capture imaginations, awaken desires, unite the Jesuits and Collaborators in Christ mission

Dunia Digital dalam Masyarakat

Date

1. Dunia digital dan dampaknya bagi penggunaan media digital bagi masyarakat

Kini zamannya media, disebut era komunikasi mandiri massal. Media menjadi penting sebagai sarana utama membangun identitas dan berbagi narasi secara online. Pada gilirannya hubungan yang dimediasi ini terwujud dalam kehidupan offline sehari-hari (McQuail & Deuze, 2020). Tanda-tandanya, makin lama makin banyak orang, tapi tidak semua, menggunakan cellphone (HP). Kita mudah menjumpainya, di keramaian, kampus, sekolah, gereja, juga di jalanan.

 

Itulah sedikit gambaran tentang dunia digital. Para pengguna bertukar pesan atau informasi dengan memakai perangkat digital yang tersambung internet. Berkat internet, pertukaran informasi tak hanya terjadi antarkota, tapi antarnegara. Tanpa batas. Dunia digital juga dikenal sebagai era informasi (information age). Sebuah era masa kini di mana kehidupan kita semakin dikelilingi lebih banyak perangkat digital ketimbang generasi sebelumnya. Keadaan yang membuat kita terhubung dengan dunia yang penuh dengan gagasan, pembelajaran, dan peluang-peluang (dictionary.cambridge.org).

 

Keberlimpahan informasi membuat seseorang memiliki banyak pilihan, meskipun sebaliknya bisa mengakibatkan kebingungan. Hidup terasa lebih mudah dan nyaman. Media sosial menghubungkannya. Ingin membaca buku, koran, menonton film, video, podcast, pesan makanan, membeli barang, atau curhat dengan teman yang jauh di seberang lautan hingga seberang negara, semuanya terkoneksi.

 

Dunia virtual memiliki dampak. Banyak dampak yang positif, namun ada juga yang merugikan terhadap individu, kelompok, dan organisasi. Juga dalam berbagai bidang, antara lain pendidikan, politik, ekonomi, dan agama. Dampak positif sekaligus negatif di bidang pendidikan terekam nyata saat pandemi Covid-19 dan setelahnya. Pembatasan di mana-mana. Orang sulit atau bahkan tidak bisa berpindah tempat atau beranjak dari rumah ke pasar, ke toko, apalagi ke luar kota. Media digital menjadi penolong, menerobos jarak dan hambatan tersebut. Pekerjaan kantor, kampus, dan sekolah tatap muka diganti daring. Dosen, mahasiswa, dan siswa tetap berada di rumah, di kos, dan malahan sambil mengerjakan aktivitas lain. Kerugiannya, konsentrasi atau fokus siswa dan mahasiswa terganggu oleh kondisi di sekitar, teman kos, saudara, tamu, termasuk gangguan suara. Dosen ngomong sendiri karena mahasiswa tak ada di layar dengan alasan jaringan terganggu.

 

Dampak buruk lanjutannya, murid SD makin akrab dengan telepon seluler dan membuatnya nyaris tak terpisahkan. Waktu bermain game lebih banyak ketimbang waktu belajar, apalagi bila tidak didampingi orang dewasa. Situasi ini juga terjadi di kalangan mahasiswa. Sebelum Covid, mahasiswa cukup berdisiplin tidak menggunakan HP di ruang kuliah. Tapi saat ini hampir tak ada mahasiswa yang mau melepaskan gawainya di kelas. Mereka menunduk, sibuk berkomunikasi dengan dunia di luar kelas.

 

Dampak lanjutannya terus berlangsung. Pertemuan tatap muka di kelas makin tak bernilai karena dianggap bisa digantikan pertemuan dalam jaringan. Laporan UNESCO tentang Pemantauan Pendidikan Global 2023 bertajuk Technology in education – A tool on whose term? mengatakan pentingnya belajar hidup, dengan teknologi digital maupun tanpanya. Namun diingatkan untuk mengambil yang diperlukan dari informasi yang berlimpah, mengabaikan yang tidak dibutuhkan, membiarkan teknologi mendukung, namun tidak menggantikannya. Hubungan antarmanusia tetap menjadi dasar pengajaran dan pembelajaran. Fokusnya harus pada hasil pembelajaran bukan masukan digital. Laporan juga mengingatkan bahwa untuk meningkatkan pembelajaran, teknologi digital tidak boleh menjadi pengganti melainkan pelengkap interaksi tatap muka dengan guru.

 

Dalam konteks Indonesia, dampak buruk di dunia pendidikan maupun sosial kemasyarakatan telah berjangkit sejak media digital masuk ke negeri kita melalui aplikasi media sosial yang semula terbatas untuk kelompok kecil lalu berkembang untuk jumlah besar. Aplikasi media sosial yang membatasi jumlah huruf atau karakter memaksa pengguna menghemat kata dan kalimat, melahirkan berbagai singkatan yang tidak wajar. Lebih buruk dari itu adalah pemakaian kata dan kalimat tidak baku. Kebiasaan sementara yang terus berulang dari waktu ke waktu membentuk kebiasaan permanen. Menulis dengan buruk, lalu membawanya ke forum resmi di lembaga pendidikan. Tulisan anak sekolah, makalah mahasiswa, artikel jurnal para dosen, hingga komunikasi tulisan di kantor pemerintah, lembaga bisnis, dan masyarakat luas tersusun dengan kacau.

 

Komitmen sebagai orang terpelajar maupun warga negara untuk menulis secara baku mengikuti kaidah bahasa Indonesia semakin merosot. Jumlah orang yang mengabaikan bahasa tulis standar ini semakin bertambah. Sebagai warga negara, mereka melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Sungguh memprihatinkan karena penyikapan atas pengabaian penghormatan kepada bahasa nasional amat minim atau hampir tidak ada. Semestinya, Bahasa Indonesia yang baku merupakan Bahasa Indonesia yang digunakan orang-orang terdidik serta dipakai sebagai tolak ukur penggunaan bahasa yang benar. Di dalam ragam yang standar ini terdapat sifat kemantapan dinamis dan ciri kecendekiaan. Bahasa selalu mengikuti aturan yang permanen, tetapi terbuka menerima perubahan yang bersistem. Ciri ragam ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk mengungkapkan proses pemikiran yang rumit di berbagai bidang kehidupan dan ilmu pengetahuan (Aminah dkk dalam Devianty, 2021).

 

2.Situasi dan kondisi komunikasi digital saat ini, khususnya di Indonesia 

Dalam pergaulan global, negara kita menduduki posisi keempat terbesar di dunia sebagai pengguna internet setelah China, India, dan Amerika Serikat. Posisi ini membutuhkan sejumlah prasyarat, seperti mengatasi kesenjangan, menjaga keamanan dan kemerdekaan berinternet, dan mengembangkan perekonomian digital.

 

Merujuk Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), terdapat 221.563.479 pengguna internet dari total populasi 278.696.200 orang dengan penetrasi sebesar 79,5% (apjii.or.id, 7 Februari 2024). Urutan penetrasi tertinggi berada di Jawa (83,64%), kemudian Kalimantan (77,42%), Sumatera (77,34), Bali dan Nusa Tenggara (71,80%), Maluku dan Papua (69,91%), terlemah di Sulawesi (68,35%) (katadata.co.id). Keadaan ini menggambarkan kesenjangan digital. Bagi Afzal dan kawan-kawan (2023), kesenjangan digital (digital divide) menyoroti kesenjangan antara kelompok terpelajar dan tidak berpendidikan. Perbedaan kepemilikan komputer, akses teknologi informasi, dan metrik dasar konektivitas internet yang menjelaskan stratifikasi sosial di tingkat nasional maupun internasional. Maka kesenjangan digital harus diselidiki. Kesenjangan di negeri kita menggambarkan ketidaksetaraan gender karena perempuan memiliki waktu lebih lebih sedikit dalam menggunakan gawai lantaran bertumpuknya pekerjaan.

 

Kegairahan bermedia sosial (medsos) warga terutama melalui WhatsApp, sebagai aplikasi paling disukai (90,9%), disusul Instagram (85,3%), Facebook (81,6%), TikTok (73,5%), Telegram (61,3%), X atau Twitter (57,5%), Facebook Messenger (47,9%), Pinterest (34,2%), Kuaishou (32,4%), dan Linkedl (25%) seyogianya dibekali dengan keterampilan literasi media. Dalam peristiwa besar pandemi Covid-19 atau pemilihan umum, para ahli dan praktisi komunikasi mendorong masyarakat membekali diri dengan literasi media agar tidak terjerumus ke dalam berbagai kerugian. Literasi digital menjadi aspek krusial saat menghadapi infodemik. Ia mencakup kemampuan memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara bijaksana dari berbagai sumber online (Birowo, 2023). Silverblatt, seperti dikutip Baran (2023) menyajikan beberapa elemen literasi media, antara lain berpikir kritis, memahami proses komunikasi massa, kesadaran akan dampak media pada individu maupun masyarakat, mengembangkan keterampilan yang efektif dan bertanggungjawab, serta memahami etika dan kewajiban moral para praktisi media.

 

Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mencatat temuan hoaks cukup tinggi pada 2023 dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada Januari terkumpul 257 hoaks atau selisih 82% dari rata-rata temuan tahun 2022. Berdasarkan kategorinya, hoaks terbanyak tentang politik, disusul kriminalitas, dan kesehatan dan bencana alam (Mafindo.or.id, 2023). Literasi digital juga penting karena maraknya kejahatan digital atau kejahatan siber (cyber crime). Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mendata kejahatan siber berupa penipuan daring, balas dendam dengan materi asusila, dan penyalahgunaan data pribadi aplikasi fintek (financial technology) sebagai peringatan pentingnya isu informasi dan transaksi elektronik (ITE), terutama untuk perlindungan data pribadi warga secara digital.

 

Ancaman lain berupa kriminalisasi terhadap media yang kritis, aktivis, dan mahasiswa. Pada tahun 2022 terdapat sebanyak 302 kasus, salah satunya serangan pada akun Twitter Mata Najwa pada September. SAFEnet mengeluarkan Panduan untuk Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Kekerasan berbasis gender yaitu kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan pada seks atau gender, termasuk tindakan yang mengakibatkan bahaya atau penderitaan fisik, mental atau seksual, ancaman untuk tindakan tersebut, paksaan dan penghapusan kemerdekaan (safenet.or.id). Di ranah offline, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mewajibkan perguruan tinggi memiliki Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual sebagai tindak lanjut Peraturan Mendikbud Ristek dan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

 

Kegairahan berinternet perlu didukung oleh daya saing digital. Berdasarkan pengukuran Institute for Management Development (2023) Indonesia berada di peringkat 64, kalah jauh dari Singapura (3), Belanda (2), dan Amerika Serikat (1). Pemeringkatan membantu pemerintah dan perusahaan memahami untuk memfokuskan sumberdaya dan menentukan praktik terbaik apa yang mungkin dilakukan saat mengawali transformasi digital (imd.org). Kita bisa melacak kota, kabupaten atau provinsi yang menyediakan jaringan internet untuk publik, layanan digital bidang administrasi, termasuk keterbukaan informasi. Di bidang bisnis, ketersediaan berbagai aplikasi memudahkan pemasaran produk milik masyarakat, usaha mikro, kecil, dan menengah, maupun pebisnis besar. Bagi pebisnis besar, e-commerce sungguh menjanjikan seturut catatan eConomy SEA 2020 di mana pasar Indonesia diproyeksikan mencapai US$ 53 miliar pada tahun 2025 dengan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) sebesar 29% dari tahun 2020 hingga 2025. Pemain utamanya adalah Shopee, Lazada, Tokopedia, dan dalam dua tahun ini TikTok hadir sebagai pemain baru (marketeers.com, 26 Juni 2023).

 

 

 

3.Aktivitas Gereja Katolik di media digital, khususnya Indonesia

“Umat Katolik harus dibangunkan dari tidur lesu mereka untuk menggunakan media demi perluasan kerajaan Kristus,” kata mendiang teologian dan pengarang, Pater John A. Hardon, S.J. (vocationpromotion.com). Pater John mengingatkan tersedianya sejumlah dokumen Gereja yang mendukung pemanfaatan internet dan media digital, antara lain seruan Paus Benediktus XVI dan Paus Johanes Paulus II dalam Inter Mirifica. Pada hari Komunikasi Sedunia 2009, Paus Benediktus XVI berbicara tentang benua digital (digital continent). Katanya, “Saya meminta Saudara sekalian untuk memperkenalkan budaya lingkungan baru dari komunikasi dan teknologi informasi, sebuah nilai di mana Saudara sekalian membangun hidup.” Inter Mirifica menegaskan, Gereja menyadari bahwa bila dimanfaatkan dengan benar, pers, TV, radio, film dan media lain dapat memberikan pelayanan yang besar bagi umat manusia karena memberikan kontribusi sangat besar terhadap hiburan dan pengajaran manusia serta untuk penyebaran dan dukungan Kerajaan Allah.”

 

Lebih jauh dijelaskan dalam Inter Mirifica tentang kewajiban-kewajiban bagi para pemakai media komunikasi sosial. Para pemakai mendukung sepenuhnya segala sesuatu yang menampilkan nilai keutamaan dan ilmu pengetahuan. Namun menghindari apa saja, yang bagi diri mereka sendiri mengakibatkan atau memungkinkan timbulnya kerugian rohani, atau dapat membahayakan sesama karena contoh yang buruk, menghalang-halangi tersebarnya informasi yang baik dan mendukung tersiarnya informasi yang buruk (Dokpen KWI, 2021).

 

Gereja Katolik Indonesia tidak tidur lesu. Konferensi Wali Gereja, Keuskupan, dan Paroki memanfaatkan media digital untuk berkomunikasi dengan umat. Pandemi Covid memaksa diselenggarakannya misa online dan bersamaan dengan itu unit Komunikasi Sosial lebih mengaktifkan perannya. Selain memiliki akun YouTube, Komsos Paroki dan Orang Muda Katolik juga membuat akun Instagram. Beberapa Keuskupan memanfaatkan podcast, seperti Bandung maupun Banjarmasin. KWI memiliki akun Instagram @komsoskwi. Dua tayangan yang disaksikan banyak penonton misalnya video Pengakuan Iman dan Janji Setia Mgr Fransiskus Nipa, Uskup Agung Makassar. Video ditonton 145.000 orang, mendapatkan 2020 likes, 58 comments pada 1 Februari 2024. Video serupa bertajuk Surat Pengangkatan dari Takhta Suci untuk Mgr Victorius Dwiary, OFMCap, Uskup Banjarmasin, memperoleh 3.543 likes dan 34 comments pada 6 November 2023. Dua contoh ini menjelaskan perhatian umat pada peristiwa yang menyangkut pimpinan Gereja.

 

Dalam perbincangan melalui aplikasi WhatsApp dengan tiga orang generasi Z di tiga kota, Yogyakarta, Bandung, dan Manado ketiganya mengungkapkan bahwa media digital milik Komsos Paroki seperti Instagram atau TikTok OMK mereka kenali dan ikuti, setidaknya untuk melihat jadwal misa. Angelica di Yogyakarta kerap memantau hitsomk dan jesuitinsight (Instagram) dan Katolikana (YouTube). Di Instagram ia diingatkan untuk berpantang dan berpuasa menjelang Paskah. Carolina di Manado menyebut sejumlah akun IG seperti omknet, dailyfeshjuice, Youtube katolikkukeren, katolikana, romo ndeso, bible learning with father Josep Susanto. Demikian pula FB milik Komsos Paroki Lembean dan Komsos Keuskupan Manado. Gabriel di Bandung kerap menyimak eKatolik, katolikpedia, IG Komsos Paroki Santo Paulus Bandung. “Yang paling sering eKatolik karena ada feature Daily Fresh Juice yang menyajikan rekaman audio singkat dan bernas untuk berdoa dan renungan tiap hari yang gampang diakses.” (Komunikasi WA, 28 dan 29 Maret 2024).

 

Kiprah para imam di media massa dan media digital menjadi perhatian Saluran YouTube Angka & Data, sebuah channel umum yang menobatkan 10 pastor terpopuler dengan tiga kriteria, memiliki jumlah pengikut (yang banyak) di akun media sosialnya, berkontribusi pada Gereja dan bangsa, serta menjadi pembicara di televisi nasional. Sepuluh imam itu adalah Magniz Suseno SJ, Eko Wahyu OSC, Josep Susanto Pr, Tabah Sapy Susanto MSC, Antonius Haryanto Pr, Yohanes Estimoer Bayu Aji Pr, Alfonsus Kolo Pr, Valentinus Bayu Hadi Ruseno OP, Aloysius Budi Purnomo, Pr dan Kenny Ang Pr.

 

Gereja hadir di ruang digital dengan konsep Digital Ecclesia. Sebuah cetusan di mana gereja merupakan ruang mendaratkan atau membumikan firman Tuhan kepada manusia zaman kini. Kehadiran teknologi memberi ruang baru gereja untuk berpastoral lebih banyak dan lebih kreatif melibatkan orang muda (Angga & Firmanto, 2023). Memang, dukungan kepada generasi muda Katolik perlu terus dinyatakan agar mereka memanfaatkan medsos untuk katekese daring. Survei nasional yang dilakukan tahun 2022 (Epafras, Suleeman & Yasmine, 2023) menunjukkan kaum muda Gen Z dan Milenial kurang memanfaatkan medsos untuk pengembangan wacana agama, terlebih topik yang bersentuhan dengan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Dalam studi Daryanto (2022), di era pasca-kebenaran yang didukung kenalan media sosial, kita harus dapat menangkap gerak Roh Kudus atas dasar cinta, tidak ikut-ikutan menebarkan kebencian seperti dilakukan Robert Spencer dalam sejumlah video propaganda anti Islam. Gereja Indonesia memanfaatkan media digital untuk membangun dan menyebarkan nilai-nilai keutamaan.

 

Kontributor: Lukas Ispandriarno, FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta

More
articles

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *