Setiap malam di bulan Mei dan Oktober, komunitas asrama Realino SPM di Jl. Mataram No. 66, Yogyakarta, mengadakan doa rosario bersama untuk menghormati bulan Maria dan Rosario. Patung Bunda Maria diambil dari lemari di bawah televisi dan ditempatkan di meja panjang di tengah ruangan. Di depannya ditaruh sebuah tempat lilin bercabang dua dengan salib di antaranya. Satu lilin besar lain dinyalakan dengan tatakan piring kecil. Semua anak asrama, dari yang masih SMP hingga yang mahasiswa, berkumpul di aula bersama dengan Romo dan Bruder. Terkadang, turut hadir pula Frater-frater yang sedang live in di tengah komunitas. Mak Sur, yang menjadi ibunya anak-anak asrama, juga tidak pernah absen. Para volunteer yang sedang ada di Realino juga dipersilakan untuk ikut. Setiap harinya tiap anak asrama mendapat giliran untuk memimpin dan membuka doa, sementara semua yang hadir bergantian mendaraskan tiap-tiap butir Salam Maria. Aku adalah salah satu orang yang mendapat kehormatan untuk bisa bergabung dengan pengalaman transformatif ini hampir setiap hari pada bulan Mei tahun lalu, ketika aku sedang berada di Yogyakarta untuk Merdeka Belajar dan mendapat kesempatan untuk turut serta dalam karya-karya Realino SPM sebagai volunteer yang tiba-tiba muncul di tengah semester.
Aku ini Katolik anyaran. Belum lima tahun sejak aku mulai ikut misa dan mempelajari iman Katolik, pun belum tiga tahun sejak aku menerima baptisan. Doa rosario sendiri bagiku awalnya merupakan suatu love-hate relationship. Di satu sisi, kebaktian terhadap Ibu Maria menjadi salah satu yang menggugah hatiku kepada Gereja Katolik. Ibu menjadi sosok yang memberikanku “ruang aman.” Beliau adalah penghibur, penenang, penolong, penunjuk jalan. Kasih ibunya adalah tempat aku dapat diam berserah diri. Di lain sisi, membiasakan praktik doa rosario, walaupun sangat kuinginkan sebagai bentuk kasihku terhadap Ibu, tetap tidak gampang. Meskipun doa-doanya mudah, sulit bagiku untuk “betah” mendoakan rosario. Lima puluh Salam Maria terasa terlalu banyak dan menjemukan. Jarang aku bisa mendoakan satu rosario penuh sendiri karena aku mudah mengantuk. Sulit juga untuk bisa dengan masuk ke dalam kondisi doa kontemplatif ketika pikiran rawan terdistraksi kesibukan sehari-hari. Doa rosario yang membutuhkan waktu dan fokus tersendiri rasanya sangat “mengganggu.”
Ini yang lantas berubah melalui pengalamanku di Realino SPM—tidak hanya dalam doa rosario bersama, tetapi juga dalam keseluruhan karyanya. Tiap butir Salam Maria yang bergulir dan bergantian didaraskan bersama. Suasana yang sakral, namun di satu sisi juga banal: sesekali ada yang salah membaca doa, kemudian dikoreksi oleh yang lain, disusul oleh senyum dan tawa kecil dari yang lain. Ada yang kelebihan membaca Salam Maria. Ada yang lupa sudah sampai mana. Ada yang mengantuk juga. Sesekali anjing-anjing Realino—Polo, Gendhis, dan Cipong—ikut berkeliaran dan rebah di aula, seakan turut mendengarkan doa. Dalam kemanusiaan di tengah yang sakral itu, aku perlahan menemukan keterikatanku dengan rutinitas tersebut. Tanpa disadari, aku ingin dan mengusahakan diriku untuk hadir setiap hari. Sekiranya tidak bisa, aku akan rindu untuk mendoakannya sendiri di kontrakan, dan kendati aku mendoakannya sendiri, tiap doa yang didaraskan selalu membawa suara kawan-kawan terdekat di kupingku untuk turut berdoa bersamaku. Di sini aku menyadari bahwa kecintaan dan kedekatanku kepada yang Ilahi tidak bisa kukerjakan sendiri. Aku harus menemukannya dalam sesamaku, dalam praktik kebersamaan komunal. Gereja adalah rumah bagi para hamba, dan keberadaanku di dalamnya harus menjadi solidaritas bersama mereka. Jika aku ingin dekat dengan Allah, aku harus dekat dengan yang disekitarku juga dan jika aku ingin diam dalam keberadaan Allah, aku juga harus ingin diam dalam kebersamaan dengan orang-orang di sekitarku. Ini yang kupetik dari keterlibatanku dalam karya-karya dan keseharian Realino SPM: sebuah spiritualitas yang membebaskan, dan ini termanifestasi dalam dua pemaknaan.
Pertama, spiritualitas ini “membebaskan” diriku dari diri sendiri. Dalam arti, ia mengeluarkanku dari kekang individualitas semu. Simone Weil, seorang filsuf Prancis yang sangat dekat bagiku, mengatakan bahwa kasih terhadap sesama adalah substansi yang sama dengan kasih terhadap Allah (Weil, Waiting for God, Routledge, 2021:69). Ketika kita mengasihi sesama, adalah Kristus sendiri yang memandang ciptaanNya melalui mata kita (ibid, 72). Kita adalah “antena”, wadah bagi Allah sendiri untuk hadir bagi ciptaanNya. “Kasih terhadap sesama adalah kasih yang turun dari Allah kepada manusia.” (ibid, 100). Dalam kasih terhadap sesamaku, khususnya dalam konteks kebersamaan dalam komunitas, aku menyadari keberadaanku di dunia ini dengan sepenuhnya. Aku menyadari “akarku” sebagai insan manusia, dan mengarahkan atensiku kepada hal-hal yang tepat melalui kesadaran ini: bahwa—tentu tanpa menegasikan pentingnya gerak jiwa individu—komunalitas menjadi aspek yang penting dalam mencapai spiritualitas yang benar. Bahwa kecintaan terhadap Allah harus berangkat dari kecintaan terhadap sesama di tengah-tengah masyarakat. “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ aku ada di tengah-tengah mereka.” (Matius 18:20)
Kedua, spiritualitas ini tidak hanya membebaskan diri sendiri, tetapi juga memanggil kita untuk turut serta dalam karya pembebasan Allah bagi sesama kita. Kita dipanggil untuk saling “membebaskan.” Pembaca mungkin sudah familiar dengan kerja-kerja Realino SPM sebagai karya sosial dari Serikat Jesus Provindo. Aku sendiri telah mendapat kehormatan untuk bergabung dalam karya-karya pendampingan Realino di komunitas sosial Pingit, Bongsuwung, dan Jombor; di bengkel kerja Realino; juga dalam proses registrasi sekaligus kunjungan beasiswa pendidikan Realino. Keberadaan karya-karya Realino mengingatkanku pada ajaran sosial Gereja akan preferential option for the poor, atau keberpihakan Gereja bagi mereka yang miskin, lemah, dan tersingkir. Istilah ini pernah digunakan oleh Pater Jenderal Jesuit, P. Pedro Arrupe, SJ, diartikulasikan oleh Konferensi Uskup Amerika Latin (CELAM) di Medellin, Kolombia pada tahun 1968. Melalui peran teologi pembebasan P. Gustavo Gutierrez, Gereja menyadari bahwa kenyataan ketidakadilan sosial di dunia harus ditanggapi dengan keberpihakan Gereja bersama dengan kaum miskin yang terjerat oleh “kekerasan yang melembaga”—yaitu, lembaga negara dan ekonomi hari ini yang ditandai oleh ketidakadilan sistemik dan kemiskinan struktural. Spiritualitas kita lantas harus direfleksikan dari realitas kemiskinan, ketidakadilan, dan ketertindasan yang dialami oleh banyak dari sesama kita hari ini. Pun ketika kita merenungkan rosario, bukankah kita mengingat Kristus dan Maria yang menderita di bawah kekerasan kaisar dan para pemuka agama? Tidakkah seharusnya penderitaan dan karya pembebasan Kristus juga mengingatkan kita pada kondisi saudara-saudara kita yang juga menderita hari ini, di mana Kristus hidup bersama mereka?
Karya sosial yang dilakukan oleh Realino dan di mana saya terlibat lantas menjadi manifestasi dari suatu spiritualitas yang membebaskan, yakni satu spiritualitas yang memanggil kita untuk merespon kondisi ketidakadilan di sekitar kita melalui praksis, melalui tindakan dan komitmen terhadap keadilan sosial. Bahwasanya kebebasan dan kenyamanan kita tidak akan pernah lengkap apabila masih ada saudara kita yang kekurangan, terpinggir, tertindas. Mengutip mendiang Br. Kirja, S.J., kita dipanggil untuk “memanusiakan” sesama manusia. Atau, mengutip P Pedro Arrupe, S.J., kita dipanggil menjadi “insan untuk sesama” (men and women for others). “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40)
Kebersamaanku dalam karya-karya dan komunitas Realino senantiasa menjadi kenangan manis hingga hari ini. Dari pengalaman bersama Realino pula rosario menjadi suatu “akar” yang senantiasa memanggil saya untuk melihat orang-orang di sekitar saya, khususnya mereka yang paling terpinggirkan dan tertindas dalam masyarakat. Hingga hari ini, saya selalu membiasakan untuk mendedikasikan tiap-tiap butir doa dalam rosario saya bagi pribadi/kelompok khusus yang secara khusus butuh dan ingin saya doakan. Semoga kiranya kita masing-masing dapat menemukan spiritualitas yang membebaskan ini dalam kehidupan masing-masing, agar kasih kita terhadap Allah senantiasa membawa kita pada kasih terhadap sesama dan berbuah pada karya-karya nyata untuk mewujudkan keadilan sosial yang mampu “membebaskan” sesama kita—khususnya mereka yang paling membutuhkannya.
Terima kasih sebesar-besarnya untuk Pater Robertus Bambang Rudianto, S.J., moderator di Wisma Sahabat Yesus Depok yang telah mengutusku ke Pater Pieter. Pater Pieter Dolle, S.J. yang telah menjadi pembimbing rohani sekaligus sahabat yang sangat baik, yang telah menyambut dan memberikanku kesempatan ikut serta di Realino. Para Romo dan Bruder di komunitas Jesuit Realino; Pater Suma dan Bruder Jumeno; terkhusus almarhum Br Kirja, yang telah menginspirasi dan mengubah banyak hidup dari kami. Frater Evan dan Albert, yang kini sedang menjalani Novisiat di Girisonta. Mbak Luci, Bu Lasmi, Mak Sur, Yanuar, dan juga semua di komunitas bengkel kerja Realino. Segenap sahabat volunteer dan asrama yang telah menghibur hari-hariku. Semua orang yang telah kujumpai dalam karya-karya Realino, terkhusus anak-anak di Bongsuwung dan Jombor. Terima kasih atas perjumpaan yang melampaui berharga, atas penerimaannya bagiku, sudah membuatku sangat merasa “diajak.” Terima kasih sudah menjadi rumah. Yakinlah bahwa doaku menyertai senantiasa, dekat maupun jauh.
Kontributor: Faiz Abimanyu – Volunteer SPM Realino