Single parent, sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehku. Pasanganku seorang eksekutif muda yang bekerja di luar negeri. Kami menikah bulan Februari tahun 2004. Setelah sebulan menikah, ia kembali lagi ke luar negeri untuk bekerja dan aku sudah hamil. Namun setelah beberapa bulan, aku kehilangan kontak dengan dia dan keluarganya walaupun sebenarnya tidak ada masalah di antara kami. Akhirnya aku memutuskan untuk fokus pada kehamilanku. Aku menukar kemarahan dan kejengkelanku untuk menyiapkan kelahiran dengan terus berdoa agar diberi kekuatan dan memaafkan yang sudah terjadi. Aku memutuskan untuk melahirkan di Jogja, di kota kelahiranku, ditemani oleh kedua orang tuaku. Dan anakku pun lahir ke dunia, seorang bayi laki-laki tampan yang kunanti selama ini.
Setelah tiga bulan menemani bayi mungilku, aku kembali mengadu nasib ke Jakarta dan kembali menjadi wartawan. Anakku kutitipkan kepada kedua orang tuaku di Jogja. Selama tujuh tahun, dengan naik pesawat atau juga kereta api kelas ekonomi, setiap akhir pekan aku pulang pergi Jakarta-Jogja untuk menemui buah hatiku. Saat bertemu dengan anakku, rasanya semua rasa lelah karena perjalanan, bekerja, dan kuliah terbayarkan.
Aku sering meminta izin kepada kedua orang tuaku untuk membawa anakku ke Jakarta dan tinggal bersama denganku namun mereka tidak pernah memperbolehkannya karena aku belum memiliki tempat tinggal sendiri. Suatu hari ada seorang teman menawariku apartemennya yang akan ia jual karena tidak cukup luas untuk ditinggali bersama keluarganya. Akhirnya, aku memutuskan untuk membeli apartemen itu. Aku pun kembali meminta izin kepada orang tua untuk membawa anakku tinggal di Jakarta, namun tetap saja tidak diperbolehkan karena aku belum memiliki pasangan.
Di umurnya yang menginjak tujuh tahun, anakku belum bisa membaca dan menulis sampai orang tuaku bingung mengatasinya. Akhirnya aku meminta izin kembali untuk membawa anakku tinggal bersamaku di Jakarta agar aku bisa mengajarinya membaca dan menulis. Kali ini mereka mengizinkannya. Dalam waktu sebulan anakku sudah bisa membaca dan menulis.
Bukan hal yang mudah menjadi seorang single parent. Ada banyak tantangan yang harus dilalui. Salah satunya adalah ketika anak baru berusia tiga tahun, ia bertanya, “Aku gak punya ayah ya?” Hal yang berat untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya terjadi ketika dia masih kecil. Namun aku mencoba jujur dari awal untuk menceritakan bagaimana kondisi sebenarnya. Selain itu, ada rasa yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata ketika menatap anak yang melihat temannya dijemput atau bermain dengan ayahnya. Anakku sepertinya merindukan sosok ayah dalam hidupnya. Namun aku selalu berusaha untuk mengajak dia bermain atau melakukan sesuatu untuk mengalihkan kerinduannya kepada sosok ayah.
Tantangan tidak hanya datang dari anakku saja, namun juga dari orang-orang sekitar. Terlepas dari semua itu aku memiliki prinsip bahwa segala sesuatu hal yang dibicarakan di belakangku aku anggap tidak ada. Jika memang membutuhkan penjelasan atau tidak nyaman denganku silakan berbicara langsung di depanku. Toh, sampai berapa lama mereka akan bertahan dan membicarakan aku. Dan aku beruntung berada di lingkunganku yang respek dengan kondisiku sebagai seorang single parent.
Ketika aku mendaftarkan dia sekolah, aku menceritakan statusku yang single parent dan meminta pihak sekolah untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap anakku. Dan aku mengajarkan ke anakku bahwa proses dan kejujuran dalam mengerjakan sesuatu lebih penting daripada hasil. Nah, waktu itu anakku mendapatkan nilai 2,5 untuk ulangan matematikanya. Saat aku tanya, ia jawab bahwa itu sudah naik karena sebelumnya hanya mendapat nilai 2 dan bahkan temannya ada yang mendapat nilai di bawahnya. Ia menggarisbawahi bahwa ia telah mengerjakan ulangan dengan jujur. Menurutku jawabannya keren meskipun dalam hati aku merasa geli.
Sejak ia masih kecil aku selalu berpesan kepadanya bahwa sekolah menyenangkan atau tidak menyenangkan tergantung bagaimana kita menikmati dan menjalaninya. Karena di sekolah bukan bagaimana kita mencari nilai, tidak harus pintar di pelajaran ini atau itu. Yang terpenting adalah kita bisa menikmati proses belajar, berteman, dan membentuk karakter. Dari situ, ia mulai menentukan sendiri di mana ia akan bersekolah dan mengurus sendiri semua kebutuhan untuk mendaftar sekolah.
Dalam hal pendidikan iman Katolik, aku merasa belum begitu maksimal dalam mendampingi anakku. Sejak kecil dia didampingi oleh orangtuaku, diajak ke gereja, diajari berdoa secara Katolik, dan juga bersekolah di sekolah Katolik. Dan ini menjadi PR besar untuk mengajak anak berdiskusi mengenai agama, kemanusiaan, dan berbuat baik. Sejauh ini aku menanamkan hal baik untuk anakku dan dia mau menerima walaupun terkadang kami harus beradu pendapat.
Proses menjadi orang tua bukanlah menjadi hal yang mudah karena harus terus-menerus belajar. Cara mendampingi anak pun akan berubah sejalan dengan tahap pertumbuhan mereka. Ketika masih kecil, kita mungkin bisa mendikte mereka, namun ketika mereka menjadi remaja, maka kita belajar untuk menjadi teman mereka.
Dan keluarga kudus merupakan sebuah gambaran perjalanan hidup yang penuh kepasrahan yang bukan berarti lemah dan tidak melakukan apa-apa. Mampu pasrah untuk kemudian bangkit kembali. Ini seperti kisah Bunda Maria yang dalam kondisi hamil harus berjalan jauh ditemani Yusuf suaminya. Mereka ditolak di penginapan dan akhirnya Maria harus melahirkan di kandang. Sebuah kepasrahan yang luar biasa yang dimiliki oleh Bunda Maria dan Yusuf. Mereka percaya bahwa ini jalan yang harus mereka tempuh. Yesus lahir di kandang namun kelahirannya disambut para malaikat dan gembala. Seperti halnya hidup, apapun yang menimpa kita, baik suka maupun duka, patutlah untuk dirayakan.
- Emmy Kuswandhani – Single Mother