Pada 13-15 September 2019, Kolese Hermanum, yang diwakili oleh Rm. Suyadi, Br. Suprih dan sembilan frater-bruder filosofan, mengikuti Jambore Kebangsaan yang dilaksanakan di Pesantren Ekologi Ath Thaariq di Garut, Jawa Barat. Kolese Hermanum menjadi salah satu penyelenggara acara tersebut bersama Pesantren Ath Thaariq, Festival Musik Rumah, PMK HKBP Jakarta, Aliansi Mahasiswa Jawa Barat (ALAM JABAR) dan Buruan Bumi Manglayang. Jambore ini diikuti oleh lebih dari 110 peserta dari pelbagai macam kelompok, suku dan agama.
Jambore Kebangsaan ini mengusung tema “Menjaga Ekologi Indonesia dan Kemanusiaan”. Pemrakarsa acara ini, Pesantren Ekologi Ath Thaariq, meyakini bahwa menjaga ekologi merupakan pintu masuk dari arah mana pun untuk menjawab persoalan-persoalan saat ini. Menurut Umi Nissa Wargadipura, (Pimpinan Pesantren Ekologi Ath Taariq) pemulihan ekologi mampu mengakomodasi perbedaan karena ekologi menghargai ekosistem yang berbeda-beda, tapi saling menyelamatkan dan saling menghormati. Ekosistem memberikan keuntungan bagi semua yang ada dalam lingkarannya. Terputusnya satu rantai dalam rantai makan tersebut mengakibatkan kekacauan.
Acara berlangsung dengan lancar. Makanan yang dinikmati selama Jambore Kebangsaan adalah makanan lokal tanpa bahan pengawet, pestisida, dan penyedap rasa. Kesederhanaan tempat dan masakan memberikan kedamaian dalam setiap acara yang dilaksanakan. Kebersamaan dalam alunan musik dan gelak tawa setiap obrolan dan tampilan stand up comedy menghangatkan persaudaraan antar peserta yang hadir. Memang udara di Sukagalih dua hari kemarin sangat dingin bagi kami yang terbiasa hidup di Jakarta, namun hawa dingin tersebut rasa-rasanya teratasi oleh bara semangat untuk bersama merajut kebangsaan melalui wawasan ekologis.
Selain semangat menjaga ekologi, semangat menghargai perbedaan juga sangat terasa selama acara. Doa pembuka dan penutup dipimpin oleh anggota ALAM JABAR sebagai wakil Islam dan oleh frater Kolman sebagai wakil Katolik. Selama dua hari di sana, kami pun dipersilakan merayakan Ekaristi di dalam rumah utama dan di aula. Umi Nissa tak segan-segan untuk menyebut para frater Kolman juga sebagai santri-santrinya.
Sesi pertama jambore diisi oleh Abi Ibang Lukmanurdin (kyai pesantren tersebut sekaligus suami Umi Nissa) dan Rm. Yadi yang bergantian menyampaikan pandangan agama Islam dan Katolik mengenai ekologi. Abi Ibang menegaskan bahwa agama dan alam tidak bisa dipisahkan karena hanya keyakinan yang bisa menyelamatkan alam. Rm. Yadi menyampaikan materi dengan bertitik tolak dari Ensiklik Laudato Si’. Ditekankan bahwa dosa merupakan runtuhnya hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan, sehingga diperlukan pertobatan ekologis.
Keesokan harinya, Abi dan Umi mengajak seluruh peserta menyelami visi mereka di balik pendirian pesantren ekologi. Mereka berangkat dari keprihatinan terhadap pangan. Keprihatinan yang dimaksud berupa kenyataan bahwa pangan masyarakat sudah didominasi pangan berpestisida dan keterjebakan kita dalam lingkaran kapitalisme (dalam arti, benih harus membeli yang buatan pabrik, monokultur untuk mengejar keuntungan, impor beras kerena produksi dalam negeri tidak cukup, ketergantungan pada makanan instan, dsb.)
Oleh karena itu, mereka ingin menciptakan kedaulatan pangan mulai dari skala pesantren mereka sendiri. Abi dan Umi menghitung bahwa satu hektar sawah mereka cukup untuk memberi makan tiga puluh orang penghuni pesantren. Lahan mereka pun tidak hanya ditanami padi, karena karbohidrat mereka juga berasal dari ketela, sorgum, dsb. Hal ini juga mendukung terjaganya kualitas tanah karena sistem pertanian yang tidak monokultur.
Para peserta juga dibagi dalam kelompok-kelompok untuk saling berbagi mengenai upaya mereka menjaga alam dan apa yang mau dilakukan selanjutnya. Banyak dari peserta memang berasal dari kalangan aktivis yang sudah melakukan aneka kegiatan di lingkungan mereka masing-masing sehingga dapat memperkaya satu sama lain. Dari hasil diskusi tersebut, disusunlah sebuah deklarasi untuk berupaya menjaga alam.
Memang belum banyak hal “besar” yang bisa dilakukan dalam konteks Kolman. Akan tetapi jambore ini bisa mengingatkan kita semua untuk senantiasa memasukan pertimbangan mengenai keutuhan alam ciptaan dalam diskresi-diskresi kita, baik yang sehari-hari maupun yang besar.
Teilhard (Tete), SJ dan
Yohanes Setiawan (Anes), SJ