lain yang telah disiapkan dengan baik oleh umat. Kami, komunitas unit Pulo Nangka, menyediakan racikan kopi nusantara dan Thai Tea. Sebagai oleh-oleh, ada booklet yang dibagikan kepada para peserta yang hadir. Harapannya, para peserta bisa mencecap kembali perjumpaan malam itu dalam waktu-waktu luang keseharian. Kendati tidak banyak wajah baru yang hadir, kami bersyukur ada orang muda yang tertarik untuk ikut dan mendengarkan pelbagai presentasi dari kami. Denganya, kami semakin disemangati untuk menekuni cara bertindak Serikat yang canggih ini: menjadikan warisan rohani St. Ignatius Loyola milik kami sendiri yang menyatu dalam kelemahan dan kekuatan diri. Nemo dat quod non habet, kami merasa tertantang untuk terus bertekun dalam eksamen harian karena sungguh, tidak ada yang bisa kami bagikan sebelum hal tersebut kami miliki. Yohanes Ignasius Setiawan, SJ

Formasi Iman

Belajar dari Alam untuk Merajut Kebangsaan

Pada 13-15 September 2019, Kolese Hermanum, yang diwakili oleh Rm. Suyadi, Br. Suprih dan sembilan frater-bruder filosofan, mengikuti Jambore Kebangsaan yang dilaksanakan di Pesantren Ekologi Ath Thaariq di Garut, Jawa Barat. Kolese Hermanum menjadi salah satu penyelenggara acara tersebut bersama Pesantren Ath Thaariq, Festival Musik Rumah, PMK HKBP Jakarta, Aliansi Mahasiswa Jawa Barat (ALAM JABAR) dan Buruan Bumi Manglayang. Jambore ini diikuti oleh lebih dari 110 peserta dari pelbagai macam kelompok, suku dan agama. Jambore Kebangsaan ini mengusung tema “Menjaga Ekologi Indonesia dan Kemanusiaan”. Pemrakarsa acara ini, Pesantren Ekologi Ath Thaariq, meyakini bahwa menjaga ekologi merupakan pintu masuk dari arah mana pun untuk menjawab persoalan-persoalan saat ini. Menurut Umi Nissa Wargadipura, (Pimpinan Pesantren Ekologi Ath Taariq) pemulihan ekologi mampu mengakomodasi perbedaan karena ekologi menghargai ekosistem yang berbeda-beda, tapi saling menyelamatkan dan saling menghormati. Ekosistem memberikan keuntungan bagi semua yang ada dalam lingkarannya. Terputusnya satu rantai dalam rantai makan tersebut mengakibatkan kekacauan. Acara berlangsung dengan lancar. Makanan yang dinikmati selama Jambore Kebangsaan adalah makanan lokal tanpa bahan pengawet, pestisida, dan penyedap rasa. Kesederhanaan tempat dan masakan memberikan kedamaian dalam setiap acara yang dilaksanakan. Kebersamaan dalam alunan musik dan gelak tawa setiap obrolan dan tampilan stand up comedy menghangatkan persaudaraan antar peserta yang hadir. Memang udara di Sukagalih dua hari kemarin sangat dingin bagi kami yang terbiasa hidup di Jakarta, namun hawa dingin tersebut rasa-rasanya teratasi oleh bara semangat untuk bersama merajut kebangsaan melalui wawasan ekologis. Selain semangat menjaga ekologi, semangat menghargai perbedaan juga sangat terasa selama acara. Doa pembuka dan penutup dipimpin oleh anggota ALAM JABAR sebagai wakil Islam dan oleh frater Kolman sebagai wakil Katolik. Selama dua hari di sana, kami pun dipersilakan merayakan Ekaristi di dalam rumah utama dan di aula. Umi Nissa tak segan-segan untuk menyebut para frater Kolman juga sebagai santri-santrinya. Sesi pertama jambore diisi oleh Abi Ibang Lukmanurdin (kyai pesantren tersebut sekaligus suami Umi Nissa) dan Rm. Yadi yang bergantian menyampaikan pandangan agama Islam dan Katolik mengenai ekologi. Abi Ibang menegaskan bahwa agama dan alam tidak bisa dipisahkan karena hanya keyakinan yang bisa menyelamatkan alam. Rm. Yadi menyampaikan materi dengan bertitik tolak dari Ensiklik Laudato Si’. Ditekankan bahwa dosa merupakan runtuhnya hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan, sehingga diperlukan pertobatan ekologis. Keesokan harinya, Abi dan Umi mengajak seluruh peserta menyelami visi mereka di balik pendirian pesantren ekologi. Mereka berangkat dari keprihatinan terhadap pangan. Keprihatinan yang dimaksud berupa kenyataan bahwa pangan masyarakat sudah didominasi pangan berpestisida dan keterjebakan kita dalam lingkaran kapitalisme (dalam arti, benih harus membeli yang buatan pabrik, monokultur untuk mengejar keuntungan, impor beras kerena produksi dalam negeri tidak cukup, ketergantungan pada makanan instan, dsb.) Oleh karena itu, mereka ingin menciptakan kedaulatan pangan mulai dari skala pesantren mereka sendiri. Abi dan Umi menghitung bahwa satu hektar sawah mereka cukup untuk memberi makan tiga puluh orang penghuni pesantren. Lahan mereka pun tidak hanya ditanami padi, karena karbohidrat mereka juga berasal dari ketela, sorgum, dsb. Hal ini juga mendukung terjaganya kualitas tanah karena sistem pertanian yang tidak monokultur. Para peserta juga dibagi dalam kelompok-kelompok untuk saling berbagi mengenai upaya mereka menjaga alam dan apa yang mau dilakukan selanjutnya. Banyak dari peserta memang berasal dari kalangan aktivis yang sudah melakukan aneka kegiatan di lingkungan mereka masing-masing sehingga dapat memperkaya satu sama lain. Dari hasil diskusi tersebut, disusunlah sebuah deklarasi untuk berupaya menjaga alam. Memang belum banyak hal “besar” yang bisa dilakukan dalam konteks Kolman. Akan tetapi jambore ini bisa mengingatkan kita semua untuk senantiasa memasukan pertimbangan mengenai keutuhan alam ciptaan dalam diskresi-diskresi kita, baik yang sehari-hari maupun yang besar. Teilhard (Tete), SJ dan Yohanes Setiawan (Anes), SJ

Formasi Iman

BERBAGAI PELATIHAN MEDIA DI SAV PUSKAT

Film-film pendek yang mereka hasilkan mengangat tema-tema tentang lingkungan hidup, masalah-masalah psikologi, dan fenomena post truth. Pada akhir pelatihan mereka mendapatkan sertifikat dan kredit 2 SKS yang diakui oleh STF Driyarkara dan Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Formasi Iman

Kaul Pertama SJ 2019: Berjalan Bersama-Mu

Tema yang mereka ambil untuk perayaan Kaul Pertama mereka adalah “Berjalan Bersama-Mu”. Fr Septian mengatakan dalam sambutannya bahwa “berjalan bersama-Mu” ingin mengungkapkan diri manusia yang rapuh, lemah, dan tidak bisa berjalan sendirian. Mereka sadar bahwa Allah selalu menuntun dan membimbing hidup hidup mereka semenjak kecil.