Kamis, 21 November 2019 Komunitas Kolese Hermanum, unit Pulo Nangka mengadakan Café Puna dengan judul “Konsolasi atau Desolasi, Kedalaman Rasa a la Ignasian”. Acara ini dihadiri oleh sekitar 81 orang. Selain dari umat lingkungan sekitar unit skolastik SJ Pulo Nangka, peserta merupakan anggota kelompok Magis, para sahabat yang tertarik pada spiritualitas Ignasian, dosen STF Driyarkara dan para frater skolastik Kolman (Kampung Ambon, Johar Baru dan Wisma Dewanto) sendiri.
Sebagai langkah lanjutan dari bedah buku Trilogi Ignasian yang diadakan bulan September 2019, di Paroki St. Bonaventura Pulomas lalu, Café Puna kali ini menyasar orang muda; mengajak mereka ke kedalaman dengan memperkenalkan cara bertindak Ignasian.
Acara yang dimulai pukul 19.30 WIB ini dipandu oleh Fr. James, skolastik tingkat II dari Myanmar. Di awal acara, Rm. Widy memperkenalkan kepada umat yang hadir susunan anggota keluarga unit Pulo Nangka yang baru dan menyampaikan bahwa acara Café Puna ini merupakan kesempatan untuk belajar membagikan kedalaman hidup dan merajut persaudaraan.
Bermula dari keprihatinan bahwa banyak di antara orang muda tidak tahu metode apa yang harus digunakan untuk masuk ke kedalaman, Fr. Wahyu Santosa membagikan pengenalannya atas diskresi Ignasian dan bagaimana cara mempraktikkannya. Harapannya, dengan memberi perhatian pada pengalaman hidup harian sederhana dan rasa-perasaan yang menyertainya, orang muda dimampukan untuk masuk ke kedalaman dengan semboyan yang baru, yakni simple is better, yet deeper.
Fr. T.B. Pramudita sebagai presentator kedua berangkat dari keprihatinan atas banyak orang muda yang tidak memahami dengan tepat makna konsolasi dan desolasi. Fenomena ini ditandaskan oleh Survei Café Puna yang diadakan secara online pada tanggal 11-12 November 2019 yang melibatkan 124 orang muda. Berdasarkan data tersebut, ada 81% orang muda yang masih perlu mendapatkan penjelasan yang tepat mengenai konsolasi dan desolasi. Bagi Fr. TB, pengertian yang salah tentang konsolasi dan desolasi harus diluruskan agar orang muda dibantu bergerak maju dalam hidup rohani.
Presentasi berjalan dengan baik. Para peserta tampak antusias dan nyaman selama Frs. Wahyu dan TB membagikan pengalaman dan refleksi mereka terkait dengan pedoman I-IV (LR 314-317). Beberapa pertanyaan dari pendengar dan tanggapan dari Rm. Guido dan Rm. Widy menandaskan bahwa cara bertindak Ignasian ini bukan suatu hal yang sekali jadi. Dibutuhkan ketekunan untuk melatihkannya hari demi hari sehingga menjadi semakin terampil, peka dan titis dalam mengenali gerak-gerak roh.
Sekitar pukul 21.30, kebersamaan dilanjutkan dengan ramah tamah. Obrolan, canda dan tawa mewarnai ruang makan unit Pulo Nangka. Kami bersama menikmati bubur Manado, empek-empek Palembang, bakmi, puding, pastel, risoles dan beberapa kue lain yang telah disiapkan dengan baik oleh umat. Kami, komunitas unit Pulo Nangka, menyediakan racikan kopi nusantara dan Thai Tea. Sebagai oleh-oleh, ada booklet yang dibagikan kepada para peserta yang hadir. Harapannya, para peserta bisa mencecap kembali perjumpaan malam itu dalam waktu-waktu luang keseharian.
Kendati tidak banyak wajah baru yang hadir, kami bersyukur ada orang muda yang tertarik untuk ikut dan mendengarkan pelbagai presentasi dari kami. Denganya, kami semakin disemangati untuk menekuni cara bertindak Serikat yang canggih ini: menjadikan warisan rohani St. Ignatius Loyola milik kami sendiri yang menyatu dalam kelemahan dan kekuatan diri. Nemo dat quod non habet, kami merasa tertantang untuk terus bertekun dalam eksamen harian karena sungguh, tidak ada yang bisa kami bagikan sebelum hal tersebut kami miliki.
Yohanes Ignasius Setiawan, SJ