Pilgrims of Christ’s Mission

serikat yesus

Pelayanan Gereja

Peresmian Paroki St. Maria Bunda Allah Botong, Keuskupan Ketapang

Antara Mall Besar dan Kelestarian Alam Daerah Botong dan hutan di sekitarnya mulanya adalah “mall besar” yang menyediakan berbagai macam kebutuhan hidup bagi suku Dayak Kualant. Namun, saat ini “mall besar” tersebut pelan-pelan berubah menjadi daerah yang mengalami kerusakan lingkungan cukup berat. Hutan dan wilayah sekitarnya yang semula menyediakan apa saja yang bisa dinikmati oleh masyarakat, kini menjadi lingkungan yang minim sumber daya alam. Sementara jumlah penduduk terus bertambah, kebutuhan sandang, pangan, dan papan juga terus meningkat. Sumber daya alam yang kini tersisa adalah tambang emas, maka banyak orang Dayak Kualant pun melakukan kegiatan penambangan tersebut. Banyak daerah di sekitar Botong dirambah oleh mesin-mesin “dongfeng” yang digunakan untuk menambang emas. Pada akhirnya, mall besar yang ada pun semakin terancam. Bahkan aliran sungai Kualant yang sebelumnya dialiri air yang sangat jernih, kini menjadi sangat keruh. Persoalan tambang, kerusakan lingkungan, dan dampaknya pada masyarakat di Botong dan sekitarnya bukan tanpa narasi. Sudah ada banyak usaha untuk menanggapi persoalan itu, namun belum banyak perubahan yang terjadi. Bahkan, konflik antara mereka yang pro dan anti tambang pun sudah pernah terjadi dan hingga saat ini belum ada kata sepakat. Dalam homilinya, Bapak Uskup Pius Riana Prapdi, Pr meminta umat menyanyikan lagu Bunda Maria di Tepi Sungai Kualant yang diciptakan oleh Rm. Nugroho Tri Sumartono, Pr. Lagu tersebut mengisahkan tentang janji umat di tepi Sungai Kualant untuk merawat alam. Dalam refleksinya, Mgr. Pius juga menyinggung perjalanannya pada 2 dan 3 Juni 2023 saat mengunjungi Stasi Jangat dan air terjun Siling Ketupak. Pada homili di Stasi Jangat, Mgr. Pius menyinggung soal aliran sungai Kualant ini lima tahun yang lalu sangat jernih dan airnya bisa diminum. Saat ini kondisi airnya tidak lagi sejernih dulu. Kemudian saat berkunjung ke air terjun Siling Ketupak, sembari rekoleksi bersama dengan OMK Botong, Mgr. Pius masih melihat harapan. Aliran air terjun dan sungai masih sangat jernih dan bersih. Ia berharap semoga seluruh umat Botong dapat menjaga dan merawat hutan, sungai, dan tanah yang ada di bawah reksa Paroki Botong. Resmi menjadi Paroki St. Maria Bunda Allah Botong Setelah penantian selama kurang lebih 50 tahun, akhirnya Paroki St. Maria Bunda Allah Botong, Keuskupan Ketapang diresmikan. Dulunya, Wilayah Botong adalah bagian dari stasi di Paroki Balai Berkuak. Telah banyak imam dari macam-macam tarekat berkarya di Botong. Dengan sukacita, setelah Jesuit hadir di stasi Botong, proses peresmian sebagai paroki pun berjalan semakin cepat dan akhirnya pada 4 Juni 2023, Stasi Botong resmi berubah statusnya menjadi Paroki St. Maria Bunda Allah, Botong. Di paroki tersebut sekarang terdapat tiga Jesuit, yaitu Pater Philippus Bagus Widyawan, S.J. sebagai Pastor Kepala Paroki, Pater Albertus Mardi Santosa, S.J. sebagai Pastor Rekan, dan Frater Yosephus Bayu Aji Prasetyo, S.J. sebagai TOK-er. Rangkaian sukacita peresmian paroki diwarnai pula dengan peresmian dua buah kapel, yaitu Kapel Stasi Kemunduk dan Empasi. Selain kapel, diresmikan pula Puskesmas Pembantu di Stasi Jangant yang sekaligus dimanfaatkan tempat doa mingguan. Selain para imam religius, biarawan, dan biarawati, tamu yang hadir dalam peresmian ini berasal dari berbagai paroki dan wilayah. Ada juga umat yang harus menempuh lima jam jalan kaki untuk turut serta menjadi saksi peresmian paroki Botong. Tantangan yang Tersisa Untuk sampai di Paroki Botong, perjalanan dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama dengan bersepeda motor dari Balai Berkuak. Kedua dengan menggunakan mobil hingga stasi Empasi dan dilanjutkan dengan motor. Pada masa lalu Paroki Botong dapat diakses dengan perahu, namun karena debit air sungai yang semakin berkurang dan endapan lumpur yang makin meningkat, akses dengan perahu tidak memungkinkan. Entah sampai kapan akses kendaraan roda empat bisa sampai ke Paroki Botong. Menurut kabar, tahun ini ada rencana pelebaran jalan. Akses jalan yang tidak tersedia ini dengan sendirinya memperlambat proses interaksi umat paroki dengan dunia luar. Akses ke fasilitas-fasilitas lain seperti kesehatan, komunikasi, logistik, dan pendidikan akhirnya akan terpengaruh. Dari cerita para Jesuit dan juga yang saya saksikan sendiri, salah satu tantangan berat yang dihadapi umat di paroki ini adalah soal ketekunan dan kemauan untuk menerapkan hal-hal baru dalam hidup kemasyarakatan. Jesuit yang hadir di sana mencoba untuk memecahkan persoalan tersebut, misalnya dengan ‘mendidik’ orang muda untuk memiliki sikap tekun. Beberapa orang muda telah dikirim untuk belajar pertanian di KPTT Salatiga dan pertukangan di PIKA Semarang untuk melengkapi keterampilan mereka dalam kedua bidang tersebut. Namun, yang kemudian menjadi persoalan adalah bahwa ilmu yang telah dipelajari belum sepenuhnya diterapkan di sana. Harapan tetaplah ada sebab saya menyaksikan beberapa remaja bisa menjadi sangat tekun saat diajari oleh Jesuit yang berada di Pastoran. Ada enam remaja yang secara khusus dididik berdisiplin oleh Pater Mardi, yaitu setiap pukul 06.00 mereka diajari bekerja (menyapu, menanam, menyiram tanaman, membuat tanggul, dan membersihkan area pastoran). Jika mereka memiliki daya tahan, saya yakin soal prinsip ketekunan dapat diasah. Untuk itu, para Jesuit yang ada di sana telah berusaha untuk mencoba memerangi soal tersebut. Cara lain yang dilakukan adalah mengirim anak-anak Dayak Kualant menempuh studi di Jawa, misalnya belajar pada jenjang SMP, SMA, dan SMK di beberapa tempat seperti di Solo, Salatiga, dan Yogyakarta. Harapannya, mereka yang telah selesai belajar mau kembali ke Botong dan mengembangkan daerah mereka.Tantangan lain yang tidak mudah untuk dihadapi adalah memahami budaya setempat dan melakukan inkulturasi, misalnya pesta adat yang disertai minum-minuman beralkohol yang seringkali berujung saling kelahi. Peredaran obat terlarang ternyata sudah sampai juga di tempat ini. Pertanyaan reflektif yang dapat diajukan kemudian adalah bagaimana Paroki Botong dapat mengambil peran positif dan melakukan perubahan. Pastor Paroki telah seringkali mengingatkan dampak negatif ‘poyon’ atau minum alkohol sampai mabuk. Tantangan terakhir yang cukup mendesak adalah kerusakan lingkungan hidup akibat penambangan ilegal. Dampaknya sangat nyata. Misalnya, apa yang terlihat di Sungai Kualant. Akan tetapi, kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan selalu kalah dengan iming-iming keuntungan material hasil tambang. Proses pembangunan kesadaran sudah lama dimulai, paling tidak dari potongan lagu Bunda Maria di Tepi Sungai Kualant yang kita dengar, yaitu janji untuk menjaga alam sekitar. Semoga! Kontributor: F. Antonius Dieng Karnedi, S.J.

JCAP

Pater Primitivo E. Viray Jr., S.J. Presiden JCAP yang Baru

Pater Primitivo “Jun” E Viray Jr., S.J. ditunjuk sebagai Presiden Konferensi Jesuit Asia Pasifik (JCAP) menggantikan Pater Antonio Moreno, S.J. yang telah menjabat sejak tahun 2017. Melalui keputusan tertanggal 13 Juni 2023, Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J. merasa yakin akan integritas dan prinsip kehati-hatian Pater Viray dalam memimpin JCAP. Tanggal definitif serah terima jabatan dari Presiden JCAP sebelumnya memang belum ditentukan. Sebagai Presiden JCAP, Pater Viray akan berkolaborasi dengan para Superior Mayor JCAP untuk mengimplementasikan keputusan-keputusan Kongregasi Jenderal yang terakhir. Selain sebagai Presiden JCAP, Pater Viray juga akan melayani sebagai Superior Regio Pakistan yang merupakan wilayah misi terbaru JCAP. Saat ini Pater Viray adalah Provinsial SJ Filipina. Lahir di Quezon City, Filipina, ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Hati Kudus yang dikelola Jesuit di Cebu. Gelar sarjana (BS) di bidang Ekonomi Bisnis ia dapatkan dari Universitas Filipina sebelum bergabung dengan SJ pada tahun 1984. Gelar MA Studi Pembangunan Perdesaan dan doktorat Studi Pembangungan ia raih dari University of East Anglia, Norwich, Inggris. Pater Viray memiliki banyak pengalaman kerasulan dalam bidang pendidikan, advokasi untuk orang miskin, dan formasi yang akan membantunya melayani sebagai Presiden JCAP. Tahun 1989-1991 ia menjabat sebagai Asisten Direktur dan selanjutnya sebagai Direktur Program Pranovisiat di Haggerty Hall dan dilanjutkan selama dua tahun (1992-1994) di Rumah Arvisu. Setelah ditahbiskan imam pada tahun 1995, ia ditugaskan menjadi Pastor Rekan dan selanjutnya sebagai Pastor Kepala Paroki Ipil, Zamboanga Sibugay. Kemudian selama tiga tahun (2006-2009) ia mengajar Ekonomi di Universitas Ateneo de Zamboanga sambil melayani sebagai Superior Lokal dan Pendamping TOK. Setelah bertugas di Zamboanga, Pater Viray ditugasi menjadi Rektor Loyola House of Studies sekaligus ditunjuk sebagai Delegatus Formationis dan Wakil Rektor Komunitas Frater-frater Teologan. Pada tahun 2011, ia terpilih sebagai Rektor Universitas Ateneo de Naga (AdNU) dan menjadi Superior Lokal di Naga. Sebelum terpilih sebagai Provinsial, Pater Vinay adalah Rektor AdNU dan Koordinator Komisi Pendidikan Tinggi SJ Filipina. Selama menjadi Provinsial, Pater Viray menanggapi permintaan Uskup Pablo Virgilio David dengan mengirim Jesuit ke Wilayah Misi Hati Kudus di Keuskupan Kalookan. Hal ini memberikan kesempatan kepada Jesuit untuk terlibat secara lebih besar dengan mereka yang terpinggirkan, termasuk mereka yang terkena dampak perang melawan narkoba. Selain itu, ia mengepalai Desk Myanmar demi membantu meningkatkan kesadaran tentang konflik yang meningkat di negara itu dan memobilisasi sumber daya untuk memberikan dukungan kemanusiaan yang sangat diperlukan oleh mereka yang terkena dampak konflik. “Saya berterima kasih kepada Pater Jun atas kemurahan hati dan kesiapsediaannya menerima perutusan baru ini. Dengan bakat yang dimilikinya dan melalui rahmat Tuhan, konferensi ini berada di tangan yang tepat. Saya percaya, ia akan menjadi pemimpin yang dibutuhkan JCAP untuk tahun-tahun mendatang,” kata Pater Moreno. Sebagai Presiden JCAP selama enam tahun, Pater Moreno memfasilitasi penguatan gubernasi/tata kelola regio-regio yang sedang berkembang seraya memperhatikan perkembangan karya kerasulan Konferensi di tengah tantangan unik akibat pandemi Covid-19. Dia memimpin diskresi rencana kerasulan JCAP yang menyoroti 10 Prioritas Konferensi hingga tahun 2025. Ia mendorong kolaborasi dan sinergi yang lebih besar di antara para anggota Konferensi dengan menyadari tuntutan misi yang terus berkembang di wilayah Asia Pasifik. Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel “Fr Jun Viray SJ appointed as new President of Jesuit Conference of Asia Pacific” dalam https://jcapsj.org/blog/2023/06/19/fr-jun-viray-sj-appointed-as-new-president-of-jesuit-conference-of-asia-pacific/ Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo pada tanggal 26 Juni 2023.

Provindo

Berjalan Bersama dalam Cinta-Nya

Tujuh novis tahun kedua mengucapkan kaul pertama dalam Serikat Jesus pada Sabtu, 24 Juni 2023 pukul 10.00 di Kapel La Storta Novisiat Girisonta. Mereka adalah Frater Adrianus Raditya Indriyatno, Frater Christoforus Kevin Hary Hanggara, Frater Franky Njoto, Frater Ignatius Dio Ernanda Johandika, Frater Iridious Yuhan Felip Adhi Pradana, Frater Laurensius Herdian Pambudi, dan Frater Marcelino Edo Susanto. Perayaan Ekaristi ini dipimpin oleh Pater Provinsial Benedictus Hari Juliawan, S.J., didampingi konselebran Pater Hilarius Budiarto Gomulia, S.J.(Superior Lokal Komunitas Kolese St. Stanislaus Kostka Girisonta), dan Pater Petrus Sunu Hardiyanta, S.J. (Magister Novisiat St. Stanislaus Girisonta). Para novis secundi memilih Kapel La Storta yang berada di tengah halaman novisiat sebagai tempat mengikrarkan kaul pertama mereka. Ketika dalam perjalanannya menuju ke kota Roma, Santo Ignatius singgah di sebuah kapel kecil di La Storta. Di sana ia mendapatkan vision bahwa dia diminta untuk melayani Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Para novis secundi ini berharap selama perjalanan menjadi Jesuit, mereka mendapatkan rahmat seperti diterima Santo Ignatius, yaitu ditemani oleh Yesus dalam segala keadaan. “Perjalanan sebagai Jesuit itu panjang. Ketika berjalan bersama dalam formasi novisiat, ternyata menjadi jalan yang panjang, berat, dan menuntut. Kami diajak untuk berjalan bersama diri sendiri dan merasakan Allah yang sungguh bekerja dan mencintai kami, bukan Allah yang ngawang, tetapi Allah yang sungguh nyata hadir. Kami bertemu dengan banyak orang dengan berbagai karakter dan kondisi yang membuat kami belajar apa artinya merawat dan melayani,” begitu sambutan Fr Adrianus Raditya Indriyatno, S.J. yang mewakili para novis secundi. Pengikraran kaul pertama ini dihadiri oleh keluarga kaules, para calon novis dan pra novis, tersiaris, dan beberapa tamu undangan. Setelah mengucapkan kaul pertama, para novis secundi ini resmi menjadi skolastik dan akan melanjutkan formasi filsafat di Jakarta. Mari kita doakan agar mereka semakin bersemangat untuk berjalan bersama dalam cinta-Nya. Semoga perjalanan panggilan mereka senantiasa ditempuh bersama dan di dalam cinta-Nya. Ad Maiorem Dei Gloriam. Kontributor: Margareta Revita – Tim Komunikator Provindo

Feature

“To Make Them Happy”

Oscar Wilde adalah penyair asal Irlandia. Salah satu pandangan penting Wilde yang coba saya lakukan dalam pendampingan anak-anak di Jombor dan Bongsuwung adalah tentang cara terbaik membesarkan anak-anak agar menjadi baik. Dia mengatakan, “The best way to make children good is to make them happy.” Artinya cara terbaik membuat anak baik adalah membuat mereka bahagia. Saya menangkap alasan utama di balik pandangan Wilde ini, bahwa anak-anak yang bahagia akan memiliki kecenderungan lebih besar berperilaku positif dan bermanfaat bagi diri mereka dan orang lain. Anak-anak yang merasa senang dan bahagia akan cenderung memiliki rasa percaya diri lebih tinggi, memiliki pengalaman belajar lebih baik, dan memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka. Sejak tahun 2021, saya mulai aktif dalam kegiatan relawan mendampingi anak-anak di Jombor dan Bongsuwung yang dinaungi Yayasan Realino SPM. Saya mendampingi anak-anak dengan latar belakang sosial beragam. Anak-anak yang saya dampingi, terutama di Bongsuwung, merupakan anak-anak dari keluarga kurang mampu. Bukan hanya soal perekonomian, tetapi juga pendampingan kepribadian, pendidikan moral, dan tata krama. Sedangkan, anak-anak di Jombor sedikit lebih baik hidupnya karena sebagian besar mereka menempuh pendidikan formal seperti anak-anak kebanyakan. Sekilas Kegiatan Pendampingan Selama pendampingan setiap hari Sabtu ini, saya dibantu relawan dari berbagai universitas di Jogja. Mereka adalah orang-orang istimewa yang punya hati untuk anak-anak. Di Jombor, materi belajarnya menggunakan bahasa Inggris. Kadang diselingi games atau ice breaking, bernyanyi bersama, kerajinan tangan atau latihan keterampilan. Sedangkan di Bongsuwung, materinya sebagian besar kerajinan atau keterampilan tangan. Anak-anak juga diajar melakukan hal-hal baik yang sederhana, misalnya membereskan barang-barang yang sudah selesai digunakan, mengucapkan terima kasih, maaf, dan minta tolong. Kegiatan diusahakan menyenangkan, seru, dan kreatif supaya mereka tidak bosan. Harapannya, anak-anak senang belajar, mau sekolah dan punya semangat menggapai cita-cita mereka. Belajar Sabar Pengalaman hampir dua tahun menemani anak-anak di Jombor dan Bongsuwung adalah pengalaman berarti dan berharga bagi saya. Saya menemukan banyak kegembiraan, juga pengalaman berkesan dan meneguhkan. Begitu juga banyak hal bisa dipelajari dari anak-anak. Berapa banyak kesabaran yang saya miliki, misalnya. Saya sadari sungguh, dalam dinamika pendampingan anak, kesabaran sangat diperlukan. Suatu ketika, ada seorang anak perempuan berusia kira-kira 10 tahun menangis karena diusili temannya. Pada saat yang sama, sekelompok anak ribut karena berebut pensil warna. Di sudut lain, ada dua anak sedang berkelahi tanpa sebab. Sedangkan anak-anak yang lain hanya melihat teman-temannya. Kebetulan hari itu relawan yang datang sedikit sehingga cukup kewalahan mendampingi anak-anak. Ketika saya tanya apakah mengerti materi apa yang baru saja saya jelaskan, mereka menjawab tidak mengerti. Saya harus sabar menunggu mereka menyelesaikan masalahnya, melerai dan mengatakan sedikit kalimat bijak terlebih dahulu sebelum melanjutkan pembelajaran. Ini hanya satu contoh dari sekian banyak pengalaman saat kesabaran saya diuji. Selama ini saya berusaha sabar sesabar-sabarnya. Namun, ada kalanya saya emosi, kadang menegur mereka dengan nada sedikit keras, atau sekedar menatap mereka dengan kesal. Akhirnya mereka diam, tapi karena takut. Perbedaan sangat terasa ketika saya dengan sabar menegur dan mendampinggi, mengatakan dengan halus apa yang salah dan benar, sedikit lebih lama, tapi mereka akhirnya juga mendengarkan. Mereka mengikuti apa yang saya harapkan. Mereka diam dan mendengarkan karena merasa dicintai. Harapan Setiap kali saya ke Jombor dan Bongsuwung, saya pikir hal terbaik yang bisa saya lakukan untuk anak-anak adalah membiarkan mereka melakukan sesuatu untuk diri mereka sendiri, membiarkan mereka menjadi kuat, membiarkan mereka mengalami hidup dengan caranya sendiri, membiarkan mereka berproses, dan membiarkan mereka menjadi orang yang lebih baik, lebih percaya pada diri sendiri. Selain itu, biarkan mereka merasa didukung dan dicintai, serta biarkan mereka bahagia dengan hidup mereka. Kegiatan-kegiatan pendampingan selama ini, adalah upaya agar anak-anak hidup bahagia karena setiap orang berharga dan layak bahagia. Dengan cara itu, harapannya anak-anak di Jombor dan Bongsuwung menjadi anak-anak yang lebih baik, berperilaku positif, memiliki rasa percaya diri lebih tinggi, pengalaman belajar lebih baik, dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka. Perjalanan mencapai masa depan mereka masih panjang. Masih banyak keringat dan perjuangan yang harus dilakukan. Saya percaya, anak-anak ini punya cita-cita yang ingin mereka kejar. Saya harap seorang anak yang mengatakan ingin menjadi dokter bisa tercapai. Begitu juga yang mengatakan ingin menjadi guru, polisi, tentara, penari, dsb. Sebelum itu, saya hanya ingin mereka merasakan kebahagiaan dimanapun dan bagaimanapun beratnya hidup mereka saat ini. Anak-anak ini adalah harapan dunia. Dunia yang lebih baik ada di tangan mereka. Saya pribadi bahagia bisa menjadi bagian dari hidup mereka, merasakan apa yang mereka rasakan, terguyur hujan bersama-sama, dan mengenal mereka satu persatu selama dua tahun ini. Kontributor: Fr. Hilarius Panji Setiawan, Pr – Keuskupan Ketapang

Feature

Belajar Nilai Hidup Melalui Hidup di Pelabuhan Branta

Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift. That’s why it’s called the present.  Master Oogway Pernahkah saat kalian sedang makan di sebuah restoran yang menyediakan menu-menu seafood, kalian bertanya, “Dari mana ya ikan-ikan ini diambil?” “Bagaimana ya cara menangkap ikan-ikan ini hingga akhirnya bisa diubah menjadi hidangan?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut sempat terlintas di kepala saya. Kesempatan yang diberikan Tuhan mengantar saya pada suatu pengalaman yang membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan live in di daerah pelabuhan Branta, Pamekasan, Madura. Saat tiba di tempat itu, saya teringat akan pertanyaan-pertanyaan yang pernah saya ajukan sambil berkata dalam hati, “Sepertinya Tuhan akan membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini lewat pengalaman di tempat ini.” Kurang lebih lima hari saya tinggal di Pelabuhan Branta. Selama waktu itu, saya sungguh-sungguh memaksimalkan waktu untuk mengamati keadaan dan suasana di tempat itu sekaligus berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sana. Saya mengamati kondisi ekonomi, sosial, budaya, kehidupan beragama, dan kondisi lingkungan di sana. Permukiman di sekitar Pelabuhan Branta cukup padat dan rumah-rumah berjarak sangat dekat. Ada satu akses jalan besar sebagai jalan utama menuju pelabuhan. Jalan utama itu terbentang dari ujung ke ujung dan ramai. Yang menarik perhatian saya ialah alat transportasi di sana yaitu bentor dan odong-odong. Bentor di sana rangkanya lebih panjang dan digunakan untuk mengangkut orang. Namun saat jam pasar, bentor mengangkut ikan dan hasil laut lainnya. Sementara odong-odong, motor yang dimodifikasi menjadi mirip minibus dipakai mengangkut anak sekolah di pagi hari. Pada malam hari odong-odong digunakan sebagai sarana hiburan dengan lampu warna-warni. Banyak ibu-ibu di daerah sekitar situ yang naik odong-odong sambil menggendong anaknya agar anak-anak itu tertidur. Yang lebih menarik bagi saya ialah baik odong-odong maupun bentor di daerah itu selalu memutar lagu dengan pengeras suara. Lagu-lagu khas yang diputar di daerah itu ialah dangdut koplo, remix, lagu cover berbahasa Madura, dan lagu-lagu India. Lagu-lagu itu menjadi menemani percakapan saya dengan teman-teman nongkrong bersantai di depan rumah setelah bekerja sambil membicarakan keacakan tempat kami live in. Sekolah sepertinya menarik minat banyak anak-anak dan remaja di sana. Setiap pagi mulai pukul 06.00, kami melihat banyak anak-anak mulai dari SD sampai SMA berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan permukiman penduduk tidak terlalu jauh dan dilengkapi dengan fasilitas yang cukup lengkap. Perguruan tinggi memang ada tetapi letaknya lebih jauh. Namun ada banyak ibu-ibu muda yang sedang menggendong anak juga ditemui di tempat itu. Rupanya banyak pasangan yang memutuskan untuk menikah dalam usia muda. Terlepas dari ketersediaan fasilitas seperti sekolah dan pendidikan, pada akhirnya kesenjangan ekonomi terlihat dari adanya rumah-rumah besar dan megah dan rumah kecil yang mungkin kurang layak huni. Beberapa rumah terletak di tanah pemerintah yang rentan penggusuran. Mayoritas warga laki-laki bekerja sebagai nelayan, sedangkan yang perempuan berjualan di pasar atau tempat pelelangan ikan. Ada juga yang berjualan di warung-warung kecil. Karena kehidupan sangat dekat dengan laut, banyak anak berpikir bahwa bekerja di kapal adalah kesempatan yang tersedia bagi mereka saat dewasa. Penghasilan nelayan di sana rata-rata sekitar 100-200 ribu sekali melaut. Beban kerja menurut saya sangat berat. Saya berkesempatan untuk ikut melaut selama dua hari. Berangkat dari pelabuhan pukul 02:00 dan sampai di tempat menjaring ikan pukul 05:00–05:30. Kembali ke pelabuhan sekitar pukul 12.00-13.00 dan sampai sana pukul 14:00-15:00. Mereka bekerja menarik jaring sekitar enam jam. Jaring ditebar dengan tali tambang sepanjang satu kilometer. Tali itu juga sangat berat. Nelayan akan melemparkan jaring dan kapal akan berputar di area tertentu. Jaring akan ditarik perlahan menggunakan mesin, tetapi para nelayan harus menggulung tali tersebut. Hasil yang di dapat pun tidak menentu, tergantung rejeki mereka. Mereka juga memiliki tradisi, yaitu ketika mendapatkan penyu, maka akan dilepas kembali. Mereka percaya jika penyu tidak dilepas, maka hasil tangkapan akan sedikit. Orang-orang di Pelabuhan Branta menurut saya sangat religius. Mayoritas beragama Islam dan banyak terdapat masjid di sana. Mereka taat beribadah. Selama di atas kapal, tetap taat sholat. Ada pengajian yang terjadwal. Anak-anak disana juga sudah diajarkan untuk menghafal dan membaca Al-Quran. Bahkan saya juga sempat bertemu dengan seorang nelayan yang melakukan puasa Senin-Kamis. Namanya Pak Mastur. Saya mengobrol dengannya dan ia senang membicarakan tentang Tuhan. Ia berbicara tentang komunikasi yang baik dengan Tuhan, berusaha menyelaraskan hati dan pikiran ketika ingin berkomunikasi dengan-Nya. Di sana gelar haji cukup disegani dan memiliki nama. Kebetulan saya dan beberapa kawan lain memiliki orangtua asuh bernama Haji War yang berpengaruh dan cukup memiliki nama di daerah itu. Ada pengalaman menarik di malam pertama berada di daerah tersebut. Sekitar pukul 22:00, ketika saya dan beberapa teman sudah tidur, tiba-tiba kami dibangunkan oleh salah satu teman saya yang masih nongkrong di depan rumah, “Heh bangun-bangun, kita mau diusir dari sini.” Saya kaget dan segera bangun bertanya mengapa ia berbicara seperti itu. Ternyata di luar ada pak RT yang menegur teman saya dan menanyakan izin tinggal di daerah ini. Kami semua panik karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pada saat itu kami dikira komplotan teroris, mungkin karena berambut gondrong dan membawa trashbag. Untung saja Pak Haji War langsung datang dan menyelesaikan masalah meskipun sempat cukup alot. Bahkan keesokan paginya ada dua polisi datang. Dengan baik, Pak Haji War menjelaskan semuanya kepada polisi dan petugas setempat. Saya sempat diberitahu bahwa di daerah tersebut merupakan daerah yang aman karena orang atau warga setempat biasa menyelesaikan masalah dengan berkomunikasi. Saya juga sempat melihat sendiri warga setempat yang sempat bersitegang karena serempetan bentor. Pemilik bentor tidak terima dan berteriak kepada penyerempet. Mereka bertengkar hebat dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Warga segera menghampiri dan menenangkan mereka. Pada awal datang, saya sempat berpikir bahwa warga setempat sangat cuek karena tidak merespon atau malah judes ketika disapa. Ketika pertama nongkrong di depan rumah, mereka menatap sinis dan tidak ada satupun yang mengajak ngobrol tetapi lama-kelamaan semua itu mulai berubah. Kita mulai membaur dengan lingkungan sekitar. Kita juga mulai diterima dan banyak yang mengajak berbicara. Terutama ketika malam, ada yang datang dan ikut nongkrong bersama. Tidak sedikit pula yang memberi makanan dan minuman. Kesan awal saya terhadap mereka berubah. Awalnya mereka seperti tidak peduli, namun setelah berbaur, mereka menerima saya. Selama lima hari di

Pelayanan Gereja

Rekoleksi Umat: Penyegaran Rohani, Imam Berbau Domba

Gereja St. Yusup, Gedangan mengadakan rekoleksi umat selama bulan Mei dengan mengusung tema “Membawa Damai: Semakin Bersinergi, Semakin Melayani.” Melalui tema ini, umat diharapkan dapat membawa damai, merangkul semua suku, budaya dan strata sosial sehingga menghilangkan sekat-sekat pemisah. Umat diharapkan terlibat dan bersinergi sehingga terjalin komunikasi terbuka dan lancar diantara Dewan Pastoral Paroki (DPP) dan antar umat di lingkungan. Umat juga diharapkan mampu melayani dengan meniru keteladanan dari St. Yusup dan St. Ignatius Loyola. Gereja St. Yusup, Gedangan memiliki 10 wilayah dan 50 lingkungan. Satu wilayah terdiri atas empat hingga tujuh lingkungan. Kesepuluh wilayah dilayani oleh dua imam yakni Pater Benedictus Cahyo Christanto, S.J. dan Pater Vincentius Suryatma Suryawiyata, S.J. (masing-masing melayani rekoleksi umat untuk lima wilayah). Dalam satu minggu setiap romo melayani satu wilayah sehingga dalam satu bulan semua wilayah dapat terlayani. Wilayah Christophorus, Fransiskus Xaverius, Yohanes Pembaptis, Petrus, dan Vincentius dilayani oleh Pater Cahyo Christanto, S.J. sedangkan Wilayah Andreas, Leonardus, Theresia, Thomas, dan Hati Kudus dilayani oleh Pater Suryatma, S.J. Dalam paham Gereja sebagai umat beriman maka umat Katolik yang berada di lingkungan adalah umat beriman yang sesungguhnya. Mereka hidup bersama dalam satu wilayah teritori tertentu. Dengan demikian, umat beriman adalah warga lingkungan tertentu. Gereja sebagai persekutuan umat beriman adalah cita-cita gereja zaman ini. Jumlah umat yang terbatas, hubungan saling mengenal, terbuka terhadap interaksi dengan masyarakat membuat lingkungan menjadi tempat yang memungkinkan untuk mewujudkan gereja sebagai persekutuan umat beriman. Rekoleksi umat merupakan sebuah bentuk penyegaran rohani bagi umat di lingkungan dan wilayah. Pandemi covid-19 telah melemahkan kehidupan dari berbagai aspek termasuk reksa pastoral paroki dan dinamika umat di lingkungan dan wilayah. Saat ini sungguh diperlukan penyegaran kembali akan pentingnya lingkungan dan wilayah sebagai cara hidup menggereja yang merupakan kekuatan untuk mendewasakan umat paroki. Para imam tidak bekerja seorang diri dalam karya penggembalaan umat paroki. Para imam dibantu oleh DPP dan para pengurus lingkungan dan wilayah. Tanpa keterlibatan aktif DPP dan para pengurus lingkungan dan wilayah, para imam tidak dapat berbuat banyak dalam menggembalakan umat yang dipercayakan kepadanya. Sejalan dengan surat gembala Prapaskah 2023 Keuskupan Agung Semarang dengan tema “Hadirkan Damai Bagi Sesama dan Alam Ciptaan,” maka Gereja St. Yusup, Gedangan berkehendak menyegarkan lagi semangat pertobatan Paskah dan menyapa umat di lingkungan dan wilayah masing-masing dengan mengadakan acara rekoleksi umat. Hal yang paling menarik dari rekoleksi umat ini adalah kegiatan ini diadakan di wilayah masing-masing bukan di gereja. Bukan umat yang mendatangi romo tetapi romo yang mendatangi umat bersama dengan DPP. Mereka bersinergi, bergerak menyentuh ke bawah. Mereka hadir bersatu dan membaur bersama umat. Umat yang ada di lingkungan dan wilayah merasa disapa, ditemani, dan diperhatikan. Rekoleksi umat diisi dengan sarasehan yang meliputi sejarah singkat komunitas basis, hakikat peran dan kegiatan lingkungan, situasi umat lingkungan, dan belajar dari keteladanan St. Yusup dan St. Ignatius Loyola. Para romo di wilayah masing-masing mengajak umat memahami dan merefleksikan komunitas basis dan situasi konkret yang terjadi di setiap lingkungan. Umat diajak memiliki kepekaan melihat sisi-sisi positif dan sisi-sisi yang perlu dikembangkan di wilayah dan lingkungan. Kemudian, umat diajak meneladani nilai-nilai luhur dari St. Yusup dan St. Ignatius Loyola. Dari sarasehan tersebut, umat diberikan panduan pertanyaan refleksi yang harus dijawab dalam kelompok kecil. Satu kelompok terdiri dari 5 sampai 6 umat. Panduan pertanyaan refleksi membuat umat merenungkan dan merepetisi kembali materi sarasehan yang telah diberikan oleh para romo. Jawaban mereka nantinya akan disampaikan dalam pleno sehingga setiap kelompok dapat belajar dari kelompok lainnya. Jawaban-jawaban umat atas pertanyaan refleksi sungguh menarik. Dari jawaban itu dapat diketahui bahwa umat sangat serius mengikuti rekoleksi. Mereka dapat memahami dengan baik komunitas basis, hakikat peran dan kegiatan lingkungan, situasi umat lingkungan, dan belajar dari keteladanan St. Yusup dan St. Ignatius Loyola. Mereka merasa diteguhkan untuk menghidupkan iman dan membangun persekutuan-persekutuan secara teritorial dalam lingkungan masing-masing. Rekoleksi diakhiri dengan berkat penutup dari romo pendamping. Sebelum berkat penutup, umat dipersilahkan untuk menyampaikan pesan dan kesan dari rekoleksi umat ini. Umat menanggapi secara positif adanya rekoleksi umat ke wilayah-wilayah. Mereka merasakan konsolasi. Mereka mengatakan bahwa rekoleksi umat menjadi bentuk dari gereja menyapa. Gereja melalui para romo hadir bergerak ke bawah untuk menyapa umatnya secara langsung. Umat berharap bahwa rekoleksi umat bisa diadakan secara berkala. Rekoleksi umat bukan hanya membawa penyegaran rohani kepada umat tetapi juga menjadi bentuk dari gembala berbau domba. Gembala berbau domba adalah wujud dari Gereja yang bergerak ke luar. Imam yang melayani umat hingga blusukan ke bawah menjadi salah satu cara menghidupi gembala berbau domba. Imamat tidak hanya dihidupi di seputar altar tetapi juga di rumah-rumah warga lingkungan dan wilayah. Dengan menemui umat secara langsung, umat merasakan kedekatan dengan gembalanya. Kontributor: S. Wahyu Mega, S.J. – Gereja St. Yusup Gedangan

Pelayanan Gereja

Pesan Kehidupan di HUT 75 Gereja HSPMTB

Momen 75 tahun Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda (HSPMTB) menjadi pengingat agar mau berbagi untuk kesejahteraan bersama Alkisah ada seorang pemuda datang di sebuah kampung. Ia mendapati suasana di kampung tersebut dingin, terkesan tidak ada interaksi sosial yang hangat. Sang pemuda lantas mengetuk pintu satu rumah untuk meminta makan. Akan tetapi, tuan rumah mengatakan bahwa ia tidak memiliki persediaan makanan. Sang pemuda menjawab, “Baiklah, kalau begitu saya mau meminjam panci, nanti kita makan bersama. Saya memiliki batu ajaib!” Tetangga-tetangga pun berdatangan hendak menyaksikan si pemuda memasak batu ajaib. Saat merebus batu itu, pemuda tadi mengatakan masakan ini akan enak jika ditambahkan daging, lalu seorang penduduk desa bersedia menyumbangkannya. Setelah daging dimasukkannya dalam kuali, pemuda itu kembali berkata, masakan ini akan enak jika ditambahkan sayur-mayur. Kembali seorang penduduk desa datang memberikannya. Begitu seterusnya hingga terkumpul berbagai bahan makanan yang membuat masakan itu lengkap dan banyak. Cerita pemuda dan batu ajaib ini disampaikan Uskup Agung Jakarta, Bapak Uskup Ignatius Kardinal Suharyo dalam homili misa HUT ke-75 Gereja HSPMTB. Beliau mengungkapkan bahwa renungan itu memiliki pesan agar umat Katolik terus menyadari tanggung jawab iman untuk selalu terlibat dalam membangun kesejahteraan bersama. “Dalam sejarah umat manusia, sampai saat ini kesejahteraan bersama belum mampu diwujudkan,” tandas Ketua Konferensi Waligereja Indonesia periode 2012—2022 ini. Bapak Uskup Suharyo memberikan contoh dengan informasi terkait perbandingan dari 84 orang yang paling kaya di dunia ini setara dengan “kekayaan” 3,5 miliar orang yang kurang beruntung. “Silakan membayangkan ketimpangan itu terjadi. Sementara cita-cita kemerdekaan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia juga belum tercapai, masih sangat jauh,” tegasnya. Tentang kesenjangan sosial, Bapak Uskup angkat bicara terkait fenomena flexing. Menurutnya, semakin banyak orang yang suka pamer kekayaan atau kemewahan. “Di sisi lain, jika kita berjalan saat malam hari banyak ditemui saudara-saudari kita yang tidak memiliki rumah. Mereka tidur di gerobak sampah yang pada siang harinya digunakan untuk memulung,” kisahnya. Ia menegaskan agar sebagai umat Katolik, kita mau membiarkan diri dipimpin Roh Kudus dalam setiap langkah hidup. “Salah satu tanda seseorang dipimpin Roh Kudus adalah saat seseorang dengan berani dan selalu berusaha memilih yang baik dan benar dan tidak sekadar memilih yang menyenangkan dan gampang. Sekecil apapun, kita hendaklah menunjukkan keterlibatan membangun kebaikan bersama dan kesejahteraan bersama,” pesannya. Sementara itu, Romo Paroki HSPMTB, Pater Walterus Teguh Santosa, S.J. mengungkapkan bahwa setiap orang memiliki potensi yang tersimpan dan kita semua ditantang untuk merangkainya menjadi gerakan solidaritas yang membawa kesejahteraan bersama. “HSPMTB memiliki banyak pengalaman seputar solidaritas. Mulai dari Dana Sehat dan Kematian Santo Yusuf melalui Iuran Kartu Kuning; Aksi Puasa Pembangunan (APP) untuk mendukung program Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) hingga Program Ayo Sekolah, Ayo Kuliah, Ayo Kerja (ASAK). Inilah salah satu usaha Gereja dalam menciptakan jembatan yang menghubungkan antara si kaya dan si miskin,” ujarnya. “Setiap orang ditantang memainkan perannya masing-masing. Tak harus peran besar, seperti aktif dalam organisasi, tetapi peran yang tidak terlihat pun perlu dilakukan. Misalnya, Gerakan Kartu Kuning itu menjadi peran yang tidak dilihat orang, tetapi itu nyata,” pesan Pater Teguh. Lebih lanjut Pater Teguh menyampaikan bahwa Gereja se-KAJ telah merintis gerakan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Salah satu gerakan yang dilakukan gereja HSPMTB adalah mendampingi dan mendukung UMKM rintisan yang dijalankan Orang Muda Katolik dengan gerakan beli dari umat. Kesejahteraan dan KAJ Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) memiliki program pelayanan pastoral jangka panjang (2016-2026). Program tersebut berlandaskan semboyan “Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Indonesia.” Bapa Uskup Ignatius Kardinal Suharyo menegaskan bahwa seratus persen Katolik merupakan panggilan dari setiap orang Kristiani. “Paus Fransiskus menegaskan bahwa semua orang dalam status dan kedudukan apapun mempunyai panggilan yang sama menuju kesempurnaan Kristiani, kesempurnaan kasih,” ungkapnya. Lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa seratus persen Indonesia adalah watak bangsa Indonesia yang cinta akan tanah air. Karenanya, KAJ merumuskannya dalam program pastoralnya. Selama 2016-2021 KAJ memiliki tema pastoral yang bertujuan mendalami sila-sila Pancasila. “Gagasan itu diterjemahkan menjadi gerakan. Salah satu gerakan yang paling dikenal adalah rosario merah putih.” Secara khusus tahun 2022-2026, KAJ memiliki lima tema pastoral terkait aktualisasi watak peduli yang sesuai dengan ajaran sosial gereja. Tema pastoral itu meliputi hormat terhadap martabat manusia (tahun 2022); kebaikan bersama dan kesejahteraan umum (2023); solidaritas (2024); perhatian kepada kaum miskin (2025); dan lingkungan hidup (2026). “Jadi pas sekali kutipan surat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus. Roh dianugerahkan kepada masing-masing untuk kepentingan bersama. Diharapkan umat Katolik pernah mendengar istilah ajaran sosial gereja, pernah mencoba mendalami, dan pernah mencoba mengaktualisasikan. Itu disebarluaskan di dalam katekese tiga menit setiap Minggu di paroki-paroki se-KAJ,” tambahnya. Bapak Uskup Suharyo juga mengakui bahwa egoisme merupakan tantangan yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan nilai pelayanan pastoral Gereja. “Gejalanya adalah keserakahan, korupsi, suap, dan manipulasi. Korupsinya lengkap mulai eksekutif, yudikatif, hingga legislatif. Bisnis pun seringkali berselingkuh dengan negara, misalnya dengan undang-undang yang menguntungkan pihak tertentu.” “Mari kita dalami program watak bangsa Indonesia itu melalui inspirasi iman. Kita coba rawat dan kembangkan sikap peduli dan cinta tanah air,” pungkasnya. Dalam kesempatan ini pula, Bapak Uskup mengapresiasi keberhasilan HSPMTB yang secara konsisten menggembalakan umat. Hal ini sebagai bentuk dukungan terhadap upaya KAJ yang terus menggiatkan pelayanan pastoral. Peringatan HUT ke-75 Gereja HSPMTB ini didasarkan pada tonggak peristiwa baptisan pertama 23 Mei 1948. Hingga saat ini Gereja HSPMTB telah melahirkan 13 paroki di Tangerang Raya dan beberapa Paroki di Jakarta Barat. Kontributor: Ario & Redy – Paroki Tangerang

Pelayanan Gereja

Bangkit Bersama Merawat Bumi

Ada yang unik dan istimewa dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional kali ini, yaitu Gereja Katolik Paroki Santa Theresia Bongsari Semarang mengadakan kegiatan bersih pantai dan tuang eco enzym di Pantai Tirang, Semarang. Kegiatan bertajuk Kebangkitan Orang Muda Merawat Bumi diselenggarakan pada 21 Mei 2023 dan diikuti oleh 150 orang muda lintas agama, antara lain OMK (Orang Muda Katolik) Gereja Bongsari, Gereja Atmodirono, Gereja Ambarawa, PMKRI, dan Gusdurian. Hadir pula dalam kegiatan tersebut Kyai Haji Muhammad Abdul Qodir, Pater Eduardus Didik Chahyono, S.J., pengurus Pantai Tirang, perwakilan dari Sponsor Janish Home- Samuel Julianto Purnomo, Perwakilan dari Unika Soegijapranata- Dadut Setiadi, wakil Dewan Pastoral Paroki Bongsari- FX. Joko Priyono, dan Ketua Bidang Pelayanan Paroki Bongsari- Antonius Iwan Wahyudi. Victoria Sulistyawati, selaku ketua panitia, mengungkapkan, “Saya gembira acara ini diikuti oleh banyak orang muda lintas agama. Upaya kita untuk memperhatikan bumi tidak dapat dilakukan sendiri dan hanya golongan. Semua komponen masyarakat harus bersinergi dan bekerja sama merawat bumi rumah kita bersama.” Gerardus Raka Wisnu Wardana, perwakilan orang muda Katolik Paroki Bongsari, mengungkapkan,”Paus Fransiskus, sebagai pimpinan umat Katolik tertinggi di dunia, telah mengeluarkan Ensiklik Laudato Si pada tanggal 24 Mei 2015. Ensiklik ini merupakan ajakan dan seruan kepada kita semua dari berbagai golongan dan komunitas, dari berbagai penjuru dunia untuk bergerak bersama merawat bumi. Sejak saat itu di satu minggu terakhir di bulan Mei, kita akan merayakan Pekan Laudato Si, di mana secara khusus dalam pekan tersebut kita melakukan kampanye global untuk mengajak semua umat manusia bergerak bersama merawat bumi. Tahun 2023 ini, Pekan Laudato Si diperingati pada tanggal 21 – 28 Mei.” Melalui kegiatan ini, Paroki Santa Theresia Bongsari berusaha untuk menghidupi Preferensi Kerasulan Universal Serikat Jesus. Paroki Bongsari mengupayakan dapat berjalan bersama orang muda dan merawat bumi rumah kita bersama. Perlu diketahui selama setahun ini ada sejumlah rangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh Paroki Bongsari untuk membangun kesadaran umat dan masyarakat untuk memperhatikan lingkungan hidup, antara lain pengelolaan sampah dan memanfaatkan air hujan. Setelah kegiatan bersih pantai ini, para peserta bersama orang muda lintas agama diajak untuk melakukan refleksi bersama di Ruang Teater Gedung Thomas Aquinas, Universitas Katolik Soegijapranata pada 28 Mei 2023. Kontributor: Pater Eduardus Didik Chahyono, S.J. – Paroki Bongsari