Pilgrims of Christ’s Mission

Formasi Iman

Formasi Iman

Kaul Pertama dan Kaul Akhir Serikat Jesus

Pada 25 Desember 2020, Pater Provinsial, Benedictus Hari Juliawan, SJ menerima Kaul Pertama Skolastik Albertus Alfian Ferry Setiawan, SJ di Kapel St. Ignatius Loyola, Girisonta dan pada 1 Januari 2020 menerima Kaul Akhir dari 5 Jesuit yaitu, Elias Ambirat Duhkito, SJ, Agustinus Budi Nugroho, SJ, Herbertus Dwi Kristanto, SJ, Fransiskus Wawan Setyadi, SJ dan Ignatius Windar Santoso, SJ. Semangat Kaul dalam Serikat Jesus merupakan sebuah motivasi atau komitmen yang unggul yang berasal dari dalam. Kaul bukanlah ancaman bagi seorang anggota Jesuit ataupun pembatasan yang membelenggu. Serikat Jesus sendiri tidak mengenal meritokrasi. Dengan mengikuti nasehat Santo Ignatius, Serikat Jesus lebih condong menekankan pemberian diri sebagai motivasi untuk mengikuti Kristus, motivasi untuk pelayanan. Pater Provinsial menekankan bahwa kaul adalah sebuah bentuk empowerment, yang menjadi motor di dalam batin yang menggerakan orang untuk maju. Kaul itu bukan usaha untuk menahan diri atau ngampet, melainkan sebuah empowerment agar para Jesuit menjadi orang-orang yang merdeka. Kaul bukan pembatasan melainkan sebuah pembebasan dari kelekatan dari harta benda, keinginan untuk berkuasa dan juga relasi-relasi yang toxic. Untuk melihat foto-foto Kaul Pertama di Girisonta dan Kaul Akhir di Purbayan, silahkan klik di sini.

Formasi Iman

Ngopi (Daring) Bareng Bruder Jesuit

Pada hari Jumat (30/10) yang lalu, tim Promosi Panggilan (Prompang) bersama para bruder Serikat Jesus Provinsi Indonesia mengadakan acara bincang-bincang daring dengan judul “Ngopi Bareng Bruder Jesuit”. Acara yang diadakan via Zoom dan disiarkan juga di kanal Youtube Prompang ini diselenggarakan sebagai vigili peringatan St. Alfonsus Rodriguez yang jatuh pada keesokan harinya. Webinar dipandu oleh Fr. Barry dan Nina (OMK Girisonta). Acara “Ngopi Bareng” kali ini mengangkat tema seputar identitas, hidup komunitas, dan perutusan para bruder Jesuit. Para Bruder – diwakili oleh Br. David, Br. Marsono, dan Br. Sarju – memperkenalkan teladan hidup St. Alfonsus Rodriguez dan profil beberapa bruder terdahulu Provindo. Ketiga bruder narasumber ini kemudian membagikan pengalaman dan refleksi pribadi mereka terkait dengan ketiga aspek hidup bruder Jesuit.  Sharing tersebut lalu diikuti sesi tanya-jawab, sebelum akhirnya Rm. Sindhunata menyampaikan refleksinya atas kehadiran para bruder dalam Serikat Jesus. Acara ditutup dengan pemutaran video pewayangan Ki Suprih (Br. Suprih) dan doa mohon panggilan bruder. Salah satu diskusi menarik yang terjadi sepanjang webinar adalah tentang jati diri bruder Jesuit. Umat sering bertanya, “Apa itu bruder?” atau “Apa sih bedanya bruder dengan frater atau dengan imam?” Br. Marsono mengakui, tidaklah mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Walaupun para bruder Provindo pernah mencoba merumuskan bersama identitas mereka sebagai bruder, nyatanya masing-masing bruder tetap memiliki jawaban personal atas pertanyaan “Siapakah itu bruder?” Sementara itu Rm. Sindhu, penulis buku Sisi Sepasang Sayap, merefleksikan inspirasi khas para bruder senior yang karena menyadari betul keterbatasan diri mereka, justru memiliki semangat luar biasa dalam mempersembahkan diri dalam menjalankan perutusan Tuhan. Bisa jadi, kedalaman identitas para bruder Jesuit memang tidak dapat dirangkum secara utuh dengan ungkapan kata-kata yang nyatanya memang sangat terbatas. Kharisma khas para bruder baru dapat dirasakan dan dipahami ketika kita berjumpa langsung dengan mereka, sama seperti ketika para tamu Kolese Montesion menjumpai totalitas pelayanan dan kerendahan hati Bruder Alfonsus Rodriguez. Dengan menjumpai para bruder secara langsung jugalah kita dapat lebih mengerti bagaimana Serikat Jesus sungguh-sungguh tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa kepakan salah satu sayapnya ini. Sekali lagi, selamat merayakan pesta St. Alfonsus Rodriguez bagi para bruder Serikat Jesus. Selamat menghayati hidup sebagai bruder-bruder yang gembira dalam pelayanan! Fr. Lambertus Alfred, SJ

Formasi Iman

“Ini aku, Utuslah aku!”

Sembilan frater ditahbiskan diakon pada 23 Oktober lalu dan 4 di antaranya adalah skolastik Serikat Jesus. Mereka adalah Fr. Hugo, Fr. Jupri, Fr. Ale dan Fr. Ardi. Mereka dengan gembira dan bebas menyatakan kesiap-sediaannya untuk menjadi pelayan Gereja demi kemuliaan Allah dan keselamatan umat manusia. Mereka menjadikan ungkapan Nabi Yesaya sebagai motto tahbisan ini, yaitu “Inilah aku, utuslah aku!” (Yes 6:8). Mgr. Robertus Rubiyatmoko dalam homilinya menyatakan bahwa motto ini sangatlah to the point dengan makna tahbisan diakon karena motto ini sangat menyentuh langsung tugas pelayanan. Seperti orang mengatakan, menjadi diakon artinya kita harus rela dan berani untuk “di-akon dan di-kongkon” untuk kepentingan Allah dalam melayani umat manusia. Mgr. Rubi juga menambahkan dalam motto tersebut tersirat kemauan dan kehendak bebas yang menjadi modal awal kegembiraan dan sukacita dalam pelayanan. Jika melayani tidak dengan bebas, seorang diakon akan merasakan suasana berat dan tidak kerasan dalam pelayanan. Juga, tema ini menyatakan seorang diakon itu tidak pilih-pilih tugasnya. Siap diutus kemana pun karena kita menjalankan semua ini untuk kepentingan Allah dan umat manusia. Karena itu, seorang diakon perlu memiliki kesiap-sediaan dan kerelaan untuk berjuang sebaik mungkin demi kemuliaan Allah dan keselamatan umat manusia. Ciri seorang diakon yang disemangati dengan pesan nabi Yesaya ini adalah seseorang yang penuh semangat melayani dan tidak leda-lede atau santai-santai saja. Mgr. Rubi mengakhiri dengan pesan bahwa walaupun kita punya semangat yang besar namun tanpa rahmat Allah kita tidak bisa apa-apa. “Dengan iman, kita percaya, Allah yang memanggil dan mengutus akan membekali kita dengan berbagai karunia dalam pelayanan. Inilah yang akan membuat kita tetap dalam kegembiraan dan suka cita sampai akhir hayat kita. Kita tidak akan pernah kering atau surut pelayanannya karena Allah selalu hadir beserta kita.” Ditahbiskan Diakon dan menjadi pelayan Gereja, bagi Fr. Hugo, merupakan impiannya saat kecil. Akun bernama Maria Magdalena dalam chat-nya di Youtube menyapa Fr. Hugo dan mengatakan, “Selamat melayani Tuhan Yesus seperti yang dicita-citakan dari kecil”. Para diakon menyatakan kesiapsediaan mereka untuk mengabdi Tuhan dalam Gereja dengan jawaban serempak penuh semangat saat ditanya Bapak Uskup. Bapak Uskup Rubi juga menambahkan bahwa mengimplementasikan motto ternyata tidaklah mudah. Ada beberapa imam yang meminta secara langsung, “Mbok saya jangan di sini lah atau mbok saya di tempat yang itu aja”. Berbagai macam permintaan yang menunjukkan ketidaksediaan dalam perutusan. Maka dengan demikian, Bapak Uskup berpesan bahwa, “Kita jangan sampai meleset jauh dari jati diri tugas pelayanan kita”. Setelah upacara tahbisan, di kolsani dilangsungkan makan siang bersama secara sederhana yang dihadiri komunitas besar Kolsani, para karyawan dan juga keluarga para diakon. Acara makan siang berlangsung dengan hangat yang diisi dengan persembahan lagu-lagu dari para skolastik, karyawan dan beberapa tamu undangan. Sekali lagi, Proficiat kepada para Diakon. Selamat menjadi gembala dalam Gereja. Windar Santoso

Formasi Iman

BAHASA HATI

Sebelas Jesuit dari Konferensi Jesuit Asia Pasifik (JCAP) ditahbiskan Diakon pada 24 Oktober 2020 oleh Mgr. Honesto F. Ongtioco, D.D., Uskup Keuskupan Cubao, Phillipines. Tahbisan diakon ini berlangsung pada pukul 9.00 di Kapel de Gesù, Universitas Ateneo de Manila, Loyola Heights, Quezon City. Mereka yang ditahbiskan adalah sebagai berikut Benjamin Thein Tun, SJ (Myanmar); Evodius Sapto Jati Nugruho, SJ (Indonesia); Francis Xavier Hoàng Trong An, SJ (Vietnam); Khaw Gei Khui Shing, SJ (Myanmar); John Thomas Kyaw Thu Win, SJ (Myanmar); Nikki James R. Lee, SJ (Filipina); Mamert B. Mañus, SJ (Filipina); Joseph Park Minwoong, SJ (Korea); John Phạm Duy Anh, SJ (Vietnam); Cesare Sposetti, SJ (Italia); dan Michael Trần Gia Cảnh, SJ (Vietnam). Upacara tahbisan ini juga mengikuti protokol kesehatan ketat untuk menghindari penyebaran pandemi yang semakin meluas. Kehadiran fisik dibatasi dan hanya dari Jesuit di kampus Ateneo de Manila yang di prioritaskan hadir. Namun, upacara tersebut disiarkan langsung secara online. Fr. Sapto dari Indonesia merefleksikan pengalaman tahbisan diakon ini dalam perjuangan mewujudkan bahasa hati di antara orang-orang yang berbeda latar belakang. Ia mengatakan, “Sisi terbaik dan paling menantang dalam tinggal di rumah internasional adalah komunikasi. Bukan hanya tantangan dalam memahami bahasa inggris dengan logat negaranya masing-masing, namun juga bahasa hati, seperti passion, keberanian, dan cinta. Komunikasi bagiku dapat diekspresikan dengan cara sederhana seperti memasak martabak untuk teman-temanku dari negara lain atau menghargai satu sama lain dengan saling menyapa. Bagaimana pun juga, bahasa Inggris yang kami gunakan di sini tidaklah cukup untuk mengungkapkan perhatian satu sama lain, tetapi dengan bahasa hati, itu dapat berhasil berkali-kali.” Perjuangan Fr. Sapto dalam mewujudkan komunikasi juga selaras dengan Mgr. Honesto. Beliau dalam homilinya mengatakan “dalam pelayanan kita tidak ada yang perlu kita takuti, tidak ada yang akan mengganggu kita dan menakut-nakuti kita. Karena kita yakin dan percaya Tuhan pasti akan mendampingi dan selalu beserta kita karena kita adalah Man of God”.Mari kita berdoa untuk para diakon ini agar mereka selalu merasakan kebahagiaan dan suka cita menjadi pelayan Allah dan tidak dilingkupi rasa takut dan ketidakmampuan diri. Windar Santoso

Formasi Iman

MERAYAKAN KESETIAAN ALLAH: 60 Tahun dalam Serikat Jesus Rm. Udyasusanta, SJ

Pada Senin, 7 September 2020, Komunitas St. Stanislaus Girisonta merayakan pesta 60 Tahun dalam Serikat Jesus bagi Rm. Udyasusanta, SJ. Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Superior komunitas, Rm. M. Yumartana, SJ dan Rm. Udyasusanta, SJ sebagai konselebran di Kapel Emaus. Dalam kotbah, Rm. Udyasusanta memberikan refleksi tentang kesetiaan Allah. Baginya, 60 tahun dalam Serikat Jesus merupakan rasa syukur mendalam karena “jumlah tahun-tahun itu adalah bukti atas kesetiaan yang pantas disyukuri, bukan kesetian kita atas panggilan kita, melainkan kesetiaan Tuhan yang tetap memanggil kita, tetap menerima kita meskipun kita lemah dan rapuh. Saya bersyukur dan bangga atas Serikat Jesus, tetapi saya sulit membayangkan apakah Serikat Jesus bangga atas keanggotaan saya. Mungkin banyak kecewa dan malu, dalam perjalanan hidup saya dalam berserikat dari komunitas ke komunitas. Tetapi saya sadari Tuhan begitu baik dan tetap memanggil dan menerima saya.” Rm. Udya kemudian menambahkan, “Kesetiaan Tuhan dapat saya rasakan bersama komunitas-komunitas yang saya lewati dalam perjalanan perutusan, khususnya Girisonta, yang menjadi komunitas di mana saya tinggal paling lama.” Rm. Udya resmi menjadi penghuni Emaus sebagai pendoa bagi serikat sejak 2017. Ia sebelumya tinggal di Domus Patrum selama 5 tahun dan berkarya sebagai sub minister Emaus selama 13 tahun. Ketika mendapat tugas menjadi pendoa bagi Serikat dan Gereja, Rm. Udya berucap “Wah…ini akan menjadi pendoa profesional, bagaimana ya caranya?” Saat itu, Rm. Udya banyak membaca buku tentang cara-cara berdoa yang efektif dan mencoba mempraktikkan. Namun, saat itu, ia sendiri belum menemukan metode yang paling tepat, sebagai cara berdoa yang pas. Kemudian Rm. Udya kembali mengenang lagi 60 tahun lalu saat masih novis dan didampingi oleh Rm. Soemarno, SJ. Beliau saat itu memberi puncta kepada para novis. Saat itu ada novis yang mengeluh sulit menjalankan meditasi dan dengan entengnya beliau menjawab “Nek ora iso meditasi, sembahyang tesbèh wae” Kalau tidak bisa meditasi, berdoa rosario saja. Para novis spontan menertawakan jawaban tersebut karena pasti tidak disetujui Rm. Jonckbloedt, SJ, Magister saat itu. Namun bagi Rm. Udya, itulah yang mengena, dan dilakukannya ketika mencari-cari bentuk doa ketika di Emaus. Inilah bentuk doa yang diras pas baginya dan membuatnya mantap dan bertekun untuk berdoa melalui perantaraan Bunda Maria dalam doa rosario. Rm. Udya berterima kasih atas Serikat dan komunitas yang telah memestakannya. Ia merasa gembira berada di Komunitas Emaus karena dipenuhi segala kebutuhan jasmani dan rohani, dimanjakan. Namun ia dapat menjamin kesetiaannya dalam berdoa untuk Serikat dan Gereja.

Formasi Iman

MENDENGARKAN

“Gimana Bro, tadi bimroh. Asyik ga romonya?” “Warbyasa ni, bisa sampai satu jam lewat dikit. Baru kali ini bisa selama ini. Cuma kayaknya romonya sih yang suka cerita. Perasaan, tadi, gua cuma cerita  dikit loh. Ga sampai 20 menit. Tanggapannya yang panjang sampai satu jam lewat dikit” “Wah iya, bener bro. Pengalaman kita sama. Kayaknya romonya emang total football ni. Aku malah cerita cuma 10 menitan, habis itu langsung counter attack sampai molor. Satu jam lewat” “Kenapa bisa gitu ya, kan romonya juga belum ketuaan, ga juga kemudaanlah. Jesuit gitu loh!”. “Lucu juga sih, malah waktu bimroh, gua jadi tahu yang engak-enggak di provinsi kita” “Iya coy..retret gibbahin provindo?!” “Yah. Namanya Jesuit, macem-macem orangnya” *** Perihal Mendengarkan Percakapan antar dua sahabat di atas mungkin terasa agak absurd jika sungguh terjadi dalam suatu ruang jumpa yang disebut bimbingan rohani. Bagaimana tidak? Dalam tradisi kristiani, fokus bimbingan rohani ialah membantu terbimbing mengalami secara langsung kehadiran Allah dalam segala peristiwa hidup dan masuk dalam gerakan-gerakan bimbingan roh kudus sendiri serta tindakan rahmat lain. Oleh karena itu, sebagaimana disampaikan Ignatius Loyola, sekalipun bimbingan rohani diberikan oleh seorang yang tahu dan berpengalaman dalam hidup rohani, pembimbing rohani bukanlah aktor utama. Pihak terbimbing dan Allah sendirilah yang perlu lebih diberi ruang dan waktu. Itulah mengapa Ignatius menganjurkan agar pembimbing rohani pertama-tama perlu menempatkan diri sebagai saksi perjumpaan pihak terbimbing dan Allah. Terkati hal itu, sejumlah prinsip seperti discreta caritas, intentio recta, bonum relativum dan distansi penuh hormat tidak bisa ditawar. Pembimbing harus sangat menghargai dan menghormati kegiatan Allah dalam diri seseorang. Pembimbing tidak boleh mencampuri atau bahkan mempengaruhi proses hidup seseorang, memaksakan orang lain untuk ke kanan atau ke kiri, apalagi memaksakan keyakinan hidupnya sendiri. Dengan demikian, kiranya tindakan memberi tanggapan atau menceritakan pengalaman pribadi pembimbing seperti yang diceritakan pada awal tulisan adalah suatu yang perlu dilakukan dengan sangat hati-hati. Meskipun sudah tentu Tuhan bisa saja bertindak dengan berbagai macam cara, tampaknya tetap agak sulit membayangkan tercapainya pertumbuhan rohani dalam suatu praktik bimbingan rohani yang didominasi cerita pembimbing tentang oranglain, bahkan isi ceritanya pun lebih gossip seru di tarekat. Alih-alih menemukan kehendak aktual Allah, pihak terbimbing barangkali lebih menemukan lakon Bu Tedjo dalam diri pembimbing rohaninya Ulasan di atas tentu teramat singkat dan bisa jadi tergesa-gesa karena juga belum menghitung perspektif dari sisi pembimbing. Gambaran singkat di atas tentu saja juga belum mencakup segala-galanya sehubungan dengan bimbingan rohani menurut visi, metode dan pedagogi Ignatian. Namun kiranya ada satu hal yang cukup pasti, yakni bahwa mendengarkan dan mengadakan percakapan yang asyik itu tidak sesederhana kelihatannya. Usia yang senior tidak serta-merta menjadikan seseorang mampu menjadi pendengar yang baik, apalagi untuk konteks bimbingan rohani. Formasi yang lama dan ketat ala Jesuit juga tampaknya tidak otomatis menjadikan seseorang mudah untuk berbincang dengan orang lain sebagai pihak yang semitra. Dalam kehidupan kita sehari-hari, seusai rapat kantor yang panjang, di ujung percakapan meja makan, dan ruang-ruang jumpa lain, bukankah sering dalam hati, kita mengeluh lirih. “Sialan aku tidak didengarkan”. Selain lakon Bu Tedjo, bukanlah kita juga sering bertemu para pemain total football yang memberikan umpan perhatian pada kita di awal, namun seketika melancarkan “counter attack”. Arah percakapan membelok pada wacana tanpa koma dari lawan bicara kita. Bukankah agak sering juga kita terlibat suatu percakapan yang ujung-ujungnya bernada pamer bojo dan pamer yang lain-lain hingga membuat kita capek. Kalau kita –setidak-tidaknya saya- mau jujur itulah gambaran mutu komunikasi dan relasi kita sehari-hari. Entah di komunitas religius, di sekolah, di keluarga, rasanya sama saja: ada kebutuhan besar untuk didengarkan.Ada gap antara jumlah kebutuhan untuk didengar dan ketersediaan para pendengar yang baik. Tilik Diri Tulisan ini tentu saja tidak sekadar menambah daftar “dosa” pembimbing rohani atau mengutuki lakon Bu Tedjo. Sebaliknya, mengikuti nasihat Bu Tejdo, penulis ingin menjadi bagian dari solusi. “Dadi wong sing solutip”. Bagaimana menjadi pendengar yang baik? Kiranya ini penting mengingat kita tahu sama tahu bahwa “pengalaman didengarkan” itu rasanya senikmat menyantap gelato. Sekalipun ini bukan hajat hidup orang banyak yang harus diatur negara, tapi cukup jelas komunikasi afektif adalah perkara kesejahteraan batin masing-masing dari kita. Alangkah surgawinya komunitas-keluarga kita ketika satu sama lain bisa saling mendengarkan dan bercerita tentang hidup dan karyanya dengan merdeka.  Bagaimana kita memulainya? Kita bisa menempuh via negativa: membayangkan praktik baik dengan melihat praktik buruk kita. Oleh karena itu, kita mulai saja dengan memeriksa pengalaman kita sebagai pendengar. Kita coba identifikasi kebiasaan-kebiasaan buruk kita dalam mendengarkan oranglain. Untuk ini, kita bisa mengikuti gagasan Adele B. Lynnn[1]. Dalam salah satu bukunya, Adele membagikan program latihan untuk meningkatkan kecerdasan emosional kita. Ada dua latihan yang secara khusus membantu kita mengembangkan kemampuan menjadi pendengar yang baik. Latihan paling awal yang bisa kita tempuh adalah mencermati pola kita mendengarkan dengan bercermin dari enam tipe pendengar buruk berikut: (1) The faker, (2) The Interrupter, (3) The Intellectual or Logical Listener, (4) The Happy Hooker, (5) The Rebuttal Maker, (6) The Advice Giver.  Pertama, The Faker. Tipe pendengar ini tidak kurang seorang yang pura-pura mendengarkan. Secara lahiriah tipe ini tampak mendengarkan misalnya, tampak mengangguk-angguk, menatap mata lawan bicara, sesekali bergumam mengerti, um.. huh. Meskipun demikian, sesungguhnya dia tidak menaruh perhatian atau konsentrasi pada lawan bicara. Pikirannya di tempat lain. Kedua, the Interrupter. Tukang interupsi kerap memotong kalimat lawan bicara. Lawan bicara seringkali belum selesai bercerita atau menuntaskan topiknya, tetapi tukang interupsi sudah menukas atau justru melompat pada topik lain yang ia suka. Kerap kali tukang interupsi langsung menyela ba..bi..bu tanpa pernah mengklarifikasi atau mencari informasi lebih dalam dari lawan bicara. Ketiga, Logical Listener. Tipe pendengar logis selalu mencoba menganalisis, menginterpretasi dan mempertanyakan isi pesan lawan bicara. Fokusnya adalah menilai dan mencocokkan apa yang dikatakan lawan bicara dengan logika atau jalan pikirnya sendiri. Sangat jarang pendengar tipe ini memperhatikan perasaan atau emosi yang menyertai isi pesan lawan bicara. Keempat, The happy hooker. Tipe ini biasa menggunakan kata-kata atau ungkapan lawan bicara sebagai cara menyampaikan isi pikirannya sendiri. Ketika lawan bicara mulai bercerita, tipe ini akan menunjukkan minat, tetapi lantas ia segera mengalihkan fokus pada dirinnya. Ia mulai membelokkan arah pembicaraan untuk menyampaikan sudut pandangnya, pendapat, cerita atau hal-hal lain tentang dirinya sendiri. Frasa

Formasi Iman

Kisah Tertiat 2020

Perjalanan Tertiat Girisonta angkatan 2020 secara resmi telah berakhir pada Kamis (30/7) dan ditutup dengan Ekaristi sekaligus pembaruan kaul. Ekaristi dipimpin oleh Rm. Priyo Poedjiono. Selain beliau, kami bertujuh (Rm. Adri, Rm. Andri, Rm. Niko, Rm. Sani, Rm. Suryadi, Rm Suryanto, Rm. Tomi) juga merasa didukung dengan kehadiran Rm. Putranto secara langsung dan Rm. Wiryono dalam doa. Pengalaman Tertiat tahun 2020 ini terasa unik dan menarik. Unik karena sebagian besar Tertiat berlangsung dalam suasana pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan akan berakhir. Pandemi ini mengubah banyak program, terutama probasi dan aktivitas ke luar. Pelayanan Pekan Suci di Keuskupan Ketapang dan Banjarmasin yang menjadi probasi luar tidak dapat dilaksanakan; begitu juga dengan rencana untuk mengunjungi keluarga setiap Tersiaris. Setelah Retret Agung yang berakhir pada 31 Maret, praktis kedua instruktur, Rm. Priyo dan Rm. Putranto, dan para tersiaris melanjutkan program di Girisonta. Jadi, bisa dikatakan bahwa selama 5 bulan kami “di-lockdown”. Langkah ini diambil juga sebagai bagian dari upaya untuk menjadikan Komunitas Girisonta sebagai rumah aman. Apa yang menarik dari Tertiat 2020? Kondisi “lockdown lokal” menantang para instruktur dan tersiaris untuk tidak menjadi mutung atau nglokro. Kreativitas kemudian muncul untuk menyikapi langkah Komunitas Girisonta yang mengurangi keterlibatan karyawan di kompleks Novisiat, Domus Patrum (DP), dan Emaus. Dalam koordinasi dengan Minister, beberapa tugas yang biasanya dikerjakan oleh karyawan kemudian ditangani oleh para tersiaris dan instruktur. Tugas tersebut berupa menyapu taman dalam DP dan taman Emaus, mengepel selasar, ruang rekreasi, serta ruang tamu. Ada juga pengalaman “nguli” untuk angkut-angkut berkardus-kardus anggur dari lantai dua perpustakaan ke gudang anggur di belakang wash yang cukup membuat menggeh-menggeh para tersiaris yang berbadan subur. Menyapu, mengepel, dan mengangkat kardus lalu menjadi opera sekaligus pengganti probasi luar. Biasanya opera mulai pukul 07.30 sampai 08.15 lalu ada waktu jeda sebelum kelas yang berlangsung dari pukul 10.00 sampai sebelum makan siang. Yang juga menarik, ternyata dua instruktur kami ini juga ikut melakukan tugas opera. Rm. Putranto, yang notabene sampun sepuh, juga tanpa canggung ikut mengepel selasar sebelah selatan Kapel Ignatius. Sementara itu, Rm. Priyo mengambil tugas mengepel selasar sebelah utara Kapel Ignatius dan selasar depan Kapel Maria. Jadilah para tersiaris dan instruktur berubah menjadi ‘James Bon’ atau istilah plesetan dari ‘jaga mes dan kebon‘, menggantikan tugas dan pekerjaan karyawan rumah. Opera dan beberapa pekerjaan harian yang dikerjakan secara mandiri lalu kami sadari sebagai latihan untuk hidup lebih sederhana, untuk mengasah kesadaran akan peranan sebagai abdi, untuk memelihara rumah bersama, dan menjadi sebuah bentuk solidaritas dengan mereka yang harus bekerja dan berjerih payah setiap hari. Situasi pandemi dan lockdown juga memunculkan kreativitas untuk tetap dapat menerima masukan dari beberapa nostri, yaitu secara daring atau online. Dengan cara itu, Rm. Suyadi memberi kami wawasan dan refleksi tentang karya sosial; Rm. Herry Priyono mengajak kami mendalami KJ 36 dan Preferensi Apostolis Universal; Rm. Haryatmoko menuntun kami untuk mengenali pengaruh disrupsi digital yang mengubah sistem pendidikan; Rm Wiryono mengundang kami untuk kembali mendalami dan merefleksikan Laudato Si. Metode daring juga menjadi sarana bagi kami, tersiaris, untuk menemani para frater dan bruder di Kolese Hermanum dalam oktiduum. Oktiduum kali ini mengajak para skolastik untuk menyadari dan menyikapi aneka distraksi sehingga kembali menempatkan Allah sebagai pusat. Setiap hari setiap tersiaris memberikan bahan dan mengadakan pembicaraan rohani dengan setiap frater dan bruder yang didampingi secara daring. Ini menjadi pengalaman baru bahwa retret terbimbing secara penuh (full guided retreat) dilaksanakan secara daring. Kami bersyukur atas olah raga bersama para Novis, Bruder, Rama, dan pegawai; juga atas rekreasi-rekreasi bersama di Girisonta. Dari beberapa anggota komunitas ini, kami menerima juga masukan berharga; dari Bapak Kardinal Darmaatmadja tentang gubernasi; dari Rm. Krispurwana tentang Sejarah Serikat; dari Rm. Nano tentang pars ketiga Konstitusi; dari Rm. Zahnweh tentang mimpi dan kemurnian; dari Rm. Eko tentang protokol safeguarding. Kami mengucapkan terima kasih kepada Komunitas Girisonta yang telah menerima dan menemani selama tertiat ini. Terima kasih kepada Rm. Sunu yang telah mengundang kami untuk memasuki “sekolah afeksi” ini; kepada Rm Beni yang mengutus kami kembali atau masuk perutusan baru; juga kepada Anda semua para nostri Provindo atas dukungan dan doa-doa Anda. Rikhardus Sani Wibowo, SJ

Formasi Iman

Society of Love

Pada tanggal 27 Juli sampai 1 Agustus lalu, para Skolastik Filsafat, TOK, dan Teologi Provindo menjalani Kursus Spiritualitas dengan tema Spirit Looking for Body di bawah bimbingan Pater Hung, SJ, seorang Jesuit Amerika berdarah Vietnam. Kursus Spiritualitas kali ini diikuti 78 peserta. Mayoritas pesertanya adalah skolastik Indonesia, ditambah beberapa skolastik dan Romo dari Vietnam, Laos, Myanmar, dan Thailand. Tidak lupa juga Fr. Sapto, teologan Provindo yang kini studi di Manila ikut dalam kursus ini. Pada mulanya, kursus ini diperuntukan bagi Skolastik Provindo saja dan dilaksanakan di Sangkal Putung. Namun, karena pandemi Covid-19, panitia memutuskan untuk melaksanakannya daring. Rahmat Jalur DaringTentu saja ada sedikit kekecewaan karena tidak bisa bertemu langsung dengan Pater Hung Pham, SJ dan sahabat yang lain. Namun, rupanya Tuhan sudah menyediakan rahmat luar biasa di balik pertemuan daring ini, skolastik luar negeri dapat turut terlibat; merasakan dan mencecap kembali kharisma dan kekayaan Serikat secara bersama-sama dalam ruang dan waktu yang sama. Ada kesatuan hati dan budi sebagai Friends in the Lord dalam Serikat universal yang menembus batas budaya, ras. Kembali ke NovisiatAda banyak sekali poin menarik dalam kursus kali ini, mulai dari Autobiografi, Latihan Rohani, Konstitusi, Kongregasi Jendral 36, dan nilai-nilai keserikatan lainnya. Pemaparan materi yang diselingi dengan guyonan berisi serta refleksi kritis nan mendalam dari pemateri membuat kursus ini amat menyenangkan.Dalam percakapan rohani di unit, ada banyak teman yang merasa seperti kembali lagi ke novisiat. Materi-materi seperti Latihan Rohani, Konstitusi, Autobiografi, Kongregasi Jendral digarap dengan serius, tajam. Bahkan ada yang berkata, “Wah kursus seperti mendalami kembali materi-materi di Novisiat dalam waktu yang sangat singkat, lima hari saja.” Society of LoveDi antara banyaknya hal menarik dalam kursus kali ini, perkataan Rm. Hung bahwa Serikat kita ini bukan hanya Society of Jesus, tetapi juga Society of Love, amat mengesankan. Hal ini tampak sekali dari tingginya frekuensi kata kunci dari para peserta ketika merangkum dinamika selama kursus ini.Bagi saya pribadi Society of Love itu benar karena pertama, setiap dari anggota Serikat itu dipanggil karena cinta Allah. Karena cinta pada Allah-lah kita menanggapinya dengan bergabung dalam Serikat ini. Tidak ada seorang pun dalam serikat ini yang mau masuk Serikat tanpa adanya cinta pada Allah dan Serikat. Itu satu paket lengkap yang tak terbantahkan. Kedua, Cura Personalis. Karena cinta yang sama pada Kristus, kita dimampukan untuk mencintai, mendoakan, dan melayani yang lain. Setiap superior dan anggota selalu mendoakan dan memperhatikan keselamatan jiwa saudara-saudara se-Serikat. Perhatian yang personal dan mendalam itu adalah bukti adanya cinta yang hidup dan menyapa. Inilah harta cinta yang indah dalam serikat; setiap pribadi berharga dan pantas dicintai. Kita ingat St. Fransiskus Xaverius selalu menjatuhkan air mata dan menangis hari ketika membaca surat yang ditulis Ignatius yang disimpan di kalungnya. Ada rasa cinta pada para sahabat dalam Tuhan yang sama-sama berjuang bagi kemuliaan nama Tuhan. Di sini sebagaimana Hung katakan, “Serikat menjadi jalan bagi anggotanya menuju Allah.” Kepedulian antar anggota memampukan kita merasakan Allah yang menyapa. Ketiga, cinta itu pada Tuhan dan Serikat itu mempersatukan. Perbedaan budaya, ras, bahasa disatukan dalam sebuah misi yang sama, cinta akan Kristus yang mempersatukan dan mengutus kita. Saya sudah sering mendengar sharing Nostri yang ketika pergi ke luar negeri tidak perlu merasa takut, sebab di sana ada saudara dalam Tuhan yang siap menerimanya. Memang dari segi bahasa, budaya, latar belakang tentu berbeda, tetapi kesatuan hati dan budi (cinta) dalam serikat itulah yang membuat mereka bisa saling memahami dan melayani. Keluar dari Diri SendiriPengalaman pribadi tentang Society of Love ada banyak sekali. Salah satunya saat Paskah tahun ini. Saat itu, tiga anggota komunitas kami sakit, termasuk saya. Di saat yang bersamaan, karyawati masak unit sedang cuti. Demikian, makan-minum komunitas disiapkan oleh anggota komunitas sendiri. Setiap pagi mereka bahu-membahu memasak air panas untuk kami yang sakit agar bisa mandi, menyiapkan makanan; pagi sampai malam, dan mengurus tugas-tugas yang kami tinggalkan untuk sementara waktu. Saya merasakan cinta Tuhan lewat anggota se-Serikat di dalam komunitas. Saya menemukan Yesus yang menyiapkan sarapan bagi para murid di tepi Danau Tiberias. Adanya rasa cinta terhadap saudara se-Serikat itu amat terasa. Cinta itu membuat anggota komunitas keluar dari diri sendiri untuk siap melayani yang lain. Engelbertus VIktor Daki, SJ Mungkin baik bila kita merenungkan kembali makna Society of Love dan bertanya, apakah aku sebagai pribadi sungguh merasa dicintai? Apakah sudah menghadirkan wajah love ini terhadap yang lain?