Perkenalkan, nama saya Cliff, salah satu dari admin dan pendiri SaintPedia. Izinkan saya berbagi cerita tentang akun SaintPedia beserta timnya berdasarkan sudut pandang saya dan Hendy, rekan diskusi yang membantu penulisan ini. Mungkin teman-teman yang lain akan menyampaikannya dengan cara yang mirip atau bahkan sangat berbeda. Namun, semoga apa yang saya dan Hendy sampaikan cukup mewakili apa yang hendak disampaikan oleh mereka.
SaintPedia awalnya berasal dari inisiatif dan kerinduan dua admin pertama yakni Reynald dari Semarang dan Alvino dari Padang yang terhubung di sosial media tanpa sengaja, atau mungkin lebih tepatnya, dari penyelenggaraan Ilahi. Keduanya sama-sama berminat akan devosi kepada para kudus dan memiliki beberapa relikwi. Saya kurang tahu bagaimana tepatnya mereka bisa tiba pada obrolan mengenai relikwi, tapi yang pasti mereka sepakat bahwa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas karunia relikwi yang telah mereka terima, mereka hendak membuat suatu akun Katolik di Instagram guna memperluas informasi mengenai devosi-devosi kepada para kudus dan sarana-sarananya. Tidak lama dari pembahasan itu, saya yang berada di Jakarta dihubungi oleh Reynald yang baru saja saya kenal, juga lewat sosial media. Dari sanalah kami membahas dengan lebih serius hingga pada 8 September 2020 kami mulai launching akun dengan nama SaintPedia beserta konten pertamanya, yakni katekese dasar mengenai penghormatan pada para kudus dan relikwi. Orang kudus pelindung kami adalah Beato Carlo Acutis, mengingat beliau sendiri dianggap sebagai perintis dari katekese berbasis daring. Sosok beliau tampak pada logo kami yang didesain oleh Reynald dan Josephine. Ketika tim awal mulai terbentuk, kami juga ingin memastikan bahwa akun kami akan selalu sejalan dengan ajaran Gereja. Oleh karena itu, kami meminta kesediaan RP. Antonius Hermanto, CDD untuk menjadi imam pembimbing sekaligus yang memastikan tulisan-tulisan kami tidak “nyeleneh” atau bertentangan dengan ajaran Gereja.
Lewat bantuan dan kolaborasi dari rekan-rekan akun Katolik lainnya akun kami berkembang. Kami merekrut beberapa tim tambahan dari teman-teman dan followers yang kami rasa dapat membantu kami. Perlahan, jumlah kami bertambah menjadi sepuluh orang, termasuk romo, dengan kontribusi yang berbeda-beda. Xenia membantu kami sebagai admin, Thomas membantu sebagai MC jika kami mesti melakukan live-streaming, Josephine membantu Reynald dalam proses pengeditan Canva, Hendy, Nilsen, Alvino, dan Michael membantu saya dan Reynald dalam proses penulisan artikel. Kami tidak membagi rata sejak awal peran masing-masing. Kami sepakat bahwa semua akan memberi bantuan sesuai kesanggupannya. Grup WhatsApp kami juga tidak pernah kekurangan pembahasan setiap harinya sejak awal, kecuali jika semuanya sedang sibuk dengan kewajiban masing-masing.
Saat ini, saya rasa tim SaintPedia sudah melangkah cukup jauh dari titik awalnya. Peziarahan bersama kami telah memberikan kesempatan untuk melakukan pewartaan, baik sebagai tim maupun secara individu. Beberapa kali kami menerima undangan untuk berkolaborasi dengan akun-akun katekese lainnya, akun-akun Orang Muda Katolik, akun-akun tarekat, dan lain-lain. SaintPedia juga sudah diajak untuk membawakan materi, baik di paroki maupun komunitas-komunitas. Kesempatan untuk memperluas bentuk pelayanan kami, dari hanya upload konten menjadi interaksi dengan dialog secara langsung, baik secara daring maupun luring, menjadi berkat tersendiri. Pada momen-momen seperti ini, kami diteguhkan karena menyadari bahwa kami berbicara kepada sesama saudara dalam Kristus, bukan sebatas username pada akun media sosial.
Jika kami membuka kolom komentar atau DM, kami menemukan bahwa ada juga dari antara followers yang merindukan suatu bentuk interaksi yang lebih manusiawi. Tidak sedikit yang mengambil kesempatan untuk terhubung dengan kami, baik dengan memulai diskusi maupun sekadar sambat kepada admin yang sedang membuka akun. Kami merasa terhormat jika ada di antara mereka yang merasa terbantu lewat dialog yang terjadi sehingga mengalami pertumbuhan iman dan devosinya atau dapat menemukan seorang pendengar pada kami untuk keluh kesah mereka. Kami juga merasa senang atas apresiasi-apresiasi yang sering diungkapkan oleh para followers. Sekadar “Terima kasih, Min!” sudah cukup menyemangati kami. Tentunya, semua ini kami hayati sebagai berkat yang kami terima dari Allah.
Hal lain yang tidak kalah menyenangkan adalah ketika kami berjumpa secara langsung. Meskipun anggota kami akhirnya selain Reynald, Alvino, dan Josephine berasal dari Jakarta, tetapi kebanyakan dari kami memiliki jadwal yang sangat padat. Momen-momen tertentu seperti ketika Reynald yang di Semarang atau Romo Hermanto dari Malang sedang datang ke Jakarta menjadi ajang bagi kami untuk menyempatkan diri bertemu. Reynald sendiri juga biasanya akan menyambut kami jika kami sedang berada di Semarang untuk berziarah bersama. Begitu juga dengan Romo Hermanto. Tambah menyenangkan lagi jika sedang ada event di mana kami bertemu langsung dengan rekan-rekan admin atau tim dari akun Katolik lain. Disaat-saat seperti inilah kebersamaan kami sebagai satu komunitas paling terasa.
Tentu ada saat-saat di mana semangat kami menjadi kendor. Sebagai mahasiswa dan orang muda yang baru memulai karier, kami harus pintar-pintar mengatur waktu. Ada saat di mana beberapa di antara kami terasa ‘menghilang’ karena memiliki kesibukan yang berbeda dengan anggota yang lain. Hal ini terasa menyedihkan, terlebih ketika mengingat waktu saat semuanya masih memiliki waktu senggang yang sama, sehingga terasa lebih ramai. Misalnya, dulu kami akan rutin mengadakan misa daring komunitas, tetapi semenjak pandemi berakhir sudah tidak lagi. Adanya perbedaan waktu senggang ini juga kadang menyebabkan perasaan sedih karena ada kalanya merasa kurang berkontribusi dibanding rekan-rekan yang lain. Ada kalanya juga malah perasaan yang muncul adalah kecewa dengan diri sendiri karena merasa kurang banyak berkontribusi. Meskipun demikian, kami tahu bahwa apa yang kami upayakan adalah sesuatu yang baik sehingga selalu worth it untuk memperjuangkannya.
Ada juga saat-saat di mana umat dan bahkan kalangan klerus yang meragukan atau meremehkan upaya kami. Terkadang ada pihak yang meragukan konten katekese yang kami berikan karena kami awam dan muda. Tentu secara manusiawi kami dapat saja merasa tersinggung. Namun, dalam refleksi bersama, kami menyadari bahwa hal ini merupakan tantangan bagi kami untuk menyikapi bentuk pelayanan ini lebih serius. Kami berupaya untuk memperlengkapi diri kami semaksimal mungkin agar cukup siap untuk melakukan tugas katekese ini, selain selalu memeriksakan draft konten kami kepada Romo Hermanto. Misalnya, beberapa dari kami mengambil kursus-kursus katekese dan saya sendiri mengambil kursus khusus hagiografi (riwayat hidup orang-orang suci). Sebagai pelengkap, kami juga mengambil kelas-kelas cara penulisan, pembuatan konten, dan sejenisnya. Kami berusaha untuk dapat menyajikan katekese dengan baik dan akurat.
Untuk ke depannya, kami berharap dapat terus melayani dengan cara yang sama. Rasanya, dinamika kami, sekalipun tidak sempurna, menjadi cara Allah menyapa kami masing-masing. Dari keberhasilan, kami mengalami penghiburan. Dari kegagalan, kami belajar rendah hati dan untuk lebih lepas bebas. Selain itu, ada hal baru yang ingin kami coba. Dalam waktu dekat, kami ingin merancang pameran relikwi sederhana sambil berkolaborasi dengan paroki yang mungkin berkenan menjadi tuan rumah. Kami berpikir bahwa event seperti ini bisa menjadi sarana berkatekese. Bahkan, jika disertai dengan pengumpulan dana, mungkin dapat membantu mendanai keperluan-keperluan tertentu dari Gereja. Selain itu, kami juga sedang merencanakan proses rekrutmen anggota baru. Mungkin tidak banyak, tetapi kami merasa bahwa sudah saatnya mempersiapkan orang-orang baru untuk membantu karya pelayanan kami supaya sukacita dan berkat yang kami alami dapat diteruskan pada lebih banyak orang.
Ada dua pesan yang ingin kami sampaikan kepada kaum muda yang membaca tulisan ini. Pertama, dari banyak kesempatan kami membaca kisah-kisah para kudus, rasanya aman jika kami menyimpulkan bahwa menjadi kudus adalah proses yang tidak akan pernah berhenti selama kita masih hidup. Oleh karena itu, kita perlu untuk mengasihi diri kita. Maksudnya, bukan membiarkan diri sendiri berbuat dosa sesuka hati, melainkan berhenti menghukum diri sendiri ketika sudah jatuh dalam dosa, lagi dan lagi. Menjadi terlalu ekstrem tampaknya sudah menjadi bentuk kesombongan. Jika kita diminta untuk menyangkal diri, maka hal itu juga berarti melawan penghakiman yang kita lakukan pada diri sendiri dan dengan rendah hati bersabar. Dikisahkan bahwa suatu kali Santo Antonius, Abbas harus bolak balik tujuh kali untuk mengambil air dari selnya di padang gurun ke mata air yang jauh letaknya karena setiap kali ia berjalan kembali dari mata air tersebut setan akan mendorongnya hingga jatuh dan kendinya pecah. Selama itu, Santo Antonius hanya diam, tidak mengeluh, dengan sabar bangun dan berjalan untuk mengambil air kembali. Melihat kesabarannya, akhirnya Allah membebaskan Antonius dari gangguan setan. Terkadang, yang kita perlukan adalah kesabaran dan bangun kembali setiap jatuh. Kita yakin bahwa Tuhan dalam belas kasih-Nya tidak akan tinggal diam.
Kedua, sedikit terkait dengan hal pertama, jika kita tahu bahwa menjadi kudus bukan berarti menjadi sempurna dalam sekejap, maka jangan ragu untuk menanggapi panggilan untuk melayani dan berkomunitas. Kita tidak perlu menunggu sempurna terlebih dahulu supaya kita dapat mulai melayani atau mewarta. Bukan begitu cara Allah bekerja. Yesus biasa menjadikan orang yang tidak sempurna sebagai rekan kerja-Nya dan memperlengkapinya dengan rahmat yang dibutuhkan. Kita melihat hal ini dalam diri para rasul, khususnya Santo Petrus yang temperamental tetapi Ia jadikan gembala bagi domba-domba-Nya. Jika Yesus bisa menjadikan Petrus rekan kerja-Nya, maka Ia juga bisa melakukan hal yang sama kepada kita. Kalau dahulu Petrus dan para rasul mewartakan Injil dengan turun ke jalan-jalan dan tempat-tempat umum, maka ’jalan-jalan’ dan ’tempat umum’ generasi kita adalah media sosial yang kita gunakan. Mewartakan kabar sukacita belum pernah sepraktis ini! Maka, tuntutan kita untuk bersaksi menjadi lebih kuat.
Jangan juga kita enggan berkomunitas karena merasa tidak sesuci yang lain. Ranting yang tidak terhubung dengan lainnya akan mati dan jatuh. Jika kita mau menjadi suci, justru kita harus tetap terhubung dengan komunitas kristiani, Gereja, Tubuh Mistik Kristus. Tidak ada orang kudus yang hidup sendirian. Bahkan para pertapa kudus, seterpencil apapun tempat mereka tinggal, mereka masih memerlukan komunitas umat beriman, tempat mereka menerima sakramen-sakramen. Maka, jika kamu belum sanggup membuka diri bagi banyak orang, mulailah dengan mendatangi satu atau dua orang yang kamu percayai, siapa tahu perlahan-lahan kamu mulai merasa aman untuk berpartisipasi dalam komunitas yang lebih besar. Karunia-karunia yang kamu miliki sejatinya sangat dibutuhkan untuk meneguhkan umat Allah lainnya!
Kontributor: Cliff Tedyanto – Saintpedia