“Gimana Bro, tadi bimroh. Asyik ga romonya?” “Warbyasa ni, bisa sampai satu jam lewat dikit. Baru kali ini bisa selama ini. Cuma kayaknya romonya sih yang suka cerita. Perasaan, tadi, gua cuma cerita dikit loh. Ga sampai 20 menit. Tanggapannya yang panjang sampai satu jam lewat dikit” “Wah iya, bener bro. Pengalaman kita sama. Kayaknya romonya emang total football ni. Aku malah cerita cuma 10 menitan, habis itu langsung counter attack sampai molor. Satu jam lewat” “Kenapa bisa gitu ya, kan romonya juga belum ketuaan, ga juga kemudaanlah. Jesuit gitu loh!”. “Lucu juga sih, malah waktu bimroh, gua jadi tahu yang engak-enggak di provinsi kita” “Iya coy..retret gibbahin provindo?!” “Yah. Namanya Jesuit, macem-macem orangnya” *** Perihal Mendengarkan Percakapan antar dua sahabat di atas mungkin terasa agak absurd jika sungguh terjadi dalam suatu ruang jumpa yang disebut bimbingan rohani. Bagaimana tidak? Dalam tradisi kristiani, fokus bimbingan rohani ialah membantu terbimbing mengalami secara langsung kehadiran Allah dalam segala peristiwa hidup dan masuk dalam gerakan-gerakan bimbingan roh kudus sendiri serta tindakan rahmat lain. Oleh karena itu, sebagaimana disampaikan Ignatius Loyola, sekalipun bimbingan rohani diberikan oleh seorang yang tahu dan berpengalaman dalam hidup rohani, pembimbing rohani bukanlah aktor utama. Pihak terbimbing dan Allah sendirilah yang perlu lebih diberi ruang dan waktu. Itulah mengapa Ignatius menganjurkan agar pembimbing rohani pertama-tama perlu menempatkan diri sebagai saksi perjumpaan pihak terbimbing dan Allah. Terkati hal itu, sejumlah prinsip seperti discreta caritas, intentio recta, bonum relativum dan distansi penuh hormat tidak bisa ditawar. Pembimbing harus sangat menghargai dan menghormati kegiatan Allah dalam diri seseorang. Pembimbing tidak boleh mencampuri atau bahkan mempengaruhi proses hidup seseorang, memaksakan orang lain untuk ke kanan atau ke kiri, apalagi memaksakan keyakinan hidupnya sendiri. Dengan demikian, kiranya tindakan memberi tanggapan atau menceritakan pengalaman pribadi pembimbing seperti yang diceritakan pada awal tulisan adalah suatu yang perlu dilakukan dengan sangat hati-hati. Meskipun sudah tentu Tuhan bisa saja bertindak dengan berbagai macam cara, tampaknya tetap agak sulit membayangkan tercapainya pertumbuhan rohani dalam suatu praktik bimbingan rohani yang didominasi cerita pembimbing tentang oranglain, bahkan isi ceritanya pun lebih gossip seru di tarekat. Alih-alih menemukan kehendak aktual Allah, pihak terbimbing barangkali lebih menemukan lakon Bu Tedjo dalam diri pembimbing rohaninya Ulasan di atas tentu teramat singkat dan bisa jadi tergesa-gesa karena juga belum menghitung perspektif dari sisi pembimbing. Gambaran singkat di atas tentu saja juga belum mencakup segala-galanya sehubungan dengan bimbingan rohani menurut visi, metode dan pedagogi Ignatian. Namun kiranya ada satu hal yang cukup pasti, yakni bahwa mendengarkan dan mengadakan percakapan yang asyik itu tidak sesederhana kelihatannya. Usia yang senior tidak serta-merta menjadikan seseorang mampu menjadi pendengar yang baik, apalagi untuk konteks bimbingan rohani. Formasi yang lama dan ketat ala Jesuit juga tampaknya tidak otomatis menjadikan seseorang mudah untuk berbincang dengan orang lain sebagai pihak yang semitra. Dalam kehidupan kita sehari-hari, seusai rapat kantor yang panjang, di ujung percakapan meja makan, dan ruang-ruang jumpa lain, bukankah sering dalam hati, kita mengeluh lirih. “Sialan aku tidak didengarkan”. Selain lakon Bu Tedjo, bukanlah kita juga sering bertemu para pemain total football yang memberikan umpan perhatian pada kita di awal, namun seketika melancarkan “counter attack”. Arah percakapan membelok pada wacana tanpa koma dari lawan bicara kita. Bukankah agak sering juga kita terlibat suatu percakapan yang ujung-ujungnya bernada pamer bojo dan pamer yang lain-lain hingga membuat kita capek. Kalau kita –setidak-tidaknya saya- mau jujur itulah gambaran mutu komunikasi dan relasi kita sehari-hari. Entah di komunitas religius, di sekolah, di keluarga, rasanya sama saja: ada kebutuhan besar untuk didengarkan.Ada gap antara jumlah kebutuhan untuk didengar dan ketersediaan para pendengar yang baik. Tilik Diri Tulisan ini tentu saja tidak sekadar menambah daftar “dosa” pembimbing rohani atau mengutuki lakon Bu Tedjo. Sebaliknya, mengikuti nasihat Bu Tejdo, penulis ingin menjadi bagian dari solusi. “Dadi wong sing solutip”. Bagaimana menjadi pendengar yang baik? Kiranya ini penting mengingat kita tahu sama tahu bahwa “pengalaman didengarkan” itu rasanya senikmat menyantap gelato. Sekalipun ini bukan hajat hidup orang banyak yang harus diatur negara, tapi cukup jelas komunikasi afektif adalah perkara kesejahteraan batin masing-masing dari kita. Alangkah surgawinya komunitas-keluarga kita ketika satu sama lain bisa saling mendengarkan dan bercerita tentang hidup dan karyanya dengan merdeka. Bagaimana kita memulainya? Kita bisa menempuh via negativa: membayangkan praktik baik dengan melihat praktik buruk kita. Oleh karena itu, kita mulai saja dengan memeriksa pengalaman kita sebagai pendengar. Kita coba identifikasi kebiasaan-kebiasaan buruk kita dalam mendengarkan oranglain. Untuk ini, kita bisa mengikuti gagasan Adele B. Lynnn[1]. Dalam salah satu bukunya, Adele membagikan program latihan untuk meningkatkan kecerdasan emosional kita. Ada dua latihan yang secara khusus membantu kita mengembangkan kemampuan menjadi pendengar yang baik. Latihan paling awal yang bisa kita tempuh adalah mencermati pola kita mendengarkan dengan bercermin dari enam tipe pendengar buruk berikut: (1) The faker, (2) The Interrupter, (3) The Intellectual or Logical Listener, (4) The Happy Hooker, (5) The Rebuttal Maker, (6) The Advice Giver. Pertama, The Faker. Tipe pendengar ini tidak kurang seorang yang pura-pura mendengarkan. Secara lahiriah tipe ini tampak mendengarkan misalnya, tampak mengangguk-angguk, menatap mata lawan bicara, sesekali bergumam mengerti, um.. huh. Meskipun demikian, sesungguhnya dia tidak menaruh perhatian atau konsentrasi pada lawan bicara. Pikirannya di tempat lain. Kedua, the Interrupter. Tukang interupsi kerap memotong kalimat lawan bicara. Lawan bicara seringkali belum selesai bercerita atau menuntaskan topiknya, tetapi tukang interupsi sudah menukas atau justru melompat pada topik lain yang ia suka. Kerap kali tukang interupsi langsung menyela ba..bi..bu tanpa pernah mengklarifikasi atau mencari informasi lebih dalam dari lawan bicara. Ketiga, Logical Listener. Tipe pendengar logis selalu mencoba menganalisis, menginterpretasi dan mempertanyakan isi pesan lawan bicara. Fokusnya adalah menilai dan mencocokkan apa yang dikatakan lawan bicara dengan logika atau jalan pikirnya sendiri. Sangat jarang pendengar tipe ini memperhatikan perasaan atau emosi yang menyertai isi pesan lawan bicara. Keempat, The happy hooker. Tipe ini biasa menggunakan kata-kata atau ungkapan lawan bicara sebagai cara menyampaikan isi pikirannya sendiri. Ketika lawan bicara mulai bercerita, tipe ini akan menunjukkan minat, tetapi lantas ia segera mengalihkan fokus pada dirinnya. Ia mulai membelokkan arah pembicaraan untuk menyampaikan sudut pandangnya, pendapat, cerita atau hal-hal lain tentang dirinya sendiri. Frasa