Kita mengetahui bahwa peringatan 500 tahun pertobatan St. Ignatius (2021) dan 400 tahun kanonisasinya bersama St. Fransiskus Xaverius (2022) dirayakan bersamaan dengan ulang tahun Provinsi Indonesia (Provindo) yang ke-50 (1971). Kita ingat bahwa pada tahun 1859 datanglah para misionaris Jesuit asal Belanda dan akhirnya pada 4 Februari 1956 Pater Jenderal Joannes Janssens, S.J. menetapkan Indonesia yang sebelumnya berstatus tanah misi di bawah Belanda menjadi Vice Provinsi. Selanjutnya, pada 8 September 1971, pesta kelahiran Santa Maria, Pater Jenderal Pedro Arrupe, S.J., menetapkan Vice Provinsi Indonesia menjadi Provinsi Indonesia (Petrus Arrupe-Praep. Gen. Soc. Iesu, “Decretum quo viceprovincia Indonesiana erigitur in Provinciam”, AR 15 [1971], 752-753). Dua peristiwa tersebut, 500 tahun pertobatan St Ignatius dan 50 tahun Provindo, secara bersamaan cukup sering muncul dalam pikiran dan perasaan saya. Pada saat masuk Gereja del Gesù, Roma, dua momen sejarah rohani dan rasuli Serikat tersebut menyempit menjadi St. Ignatius dan Pedro Arrupe, dua Jenderal Serikat dan sama-sama berasal dari Bask, Spanyol. Biasanya pada hari Minggu, di del Gesu misa dimulai pukul 08.00 (dalam memori afektif, rasane kaya misa Minggu pukul 05.30 di Kotabaru). Setelah ikut misa, saya sejenak berdoa pendek di tiga tempat, yaitu di hadapan patung Maria della Strada, Ignatius, dan Pedro Arrupe. Saya berdoa di hadapan tiga pribadi dengan beragam intensi, baik untuk pribadi maupun permohonan teman atau kenalan. Jika kadang muncul dorongan doa karena tidak kerasan dan pengen pulang, maka ketika berdoa di depan makam Pedro Arrupe, saya malah malu sendiri, heeeee; apalagi pada saat membaca bagian teks doa yang berbunyi, “Dia telah memberikan dirinya kepada-Mu, sepenuhnya, baik dalam aktivitas tugas perutusannya, maupun dalam memimpin sesama saudaranya dalam Serikat; baik pada saat dia sehat, maupun juga pada saat sakitnya.” Yang terbayang adalah pemberian diri Pedro Arrupe sebagai Jesuit sampai habis, menderita stroke dan tak berdaya di ujung hidupnya. Kita bersyukur bahwa Tuhan menganugerahi, tidak hanya St. Ignatius, tetapi juga Provinsi kita, seorang Pedro Arrupe. Dalam surat penetapan Provinsi tersebut Pater Arrupe mengungkapkan optimismenya karena melihat banyak orang muda di Provindo. Membaca tulisan-tulisan beliau dan tulisan-tulisan tentang beliau, kita merasakan bahwa Serikat berjalan benar dalam kepemimpinannya yang ditandai oleh kesetiaan kuat dan mendalam terhadap semangat Konsili Vatikan meskipun ini tidak berarti semua itu tanpa kesulitan. Ada energi dan kreativitas rasuli yang mengalir dari kedalaman rohaninya. Tantangan dunia dan persoalan kemanusiaan sebagai bagian dari panggilan dan tantangan perutusan Serikat disuarakan oleh Pedro Arrupe secara jelas. Karena itu, pun kalau dalam memandang dan membayangkan Pedro Arrupe kita berhadapan dengan sosok pribadi yang optimistis, seperti dikatakannya sendiri, hal tersebut dimungkinkan karena bekal utamanya adalah cinta Tuhan; oleh karena kebersatuannya dengan Tuhan. Bekal ini memampukan Pedro Arrupe menatap dunia dengan segala tantangannya dan selanjutnya mengundang anggota Serikat merasul sebagai pribadi yang optimistis. “Soy optimista y lo creo, la razón de ser de este optimismo es la gran confianza en Dios y que estamos en sus manos.” Saya optimis dan saya rasa, alasan optimisme ini adalah kepercayaan yang besar akan Tuhan dan karena berada di tangan-Nya. Atau, ketika majalah Rohani, dalam edisi khusus Januari 2022 menyajikan Pedro Arrupe memberi keterangan MENDAKI JALAN SUKACITA. Di situ hendak disebarkan penggambaran sekaligus rangkuman hidup Pedro Arrupe yang berakar pada cinta Tuhan dan sukacita sejati mengalir dari cinta Tuhan serta menjadi kekuatan menjalankan perutusan. Sukacita Pedro Arrupe ini merupakan penghiburan rohani atau konsolasi sejati. Jenis sukacita dan konsolasi yang bisa digali dan diserap pembelajarannya dari Pedro Arrupe ini bisa ada berada bersama kesulitan, tantangan, serta ketidakberdayaan yang menyertai komitmen seorang Jesuit di jalan panggilan dan tugas perutusannya. Artinya, dari Pedro Arrupe kita bisa belajar menjadi optimistis dalam pelbagai kesulitan yang menyertai peziarahan hidupnya. Dalam semua itu, secara pribadi saya merasakan sosok Arrupe itu seperti menghadirkan St. Ignatius di masa kini dan melalui Pedro Arrupe, St. Ignatius Loyola terasa lebih dekat. “Pedro Arrupe: Ignatius Loyola yang dekat dengan kita.” Inspirasi rohani dan rasuli hidup dan kepemimpinannya seperti mengatakan, apa yang merupakan karya Roh Tuhan pada diri St. Ignatius dan Serikat pada abad-abad silam itu masih terus relevan dan berdaya untuk hidup di masa kini. Dalam doa dengan pengantaraan hamba Allah, disebutkan bahwa keutamaan Pedro Arrupe meyakinkan banyak orang, yaitu bahwa dirinya membantu dengan teladan dan inspirasinya dalam menghayati Injil dan menjadi saksi kenabian di dunia ini serta menyemangati dan menginspirasi setiap orang untuk menghayati imannya di setiap budaya, situasi sosial, politik, agama, dan menjadi manusia bagi sesamanya (Bdk. “Doa dengan pengantaraan hamba Allah Pedro Arrupe,” Postulazione Generale della Compgania di Gesù, Borgo Santo Spirito, 4 – I-00193 ROMA postolazione@sjcuria.org). Keutamaan iman demikian ini berharga layak dan mesti kita serap dan sebarkan kepada sesama. Sekadar contoh, gagasan men for others (1973) yang disampaikan pada kongres internasional para alumni sekolah-sekolah Jesuit Eropa (Valencia, 31 Juli 1973), terus menggema kuat sampai sekarang dan menginspirasi sekolah-sekolah Jesuit karena membahasakan inti panggilan Serikat. Inspirasi dan gagasan ini membahasakan karakter spiritualitas Serikat, yaitu membantu jiwa-jiwa para alumni. Beberapa waktu lalu, Rm Melkyor Pando, S.J. (2017) membuat studi bertema men for others dengan basis anak-anak SMA Kolese Loyola dan konteks zaman ini, yaitu budaya digital. Dalam studi tersebut kurang lebih disimpulkan bahwa karakter atau sisi men for others ini tetap menjadi kontribusi formatif yang sangat penting bagi anak-anak SMA Kolese Loyola zaman ini. Sudah barang tentu, dengan perspektif yang lebih luas, bahkan dapat dikatakan bahwa aspek men for others bisa menjadi alat ukur elementer kesejatian spiritualitas Ignatian. Dalam konteks sejarah Serikat, Peter-Hans Kolvenbach membuat penggambaran yang bagus dengan membaca jejak-jejak Pedro Arrupe bersama jejak- jejak St. Ignatius dan St. Yoseph Pignatelli. Dikatakan bahwa keduanya, baik Pignatelli maupun Arrupe, berada dalam masa-masa sulit dan kritis hidup Serikat. Dikatakan bahwa dengan kesabaran dan kesetiaannya, Pignatelli bertindak sebagai jembatan antara Serikat yang dibubarkan dan Serikat yang direstorasi. Sementara Arrupe, dengan keberanian dan semangatnya, melaksanakan apa yang dikehendaki oleh Vatikan II bagi pembaruan hidup bakti dan pembaruan Serikat. Peter-Hans Kolvenbach menggambarkan Pignatelli dan Arrupe sebagai penerus sejati Ignatius terutama semangat dalam “mencari dan mendiskresikan apa yang Tuhan kehendaki bagi kehidupan dunia ini, tidak dalam arti yang abstrak, tetapi sangat konkret, di sini dan saat ini, di dalam kehidupan setiap pribadi, Gereja, dan dunia”