capture imaginations, awaken desires, unite the Jesuits and Collaborators in Christ mission

Evangelisasi Digital: Seruan Kenabian di Tengah Perubahan

Date

Modernitas dunia kita saat ini diwarnai dengan derasnya arus perkembangan teknologi. Dari berbagai pemberitaan di media massa dapat diketahui bahwa hampir setiap bulan selalu muncul berbagai macam alat komunikasi dan transportasi baru yang semakin canggih, seperti smartphone, sosial media berbasis internet, dan kendaraan bermotor. Perkembangan teknologi ini membuat seseorang tidak lagi dibatasi hanya oleh ruang maupun waktu tertentu. Teknologi memudahkan seseorang menggapai kecepatan untuk berada di suatu titik. Orang dapat lebih mudah berada di satu tempat dan waktu tertentu bahkan berada di beberapa tempat berbeda dalam waktu yang bersamaan. Perkembangan teknologi bisa menghubungkan seseorang dengan orang lain atau dengan realitas lain secara mudah. Perkembangan teknologi membantu setiap orang meraih banyak hal dengan lebih mudah dibandingkan sebelumnya. Dengan demikian perkembangan teknologi memberi dampak pada cara berada yang baru.

 

Di lain sisi, perkembangan teknologi juga bisa memberikan dampak negatif. Salah satunya adalah peningkatan individualisme dalam diri manusia. Teknologi semakin meningkatkan aksesibilitas seseorang dan pemenuhan kebutuhan dirinya. Hal ini bisa mengakibatkan seseorang menjadi semakin cukup diri lewat bantuan teknologi dan semakin melemahkan kemauan seseorang untuk membagikan dirinya bagi orang lain dalam dunia nyata1 . Dengan demikian aspek komunitas dan perjumpaan fisik sehari-hari juga akan ikut terdampak. Teknologi yang awal mulanya diciptakan untuk mempermudah dan membantu manusia bukan hanya kemudian mengubah suasana dan dunia sekitar manusia saja melainkan juga mengubah pola pikir dan perilaku manusia termasuk juga perilaku sosialnya.

 

Gereja, modernitas, dan evangelisasi

Gereja tidak bisa menutup mata begitu saja dari situasi dan perkembangan dunia tersebut. Gereja mengakui adanya perkembangan teknologi yang sangat cepat di dunia. Perkembangan tersebut telah membawa dampak-dampak bagi cara berpikir, bersikap, dan berada manusia. Dalam dokumen Inter Mirifica, disebutkan bahwa penemuan-penemuan teknologi zaman ini sangat mengagumkan. Gereja menyambut dan mengikutinya dengan perhatian yang istimewa khususnya penemuan-penemuan yang menyangkut jiwa manusia. Penemuan-penemuan ini mampu membuka peluang baru untuk menyalurkan segala macam berita, gagasan, dan pedoman-pedoman serta menggerakkan manusia secara massal2 . Bahkan secara tegas disampaikan oleh Paus Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi bahwa dalam pewartaan Injil, Gereja akan merasa bersalah jika tidak memanfaatkan kemampuan-kemampuan manusiawi yang semakin hari semakin membawa pada kesempurnaan3 .

 

Dalam pesannya di Hari Komunikasi Sosial Sedunia (28 Februari 2011), Paus Benediktus XVI mengajak setiap orang untuk merefleksikan sekali lagi perubahan budaya yang sangat luas akibat perkembangan teknologi baru. Ada cara belajar dan berpikir baru yang berkembang dengan peluang-peluang yang belum ada sebelumnya mengenai pembentukan relasi dan pembangunan persahabatan antarmanusia. Dengan teknologi baru ini orang semakin mudah untuk bertukar dan berbagi informasi. Hal ini dapat dibaca secara positif sebagai dimensi kesaksian atas rahmat Tuhan yang membantu penemuan makna atas hidup mereka. Akan tetapi, hal ini juga bisa membawa pada risiko lainnya. Setiap orang akan menjadi terlihat oleh siapapun sehingga bisa mengakibatkan kehilangan interioritas, membawa pada kedangkalan relasi dan persahabatan yang keluar dari emosionalitas, dan kelaziman pandangan dari banyak orang yang kemudian dipercaya sebagai suatu kebenaran. Tanpa menolak perkembangan teknologi ini, Paus Benediktus XVI mengajak setiap orang untuk mampu menemukan simbol-simbol dan bahasa baru dalam budaya digital ini untuk menjelaskan makna transendensi dan Yang Transenden4 .

 

Dalam Surat Apostolik The Rapid Development, Paus Yohanes Paulus II melihat bahwa sangat penting bagi Gereja untuk mengintegrasikan pewartaan pesan keselamatan ke dalam “budaya-budaya baru” yang tercipta di zaman ini5 . Dalam Gereja, pewartaan sejarah keselamatan (evangelisasi) menjadi penting karena inilah satu-satunya cara untuk mengomunikasikan kasih Allah bagi manusia sekaligus mengundang setiap manusia untuk mampu menanggapi tawaran kasih itu. Syukurlah bahwa banyak umat yang dengan kreativitasnya mengusahakan hal itu. Banyak content creator Katolik bermunculan di bermacam sosial media, bahkan tidak sedikit gereja mengoptimalkan tim komsos dan sosial media mereka. 

 

Dalam sebuah laporan penelitian yang dilakukan oleh PEW Research Center pada bulan Juni 2023 yang lalu, disajikan data bahwa di Amerika sebanyak 30% orang dewasa menggunakan sarana daring untuk mencari informasi mengenai agama; 21% menggunakannya untuk membaca Kitab Suci atau kitab suci agama lainnya; 15% mendengarkan podcast tentang agama; 14% membantu mereka untuk mengingatkan agar tetap berdoa. Survei ini diadakan pada sebelas ribu orang dewasa di sana sekitar bulan November 20226 . Data ini sebenarnya menunjukkan juga bahwa dunia digital membantu orang untuk tetap terhubung dengan lembaga keagamaan selain menjadi sarana untuk tetap terkoneksi dengan kerabat, teman, atau kolega, khususnya sepanjang pandemi Covid 19. Dunia digital menjadi salah satu sarana penting di zaman ini untuk menggapai realitas dan meningkatkan pemahaman iman mereka. Penulis meyakini bahwa fenomena serupa pasti terjadi di Indonesia. Tidak sedikit anggota Gereja di Indonesia yang akan mencari informasi dan berusaha untuk meningkatkan pemahaman keimanan mereka melalui media digital.

 

Sejauh penangkapan penulis, di Indonesia memang belum tersedia penelitian yang lebih dalam mengenai dampak dunia digital, khususnya internet dan sosial media, bagi cara beriman dan menggereja. Hal ini tentu menjadi sebuah peluang sekaligus pekerjaan rumah yang besar bagi Gereja Indonesia. Bukan hanya agar tidak ketinggalan zaman tetapi yang lebih penting adalah agar pesan keselamatan tetap relevan bagi orang pada zamannya. Dari sejarah keselamatan umat Allah yang tertuang dalam pengalaman bangsa Israel hingga sekarang, kita tahu bahwa pesan keselamatan Allah masih perlu terus digaungkan di setiap zamannya, bukan karena pesan tersebut sulit untuk ditangkap tetapi karena pertama-tama ada banyak tantangan dan merebaknya budaya kematian di setiap zamannya.

 

Kegelisahan dan usulan tanggapan

Di zaman perkembangan teknologi saat ini beberapa pihak mulai gelisah dan khawatir dengan berbagai dampak dari berbagai macam peralatan digital. Salah satu kekhawatiran atau kegelisahan terbesar adalah digantikannya sesuatu yang sakral, perhatian akan Allah, dan peran dari lembaga keagamaan oleh isi dan informasi yang ditawarkan di dalam gawai dan teknologi digital. Akan tetapi, masih ada satu hal yang sering luput meski sangat mendasar, yaitu mengenai otentisitas dampak yang dihasilkan oleh berbagai macam peralatan digital. Bagaimanapun kecanggihan peralatan digital yang dihasilkan, termasuk dengan adanya kecerdasan buatan, tidak pernah bisa menjawab otoritas atau otentisitas tindakan atau dampak mereka sendiri7 . Kecanggihan peralatan digital tidak akan pernah bisa dilepaskan dari pihak-pihak yang menciptakan berbagai logika yang ditanamkan dan menjadi cara kerja peralatan digital tersebut. Semakin banyak kondisi yang ditanam maka akan memberikan variasi jawaban yang semakin banyak. Hal ini sangat rentan dengan penyalahgunaan bahkan kekurangan. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengandalkan perkembangan digital sebagai pedoman hidup bahkan sebagai otoritas tindakan manusia. Jika suatu hari terjadi kekacauan yang diakibatkan oleh peralatan digital tersebut, manusia akan menjadi semakin tidak mau bertanggung jawab. Mereka akan menyalahkan logika-logika peralatan digital dan pada akhirnya tidak akan pernah ada jalan keluar selain menyalahkan peralatan tersebut. 

 

Berhadapan dengan kegelisahan tersebut, Gereja perlu menghadirkan suara kenabian. Gereja harus menjadi sumber informasi yang benar dan utama mengenai ajaran iman dan aneka jalan menuju Allah. Sejak berdirinya Gereja, sudah banyak doktrin dan ajaran yang dirumuskan. Hal-hal baik tersebut perlu disatukan dalam satu portal informasi yang pengemasannya ramah bagi umat zaman now. Tentu saja hal ini perlu dibarengi dengan dialog antara Gereja dan lokalitas setempat. Akan tetapi setidaknya penyediaan dan bahkan sosialisasi portal ajaran iman tersebut menjadi keharusan. Harapannya, portal ini juga bisa menjadi pelengkap atau bahkan sumber inspirasi dari pewartaan yang lebih kreatif dan holistik mengenai iman Katolik. Gereja dipanggil untuk senantiasa menjadi a connective space dimana semua orang dapat terhubung baik itu dengan Allah sendiri maupun sesama. 

 

Selain itu, betapapun peralatan digital sangat membantu bahkan bisa seolah-olah menciptakan suatu ruang dan komunitas baru, perjumpaan fisik tetap tidak bisa digantikan. Perjumpaan fisik bisa berupa kegiatan bersama atau ritual bersama atau bahkan aksi nyata kemanusiaan bersama. Menghidupi perjumpaan fisik dalam komunitas ini tidak seinstan membangun komunitas dalam ranah digital. Dengan perantaraan media, seseorang bisa memilih untuk menjadi anonim, bisa bertindak sesuka hati untuk berpindah atau hadir dalam suatu pertemuan daring, bahkan jika perlu mereka bergabung dan menghilang dengan sangat mudah melalui fitur install dan uninstall. Komitmen dan daya tahan menjadi keutamaan yang harus senantiasa diperjuangkan. Tentu saja kedua hal ini tidak bisa hanya mengandalkan perjumpaan di gawai masing-masing.  

 

Komitmen dan daya tahan harus menjadi fokus pertama-tama bukan karena masyarakat yang tidak pernah mendapatkan banyak hal untuk mengisi kekurangan dalam diri mereka melainkan apa yang ditawarkan oleh pihak di luar dirinya bersifat sementara, untuk saat tertentu saja. Situasi ini akan memaksa orang untuk terus bergerak pada tingkat kesulitan selanjutnya. Keadaan ini layaknya seseorang bergerak pada kepuasan hidup singkat yang dapat diperoleh melalui konsumsi atas suatu produk. Kepuasan ini hanya akan diperoleh melalui kelekatan pada benda-benda yang pada waktu tertentu hilang atau pudar sehingga memaksa manusia untuk terus melangkah dan mencari pemenuhannya pada tahap selanjutnya. Hal ini juga muncul terkait dampak topik pembicaraan yang tidak pernah bertahan lama. Isu-isu yang beredar dengan cepat akan terganti dan tiba-tiba hilang dengan sendirinya.

 

Dalam situasi yang sedemikian cair itu, Zygmunt Bauman, seorang filsuf dan sosiolog, mengusulkan ruang publik sebagai tempat aktivitas bersama masyarakat sipil. Ruang publik adalah ruang moral yang dimotivasi oleh pertanyaan keadilan. Dalam ruangan inilah dialog publik yang semakin memperluas wawasan moral justru jauh lebih penting daripada komitmen normatif atau prosedural untuk mencapai suatu konsensus rasional. Dalam hidup menggereja, inspirasi ini juga dapat dipertimbangkan, khususnya oleh Gereja Indonesia. Salah satu kekhasan Gereja Indonesia akhir-akhir ini adalah gencarnya kegiatan dialog khususnya dengan pihak-pihak di luar Gereja. Bahkan bukan hanya dialog. Gereja Indonesia juga mengusahakan adanya kerja bersama untuk menjunjung dan memperjuangkan kembali nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini juga tampak jelas pada tema-tema Sidang KWI beberapa tahun terakhir yang menunjukkan komitmen untuk terus terlibat dalam permasalahan bersama bangsa Indonesia.  

 

Selain keterlibatan pada situasi masyarakat, ritual dalam kelompok akan memperkuat ikatan sosial di dalamnya. Sebagai sumber dan puncak kehidupan Kristiani, Ekaristi mempunyai peran penting dalam mempertahankan atau memperkuat kohesi sosial baik antara manusia dengan Allah maupun manusia dengan manusia. Pemahaman akan semangat dan maksud Ekaristi dapat semakin membantu setiap orang untuk masuk ke dalam misteri kasih dan penyelamatan Allah dalam perjumpaan dengan-Nya. Menjadi tugas yang mendesak untuk memberikan pengajaran dan pemahaman iman kepada umat dengan pendekatan-pendekatan tertentu, khususnya tentang Ekaristi. Ekaristi menjadi kesempatan perjumpaan otentik antara manusia dengan Allah dan manusia dengan manusia yang diharapkan terjadi interaksi entah dalam batin maupun melalui ekspresi-ekspresi fisik.

 

Hadirnya perayaan Ekaristi daring dan penerimaan komuni kudus secara rohani sebagai alternatif di tengah situasi sulit ini tetap menghadirkan diskusi. Banyak orang merasa terbantu dan tersapa karenanya tetapi tidak sedikit pula yang mengalami kesulitan untuk menghayatinya. Beberapa orang pasti merasa tidak nyaman karena ada tantangan yang besar untuk membedakan mengikuti perayaan Ekaristi daring dengan menonton film. Katherine G. Schmidt secara serius melihat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan terkait perayaan Ekaristi daring. Jika tidak hati-hati perayaan Ekaristi daring bisa jatuh pada dualitas di mana imam atau pemimpin paroki menjadi produsen konten dan peserta awam sebagai konsumen pasif8 . Gereja tidak berbeda dengan para produsen lainnya yang terus memproduksi konten untuk menjawab kebutuhan umat. Tampaknya hal ini perlu menjadi perhatian penting para teolog dan juga Gereja untuk memikirkan dualitas yang mungkin terjadi ini seandainya setelah situasi krisis ini berakhir, perayaan Ekaristi daring tetap “dilanjutkan.”

 

Ada pula yang kesulitan untuk menciptakan suasana yang mendukung layaknya mereka berpartisipasi pada perayaan Ekaristi di Gereja, termasuk juga membangun perasaan kebersamaan dalam perayaan. Perayaan Ekaristi daring memaksa hilangnya kebersamaan dan perjumpaan fisik. Syukurlah bahwa Gereja mengenalkan dan mengajarkan bahwa lewat pembaptisan kita semua dimasukkan ke dalam persekutuan para kudus. Perasaan ini tidak hanya terus menghubungkan kita dengan para kudus di surga tetapi juga semua orang di dunia yang menjalin ikatan yang sama dengan Tuhan. Akan tetapi, dalam tema ini Paus Fransiskus justru memperingatkan adanya bahaya iman melalui konsumsi media. Paus mengatakan bahwa iman melalui konsumsi media bukanlah Gereja. Situasi isolasi yang terpaksa dilakukan bisa menghadirkan bahaya orang-orang hidup dengan iman hanya untuk dirinya sendiri, terlepas dari sakramen, Gereja, dan Umat Allah9 . Situasi saat ini merupakan situasi sulit yang memaksa “bentuk alternatif” tetapi pada dasarnya Gereja selalu bersama umat dan sakramen. Memang benar bahwa relasi intim dengan Yesus itu bersifat personal tetapi selalu dalam komunitas. Hubungan yang setia dengan Allah juga harus terwujud secara nyata sebagaimana yang juga telah dijalani oleh para rasul sebagai sebuah komunitas dan dengan Umat Allah. Secara singkat hal ini juga masih menunjukkan tegangan-tegangan antara kemajuan teknologi dengan ajaran dan penghayatan dalam Gereja.

 

Dari pengalaman misa daring dan penerimaan komuni kudus secara rohani ini kita dapat melihat sebuah semangat Gereja yang ingin terus memperjuangkan keselamatan jiwa-jiwa sekalipun harus terus beradaptasi dan memanfaatkan kebaruan-kebaruan yang terjadi di dunia ini. Teknologi terbukti memfasilitasi itu semua bahkan juga menarik Gereja untuk berada pada level yang lebih tinggi. Pemanfaatan teknologi menjadi bukti bahwa Gereja tidak begitu saja menolaknya sebagai hal yang bertolak belakang dari dimensi spiritual. Teknologi justru mengajak Gereja untuk terus lahir bahkan kreatif dalam menanggapi tantangan zaman. Dikotomi spiritual dan duniawi tampaknya tidak bisa begitu saja dipertentangkan. Teknologi yang berkembang tidak hanya menjadi perpanjangan tangan tetapi juga meningkatkan ikatan di dalam Gereja yang telah terbentuk sebelumnya pada level persekutuan yang lebih tinggi. Hal ini tetap mengandaikan adanya ikatan kuat dalam perjumpaan fisik lebih dulu di dalam Gereja. Dengan demikian pemanfaatan teknologi juga bisa mengantar seseorang untuk masuk ke dalam perjumpaan serta ikatan di dalam Gereja fisik dan bukan mencerabutnya.

 

Kontributor: P. Hendricus Satya, S.J. – Tim Komunikator Jesuit Indonesia

Referensi:

1. Antonio Spadaro, Cybertheology: Thinking Christianity in the Era of the Internet (New York: Fordham University Press, 2014), 35.

2. Paus Paulus VI, Inter Mirifica (4 Desember 1963). art.1.

3. Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi (8 Desember 1975). art. 45.

4. Paus Benediktus XVI, Address of His Holiness Benedict X V I to Participants in the Plenary Assembly of the Pontifical Council for Social Communications (Vatican: 2011).

5. Paus Yohanes Paulus II, Rapid Development (24 Januari 2005). art. 2.

6. PEW Research Center, Online Religious Services Appeal to Many Americans, but Going in Person Remains More Popular dalam https://www.pewresearch.org/religion/2023/06/02/online-religious-services-appeal-to-many-americans-but-going-in-person-remains-more-popular/

7. Stewart M. Hoover, “Concluding Thoughts: Imagining the Religious in and through the Digital,” dalam Digital Religion : Understanding Religious Practice in New Media Worlds., edt. Heidi A. Campbell (Oxon: Routledge, 2013), 267.

8. Collen Dulle, “Corona Virus Has Cancelled Public Masses. How Can We Participate in Our Own Homes?,” diakses pada 21 April, 2020. tersedia dari https://www.americamagazine.org/faith/2020/03/31/coronavirus-has-cancelled-public-masses-how-can-we-participate-our-own-homes.

9. Catholic News Service, “Pope Warns of Danger in Online Masses,” diakses pada 21 April, 2020. tersedia dari https://www.catholicweekly.com.au/pope-warns-of-danger-in-online-masses/.

More
articles

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *