Pilgrims of Christ’s Mission

Feature

Feature

A Moment of Joy, Humor, Tears, and Laughter

Kunjungan Bapa Suci Paus Fransiskus menyentuh hati banyak orang lintas generasi, suku, dan bahkan agama. Sosoknya yang sederhana menginspirasi dan menyentuh banyak orang. Pilihan-pilihan atas fasilitas yang tersedia memperlihatkan bahwa ia adalah sosok yang hidup dalam kesederhanaan. Ia berusaha agar dekat dengan semua orang, khususnya anak kecil, orang muda, dan juga mereka yang berkebutuhan khusus. Dalam beberapa momen, Bapa Suci berkelakar, memperlihatkan bahwa ia adalah sosok yang ramah. Sederhana, rendah hati, dan humoris, itulah tiga keutamaan yang saya pelajari dari kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia.   Pada Mulanya “…tambah satu agenda resmi: menyambut Paus Fransiskus di Jakarta. Tanggal menyusul.” Begitu isi chat saya dengan Fr. Popo pada tanggal 26 Februari 2024. Saat itu, saya dan Fr. Benic sedang mempersiapkan proses kepulangan ke Indonesia dari Chuuk, Micronesia. Sebagai bagian proses dari persiapan, saya cukup intens berkomunikasi dengan Fr. Popo mengenai hal-hal yang perlu kami siapkan untuk masuk ke formasi teologi. Saat pesan itu datang, saya sedang mempersiapkan misa di Kapel Xavier High School. Seekor burung Myzomela merah nemplok di altar kapel yang menghadap ke Laguna Chuuk. Kabar mengenai kedatangan Bapa Suci membuat saya antusias. Saya berharap agar nantinya bisa mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Bapa Suci.   Singkat cerita, saya pulang ke Indonesia, mengunjungi beberapa komunitas Jesuit di Jakarta dan Yogyakarta, mengunjungi keluarga di Solo Baru, dan akhirnya bergabung ke komunitas Kolsani. Pembicaraan mengenai kedatangan Bapa Suci di Internos pun perlahan mulai didengungkan. Pater Provinsial lalu memberi detail informasi pertemuan pribadi antara Bapa Suci dengan para Jesuit. Setelah setiap komunitas mendapatkan kuota pertemuan tersebut, Pater Kuntoro Adi, sebagai Rektor komunitas, menyebarkan Google Form untuk mendaftar. Saya lalu mengisi form tersebut dan puji Tuhan saya masuk daftar pertemuan pribadi dengan Bapa Suci Paus Fransiskus.   Momen Kegembiraan Bersama Pada Rabu, 4 September 2024, hampir 200 Jesuit di Indonesia berkumpul di Lobi Gedung Ignasius, Kolese Kanisius. Sejumlah frater filosofan menyambut di meja registrasi. Fr. Kefas setia melayani para Jesuit yang ingin minum secangkir kopi. Pater Gandi, Ketua Panitia, nampak sibuk wira-wiri memastikan segalanya berjalan sesuai rencana. Aneka snack dan sarapan tersedia di beberapa meja. Mereka yang baru datang lantas bersalaman dan bercakap-cakap ringan.   Sebagian besar dari Jesuit yang hadir mengenakan setelan roman kolar dan bersepatu pantofel hitam. Pada saat sesi foto bersama sebelum berangkat ke Nunciatura, Pater Angga berkelakar bahwa baru pertama kali ini Jesuit Indonesia foto bersama dengan setelan yang rapi dan necis. Suasana yang terbangun di Lobi Ignasius pada saat itu sangat menggembirakan. Saya melihat bahwa semua Jesuit yang hadir merasa antusias untuk mengikuti pertemuan pribadi dengan Bapa Suci Paus Fransiskus.   Sesampainya di Nunciatura, para Jesuit duduk sesuai kategori yang sudah ditentukan oleh panitia. Lagi-lagi dalam hal ini Jesuit masih bisa rapi, kata seorang frater filosofan. Ruang pertemuan riuh rendah dengan percakapan para Jesuit. Saya duduk di barisan skolastik muda bersama Frs. Barry dan Kefas. Kami turut bercakap-cakap mengenai antusiasme dan sukacita dalam pertemuan keluarga ini.   Suasana berubah menjadi sedikit lebih hening ketika Bapa Suci tiba di Nunciatura. Berulangkali para skolastik menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Bapa Suci sudah memasuki ruangan. Kami sempat terperanjat saat seseorang berjubah putih memasuki ruangan. Oh, ternyata itu Pater James Spillane. Beberapa saat kemudian, pintu utama terbuka. Seorang dengan jubah putih memasuki ruangan dengan kursi roda. Bapa Suci? Oh ternyata itu Pater James Bharataputra. Suasana semakin menegangkan.   Beberapa saat kemudian, Bapa Suci masuk melalui pintu utara ruang pertemuan. Saya dan Fr. Barry yang duduk bersebelahan saling berbisik, “Pausnya datang.” Perawakannya sederhana. Ia mengenakan jubah putih, sama seperti di foto-foto yang biasanya saya dapatkan di Google. Para panitia berdiri berjejer menyambut Bapa Suci. Ketika lewat, beberapa skolastik seperti Frs. Agung dan Arnold memanfaatkan kesempatan untuk salaman dengan Bapa Suci. Tepuk tangan panjang pun pecah. Ah, akhirnya kami bisa melihat Bapa Suci secara langsung.   Saya lalu bertanya-tanya, bagaimana pertemuan ini akan dimulai. Saya pribadi merasa canggung. Pater Provinsial, dalam pengarahan pertemuan, sudah mengatakan bahwa semua rancangan acara yang beliau siapkan bisa berubah seluruhnya tergantung kersanipun (Jw: kehendak) Bapa Suci. Ternyata memang berubah, walau tidak semua. Bapa Suci berkata bahwa waktu kita tidak banyak, maka ia langsung membuka sesi tanya jawab.     Pertemuan berlangsung dalam suasana kekeluargaan yang hangat. Bapa Suci melontarkan satu-dua anekdot yang membuat para Jesuit terbahak. Pertemuan yang singkat, padat, dan hangat itu diakhiri dengan momen bersalaman satu per satu dengan Bapa Suci. Terima kasih Pater Provinsial karena menyampaikan permintaan ini dengan sangat jelas dan diterima oleh Bapa Suci dengan senang hati, malah sempat berkelakar takut kalau tangannya digigit oleh mereka yang bersalaman.   Selepas bersalaman dengan Bapa Suci dan mendapatkan kotak merah yang berisi rosario, kami keluar teratur dari kompleks Nunciatura. Terlukis rona sukacita di wajah para Jesuit. Satu per satu masuk ke dalam bus yang sudah tiba di depan Nunciatura. Dalam perjalanan menuju Kanisius, saya bisa merasakan betapa gembiranya kami bisa mengikuti pertemuan keluarga dengan Bapa Suci. Salah seorang skolastik dengan berkelakar berkata bahwa berkat yang kita terima dari Bapa Suci sama dengan misa satu minggu, jadi setelah pertemuan tidak perlu misa satu minggu. Bus yang saya tumpangi dipenuhi dengan sukacita. Tangan saya masih menggenggam kuat kotak merah dari Bapa Suci dan surat undangan dari panitia. Fr. Arnold berkata bahwa ia akan memberikan rosario itu kepada ibunya. “Iya, supaya lebih berdaya guna”, sahut seorang frater yang lain. Kami pun kembali ke Kolese Kanisius, melakukan santap siang, foto-foto di lapangan Kanisius, dan satu per satu pulang.     Tiga Keutamaan Paus Fransiskus  Pertemuan keluarga itu memang singkat, tapi sukacita yang saya rasakan sungguh berahmat. Rombongan Kolsani tidak bisa berlama-lama di Jakarta karena kami harus segera kembali ke Yogyakarta. Dalam perjalanan pulang ke Kolsani, saya melihat sejumlah pemberitaan mengenai Bapa Suci di media sosial. Harian Kompas, story Instagram, status Whatsapp, FYP TikTok, dan trending Twitter Indonesia menyajikan pemberitaan dan berbagai cuplikan video Bapa Suci di Jakarta.   Hal yang membuat saya tersentuh adalah cerita-cerita kecil perjumpaan umat dengan Bapa Suci di jalan. Sebagai contoh, ada seorang ibu yang sedang menggendong anaknya. Saat mobilnya melintas, Bapa Suci menepi untuk memberi berkat pada sang anak dan memberinya rosario kecil. Sontak sang

Feature

Paus Fransiskus dan Pesan Hidup yang Mendalam

Paus Fransiskus, melalui berbagai ensiklik dan seruan apostolik, telah menyampaikan pesan hidup mendalam yang menekankan pentingnya cinta, belas kasih, dan solidaritas. Dalam ajarannya, Paus sering menyoroti panggilan untuk merawat orang yang terpinggirkan, lingkungan, dan hubungan manusiawi yang lebih inklusif. Beliau mendorong umat beriman agar hidup dengan kerendahan hati dan keberanian serta meneladani kehidupan Yesus Kristus yang penuh cinta tanpa syarat.   Melalui Christus Vivit, Paus Fransiskus secara khusus mengajak kaum muda agar menjalani hidup dengan sukacita, tidak takut terhadap masa depan, dan terus mendengarkan suara Roh Kudus. Bagi beliau, hidup Kristen bukanlah serangkaian aturan kaku, melainkan perjalanan spiritual penuh kasih, kebebasan, dan keterbukaan terhadap transformasi diri. Pesan Paus mencerminkan keyakinan bahwa setiap orang dipanggil untuk berperan aktif dalam merawat dunia dan membangun persaudaraan sejati antarumat manusia.     Sosok Paus Fransiskus Sejak mendengar kabar bahwa Paus Fransiskus akan datang ke Indonesia pada 3-6 September 2024, perasaan saya mulai berkecamuk. Ada rasa penuh harap agar bisa bertemu dengan beliau meski diiringi kecemasan karena pasti kuota untuk bertatap muka sangat terbatas. Di komunitas Rupert Mayer, tempat saya tinggal, pemilihan kandidat yang berkesempatan bertemu dengan Paus dilakukan melalui undian. Ketika yang terpilih bukan nama saya, saya hanya bisa berpasrah sambil menerima bahwa mungkin belum waktunya untuk mendapatkan kesempatan langka itu.    Akan tetapi, pada 24 Juli 2024, sebuah kejutan datang. Superior dari St. Stanislaus Kostka mengirim pesan melalui WhatsApp bahwa ada anggotanya yang berhalangan hadir sehingga saya ditawari kuota tersebut. Dengan dukungan dari Superior Rupert Mayer, akhirnya saya mendapatkan kesempatan impian tersebut. Inilah salah satu rahmat tak terduga bagi saya.   Sosok Paus Fransiskus dikenal sebagai pribadi yang sederhana tetapi memiliki keberanian luar biasa dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Paus sering kali menunjukkan kepekaan mendalam terhadap berbagai masalah yang dihadapi umat-Nya. Kepeduliannya terhadap kaum miskin dan marginal sangat menonjol.   Hal ini membuatnya menjadi salah satu simbol harapan bagi mereka yang sering kali diabaikan. Dalam setiap tindakan dan keputusan, ia berupaya sungguh mengedepankan kasih dan keadilan bahkan ketika itu harus bertentangan dengan “arus besar” kekuasaan dan kepentingan tertentu.   Keberanian Paus Fransiskus tidak hanya terlihat dalam bentuk retorika, tetapi juga dalam tindakan nyata yang diambil. Banyak dari keputusannya yang menentang status quo memicu perdebatan dan kontroversi. Akan tetapi, ia tetap setia pada prinsip-prinsip kebenaran dan kejujuran. Paus tidak ragu dalam mengambil sikap tegas meskipun sering kali itu harus menghadapi oposisi dari kalangan internal maupun eksternal. Kebijakan terhadap reformasi Gereja dan sikapnya terhadap isu-isu sosial global, seperti krisis migran dan perubahan iklim, menegaskan posisinya sebagai pemimpin yang berani melawan ketidakadilan sekaligus menjaga agar Gereja tetap relevan di tengah perubahan zaman.   Saya bersyukur karena perjumpaan langsung dengan beliau, mengafirmasi dan menguatkan kesan-kesan yang telah saya tangkap sebelumnya. Dalam kesederhanaannya Paus Fransiskus memberi dampak mendalam bagi banyak orang. Saya bersyukur karena perjumpaan ini membuat saya semakin terhubung dengan semangat dan visi pribadi Paus Fransiskus.   Keberanian Paus Fransiskus dalam menyuarakan kebenaran tidak pernah mengurangi kerendahan hatinya. Ia sangat tegas tetapi tetap rendah hati. Ia tidak hanya berbicara tentang keadilan tetapi juga berani mengambil tindakan nyata dalam membela yang lemah dan termarjinalkan. Dengan kerendahan hati yang luar biasa, ia terus menunjukkan kepemimpinan yang dapat membawa perubahan dan menggerakkan banyak pihak ke arah yang lebih baik.     Dokumen Penting Laudato Si’ Salah satu dokumen yang paling mendalam dari Paus Fransiskus adalah ensiklik Laudato Si’ yang menyoroti urgensi untuk menjaga lingkungan hidup secara berkelanjutan. Selain menyerukan urgensi kepedulian pada lingkungan fisik dokumen ini juga menggambarkan kedalaman refleksi Paus atas hubungan manusia dengan alam ciptaan. Dalam ensiklik tersebut, Paus mengajak seluruh dunia untuk merasakan keterhubungan manusia dengan bumi dan sesama makhluk hidup, sambil menekankan bahwa setiap tindakan kita terhadap alam akan mempengaruhi kesejahteraan seluruh umat manusia.   Dokumen ini juga saya rasakan sangat relevan dengan visi Perkumpulan Strada dalam membangun sekolah yang ekologis. Perkumpulan ini berkomitmen untuk menanamkan nilai-nilai ekologi dalam setiap aspek pendidikan, baik dalam kurikulum maupun dalam kegiatan sehari-hari. Saya percaya bahwa melalui pendidikan berwawasan ekologi, generasi muda dapat lebih sadar akan pentingnya merawat bumi serta memahami tanggung jawab mereka sebagai penjaga lingkungan.   Dalam Laudato Si’ Paus juga mengingatkan bahwa pemeliharaan bumi merupakan panggilan moral bagi setiap manusia. Ia mengajak kita untuk memandang bumi sebagai rumah bersama yang perlu dijaga demi keberlanjutan generasi mendatang. Hal ini merupakan panggilan bersama yang memerlukan kerja sama lintas agama, budaya, dan negara, karena krisis lingkungan tidak mengenal batas wilayah atau kepentingan sempit.     Pengalaman Perjumpaan Bertemu secara langsung dengan Paus Fransiskus meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi saya. Uluran tangan beliau memberikan dorongan dan undangan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Saya merasa kehadiran Paus memancarkan rasa damai dan harapan. Ada kekuatan ilahi yang terpancar dalam pribadi dan langkah-langkahnya.   Paus Fransiskus dalam kesempatan pertemuan keluarga dengan para Jesuit di aula Kedutaan Vatikan menyampaikan inspirasi tentang pentingnya doa dalam kehidupan sehari-hari, terlepas dari kesibukan apa pun yang dijalani. Doa menjadi fondasi yang memberikan ketenangan dan keteguhan hati. Jangan sampai doa hanya sekadar ritual, tetapi juga sarana untuk memperoleh kedamaian batin dan kedewasaan spiritual yang memandu setiap tindakan manusia. Dalam setiap aspek kehidupan—baik dalam keberhasilan maupun kegagalan—kepercayaan kepada Tuhan dan keteguhan dalam doa merupakan elemen penting yang dapat membawa orang pada kedewasaan iman dan spiritualitas secara yang lebih mendalam.    Melalui perjumpaan dan teladan Paus Fransiskus, saya semakin menyadari bahwa hidup adalah panggilan untuk melayani dan berbuat baik kepada sesama serta alam kehidupan. Paus Fransiskus mengajarkan bahwa pelayanan tidak hanya terbatas pada tindakan besar tetapi juga pada hal-hal kecil yang dilakukan dengan cinta dan ketulusan. Setiap tindakan yang dilakukan, sekecil apa pun, memiliki potensi membawa perubahan positif bagi dunia di sekitar. Panggilan ini menuntut kita senantiasa waspada akan kebutuhan sesama serta lingkungan yang menjadi bagian dari kehidupan.   Dalam kesempatan Ekaristi bersama di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, Paus Fransiskus menyampaikan pesan mendalam ketika mengangkat pengalaman Petrus yang gagal menangkap ikan sepanjang malam. Kisah ini sangat relevan dengan hidup kita karena mencerminkan realitas kehidupan di mana kegagalan dan kegelapan sering kali tidak terhindarkan. Pengalaman Petrus menjadi cerminan bagi banyak orang yang terjebak dalam “padang gurun” prestasi, di mana segala upaya tampaknya

Feature

Menjadi Pelayan Allah dan Sesama yang penuh dengan Sukacita

Sekitar lima bulan yang lalu sudah terdengar desas-desus bahwa Paus Fransiskus akan melakukan kunjungan apostolik ke Indonesia. Berbagai sukacita mulai terasa dan setiap orang menyambut kabar ini dengan harapan bisa berjumpa dengan beliau. Beberapa Gereja dan lembaga Katolik mulai melakukan berbagai kegiatan dan persiapan untuk menyambut kunjungan ini. Majalah Utusan dan Rohani membuat sayembara surat untuk Paus Fransiskus. Beberapa gereja membuat secara khusus penanda kunjungan ini, misalnya papan hitung mundur peristiwa ini. Paroki-paroki sibuk menyeleksi dan mengundi siapakah yang akan turut hadir dalam misa bersama Paus Fransiskus di GBK. Kuotanya sangat terbatas, sementara yang ingin ikut banyak. Banyak merchandise mulai dibuat dan dijual. Beberapa buku mengenai Paus Fransiskus bermunculan. Ada terbitan baru. Ada terbitan lama. Hal ini masih diikuti dengan berbagai forum diskusi dan dialog mengenai sepak terjang Paus Fransiskus. Tak mau kalah, banyak akun media sosial katolik mulai memberitakan dan mengisi postingan mereka dengan peristiwa-peristiwa seputar Paus Fransiskus. Sukacita. Itulah yang pada umumnya dirasakan.   Secara khusus bagi kami, Jesuit Indonesia, mendapat kabar yang sangat menggembirakan. Di sela-sela kunjungan apostolik Paus tersebut, akan ada pertemuan khusus antara Paus dengan kami, saudara-saudaranya se-Serikat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir dalam setiap kunjungan apostoliknya, Paus selalu mengadakan pertemuan dengan para Jesuit di tempat itu. Pater Provinsial meminta beberapa dari kami untuk mengatur kelancaran pertemuan itu di bawah komando Pater Gandi Hartono sejak akhir Mei 2024. Panitia kecil dibantu dengan beberapa alumni kolese mengatur segala hal yang diperlukan. Meskipun hanya pertemuan antar Jesuit, akan tetapi banyak hal yang harus disiapkan dengan baik. Pertemuan ini tidak bisa diadakan seenak dan sesuka kami. Kami diajak terus menyadari bahwa Paus Fransiskus adalah tamu negara sehingga protokol pengamanannya pun ketat. Selain itu, karena pertemuan berlangsung di Kedutaan Vatikan maka kami pun harus menghormati dan mengikuti tata cara yang ada di sana. Semua harus diatur sedemikian rupa agar rapi, aman, dan nyaman. Data pribadi peserta pertemuan ini harus dilaporkan kepada tim pengamanan sebulan sebelum acara berlangsung. Hanya dua ratus orang saja yang bisa hadir untuk pertemuan tersebut. Tak kalah dari antusiasme umat katolik Indonesia, banyak Jesuit yang ingin hadir. Sayangnya tidak semua bisa hadir. Beruntunglah para Jesuit muda di Provindo karena kelompok ini mendapat prioritas. Dan, ternyata inilah yang menggembirakan dan menyentuh hati Paus Fransiskus karena banyak orang muda, ada hidup, ada gairah, ada harapan, dan ada masa depan.   Proses screening dan verifikasi berujung pada sukacita. Semua peserta mendapatkan ID card untuk pertemuan tersebut dan undangan spesial. Nama setiap peserta tertulis dalam balutan kaligrafi yang sangat indah. “Bapa Suci Paus Fransiskus, dalam rangka Kunjungan Apostoliknya ke Indonesia, dengan senang hati menyambut ….(nama lengkap peserta)…. dalam acara Pertemuan Pribadi dengan para Anggota Serikat Yesus ….”     Kolaborasi dengan banyak pihak Menjadi bagian dari kepanitian kunjungan apostolik Bapa Suci adalah rahmat perutusan tersendiri. Dalam kepanitiaan besar kami juga lebih mengenal banyak pribadi religius dan awam yang secara total menyiapkan kunjungan ini. Kebanggaan di balik seluruh perjuangan menjadi panitia menjadi aura gerak perutusan ini. Dengan tema Faith, Fraternity, and Compassion secara tidak langsung seluruh panitia diajak untuk berproses mewujudkan iman dalam pelayanan ini. Bagaimana tidak? Awalnya berat muncul keraguan, ketidakpastian, dan perbedaan pendapat, ide, serta gagasan akan kehadiran Bapa Suci. Faktor kesehatan dan tuntutan operasional menjadi tantangannya. Namun lewat keyakinan, perjumpaan, dan komunikasi rutin nan efektif seluruh keraguan itu berubah menjadi keyakinan akan kepastian.   Dalam proses menyiapkan pertemuan khusus Jesuit dengan Bapa Suci, kami juga diajak untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan dengan banyak institusi (Paspampres, Kepolisian, Nuncio, KWI, Kepanitiaan Inti, dll). Dalam pertemuan itu seringkali dibutuhkan ide-ide, yang meski sederhana, bisa diwujudkan dengan tetap mengakomodasi kepentingan para pemangku kepentingan (Negara, Vatikan, dan KWI). Maka dalam kepanitiaan ini, kami juga secara tidak langsung “dituntut” untuk berbagi metode Ignasian dalam mengambil keputusan. Diskresi dalam menghadapi pilihan-pilihan yang solutif untuk penyatuan gagasan sangat dibutuhkan. Cara-cara seperti inilah yang menjadi kekuatan kepanitiaan di bawah kepemimpinan Bapak Ignasius Jonan yang menurut kami, mungkin, banyak diinspirasi oleh St. Ignatius Loyola.   Sebagai Jesuit, bersama Pater Provinsial kami lebih mengikuti gerak dinamika yang ada, sesekali tetap memberikan gagasan untuk menemukan jawaban dari seluruh tegangan yang terjadi. Seringkali kami lebih mendengarkan lalu memberi masukan lewat kontak pribadi-pribadi para koordinator sehingga lebih efektif. Seperti yang dikatakan oleh Pak Jonan bahwa kehadiran Jesuit dalam kepanitiaan memberi gambaran perutusan yang tetap pada fokus, jelas arah tujuan, dan sederhana dalam menjawab tegangan.    Action day Proses persiapan terus berlangsung. Pater Gandi mewajibkan seluruh peserta pertemuan ini untuk menyiapkan diri, termasuk menyiapkan pakaian yang pantas. Setiap peserta diminta untuk mengenakan kemeja collar atau jubah. Tampaknya semua peserta nurut. Beberapa frater dan imam tertangkap bergegas membeli kemeja roman collar dan celana panjang formal. Di hari H, semua terlihat sangat rapi dan elegan. “Kapan lagi kita bisa berkumpul sebanyak ini dengan pakaian rapi? Kita harus mengabadikan peristiwa ini dengan foto bersama.” Begitu celoteh panitia sebelum mempersiapkan keberangkatan ke Kedutaan Vatikan.   Kendaraan sudah diatur dengan rapi. Penumpang sudah dibagi dengan jelas. Tanpa tas dan perlengkapan lain, kami semua bergegas. Hanya undangan, tanda pengenal, dan kartu identitas yang bisa meloloskan kami dari screening jajaran petugas.     Kurang lebih satu jam dialog terjadi. Tidak jarang kami tertawa lepas tetapi juga hanyut dalam keheningan khidmat yang teresonansi dari kata, gagasan, dan perasaan Paus. Jangan pernah tinggalkan doa, berani keluar dari zona nyaman (berinkulturasi, masuk ke dalam budaya lain), dan terus mengembangkan kemampuan diskresi adalah tiga pesan kuat yang merangkum pertemuan itu. Semua peserta pertemuan pulang dengan senyum lebar dan hati penuh. Pribadi Paus Fransiskus me-recharge energi dan inspirasi pelayanan kami, para Jesuit, ke depannya.   Film The Two Popes merupakan sebuah film yang dirilis pada tahun 2019 dan menampilkan kisah hidup Paus Fransiskus. Banyak sisi manusiawi, Kardinal Bergoglio (Paus Fransiskus) yang terkisahkan dengan menarik. Ada kerapuhan manusiawi, pertobatan (perubahan), dan pengalaman mendengarkan kehendak Allah. Pribadi Paus yang kami jumpai pada pertemuan keluarga ini adalah pribadi yang, dalam bahasa film The Two Popes, menjadi perwakilan Allah di dunia. Menjadi orang yang bisa menyalurkan bisikan Allah kepada manusia dan sekaligus menjadi pribadi yang sangat manusiawi. Berkali-kali kami bisa menangkap kepedulian besar Paus Fransiskus bagi siapapun, khususnya yang

Feature

Perjalanan Paus Fransiskus sebagai seorang Jesuit

Awal bulan September ini, Paus Fransiskus melakukan kunjungan apostoliknya ke beberapa negara, salah satunya Indonesia. Dalam kunjungan apostoliknya ke Indonesia, Paus Fransiskus tidak hanya bertemu dengan pemerintah dan umat Katolik saja, namun juga dengan tokoh-tokoh lintas agama, kaum muda scholas, dan penerima manfaat organisasi amal. Kunjungan apostolik Paus Fransiskus ditutup dengan Misa Kudus yang diselenggarakan di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta dan dihadiri kurang lebih 80.000 umat Katolik dari seluruh Indonesia.   Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia begitu menarik perhatian dan antusiasme bukan hanya dari umat Katolik saja, namun juga non-Katolik. Banyak orang yang rela menunggu di jalan-jalan yang dilalui Paus agar bisa sekadar melihat atau juga menyapanya. Paus Fransiskus atau Jorge Mario Bergoglio terpilih menjadi Paus pada 13 Maret 2013 menggantikan Paus Benediktus XVI. Beliau adalah Paus pertama dari ordo Jesuit atau Serikat Jesus.   Serikat Jesus atau Societas Jesu adalah ordo religius dalam Gereja Katolik yang didirikan oleh St. Ignatius Loyola bersama sahabat-sahabatnya pada tahun 1540. Anggota Serikat Jesus ini terdiri atas imam, bruder, dan skolastik (frater atau calon imam) yang sedang belajar dalam proses pendidikan yang tersebar di enam benua dan 124 negara. Dalam kesehariannya, para Jesuit, termasuk Paus Fransiskus, meneladani cara hidup atau spiritualitas yang diajarkan oleh Ignatius Loyola dan kemudian lebih dikenal dengan istilah spiritualitas Ignatian. Spiritualitas inilah yang menjadi dasar para Jesuit dalam mengambil keputusan demi kemuliaan Allah yang lebih besar (Ad Maiorem Dei Gloriam).   Berikut akan kami sajikan tulisan singkat mengenai riwayat perjalanan panggilan Paus Fransiskus. Sebagai seorang Jesuit, ia menjalani formasinya sama seperti Jesuit lain. Gambaran proses formasi seorang Jesuit, khususnya berdasarkan praktik yang ada dalam konteks Indonesia adalah sebagai berikut: Formasi pertama seorang Jesuit adalah novisiat (dua tahun pendidikan awal dan masa probasi di mana rahmat panggilan dikembangkan sehingga terlihat buah-buahnya). Di masa novisiat ini para novis, sebutan untuk mereka yang sedang menjalani formasi di novisiat, diberikan dasar pemahaman spiritualitas dan kharisma St Ignatius Loyola melalui berbagai kegiatan, misalnya Latihan Rohani, eksperimen, ratio conscientiae, pengakuan dosa, bimbingan rohani, dan interaksi dengan sesama novis serta anggota komunitas lain. Para novis ini dibimbing oleh magister dan socius magister novisiat.     Setelah menyelesaikan formasi novisiat dan mengucapkan kaul pertamanya, seorang Jesuit akan melanjutkan ke jenjang formasi berikutnya, yaitu formasi intelektual. Formasi pertama adalah studi filsafat selama kurang lebih empat tahun. Mereka yang berada dalam formasi filsafat ini disebut skolastik atau frater. Frater adalah sebutan lain bagi seorang calon imam. Studi filsafat ini bertujuan untuk memperkenalkan para calon imam atau skolastik dengan dunia logika, aneka pemikiran, metafisika, etika, dan lain-lain. Selain fokus belajar ilmu filsafat, umumnya setiap skolastik diutus untuk “merasul”, seperti melakukan pendampingan ke mahasiswa dan pelajar, kerasulan sosial, kerasulan paroki, dan lainnya. Dengan ini setiap skolastik belajar untuk mengintegrasikan hidup studi-rohani-kerasulan.    Setelah selesai studi filsafat, seorang skolastik akan dilantik menjadi lektor-akolit dan melanjutkan ke formasi Tahap Orientasi Kerasulan (TOK) selama dua atau tiga tahun. Dalam masa ini, seorang skolastik bisa saja ditugasi untuk menjalani studi khusus atau terjun dan terlibat penuh dalam karya kerasulan Serikat. Mereka juga hidup dalam komunitas karya di mana mereka ditempatkan. Mereka akan banyak belajar berkolaborasi dengan sesama kolega Jesuit dan non-Jesuit berlandaskan semangat kerasulan Serikat.   Selesai TOK, mereka akan melanjutkan ke tahap formasi teologi selama tiga atau empat tahun. Formasi teologi ini menjadi syarat wajib untuk dapat ditahbiskan menjadi imam. Tujuan formasi teologi ini adalah membantu sesama untuk mengenal dan mengasihi Allah serta mencari keselamatan jiwa-jiwa mereka.   Dalam masa kurang lebih tiga sampai lima tahun setelah tahbisan, seorang imam Jesuit kemudian akan diundang untuk menjalani formasi tahap akhir: tersiat. Tahap ini sering disebut juga “schola affectus (sekolah hati)”. Sebutan lain untuk tahap ini ialah novisiat tahun ketiga. Para Jesuit diajak untuk menyegarkan kembali pengetahuan mengenai Serikat, spiritualitas, Latihan Rohani, dan lain-lain. Tersiat berlangsung enam atau sembilan bulan di bawah bimbingan seorang instruktur tersiat. Tersiat juga menjadi salah satu syarat bagi seorang Jesuit sebelum mengucapkan kaul akhir.   Riwayat Perjalanan Panggilan Paus Fransiskus   Jorge Mario Bergoglio lahir di Flores, Buenos Aires, Argentina 17 Desember 1936. Bergoglio dewasa menemukan panggilannya menjadi imam Jesuit setelah mengaku dosa di sebuah gereja pada 21 September 1953. Keinginannya masuk Jesuit sempat terhenti karena ia mengidap sakit pneumonia dan kista, sehingga sebagian paru-parunya harus dipotong. Akhirnya, ia masuk novisiat Jesuit pada 11 Maret 1958.   Motivasi awal Bergoglio bergabung dengan Serikat Jesus adalah keinginannya menjadi misionaris ke Jepang. Namun rupanya Tuhan memiliki misi yang lain. Setelah menjalani dua tahun formasi Novisiat, Bergoglio mengucapkan kaul pertama pada 12 Maret 1960. Kaul pertama yang diucapkan adalah kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Setelah mengucapkan kaul pertama, Bergoglio melanjutkan tugas perutusan pertama yaitu studi filsafat di College Maximus of San Jose di San Miguel, Buenos Aires.     Setelah selesai filsafat, Bergoglio menjalani formasi TOK di beberapa lembaga karya. Ia mengajar sastra dan psikologi di SMA Colegio de la Inmaculada Concepción di Santa Fe, Argentina dari 1964-1965. Tahun 1966, ia mengajar kursus di Sekolah Menengah Colegio del Salvador di Buenos Aires.   Pada tahun 1967, Bergoglio memulai formasi teologi di Fakultas Filsafat dan Teologi di Colegio San Jose, San Miguel. Selama kurang lebih tiga tahun Bergoglio belajar teologi untuk mengeksplorasi rasio mengenai hal-hal yang berkaitan dengan iman dan keilahian.   Pada 13 Desember 1969, Bergoglio menerima tahbisan imam dari tangan Mgr. Ramón José Castellano, Uskup Agung Cordoba. Satu tahun setelah tahbisan, Pater Bergoglio diundang untuk menjalani formasi tersiat. Ia menjalani tersiat di Universitas Alcala de Henares di Spanyol pada 1970-1971. Setelah tersiat, Pater Bergoglio melanjutkan tugas perutusannya sebagai Magister Novis (pendamping para frater novis) dan Wakil Rektor di Seminari San Miguel, Buenos Aires, Argentina. Dua tahun setelah tersiat, Pater Bergoglio mengucapkan kaul akhir sebagai profes (kaul khusus yang menyatakan ketaatan penuh kepada Paus terkait tugas dan perutusan apostoliknya) pada 22 April 1973. Di tahun yang sama, setelah kaul akhir, pada 31 Juli Pater Bergoglio menjadi Provinsial Serikat Jesus Provinsi Argentina dan Uruguay. Provinsial atau superior mayor adalah pemimpin Jesuit yang dipilih oleh Jenderal (Pimpinan Tertinggi) dan membawahi salah satu provinsi. Provinsi adalah unit teritorial di mana perkumpulan Jesuit ini diorganisir; pengawasan suatu provinsi dipercayakan

Feature

Spiritualitas yang Membebaskan

Setiap malam di bulan Mei dan Oktober, komunitas asrama Realino SPM di Jl. Mataram No. 66, Yogyakarta, mengadakan doa rosario bersama untuk menghormati bulan Maria dan Rosario. Patung Bunda Maria diambil dari lemari di bawah televisi dan ditempatkan di meja panjang di tengah ruangan. Di depannya ditaruh sebuah tempat lilin bercabang dua dengan salib di antaranya. Satu lilin besar lain dinyalakan dengan tatakan piring kecil. Semua anak asrama, dari yang masih SMP hingga yang mahasiswa, berkumpul di aula bersama dengan Romo dan Bruder. Terkadang, turut hadir pula Frater-frater yang sedang live in di tengah komunitas. Mak Sur, yang menjadi ibunya anak-anak asrama, juga tidak pernah absen. Para volunteer yang sedang ada di Realino juga dipersilakan untuk ikut. Setiap harinya tiap anak asrama mendapat giliran untuk memimpin dan membuka doa, sementara semua yang hadir bergantian mendaraskan tiap-tiap butir Salam Maria. Aku adalah salah satu orang yang mendapat kehormatan untuk bisa bergabung dengan pengalaman transformatif ini hampir setiap hari pada bulan Mei tahun lalu, ketika aku sedang berada di Yogyakarta untuk Merdeka Belajar dan mendapat kesempatan untuk turut serta dalam karya-karya Realino SPM sebagai volunteer yang tiba-tiba muncul di tengah semester.   Aku ini Katolik anyaran. Belum lima tahun sejak aku mulai ikut misa dan mempelajari iman Katolik, pun belum tiga tahun sejak aku menerima baptisan. Doa rosario sendiri bagiku awalnya merupakan suatu love-hate relationship. Di satu sisi, kebaktian terhadap Ibu Maria menjadi salah satu yang menggugah hatiku kepada Gereja Katolik. Ibu menjadi sosok yang memberikanku “ruang aman.” Beliau adalah penghibur, penenang, penolong, penunjuk jalan. Kasih ibunya adalah tempat aku dapat diam berserah diri. Di lain sisi, membiasakan praktik doa rosario, walaupun sangat kuinginkan sebagai bentuk kasihku terhadap Ibu, tetap tidak gampang. Meskipun doa-doanya mudah, sulit bagiku untuk “betah” mendoakan rosario. Lima puluh Salam Maria terasa terlalu banyak dan menjemukan. Jarang aku bisa mendoakan satu rosario penuh sendiri karena aku mudah mengantuk. Sulit juga untuk bisa dengan masuk ke dalam kondisi doa kontemplatif ketika pikiran rawan terdistraksi kesibukan sehari-hari. Doa rosario yang membutuhkan waktu dan fokus tersendiri rasanya sangat “mengganggu.”    Ini yang lantas berubah melalui pengalamanku di Realino SPM—tidak hanya dalam doa rosario bersama, tetapi juga dalam keseluruhan karyanya. Tiap butir Salam Maria yang bergulir dan bergantian didaraskan bersama. Suasana yang sakral, namun di satu sisi juga banal: sesekali ada yang salah membaca doa, kemudian dikoreksi oleh yang lain, disusul oleh senyum dan tawa kecil dari yang lain. Ada yang kelebihan membaca Salam Maria. Ada yang lupa sudah sampai mana. Ada yang mengantuk juga. Sesekali anjing-anjing Realino—Polo, Gendhis, dan Cipong—ikut berkeliaran dan rebah di aula, seakan turut mendengarkan doa. Dalam kemanusiaan di tengah yang sakral itu, aku perlahan menemukan keterikatanku dengan rutinitas tersebut. Tanpa disadari, aku ingin dan mengusahakan diriku untuk hadir setiap hari. Sekiranya tidak bisa, aku akan rindu untuk mendoakannya sendiri di kontrakan, dan kendati aku mendoakannya sendiri, tiap doa yang didaraskan selalu membawa suara kawan-kawan terdekat di kupingku untuk turut berdoa bersamaku. Di sini aku menyadari bahwa kecintaan dan kedekatanku kepada yang Ilahi tidak bisa kukerjakan sendiri. Aku harus menemukannya dalam sesamaku, dalam praktik kebersamaan komunal. Gereja adalah rumah bagi para hamba, dan keberadaanku di dalamnya harus menjadi solidaritas bersama mereka. Jika aku ingin dekat dengan Allah, aku harus dekat dengan yang disekitarku juga dan jika aku ingin diam dalam keberadaan Allah, aku juga harus ingin diam dalam kebersamaan dengan orang-orang di sekitarku. Ini yang kupetik dari keterlibatanku dalam karya-karya dan keseharian Realino SPM: sebuah spiritualitas yang membebaskan, dan ini termanifestasi dalam dua pemaknaan.   Pertama, spiritualitas ini “membebaskan” diriku dari diri sendiri. Dalam arti, ia mengeluarkanku dari kekang individualitas semu. Simone Weil, seorang filsuf Prancis yang sangat dekat bagiku, mengatakan bahwa kasih terhadap sesama adalah substansi yang sama dengan kasih terhadap Allah (Weil, Waiting for God, Routledge, 2021:69). Ketika kita mengasihi sesama, adalah Kristus sendiri yang memandang ciptaanNya melalui mata kita (ibid, 72). Kita adalah “antena”, wadah bagi Allah sendiri untuk hadir bagi ciptaanNya. “Kasih terhadap sesama adalah kasih yang turun dari Allah kepada manusia.” (ibid, 100). Dalam kasih terhadap sesamaku, khususnya dalam konteks kebersamaan dalam komunitas, aku menyadari keberadaanku di dunia ini dengan sepenuhnya. Aku menyadari “akarku” sebagai insan manusia, dan mengarahkan atensiku kepada hal-hal yang tepat melalui kesadaran ini: bahwa—tentu tanpa menegasikan pentingnya gerak jiwa individu—komunalitas menjadi aspek yang penting dalam mencapai spiritualitas yang benar. Bahwa kecintaan terhadap Allah harus berangkat dari kecintaan terhadap sesama di tengah-tengah masyarakat. “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ aku ada di tengah-tengah mereka.” (Matius 18:20)   Kedua, spiritualitas ini tidak hanya membebaskan diri sendiri, tetapi juga memanggil kita untuk turut serta dalam karya pembebasan Allah bagi sesama kita. Kita dipanggil untuk saling “membebaskan.” Pembaca mungkin sudah familiar dengan kerja-kerja Realino SPM sebagai karya sosial dari Serikat Jesus Provindo. Aku sendiri telah mendapat kehormatan untuk bergabung dalam karya-karya pendampingan Realino di komunitas sosial Pingit, Bongsuwung, dan Jombor; di bengkel kerja Realino; juga dalam proses registrasi sekaligus kunjungan beasiswa pendidikan Realino. Keberadaan karya-karya Realino mengingatkanku pada ajaran sosial Gereja akan preferential option for the poor, atau keberpihakan Gereja bagi mereka yang miskin, lemah, dan tersingkir. Istilah ini pernah digunakan oleh Pater Jenderal Jesuit, P. Pedro Arrupe, SJ, diartikulasikan oleh Konferensi Uskup Amerika Latin (CELAM) di Medellin, Kolombia pada tahun 1968. Melalui peran teologi pembebasan P. Gustavo Gutierrez, Gereja menyadari bahwa kenyataan ketidakadilan sosial di dunia harus ditanggapi dengan keberpihakan Gereja bersama dengan kaum miskin yang terjerat oleh “kekerasan yang melembaga”—yaitu, lembaga negara dan ekonomi hari ini yang ditandai oleh ketidakadilan sistemik dan kemiskinan struktural. Spiritualitas kita lantas harus direfleksikan dari realitas kemiskinan, ketidakadilan, dan ketertindasan yang dialami oleh banyak dari sesama kita hari ini. Pun ketika kita merenungkan rosario, bukankah kita mengingat Kristus dan Maria yang menderita di bawah kekerasan kaisar dan para pemuka agama? Tidakkah seharusnya penderitaan dan karya pembebasan Kristus juga mengingatkan kita pada kondisi saudara-saudara kita yang juga menderita hari ini, di mana Kristus hidup bersama mereka?      Karya sosial yang dilakukan oleh Realino dan di mana saya terlibat lantas menjadi manifestasi dari suatu spiritualitas yang membebaskan, yakni satu spiritualitas

Feature

Hidup Baru

Daerah Istimewa Yogyakarta kerap dinilai sebagai kota sejuta kenangan. Satu album kisah akan terus diceritakan dengan bangga kepada orang-orang di manapun berada. Kota ini terus bergerak, seakan tidak ada kisah mata tertutup beristirahat. Kadang, Yogyakarta menjadi pelarian semua insan mencari sejuta kebahagiaan. Banyak pribadi mengisi hidup memanjakan mata di berbagai tempat wisata, mempelajari sejarah memukau, menikmati enaknya varian kuliner, dan mencari banyak teman dari segala sudut Indonesia. Banyak pula rela meninggalkan keluarga sejenak di jauh sana untuk mengejar ilmu dan sejuta impian. Hidup baru terus terjadi di kota Yogyakarta.   Pengalaman semacam itulah yang dicari. Boleh aku katakan, salah satu pengalaman indah adalah pengalaman di Realino SPM. Sejarah hidupku di Realino memang dimulai demi pemenuhan syarat di kampus, tugas pengabdian sosial. Aku dan keempat teman lainnya menemukan kom unitas yang kami yakini Realino SPM adalah ruang perjumpaan yang memberi fasilitas melibatkan diri ke situasi jarang terjamah. Tempat ini menjadi ruang yang terus mengajarkan siapa saja tentang arti kehidupan.   Perjalanan kisahku di Realino aku buka dengan satu nasihat rohani tercatat di buku lama, Alkitab. Bunyinya demikian: “Kalau seseorang berkata, ‘aku mengasihi Allah’, tetapi membenci saudaranya, berarti dia berbohong. Orang yang tidak mengasihi sesama manusia yang kelihatan tidak mungkin bisa mengasihi Allah yang tidak kelihatan” (1 Yohanes 4:20). Tidak perlu lama duduk merenung memahami makna dari nasihat suci ini. Namun, butuh banyak hal perlu dilakukan untuk mewujudkannya. Perjumpaan dengan adik-adik dampingan Realino SPM mengajarkanku menghidupi kasih kepada Allah yang sesungguhnya.   Adik-adik dari Komunitas Belajar Realino, baik di Bongsuwung maupun di Jombor, banyak memberi coretan makna padaku. Tidak pernah terpikir olehku sebelumnya, mempunyai waktu bagi mereka yang tinggal di kanan-kiri jalur kereta api. Tidak banyak waktu kami bersama, hanya dua jam dari dua puluh empat jam sehari yang kupunya. Namun, dua jam itu sanggup memberi banyak perubahan. Banyak cerita bisa aku sampaikan di kesempatan lain, mungkin tidak dalam tulisan singkat ini. Cerita-cerita itu menarik, yang jika diceritakan tidak cukup di atas selembar kertas. Kali ini aku hendak membagikan beberapa kisah-kasih dari perjumpaan dengan adik-adik di Bongsuwung. Kata pertama memulai cerita adalah: lelah.   Rasa lelah menjadi bagian perjalanan kisahku selama menjadi volunteer Realino SPM. Setiap perjumpaan memiliki lelahnya masing-masing. Pengalaman memori indah adalah ketika aku membantu proses belajar di Bongsuwung. Udara kota pukul satu siang saat itu sangat tidak dapat ditoleransi. Panas sekali, kipas di ruang pertemuan pun rasanya tidak kuasa membantu. Rangkaian kegiatan yang sudah direncanakan dimulai. Saat itu aku mendapatkan tugas sesi dinamika, gerak-lagu, dan game.   Aku yang ekstrovert merasa hal itu bukan soal besar. Mudah bagiku mencari ide. Ide kudapatkan, tinggal energi perlu dipersiapkan. Hal ini disebabkan energi adik-adik di sana sungguh luar biasa. Boleh aku katakan melampaui batas? Sangat boleh. Suaraku kerap kalah dibandingkan riuh suara mereka. Kerap instruksi yang aku berikan tidak tersampaikan jelas karena mereka memilih bermain dan berteriak sendiri. Panas, lelah, sekaligus emosi terkadang perlu aku kontrol dengan baik. Untunglah, teman-teman volunteer lainnya berkolaborasi baik. Kami saling membantu, mendukung, dan melengkapi. Mereka luar biasa hebat.   Kendati demikian, pengalaman penuh berkat jauh lebih banyak aku dapatkan. Pengalaman yang tidak pernah kulupakan adalah ketika aku bersama volunteer lainnya menjemput beberapa anak yang tidak hadir untuk belajar. Pada Sabtu siang itu, adik-adik yang hadir di ruang belajar hanya sedikit. Tidak tahu apa yang menjadi alasan mereka, yang jelas bahwa ini bukan fenomena biasa. Apakah karena mager (malas gerak)? Inilah spesialnya menjadi volunteer Realino, tidak hanya mengajar namun menjadi teman dengan mencari mereka. Aku dan beberapa volunteer lainnya menjemput ke rumah-rumah mereka. Dengan cara itulah mereka mau datang ke Komunitas Belajar Realino.   Aku terhenyak. Momen itu menjadi penyedap refleksiku hari itu. Aku bisa menyaksikan langsung keadaan tempat tinggal mereka. Hidup di lingkungan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Rumah relatif seadanya. Aku baru sadar celotehan salah satu adik di sana, awalnya aku kira sebatas candaan. “Boro-boro hiasan dinding mas-mas, rumah aja dari kardus!” Kalimat kemudian baru sungguh aku sadari maksudnya. Aku sadar karena datang dan melihat. Sejak hari itu, aku mulai merenungkan sesuatu yang fundamental. Pertanyaan sederhana sekali, mendasar, tapi selalu dilupakan setiap insan karena terlalu nikmat menjalani keseharian nyaman. Apa itu hidup bagiku dan Anda?   Aku selalu bertanya, apa makna hidup bagi mereka? Dalam situasi ini, bukan perkara mudah menemukan makna. Makna dalam yang membawa mereka pada proses terus menjalaninya. Mungkin saja mereka tidak bisa membahasakan makna hidup. Akan tetapi makna itu sungguh tertanam dan berbuah pada perjuangan sesungguhnya. Sebagaimana judul di atas, hidup baru. Bagiku hidup adalah suatu pembaruan terus-menerus. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi sepersekian detik kemudian. Hal yang kita tahu adalah saat ini, masa depan adalah rencana. Hidup itu dinamis, terus berubah. Manusia hanya bisa berharap perubahan itu terjadi ke arah lebih baik.   Aku sungguh sadar, keberadaanku di tengah-tengah komunitas Realino SPM adalah berkat. Aku mengenal banyak saudara dari berbagai sudut Indonesia. Aku terlibat menyusun asa adik-adik di Komunitas Belajar Realino di Bongsuwung-Jombor agar memiliki sejuta harapan dan semakin yakin pada keterlibatan Allah dalam setiap asa yang diperjuangkan.   Kontributor: Fr. Marcelinus Wahyu Setyo Aji, SCJ – volunteer Realino SPM

Feature

Evangelisasi Digital: Seruan Kenabian di Tengah Perubahan

Modernitas dunia kita saat ini diwarnai dengan derasnya arus perkembangan teknologi. Dari berbagai pemberitaan di media massa dapat diketahui bahwa hampir setiap bulan selalu muncul berbagai macam alat komunikasi dan transportasi baru yang semakin canggih, seperti smartphone, sosial media berbasis internet, dan kendaraan bermotor. Perkembangan teknologi ini membuat seseorang tidak lagi dibatasi hanya oleh ruang maupun waktu tertentu. Teknologi memudahkan seseorang menggapai kecepatan untuk berada di suatu titik. Orang dapat lebih mudah berada di satu tempat dan waktu tertentu bahkan berada di beberapa tempat berbeda dalam waktu yang bersamaan. Perkembangan teknologi bisa menghubungkan seseorang dengan orang lain atau dengan realitas lain secara mudah. Perkembangan teknologi membantu setiap orang meraih banyak hal dengan lebih mudah dibandingkan sebelumnya. Dengan demikian perkembangan teknologi memberi dampak pada cara berada yang baru.   Di lain sisi, perkembangan teknologi juga bisa memberikan dampak negatif. Salah satunya adalah peningkatan individualisme dalam diri manusia. Teknologi semakin meningkatkan aksesibilitas seseorang dan pemenuhan kebutuhan dirinya. Hal ini bisa mengakibatkan seseorang menjadi semakin cukup diri lewat bantuan teknologi dan semakin melemahkan kemauan seseorang untuk membagikan dirinya bagi orang lain dalam dunia nyata1 . Dengan demikian aspek komunitas dan perjumpaan fisik sehari-hari juga akan ikut terdampak. Teknologi yang awal mulanya diciptakan untuk mempermudah dan membantu manusia bukan hanya kemudian mengubah suasana dan dunia sekitar manusia saja melainkan juga mengubah pola pikir dan perilaku manusia termasuk juga perilaku sosialnya.   Gereja, modernitas, dan evangelisasi Gereja tidak bisa menutup mata begitu saja dari situasi dan perkembangan dunia tersebut. Gereja mengakui adanya perkembangan teknologi yang sangat cepat di dunia. Perkembangan tersebut telah membawa dampak-dampak bagi cara berpikir, bersikap, dan berada manusia. Dalam dokumen Inter Mirifica, disebutkan bahwa penemuan-penemuan teknologi zaman ini sangat mengagumkan. Gereja menyambut dan mengikutinya dengan perhatian yang istimewa khususnya penemuan-penemuan yang menyangkut jiwa manusia. Penemuan-penemuan ini mampu membuka peluang baru untuk menyalurkan segala macam berita, gagasan, dan pedoman-pedoman serta menggerakkan manusia secara massal2 . Bahkan secara tegas disampaikan oleh Paus Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi bahwa dalam pewartaan Injil, Gereja akan merasa bersalah jika tidak memanfaatkan kemampuan-kemampuan manusiawi yang semakin hari semakin membawa pada kesempurnaan3 .   Dalam pesannya di Hari Komunikasi Sosial Sedunia (28 Februari 2011), Paus Benediktus XVI mengajak setiap orang untuk merefleksikan sekali lagi perubahan budaya yang sangat luas akibat perkembangan teknologi baru. Ada cara belajar dan berpikir baru yang berkembang dengan peluang-peluang yang belum ada sebelumnya mengenai pembentukan relasi dan pembangunan persahabatan antarmanusia. Dengan teknologi baru ini orang semakin mudah untuk bertukar dan berbagi informasi. Hal ini dapat dibaca secara positif sebagai dimensi kesaksian atas rahmat Tuhan yang membantu penemuan makna atas hidup mereka. Akan tetapi, hal ini juga bisa membawa pada risiko lainnya. Setiap orang akan menjadi terlihat oleh siapapun sehingga bisa mengakibatkan kehilangan interioritas, membawa pada kedangkalan relasi dan persahabatan yang keluar dari emosionalitas, dan kelaziman pandangan dari banyak orang yang kemudian dipercaya sebagai suatu kebenaran. Tanpa menolak perkembangan teknologi ini, Paus Benediktus XVI mengajak setiap orang untuk mampu menemukan simbol-simbol dan bahasa baru dalam budaya digital ini untuk menjelaskan makna transendensi dan Yang Transenden4 .   Dalam Surat Apostolik The Rapid Development, Paus Yohanes Paulus II melihat bahwa sangat penting bagi Gereja untuk mengintegrasikan pewartaan pesan keselamatan ke dalam “budaya-budaya baru” yang tercipta di zaman ini5 . Dalam Gereja, pewartaan sejarah keselamatan (evangelisasi) menjadi penting karena inilah satu-satunya cara untuk mengomunikasikan kasih Allah bagi manusia sekaligus mengundang setiap manusia untuk mampu menanggapi tawaran kasih itu. Syukurlah bahwa banyak umat yang dengan kreativitasnya mengusahakan hal itu. Banyak content creator Katolik bermunculan di bermacam sosial media, bahkan tidak sedikit gereja mengoptimalkan tim komsos dan sosial media mereka.    Dalam sebuah laporan penelitian yang dilakukan oleh PEW Research Center pada bulan Juni 2023 yang lalu, disajikan data bahwa di Amerika sebanyak 30% orang dewasa menggunakan sarana daring untuk mencari informasi mengenai agama; 21% menggunakannya untuk membaca Kitab Suci atau kitab suci agama lainnya; 15% mendengarkan podcast tentang agama; 14% membantu mereka untuk mengingatkan agar tetap berdoa. Survei ini diadakan pada sebelas ribu orang dewasa di sana sekitar bulan November 20226 . Data ini sebenarnya menunjukkan juga bahwa dunia digital membantu orang untuk tetap terhubung dengan lembaga keagamaan selain menjadi sarana untuk tetap terkoneksi dengan kerabat, teman, atau kolega, khususnya sepanjang pandemi Covid 19. Dunia digital menjadi salah satu sarana penting di zaman ini untuk menggapai realitas dan meningkatkan pemahaman iman mereka. Penulis meyakini bahwa fenomena serupa pasti terjadi di Indonesia. Tidak sedikit anggota Gereja di Indonesia yang akan mencari informasi dan berusaha untuk meningkatkan pemahaman keimanan mereka melalui media digital.   Sejauh penangkapan penulis, di Indonesia memang belum tersedia penelitian yang lebih dalam mengenai dampak dunia digital, khususnya internet dan sosial media, bagi cara beriman dan menggereja. Hal ini tentu menjadi sebuah peluang sekaligus pekerjaan rumah yang besar bagi Gereja Indonesia. Bukan hanya agar tidak ketinggalan zaman tetapi yang lebih penting adalah agar pesan keselamatan tetap relevan bagi orang pada zamannya. Dari sejarah keselamatan umat Allah yang tertuang dalam pengalaman bangsa Israel hingga sekarang, kita tahu bahwa pesan keselamatan Allah masih perlu terus digaungkan di setiap zamannya, bukan karena pesan tersebut sulit untuk ditangkap tetapi karena pertama-tama ada banyak tantangan dan merebaknya budaya kematian di setiap zamannya.   Kegelisahan dan usulan tanggapan Di zaman perkembangan teknologi saat ini beberapa pihak mulai gelisah dan khawatir dengan berbagai dampak dari berbagai macam peralatan digital. Salah satu kekhawatiran atau kegelisahan terbesar adalah digantikannya sesuatu yang sakral, perhatian akan Allah, dan peran dari lembaga keagamaan oleh isi dan informasi yang ditawarkan di dalam gawai dan teknologi digital. Akan tetapi, masih ada satu hal yang sering luput meski sangat mendasar, yaitu mengenai otentisitas dampak yang dihasilkan oleh berbagai macam peralatan digital. Bagaimanapun kecanggihan peralatan digital yang dihasilkan, termasuk dengan adanya kecerdasan buatan, tidak pernah bisa menjawab otoritas atau otentisitas tindakan atau dampak mereka sendiri7 . Kecanggihan peralatan digital tidak akan pernah bisa dilepaskan dari pihak-pihak yang menciptakan berbagai logika yang ditanamkan dan menjadi cara kerja peralatan digital tersebut. Semakin banyak kondisi yang ditanam maka akan memberikan variasi jawaban yang semakin banyak. Hal ini sangat rentan dengan penyalahgunaan bahkan kekurangan. Oleh karena itu,

Feature

Katolik itu Fun!

@majuskatolik adalah salah satu akun Katolik di Instagram yang dimulai sejak April 2023. MAJUS sebenarnya akronim dari nama dari MAteo JUbileo Singgih, inisiator dari akun @majuskatolik. Mateo Jubileo Singgih atau biasa dipanggil Mateo, sebelumnya sering membuat konten mengenai budaya dan tempat-tempat di Indonesia melalui akun @majusberkarya sejak tahun 2022. Dalam proses pembuatan konten untuk @majusberkarya, dia mengunjungi beberapa tempat ziarah Katolik yang sungguh menarik untuk dibahas, seperti patung Yesus di Toraja, patung Tuhan Yesus di Timor Leste, dan tangga St. Yusuf di Amerika. Beberapa konten video tersebut menjadi viral dan secara tidak langsung malah membuka pikirannya untuk lebih fokus membuat konten khusus Katolik. Mateo merasa banyak hal yang bisa dibahas dan didiskusikan mengenai kekatolikan dalam kemasan yang lebih ringan, seru, danorang muda banget. Karena selama ini orang muda melihat bahwa pembahasan mengenai Katolik begitu serius dan struktural. Oleh karena itu konten @majuskatolik berusaha dibuat lebih menarik, singkat, padat, namun informatif.   Awal membuat konten @majusberkarya, Mateo terinspirasi dari konten kreator Nas Daily. Nas Daily adalah sebuah akun di platform media sosial Instagram yang dibuat oleh Nuseir Yassin, seorang Israel pada tahun 2016. Konten yang dibuat berupa video pendek yang bertujuan menginspirasi dan memberikan informasi mengenai berbagai topik dan pengalaman kehidupan sehari-hari di berbagai negara. Konten Nas Daily yang menarik ini menginspirasi Mateo untuk membuat konten-konten video tempat-tempat ziarah yang dikunjungi bersama dengan keluarganya. Awalnya dia tidak tertarik mengenai hal-hal seputar rohani. Sejalan dengan waktu karena perjumpaan dengan komunitas dan teman-teman baru, hidupnya berubah dan imannya pun semakin bertumbuh. Sebagai ungkapan syukurnya, Mateo menggunakan talenta yang dimilikinya untuk membuat akun @majuskatolik. Dari sini Mateo belajar untuk semakin dekat dengan Tuhan melalui cara dan sesuatu yang sederhana. Dia juga ingin membagikan kepada followers-nya bahwa Katolik tidak seserius yang dibayangkan.   Akun @majuskatolik ini dikelola Mateo bersama dengan tiga temannya, yaitu Rara, Andrea, dan Sixtus. Konten-konten yang dibahas dalam akun ini mengenai tempat ziarah, gereja, taman doa, budaya gereja, dan fakta tentang Katolik yang unik. Terkadang juga berbagi pengalaman seperti ikut serta dalam acara World Youth Day (WYD) 2023 di Portugal. Ketika mengikuti WYD 2023 banyak tempat ziarah dan gereja dengan sejarah yang menarik untuk dibahas karena Eropa merupakan pusat perkembangan Katolik. Mereka ingin berbagi pengalaman mengunjungi tempat ziarah dan gereja kepada followers yang mungkin bisa menjadi destinasi impian mereka atau masuk ke bucket list mereka. Dalam setahun membuat konten, akun ini mengalami perkembangan yang begitu cepat hingga mencapai 50.000 followers. Banyak orang muda yang mengikuti dan tak sedikit pula orang tua yang juga menyukai kontennya. Tak jarang mereka juga memberikan rekomendasi destinasi tempat ziarah, gereja atau taman doa agar dikunjungi oleh tim @majuskatolik.   Mengelola akun @majuskatolik bukanlah sesuatu yang mudah, pasang surut dialami. Namun tetap bersyukur karena memiliki tim yang sekarang totalnya berjumlah 7 orang dan bisa diandalkan. Hampir semua anggota tim @majusberkarya masih kuliah sehingga belum bisa berkomitmen 100%. Beban kerja tetap mampu ditangani dengan saling berkomunikasi dan mem-backup satu sama lain agar konten tetap konsisten. Para anggota tim ini melakukannya dengan penuh pelayanan, sukarela, saling menguatkan, dan mendukung. Dari awal membuat konten hingga berkembang sampai sekarang, salah satu rahmat yang disyukuri adalah bisa mengajak beberapa orang muda yang awalnya followers untuk menjadi tim.     Salah satu tantangan yang dihadapi adalah menghadapi komentar negatif dari para netizen, terutama karena membahas mengenai agama. Meskipun demikian ada juga banyak komentar orang-orang Katolik yang senang dengan konten yang diberikan. Bahkan mereka mengucapkan terima kasih. Beberapa OMK atau bahkan pastor paroki gereja yang dibahas dalam akun @majuskatolik terkadang ikut bangga dan senang.   Tim @majuskatolik juga merasa senang karena mendapatkan konten menarik dan gereja atau tempat ziarah semakin dikenal luas. Selain itu, tantangan dalam membuat konten gereja atau tempat ziarah di suatu daerah adalah dana untuk transportasi dan akomodasi ke lokasi. Karena pada dasarnya akun ini tidak berfokus untuk mendapatkan profit atau penghasilan, dana yang digunakan terbatas. Harapannya, setelah ini ada sponsor atau donasi sehingga mereka bisa mengunjungi lebih banyak gereja kecil atau kuno untuk mengangkat dan memberikan nilai tambah untuk gereja ini.   Dari pengalaman ini, Mateo dan tim belajar jika akun ini ingin lebih berkembang dan kuat, perlu adanya komunitas. Ada mimpi besar untuk menjadikan akun ini sebagai sarana kolaborasi dengan followers, berbagi pendapat, tempat sharing, bahkan menjadi tempat berbagi cerita yang mengubah hidup, bisa menjadi inspirasi bagi orang muda lainnya, dan menjadi komunitas untuk mendalami iman katolik dengan cara yang lebih seru dan ringan. Menurut Mateo, orang muda penting memiliki komunitas yang saling merangkul, menerima, dan bertumbuh bersama agar iman semakin berkembang sebab memang ada keprihatinan terkait pertumbuhan iman orang muda. Berdasarkan pengalamannya, kegiatan lingkungan atau pendalaman alkitab hanya dihadiri oleh orang-orang yang sudah tua serta menggunakan bahasa yang kurang sesuai dengan anak muda sehingga mereka menjadi mager untuk mengikuti kegiatan ini. Berawal dari komunitas pula, ia dan teman-temannya memiliki ide untuk membuat @majuskatolik, memulai dengan hal-hal kecil seperti membuat konten mengenai tempat ziarah yang ternyata berdampak bagi banyak orang.   Dalam perjalanan Mateo membuat konten @majuskatolik, pengalaman yang mengena di hati adalah ketika mengikuti World Youth Day 2023 di Portugal. Karena terbiasa berada di lingkungan orang muda Indonesia, ia kaku ketika bertemu dengan teman-teman dari seluruh dunia. Hal ini memberi energi yang berbeda serta membuka pikirannya. Mereka sangat merangkul dan saling mendukung satu sama lain selama WYD berlangsung. Banyak komunitas orang muda Katolik yang tidak ada di Indonesia namun banyak di luar negeri. Dari pengalaman ini, ia menjadi tahu bahwa orang muda Katolik bisa diajak berkolaborasi bersama. Bahkan, dari sini dia berkenalan dengan beberapa konten kreator akun Katolik dari Indonesia seperti @saintpedia. Hal ini mengubah perspektifnya. Ternyata banyak orang muda Katolik yang peduli dan mau membuat konten-konten tentang kekatolikkan secara lebih menarik dan ringan. Pengalamannya berdinamika dengan orang muda katolik, baik di Indonesia maupun luar negeri, membawanya pada sebuah pesan agar orang muda jangan lupa bersyukur. Terkadang sebagai orang muda kita merasa hidup oke, financial freedom karena hasil kerja keras sendiri, merasa tidak puas dengan apa yang didapat saat ini. Padahal, di balik semua kemudahan dan berkat, ada Tuhan yang mendukung kita. Kita sebagai orang muda selalu ingat untuk