Antara Mall Besar dan Kelestarian Alam
Daerah Botong dan hutan di sekitarnya mulanya adalah “mall besar” yang menyediakan berbagai macam kebutuhan hidup bagi suku Dayak Kualant. Namun, saat ini “mall besar” tersebut pelan-pelan berubah menjadi daerah yang mengalami kerusakan lingkungan cukup berat. Hutan dan wilayah sekitarnya yang semula menyediakan apa saja yang bisa dinikmati oleh masyarakat, kini menjadi lingkungan yang minim sumber daya alam. Sementara jumlah penduduk terus bertambah, kebutuhan sandang, pangan, dan papan juga terus meningkat. Sumber daya alam yang kini tersisa adalah tambang emas, maka banyak orang Dayak Kualant pun melakukan kegiatan penambangan tersebut. Banyak daerah di sekitar Botong dirambah oleh mesin-mesin “dongfeng” yang digunakan untuk menambang emas. Pada akhirnya, mall besar yang ada pun semakin terancam. Bahkan aliran sungai Kualant yang sebelumnya dialiri air yang sangat jernih, kini menjadi sangat keruh.
Persoalan tambang, kerusakan lingkungan, dan dampaknya pada masyarakat di Botong dan sekitarnya bukan tanpa narasi. Sudah ada banyak usaha untuk menanggapi persoalan itu, namun belum banyak perubahan yang terjadi. Bahkan, konflik antara mereka yang pro dan anti tambang pun sudah pernah terjadi dan hingga saat ini belum ada kata sepakat.
Dalam homilinya, Bapak Uskup Pius Riana Prapdi, Pr meminta umat menyanyikan lagu Bunda Maria di Tepi Sungai Kualant yang diciptakan oleh Rm. Nugroho Tri Sumartono, Pr. Lagu tersebut mengisahkan tentang janji umat di tepi Sungai Kualant untuk merawat alam. Dalam refleksinya, Mgr. Pius juga menyinggung perjalanannya pada 2 dan 3 Juni 2023 saat mengunjungi Stasi Jangat dan air terjun Siling Ketupak. Pada homili di Stasi Jangat, Mgr. Pius menyinggung soal aliran sungai Kualant ini lima tahun yang lalu sangat jernih dan airnya bisa diminum. Saat ini kondisi airnya tidak lagi sejernih dulu. Kemudian saat berkunjung ke air terjun Siling Ketupak, sembari rekoleksi bersama dengan OMK Botong, Mgr. Pius masih melihat harapan. Aliran air terjun dan sungai masih sangat jernih dan bersih. Ia berharap semoga seluruh umat Botong dapat menjaga dan merawat hutan, sungai, dan tanah yang ada di bawah reksa Paroki Botong.
Resmi menjadi Paroki St. Maria Bunda Allah Botong
Setelah penantian selama kurang lebih 50 tahun, akhirnya Paroki St. Maria Bunda Allah Botong, Keuskupan Ketapang diresmikan. Dulunya, Wilayah Botong adalah bagian dari stasi di Paroki Balai Berkuak. Telah banyak imam dari macam-macam tarekat berkarya di Botong. Dengan sukacita, setelah Jesuit hadir di stasi Botong, proses peresmian sebagai paroki pun berjalan semakin cepat dan akhirnya pada 4 Juni 2023, Stasi Botong resmi berubah statusnya menjadi Paroki St. Maria Bunda Allah, Botong. Di paroki tersebut sekarang terdapat tiga Jesuit, yaitu Pater Philippus Bagus Widyawan, S.J. sebagai Pastor Kepala Paroki, Pater Albertus Mardi Santosa, S.J. sebagai Pastor Rekan, dan Frater Yosephus Bayu Aji Prasetyo, S.J. sebagai TOK-er.
Rangkaian sukacita peresmian paroki diwarnai pula dengan peresmian dua buah kapel, yaitu Kapel Stasi Kemunduk dan Empasi. Selain kapel, diresmikan pula Puskesmas Pembantu di Stasi Jangant yang sekaligus dimanfaatkan tempat doa mingguan. Selain para imam religius, biarawan, dan biarawati, tamu yang hadir dalam peresmian ini berasal dari berbagai paroki dan wilayah. Ada juga umat yang harus menempuh lima jam jalan kaki untuk turut serta menjadi saksi peresmian paroki Botong.
Tantangan yang Tersisa
Untuk sampai di Paroki Botong, perjalanan dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama dengan bersepeda motor dari Balai Berkuak. Kedua dengan menggunakan mobil hingga stasi Empasi dan dilanjutkan dengan motor. Pada masa lalu Paroki Botong dapat diakses dengan perahu, namun karena debit air sungai yang semakin berkurang dan endapan lumpur yang makin meningkat, akses dengan perahu tidak memungkinkan. Entah sampai kapan akses kendaraan roda empat bisa sampai ke Paroki Botong. Menurut kabar, tahun ini ada rencana pelebaran jalan. Akses jalan yang tidak tersedia ini dengan sendirinya memperlambat proses interaksi umat paroki dengan dunia luar. Akses ke fasilitas-fasilitas lain seperti kesehatan, komunikasi, logistik, dan pendidikan akhirnya akan terpengaruh.
Dari cerita para Jesuit dan juga yang saya saksikan sendiri, salah satu tantangan berat yang dihadapi umat di paroki ini adalah soal ketekunan dan kemauan untuk menerapkan hal-hal baru dalam hidup kemasyarakatan. Jesuit yang hadir di sana mencoba untuk memecahkan persoalan tersebut, misalnya dengan ‘mendidik’ orang muda untuk memiliki sikap tekun. Beberapa orang muda telah dikirim untuk belajar pertanian di KPTT Salatiga dan pertukangan di PIKA Semarang untuk melengkapi keterampilan mereka dalam kedua bidang tersebut. Namun, yang kemudian menjadi persoalan adalah bahwa ilmu yang telah dipelajari belum sepenuhnya diterapkan di sana. Harapan tetaplah ada sebab saya menyaksikan beberapa remaja bisa menjadi sangat tekun saat diajari oleh Jesuit yang berada di Pastoran. Ada enam remaja yang secara khusus dididik berdisiplin oleh Pater Mardi, yaitu setiap pukul 06.00 mereka diajari bekerja (menyapu, menanam, menyiram tanaman, membuat tanggul, dan membersihkan area pastoran). Jika mereka memiliki daya tahan, saya yakin soal prinsip ketekunan dapat diasah. Untuk itu, para Jesuit yang ada di sana telah berusaha untuk mencoba memerangi soal tersebut.
Cara lain yang dilakukan adalah mengirim anak-anak Dayak Kualant menempuh studi di Jawa, misalnya belajar pada jenjang SMP, SMA, dan SMK di beberapa tempat seperti di Solo, Salatiga, dan Yogyakarta. Harapannya, mereka yang telah selesai belajar mau kembali ke Botong dan mengembangkan daerah mereka.Tantangan lain yang tidak mudah untuk dihadapi adalah memahami budaya setempat dan melakukan inkulturasi, misalnya pesta adat yang disertai minum-minuman beralkohol yang seringkali berujung saling kelahi. Peredaran obat terlarang ternyata sudah sampai juga di tempat ini. Pertanyaan reflektif yang dapat diajukan kemudian adalah bagaimana Paroki Botong dapat mengambil peran positif dan melakukan perubahan. Pastor Paroki telah seringkali mengingatkan dampak negatif ‘poyon’ atau minum alkohol sampai mabuk.
Tantangan terakhir yang cukup mendesak adalah kerusakan lingkungan hidup akibat penambangan ilegal. Dampaknya sangat nyata. Misalnya, apa yang terlihat di Sungai Kualant. Akan tetapi, kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan selalu kalah dengan iming-iming keuntungan material hasil tambang. Proses pembangunan kesadaran sudah lama dimulai, paling tidak dari potongan lagu Bunda Maria di Tepi Sungai Kualant yang kita dengar, yaitu janji untuk menjaga alam sekitar. Semoga!
Kontributor: F. Antonius Dieng Karnedi, S.J.