PENDAHULUAN
Menjadi orangtua tunggal pada umumnya bukanlah pilihan. Ini menandai perubahan besar dalam hidup seseorang entah disebabkan cerai hidup, cerai mati, ditinggal merantau, tugas studi, dinas militer, dan sebagainya. Jumlah orangtua tunggal dewasa ini meningkat. Di Indonesia ada sekitar 7 juta orangtua tunggal dan lebih dari 70 persennya adalah perempuan. Mereka harus berperan ganda menjadi ibu sekaligus bapak, atau sebaliknya. Para orangtua tunggal berjuang menghidupi keluarga dengan melibatkan banyak faktor, antara lain faktor sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan iman atau agama. Tulisan ini bermaksud mengulas tentang orangtua tunggal dari perspektif iman kristiani.
TINJAUAN BIBLIS
Dalam tradisi Yahudi, janda adalah salah satu kelompok yang wajib mendapat perhatian dan santunan. Seorang janda dianggap memiliki banyak kelemahan, antara lain statusnya di mata hukum, kehidupan sosial bermasyarakat, dan masa depannya. Hagar (isteri kedua Abraham) menjadi orangtua tunggal bagi anaknya, Ismael, akibat diusir oleh Abraham atas permintaan Sara (isteri pertama) yang tidak menghendaki Hagar tinggal bersama mereka. Karena kehabisan air minum, Ismael hampir dibuang oleh Hagar. Berkat bimbingan malaikat Tuhan, Hagar membatalkan niatnya lalu mengambil kembali dan mengasuh Ismael sampai Ismael menjadi orang yang berkenan di mata Allah. Maria menjadi orangtua tunggal bagi Yesus setelah Yusuf wafat. Maria setia menemani anaknya Yesus di jalan salib dan bahkan sampai wafat-Nya. Kisah janda di Sarfat yang berani berbagi dari kekurangannya (1 Raj 17:7-16), persembahan janda miskin di bait Allah (Mrk 12:41-44), dan permohonan janda di Nain kepada Yesus bagi kesembuhan anaknya yang sakit (Luk 7:11-17) memberikan banyak inspirasi dan memperlihatkan dampak besar iman kepada Allah dalam kehidupan para janda.
Belum ada kesepakatan dari para ahli mengenai pendidikan iman anak dalam tradisi Yahudi, apakah hal tersebut berlangsung dalam studi formal di sekolah atau lainnya. Beberapa teks Perjanjian Lama (Ul 32:7; Ams 3:1-3; Mzm 78:3-7) mengacu pada kesimpulan bahwa hal tersebut merupakan sebuah pewarisan iman yang semula dilaksanakan orangtua di tengah-tengah keluarga, juga oleh kelompok orang beriman pada tataran lebih luas yaitu jemaat. Keluarga dan komunitas Gereja menjadi sekolah iman bagi anak agar berkembang dengan baik dalam pengetahuan, keterampilan, dan karakter.
KENAKALAN REMAJA DAN HUBUNGAN SEKS PADA USIA DINI
Dua isu utama mengenai dampak negatif terhadap anak dari keluarga dengan orangtua tunggal adalah munculnya kenakalan remaja dan kecenderungan melakukan hubungan seks pada usia dini. Ketidakhadiran salah satu orangtua berpotensi memicu stress dan perasaan tidak stabil serta inferiority (rasa rendah diri) pada anak, yang kemudian membangkitkan berbagai bentuk kenakalan sebagai kompensasi untuk memenuhi perasaan tidak lengkap di dalam dirinya.
Sebuah penelitian di Amerika Serikat membandingkan kehidupan seks seribu anak remaja usia 14 tahun yang dibesarkan tanpa ayah. Sebanyak 63,2% mengaku telah melakukan hubungan seks pada usia dini. Pada masa remaja, anak laki-laki memasuki fase pueral (dari kata “puer” yang berarti laki-laki) di mana mereka mengalami perubahan besar yakni meningkatnya hormon seksualitas dan berkembangnya organ-organ seksual serta reproduksi. Juga muncul kebutuhan atau keinginan kuat untuk memisahkan diri dari orangtua dan membentuk kelompok sendiri dengan berbagai rahasia dan keunikan di dalam kelompoknya. Ketika mengalami kesulitan, anak-anak remaja dari orangtua tunggal cenderung bercerita kepada teman dekatnya, bukan kepada orangtuanya.
Sumber-sumber bantuan yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasinya adalah keteladanan hidup orangtua tunggal, peran sistem keluarga besar (extended family system), komunikasi yang tepat antara orangtua tunggal dan anak, pendidikan seks pada usia dini, pembelajaran iman sejak dini, katekese khusus anak-anak dari orangtua tunggal, dan pengalaman berjumpa dan membangun relasi dengan role model orangtua seperti paman, bibi, guru, pemuka agama yang dapat dipercaya.
ALLAH ADALAH SEKALIGUS AYAH DAN IBU
Tidak utuhnya orangtua dalam sebuah keluarga juga mempengaruhi proses identifikasi dalam pencarian jati diri, relasi-relasi sosial, dan perkembangan iman anak-anak mereka. Dalam hidup doa misalnya, ada sebuah kecenderungan bahwa anak-anak yang tidak mengalami kasih sayang ayahnya menjadi sulit menghayati Allah sebagai Bapa dan anak-anak yang kurang mengalami kedekatan dengan ibunya sulit menghayati Allah sebagai Ibu atau tidak tertarik untuk berdevosi kepada Bunda Maria. Karena keluarga adalah seminari pertama untuk anak maka penghayatan iman perlu dimulai dari orangtua. Proses kehilangan dan pemulihan membutuhkan formasi kehidupan batin yang baik di pihak orangtua tunggal. Kerja sama Hagar, Maria, dan janda di Nain masing-masing dengan rahmat Allah melalui para utusan-Nya membuahkan kehidupan iman yang matang di mana para orangtua tunggal dan anak-anak mereka hidup berkenan kepada Allah.
Allah selalu disebut sebagai Bapa dan Yesus disebut sebagai Putera yang kedua-duanya berjenis kelamin laki-laki. Bagaimana anak-anak yang tidak mengalami figur ibu dapat menangkap gambaran Allah sebagai Ibu? Roh yang menyatukan Allah Bapa dan Allah Putera memuat sifat dan karakteristik feminin dalam banyak ungkapan seperti Bapa penuh kasih sayang, Allah Maharahim, Allah Pengasih dan Penyayang, Yesus yang manis dan lemah lembut, Allah Pemelihara Kehidupan, dan sebagainya. Roh Kudus adalah dimensi feminin Allah Tritunggal sehingga kita dapat menyapa Allah sebagai Bapa dan Ibu bagi semua orang beriman. Gereja juga disebut sebagai Ibu yang memberi kita kelahiran baru melalui Sakramen Baptis. Kata ganti subjek ketiga untuk Roh Kudus dan Gereja dalam teks-teks bahasa Inggris adalah “She” (dia, perempuan), bukan “He” (dia, laki-laki).
TANGGUNG JAWAB BERSAMA
Banyak institusi memanfaatkan tiga tahap akhir perkembangan psikososial yang ditawarkan Erikson, sebagai titik tolak untuk membantu para orangtua tunggal melakukan rekonstruksi terhadap makna dan nilai-nilai kehidupan sehingga dapat berproses dengan baik dari tahap kehilangan menuju pemulihan yang efektif serta produktif. Tiga tahap tersebut adalah Intimasi (dalam cinta), Generativitas (dalam pekerjaan), dan Integritas (dalam spiritualitas).
Selain itu, keluarga sebagai persekutuan hidup dan cinta perlu mengembangkan self supporting agar makna dan nilai-nilai kehidupan dapat dihayati secara kreatif dan bertanggung jawab oleh semua anggota keluarga dengan orangtua tunggal. Dalam Marriage Encounter (ME) ada sebuah metode yang disebut Deeper Dialogue, yaitu metode yang terdiri atas lima langkah dengan tujuan membangun relasi yang produktif dan lebih akrab. Lima langkah tersebut adalah saling mengomunikasikan mengenai 1) bagaimana perasaanku, 2) bagaimana pikiranku, 3) bagaimana sikap dan perilaku, 4) kebutuhan apa yang sedang aku kejar, dan 5) bagaimana saya menangani kebutuhan tersebut. Deeper Dialogue bukan hanya bermanfaat bagi pasangan suami-isteri melainkan dapat sungguh efektif bila dilakukan oleh orangtua tunggal bersama anak-anak mereka. Tanggung jawab membangun relasi yang positif bukan melulu berada di pundak orangtua tunggal, namun sejak dini perlu diperkenalkan kepada anak dan diajarkan sebagai tanggung jawab bersama.
PENUTUP
Menjadi orangtua tunggal bukanlah aib melainkan sebuah panggilan luhur untuk melanjutkan karya penyelamatan Allah melalui keluarga guna memperoleh kepenuhannya di dalam Kristus Yesus yang kita imani. Allah adalah Bapa sekaligus Ibu, Ia Mahaadil sekaligus Maharahim, perkasa sekaligus lembut. Bersama Keluarga Kudus Nazareth kita ingin menyambut setiap rahmat agar semua keluarga, khususnya anak-anak dari orangtua tunggal, dapat dihantar secara kreatif dan penuh tanggung jawab untuk menjadi pribadi-pribadi yang mengabdi kepada kehidupan serta mampu terlibat di dalam pembangunan masyarakat dan pengutusan Gereja.
Kontributor : Monica Maria Meifung – Komunitas Awam Putri Sion