Pilgrims of Christ’s Mission

serikat yesus

Feature

Mereka yang Martabatnya Dirampas

“Kita merasa apa yang kita lakukan tak lebih hanya ibarat setetes air di lautan. Tetapi lautan itu sendiri merasa kurang tanpa adanya tetesan yang hilang itu.” Bunda Teresa Saya ingin mengawali tulisan ini dengan kutipan Ibu Teresa di atas dan bagaimana beliau memberi pelajaran jatuh bangun menemani orang-orang kecil yang seakan-akan sia-sia. Di awal beliau memulai pelayanannya, ia dan para suster tidak dipercaya dan bahkan ditertawakan karena dianggap sebagai pelayanan yang tidak masuk akal. Saat saya memulai tugas pastoral anti human trafficking, saya bingung mau melakukan apa. Saya memulainya dengan memanfaatkan beberapa data yang saya miliki. Persoalan trafficking dan pekerja migran tidak dapat dipisahkan terutama ketika bertemu para pekerja non-prosedural di lapangan. Acapkali mereka menjadi korban yang mengalami kekerasan fisik, psikis bahkan meninggal dunia. Meskipun beberapa waktu lalu sudah ada kesepakatan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Labuan Bajo untuk melindungi para pekerja migran dan menangkap pelaku perdagangan manusia, kondisi saat ini cenderung memburuk. Saya pribadi belum melihat adanya upaya penanganan serius untuk memerangi perdagangan manusia. Lima tahun belakangan ini, jenazah-jenazah pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur yang merantau di negeri jiran cenderung meningkat setiap tahunnya. Per 31 Juli 2023, sudah ada 82 jenazah pekerja migran non prosedural yang tiba di bandara El Tari Kupang. Saya membantu mengurus dan mendampingi jenazah-jenazah pekerja migran yang tiba. Di awalnya orang-orang memandang miring karya ini karena dirasa sangat sia-sia. Tidak hanya jenazah saja yang saya dampingi namun juga mereka korban yang hidup. Tiga tahun terakhir selama melakukan pendampingan, saya menemukan beberapa jenis kekerasan yang dialami pekerja migran seperti kekerasan fisik, seksual, verbal dan diskriminasi dalam penanganan kesehatan. Pengalaman seperti ini membuat pekerja migran kadang sampai ke titik terendah dalam hidup mereka dan tidak dapat menolong diri mereka sendiri. Ada faktor-faktor lain yang, sejauh pengamatan saya, memperburuk situasi, seperti keberangkatan yang bermasalah (lewat calo), ketidaktahuan para pekerja migran akan hak-hak mereka, lemahnya posisi tawar mereka karena sangat tergantung kepada majikan dan calo, dan tidak sabar untuk menjalani proses resmi (prosedural) untuk bekerja di negara asing karena urusannya dirasakan panjang, ribet, dan susah. Pekerja migran menjadi korban yang mengalami kekerasan saat tinggal di penampungan maupun di tempat kerja. Mereka (korban) yang tidak tahan akan melarikan diri mencari tempat perlindungan. Ketika mendapat tempat perlindungan, mereka akan ditampung dan didampingi selama beberapa hari. Bila korban mengalami depresi parah mereka bisa didampingi sampai lebih dari tiga bulan. Mereka akan diantar kembali ke Indonesia setelah mulai membaik. Saya dan tim biasanya akan melanjutkan proses pendampingan setelah mereka sampai di Indonesia dan sebelum dipulangkan ke rumah orang tua mereka. Korban yang mengalami depresi parah kami dampingi sesuai proses pendampingan di shelter terlebih dahulu sebelum dikembalikan ke keluarganya. Bila ada permasalahan dengan hukum sebisa mungkin kami juga akan mendampingi baik saat BAP maupun persidangan di pengadilan. Ada satu peristiwa yang sampai saat ini masih menjadi keprihatinan saya. Seorang cucu dari sebuah keluarga sudah lebih sepuluh tahun tidak diketahui keberadaannya. Berita terakhir yang diperoleh oleh keluarga ialah bahwa sang cucu pamit ke Kupang untuk merayakan pesta ulang tahun temannya. Ternyata ia dibawa calo untuk dipekerjakan di Malaysia dan sampai sekarang tidak ada kejelasan nasibnya. Berhadapan dengan kasus seperti ini saya biasanya menanyakan foto terakhir orang yang dicari untuk melakukan penelusuran dan pencarian. Keluarga itu hanya punya foto ijazah SD cucu mereka. Mereka juga tidak punya informasi di wilayah Malaysia bagian mana sang cucu itu berada. Kalau kami punya sedikit informasi lebih, kami bisa perlahan-lahan untuk menemukan titik terang keberadaan orang yang dicari. Sejauh ini, ada sepuluh orang yang bernasib seperti ini dalam data kami. Selalu mengiang kata-kata keluarga mereka “Suster saudara saya, cucu saya, anak saya, suami saya tidak ada kabar beritanya sampai saat ini, entah hidup atau meninggal.” Pekerja migran perempuan sangat rentan mengalami kekerasan ketika mereka kehilangan posisi tawar mereka. Saat dokumen mereka dipegang oleh majikan atau calo yang membawa mereka, praktis mereka tidak punya kekuatan tawar apapun. Mereka hanya bisa menuruti apa yang dikatakan oleh majikan. Perlawanan akan berakibat penganiayaan seperti dipukul, ditampar, dan bahkan ditendang yang bukan hanya berakibat kesakitan tapi juga meregang nyawa. Yang lebih mengerikan ialah ada di antara pekerja migran perempuan yang dituduh membunuh dan difitnah sehingga mereka harus mendekam di penjara seperti kasus Wilfrida Soik, Nirmala Bonat, dll. Beberapa korban yang mengalami kekerasan hingga meninggal dunia kebanyakan perempuan yang tak berdaya untuk dapat membela dirinya sendiri. Pekerja migran non prosedural laki-laki terkadang masih bisa membela diri atau lari. Namun tak jarang pula, mereka mengalami kekerasan saat ditangkap polisi di negara asing. Beberapa bahkan menjadi korban perdagangan organ tubuh manusia. Saat ini kami sedang menangani para migran yang dideportasi dari Malaysia Timur dan Barat. Lingkungan dan makanan di rumah detensi sangatlah jelek sehingga para deportan ini sakit. Ketika sakit, mereka harus membayar sendiri pengobatan mereka. Karena tidak punya uang, mereka kerap dieksploitasi dengan memberi pinjaman uang untuk membeli obat. Kami bekerjasama dengan komunitas migran yang punya keprihatinan untuk menangani para deportan di daerah Sabah, Tawau dan Sandakan (Malaysia Timur). Meskipun demikian mereka yang sudah dipulangkan biasanya akan kembali lagi dengan jalur non-prosedural untuk bekerja di luar negeri. Seluruh upaya sosialisasi untuk migrasi yang aman tampaknya berhadapan dengan realitas di lapangan di mana orang-orang memilih jalur non-prosedural yang dianggap lebih mudah dan cepat. Belum lagi situasi kemiskinan memaksa orang-orang untuk mencari kebutuhan hidup. Jika kamu ingin pergi dengan cepat, berjalanlah sendiri tetapi jika kamu ingin pergi jauh, berjalanlah bersama orang lain. “Janganlah biarkan persaudaraan kita dirampas.” Pendampingan korban kasus human trafficking atau human smuggling tidak bisa sendirian. Kami membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak, baik keluarga, pemerintah, maupun lembaga masyarakat baik di dalam maupun luar negeri. Pendampingan yang seringkali kami lakukan pertama kali adalah membangun kepercayaan dengan korban melalui komunikasi yang menjunjung tinggi martabat manusia. Menjadi teman dan saudari ketika mereka mengalami ketakutan, kebingungan, dan ketidakberdayaan. Kami mencoba merangkul dan mendengarkan keluh kesah mereka. Ketika sudah aman dan nyaman baru kami melakukan proses pendampingan. Bila korban sudah siap maka kami antar ke kampung halamannya. Dalam proses dialog, kami akan memberikan bekal keterampilan dengan kursus sesuai keinginan korban, jika masih memungkinkan. Jika yang kami dampingi

Feature

Perdagangan Manusia dan Perpindahan Paksa

Ketika seseorang yang terpaksa pindah diperjualbelikan atau dieksploitasi, misalnya oleh sindikat yang menyelundupkannya, ia menjadi sekaligus pengungsi dan korban perdagangan manusia. Di sinilah isu pengungsi dan perdagangan manusia bersinggungan. Pada akhir Mei yang lalu, atas undangan Direktur Caritas Indonesia, Romo Fredy Rante Taruk, saya menghadiri pertemuan jaringan Caritas se-Indonesia di Batam. Perdagangan manusia menjadi salah satu isu utama yang dibicarakan dalam pertemuan ini. Kami berkesempatan untuk mendengarkan langsung sharing Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus Esong, Ketua Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) Keuskupan Pangkalpinang, terkait praktik penyelundupan dan perdagangan orang, yang masif terjadi di Kepulauan Riau, serta usaha-usaha perlindungan terhadap korban yang telah dilakukan. Mendapati keterlibatan oknum aparat untuk melanggengkan praktik perdagangan orang, pada Januari lalu Romo Paschal mengirimkan surat pengaduan kepada 12 instansi pemerintah dan penegak hukum terkait praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kepulauan Riau. Tindakan ini sempat membuatnya dilaporkan ke kepolisian oleh Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Kepulauan Riau dengan tuduhan menyebarkan berita bohong dan melakukan pencemaran nama baik, meskipun kemudian dicabut setelah pelaporan ini menjadi keprihatinan publik. Romo Paschal berkarya di Batam yang merupakan salah satu pintu utama pengiriman pekerja migran non-prosedural. Selama 13 tahun belakangan ini ia berupaya menyelamatkan para korban dan berjuang agar praktik perdagangan orang dihentikan. Namun, usaha ini tidak mudah karena praktik ini telah menjadi kejahatan terorganisasi yang melibatkan aparat penegak hukum. Menurutnya, sindikat perdagangan orang tidak hanya menyelundupkan pekerja migran tanpa dokumen melalui pelabuhan gelap atau pelabuhan tikus, namun juga menyelundupkan mereka melalui pelabuhan resmi yang bekerja sama dengan aparat. Sejak Mei 2022, sedikitnya 200 pekerja migran non prosedural setiap hari diberangkatkan dari pelabuhan internasional di Batam ke Tanjung Pengelih, Malaysia. Romo Paschal bersama dua orang frater yang tengah menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP), telah “mencoba” jalur resmi penyelundupan ini dengan menumpang kapal yang membawa penumpang resmi sekaligus pekerja migran tanpa dokumen. Dua frater tadi sempat masuk ke bagian kapal yang menampung calon pekerja migran dan berbincang secara sembunyi-sembunyi dengan beberapa dari mereka. Menurut para frater ini, suasana di ruangan itu dan wajah para penumpangnya tampak tegang. Mereka tidak tahu akan dibawa ke mana sesampainya di Malaysia, sementara paspor dan telepon genggam mereka telah disita “petugas” kapal. Pengungsi dan Tindak Perdagangan Orang Saya harus mengakui bahwa sebagai Jesuit yang berkarya di JRS (Jesuit Refugee Service), isu perdagangan manusia bukanlah area yang saya libati sehari-hari. Namun, bukan berarti tidak ada persinggungan antara isu pengungsi dan isu perdagangan manusia. Sebagaimana diketahui, JRS bekerja di antara para pengungsi dan orang-orang yang terpaksa pindah lainnya dengan menemani, melayani, dan membela hak-hak mereka. JRS tidak secara khusus menangani kasus tindak perdagangan manusia dalam konteks Indonesia yang menjadi korban umumnya adalah para pekerja migran. Namun, perlu dicatat bahwa dalam perjalanan meninggalkan negara asal dan tinggal dalam situasi tidak menentu, para pengungsi rawan menjadi korban penipuan, pemerasan, dan berbagai bentuk eksploitasi yang termasuk dalam kategori perdagangan orang. Pertama-tama perlu dibedakan antara penyelundupan manusia (human smuggling) dan perdagangan manusia (human trafficking), meskipun keduanya saling terkait. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa penyelundupan manusia, meskipun mengandung risiko besar terhadap keselamatan jiwa, sifatnya sukarela (voluntary), sedangkan perdagangan manusia sifatnya paksaan (involuntary) dan para korbannya dieksploitasi. Suatu tindakan penyelundupan manusia dapat menjadi tindakan perdagangan manusia apabila para korbannya dieksploitasi, misalnya ditahan demi memperoleh tebusan atau dipaksa bekerja (pada banyak kasus sebagai pekerja seks) demi membayar hutang kepada penyelundupnya. Sekadar untuk diketahui, Protokol PBB mengenai perdagangan manusia mendefinisikan perdagangan manusia sebagai: “perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penggelapan, tipu muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau manfaat untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi meliputi, sekurang-kurangnya, eksploitasi meliputi, sekurang-kurangnya, eksploitasi melacurkan orang lain atau bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.” (UN Trafficking Protocol (n 6,) art 3(a)) Mengapa para pengungsi dan orang-orang terpaksa pindah lainnya rawan menjadi korban perdagangan manusia? Ketika orang meninggalkan negeri mereka karena keterpaksaan, mereka tidak hanya meninggalkan rumah dan kehilangan kampung halaman, namun juga sering kali kehilangan komunitas yang mendukung mereka. Mereka terisolasi baik secara sosial maupun kultural, kesulitan dalam mengakses kebutuhan dasar, kesempatan bekerja atau memperoleh penghasilan, dan juga kehilangan status sebagai warga negara. Situasi seperti ini membuat pengungsi rawan menjadi target sindikat perdagangan manusia, yang mengeksploitasi situasi sulit mereka. Selain itu, mereka yang meninggalkan negeri mereka karena konflik, penganiayaan, atau kekerasan terpaksa memakai cara-cara tak resmi untuk mencari perlindungan di negeri lain. Para pengungsi sering kali terpaksa menggunakan jasa penyelundup manusia. Dengan memakai jasa penyelundup, para pengungsi menjadikan diri mereka rentan untuk diperdagangkan atau jatuh menjadi korban kejahatan serius terhadap kemanusiaan. JRS tidak memiliki mandat secara spesifik untuk menangani korban penyelundupan atau perdagangan orang, sehingga saya katakan sebelumnya bahwa kami sehari-hari tidak terlibat dalam isu ini. Namun demikian, sebagai lembaga yang berkarya di antara orang-orang terpaksa pindah—yang rentan menjadi korban perdagangan manusia—kami mesti menyadari dan menaruh perhatian terhadap fenomena perdagangan manusia. Para pencari suaka atau pengungsi yang berpotensi atau telah menjadi korban pemerasan atau perdagangan manusia patut mendapat perhatian khusus dalam pelayanan kami. Belum lama ini, JRS di Jakarta telah merespons permintaan bantuan dari sejumlah pencari suaka asal Suriah yang diduga menjadi korban perdagangan orang atau setidaknya mengalami pemerasan dari para penyelundup mereka. Bersama dengan umat Paroki St. Perawan Maria Ratu Blok Q, Lembaga Daya Dharma (LDD), Kongregasi FMM, OFM, dan beberapa komunitas Katolik atau Kristiani lainnya, kami mengusahakan rumah aman dan fasilitas yang diperlukan bagi para pencari suaka tersebut. Kami ingin mengamankan mereka dari jerat sindikat penyelundup yang berpotensi mengeksploitasi mereka dalam berbagai bentuk demi meraup keuntungan finansial, sekaligus berkoordinasi dengan UNHCR agar status mereka menjadi lebih jelas. Kelindan Isu Pengungsi, Pekerja Migran, Penyelundupan, dan Perdagangan Manusia Awal Juni lalu, Tim Gabungan TNI AL dan BAIS TNI menggagalkan penyelundupan empat pengungsi Rohingya dan satu calon pekerja migran Indonesia yang hendak berangkat ke Malaysia di sekitar pedalaman hutan bakau Kelurahan Pelitung, Dumai. Empat orang Rohingya ini terdiri dari 3 perempuan dan 1 anak laki-laki. Sebelumnya, pada

Feature

Nexus Buruh Migran dan Pengungsi Lintas Batas

Mengurai Benang Kusut Migrasi Paksa: “Migrasi hari ini bukanlah fenomena yang terbatas pada beberapa wilayah di planet ini. Migrasi mempengaruhi seluruh benua dan tumbuh menjadi situasi tragis dengan skala global. Hal ini tidak hanya menyangkut mereka yang mencari pekerjaan yang layak atau kondisi hidup yang lebih baik, tetapi juga laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak, yang terpaksa meninggalkan rumah mereka dengan harapan mendapatkan keselamatan, kedamaian, dan rasa aman.”1 Tak kurang-kurang kita mendengarkan kisah pilu buruh migran dari Indonesia dan keluarganya yang kehilangan martabat dan haknya sebagai manusia. Sebagian berakhir di peti mati. Kemarin, kita bahkan disuguhi upaya kriminalisasi pekerja kemanusiaan, di Kepulauan Riau, ketika berjuang menyampaikan aduan terkait praktik koruptif oknum pemerintah dalam melindungi sindikat perdagangan manusia. Begitu sulit kita membayangkan perjalanan yang harus dialami para buruh migran. Apalagi bagi mereka yang tidak melalui jalur resmi. Pertanyaannya, apakah dalam kondisi dan konteks yang dialami buruh migran tersebut, tersedia pilihan yang lebih baik di negaranya selain bermigrasi? Sementara, ada pula kehadiran pengungsi lintas batas, yang di Indonesia disebut sebagai pengungsi dari luar negeri (untuk selanjutnya dalam tulisan ini disebut “pengungsi”). Mereka datang karena mendapatkan ancaman di negaranya. Mereka dapat tinggal bertahun-tahun tanpa kejelasan waktu dalam mendapatkan solusi jangka panjang. Umumnya, para pengungsi dan migran menghindari penangkapan. Namun, pada tahun 2018 dan beberapa tahun sebelumnya, kita menyaksikan para pengungsi berkemah menyerahkan diri di trotoar Jakarta agar ditahan dan mendapatkan akses terhadap kebutuhan dasar. Meski demikian, tak jarang pula pertanyaan kepada buruh migran ditanyakan kepada mereka, dapatkah mereka pulang saja dan mengambil pilihan hidup yang lebih baik di negaranya? Bahasan mengenai buruh migran dan pengungsi kerap didominasi perspektif legalistik. Fokusnya tak jarang mengenai status subjek hukumnya dan cara mereka berpindah. Hal ini mengawali dikotomi para subjek di dalam perpindahan paksa, termasuk buruh migran dan pengungsi lintas batas. Di Indonesia, masih jarang ditemui uraian mengenai kemiripan alasan mereka pergi, terbatasnya pilihan-pilihan hidup yang tersedia di negaranya, dan pengalaman yang sama seputar kekerasan dan eksploitasi. Dengan bermigrasi tanpa jalur resmi, ukuran kemanusiaan mereka akhirnya kerap direduksi sebatas status paspor, visa, dan secarik kertas lainnya. Apakah tanpa adanya identitas resmi maka hak dan martabat mereka sebagai manusia layak dibedakan dengan kita? Unsur Keterpaksaan pada Alasan Bermigrasi Perpindahan (displacement), perantauan atau migrasi sudah berlangsung sejak sangat lama. Kisah dalam kitab suci bahkan tak kurang-kurang diwarnai dengan peristiwa perpindahan paksa dan persekusi. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa kebebasan berpindah adalah hak asasi manusia. Di tahun 1951, perjanjian internasional yang mengatur mengenai status pengungsi dilahirkan. Konvensi ini berangkat dari konteks perang dunia kedua yang kemudian menghasilkan perpindahan paksa. Konvensi ini menegaskan bahwa mereka yang berpindah paksa wajib dilindungi. Dalam konteks Gereja, bulan September tahun ini, kita akan memperingati hari migran dan pengungsi sedunia yang ke-109. Artinya peringatan ini juga diawali di sekitar tahun 1914. Tahun dimana lagi-lagi memiliki konteks perang dunia. Perpindahan paksa (forced displacement) dalam konteks pengungsi memiliki definisi yang jelas dalam konvensi internasional maupun peraturan di Indonesia, khususnya Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2016 mengenai penanganan pengungsi dari luar negeri. Perpindahan ini terjadi pada orang asing yang berada diluar wilayah negaranya karena disebabkan ketakutan yang beralasan (well founded fear) akan persekusi. Persekusi ini didasarkan karena ras, suku, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, atau pendapat politik yang berbeda. Hal ini membuat mereka tidak menginginkan atau tidak mampu mendapatkan perlindungan dari negara asalnya. Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa perpindahan ini memiliki unsur keterpaksaan (forced). Jika tidak ada persekusi terhadap suku dan agamanya, tidak adanya perang, adanya perlindungan hak asasi manusia di negaranya serta kebebasan dalam berpolitik, maka pengungsi mungkin tidak perlu meninggalkan negaranya. Bagaimana dengan buruh migran? Di tataran internasional, International Labor Organisation (ILO) menerbitkan beberapa konvensi awal di tahun 1949 dan 1975 yang berfokus pada kondisi kerja buruh migran. Konvensi mengenai perlindungan buruh migran secara komprehensif dengan perspektif HAM lahir di tahun 1990. Konvensi ini baru mulai efektif 23 tahun kemudian setelah 20 negara meratifikasinya. Indonesia meratifikasi di tahun 2012 dan tercatat pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2012. Hingga saat ini, buruh migran tidak dianggap sebagai pengungsi dalam narasi dan peraturan internasional. Alasan perpindahannya dianggap murni karena mencari kesempatan ekonomi tanpa adanya unsur keterpaksaan. Padahal, dalam kisah-kisah perjumpaan kelompok masyarakat sipil dengan buruh migran, narasi ini tak sepenuhnya tepat. Alasan kesempatan ekonomi pun dalam beberapa konteks dapat menimbulkan unsur keterpaksaan dan pada akhirnya eksploitasi. Sebagian contohnya adalah kemiskinan, terbatasnya opsi mendapatkan pekerjaan di negara asal, rendahnya gaji yang membuat kebutuhan rumah tangga tidak terpenuhi, dsb. Hal inilah yang kerap membuat publik sering membedakan istilah antara expatriate, istilah bagi buruh migran dengan pekerjaan kerah putih yang berkelas atas dengan buruh migran, yang identik dengan pekerjaan kerah biru seperti asisten rumah tangga, buruh pabrik, korban eksploitasi di sektor prostitusi, perjudian dan sebagainya. Ukuran keterpaksaan ini memang akan menjadi sangat kasuistis tergantung situasi seseorang yang berpindah. Namun, hari-hari ini kita melihat bahwa dikotomi terkait alasan perpindahan antara persekusi dan ekonomi semakin buram dan kompleks. Khususnya bagi buruh migran yang menjadi korban eksploitasi. Belum lagi, saat ini kita juga dihadapkan pada fenomena perpindahan paksa karena perubahan iklim dan kondisi lingkungan hidup. Kompleksitas ini ditangkap secara internasional dan melahirkan New York Declaration for Refugees and Migrants di tahun 2016. Deklarasi ini kemudian berlanjut dengan Global Compact on Refugees dan Global Compact for Migration di tahun 2018. Terbatasnya Akses terhadap Jalur Resmi Alasan seseorang meninggalkan negaranya untuk berpindah tentu bisa sangat beragam, antara lain untuk mendapatkan pendidikan tingkat lanjut, bekerja, berkumpul bersama keluarga, membangun kehidupan yang lebih baik, dsb. Dengan globalisasi, kita melihat arus perpindahan ini semakin masif. Sebuah perusahaan di Amerika Serikat, bisa memiliki kantor di Singapura dengan pabrik di Filipina serta buruh dari Indonesia. Idealnya, seluruh proses migrasi ini dilakukan dengan dokumen perjalanan yang resmi, diantaranya paspor dan visa. Namun, tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap jalur resmi ini, diantaranya sebagian buruh migran dan tentunya pengungsi. Pertama, keterbatasan akses terhadap jalur resmi ini terkait informasi. Tidak sedikit buruh migran yang baru menyadari bahwa dokumennya tidak resmi ketika sudah berada di perjalanan atau mengalami eksploitasi. Tanpa adanya informasi, pilihan akan diambil tanpa pertimbangan konsekuensi yang

Feature

Belajar dari Perjumpaan di Asrama

Sebagai mahasiswi perantauan, saya mulanya kurang berinteraksi atau berelasi dengan orang lain. Saya sadar betapa penting kepercayaan diri. Dengan percaya diri, kita berani berproses, mulai berbicara, ikut bergabung untuk belajar, berbagi, dan bahkan mengajar. Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman belajar beradaptasi hingga berinteraksi yang menjadi pengalaman menarik yang menumbuhkembangkan saya sebagai pribadi di Asrama SPM Realino. Saya datang ke Yogyakarta pada Januari 2022. Awalnya saya tinggal di kos dekat kampus saya. Singkat cerita, pada Februari saya pindah ke Asrama SPM Realino, tempat saya tinggal sekarang. Awalnya terasa canggung karena belum pernah tinggal jauh dari keluarga, berjumpa orang baru, hingga akhirnya bertemu saudara-saudara yang tinggal bersama di asrama. Asrama SPM Realino adalah bagian kegiatan sosial SPM Realino yang menerima siswa/i atau mahasiswa/i. SPM Realino memiliki program-program lain seperti bengkel latihan kerja, komunitas volunteer, pendampingan anak-anak, klinik, beasiswa pendidikan, hingga asrama. Di asrama, hidup bersama teman-teman asrama memberi dinamika menarik apalagi bila kurang pengalaman dalam berbicara dengan banyak orang yang baru saja ditemui. Akibat kurang percaya diri dan takut berbicara, hubungan sosial saya sempat terbatas. Ini kerugian sangat besar bagi saya. Untuk memperluas pengetahuan dan relasi, tentunya saya membutuhkan teman untuk saling sharing bahkan adu pendapat supaya mendapat wawasan baru. Dari sini saya belajar bahwa manusia saling membutuhkan. Ketika saya di Yogyakarta dan tinggal di Asrama SPM Realino, hal utama yang saya lakukan untuk belajar beradaptasi adalah berani berbicara, belajar, dan berbuat baik kepada orang di sekeliling. Harapannya, orang-orang di dekat saya bisa menerima saya sebagai teman sampai menjadi saudara. Saya mulai mengambil inisiatif bertemu orang-orang baru dan terlibat dalam kegiatan di SPM Realino seperti mengikuti komunitas volunteer, kerja bakti lingkungan asrama, dan jadwal piket harian. Selama tinggal di Asrama SPM Realino, ada banyak pengalaman baru yang saya alami dan tidak akan saya temukan jika berada di luar. Salah satu hal menarik yang saya alami yaitu selama setahun ini, pertengkaran ataupun perselisihan yang terjadi antara saya dan teman-teman di asrama hampir jarang terjadi. Ada suasana saling menghargai dan semakin eratnya hubungan persaudaraan yang kami jalin. Dalam kebersamaan ini ada pembelajaran bagi saya yaitu sikap saling menerima, kejujuran, kepedulian, saling mengasihi sebagai saudara, dan membantu satu sama lain baik antara anak laki-laki maupun anak perempuan. Selama tinggal di Asrama SPM Realino, kadang memang ada masalah yang menyebabkan sedikit konflik antara saya dan teman-teman. Contohnya, seperti perdebatan hal jemuran, siapa yang membantu Mak Sur di dapur saat libur dan masih banyak lagi. Namun saat itu juga kami berusaha menyelesaikannya dengan baik-baik sehingga permasalahan tidak makin besar. Kami juga sering sharing, baik tentang ilmu pengetahuan maupun tentang kehidupan harian. Jika salah satu mengalami persoalan, teman yang lainnya berusaha memberi dukungan agar tidak terlalu tertekan dan merasa sendirian. Hal ini membuat saya menjadi pribadi yang lebih dewasa dan belajar bagaimana cara kita untuk menjadi peduli terhadap sesama dalam hal kecil sekalipun. Pengalaman lain, saya belajar banyak keterampilan baru dari juru masak asrama, Mak Sur. Saya mendapat pengetahuan menu baru yang belum pernah saya masak di Nias, tempat asal saya, membersihkan ruangan yang baik dan benar, mengikuti jadwal harian, dan terbiasa bangun pagi, pukul 04.30 WIB. Kebiasaan ini membuat tubuh lebih segar daripada bangun kesiangan yang bawaannya membuat fisik lemas dan malas. Keterampilan lainnya, saya belajar bermain gitar, menjahit bahkan kegiatan olahraga seperti bersepeda dan badminton. Saya juga menjadi lebih mandiri karena harus merencanakan keuangan dan mengatur waktu dengan baik agar bisa menyeimbangkan antara kuliah, kegiatan asrama, dan kegiatan luar asrama. Di asrama kami juga disediakan fasilitas lengkap dengan maksud supaya bisa belajar dengan baik. Tersedia TV, komputer, mesin jahit, sepeda, raket, serta kamar yang nyaman dan ruang belajar yang memadai. Ada banyak berkat telah saya terima selama tinggal di Asrama SPM Realino. Mereka telah menjadi keluarga kedua bagi saya. Pengalaman saya tinggal di asrama telah membantu saya tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang lebih mandiri, toleran, dan terbuka. Saya merasa bahwa saya telah memperluas lingkungan sosial saya dan mengembangkan hubungan yang berarti dengan orang-orang yang berbeda dari diri saya. Kontributor: Yuliana Ndruru – Asrama SPM Realino

Pelayanan Masyarakat

Memelihara Bumi itu Menyenangkan

Laudato Si Kids Eco Camp Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa bumi, rumah kita bersama bagaikan seorang saudari yang berbagi hidup dengan kita. Saudari kita ini menjerit karena segala kerusakan yang kita timpakan padanya. Oleh karena itu, Bapa Paus Fransiskus dalam ensikliknya yang berjudul Laudato Si mengajak setiap orang untuk menjaga Saudari Bumi, rumah kita Bersama. Ensiklik ini sudah dipublikasikan sejak 18 Juni 2015, namun gaungnya masih kurang mengena bagi sebagian besar umat Katolik; terutama anak-anak dan orang muda. Oleh karena itu, KPTT Salatiga bekerjasama dengan Komunitas Bhumi Svarga menyelenggarakan sebuah Kids Eco Camp pada tanggal 8-9 Juli 2023 yang bertempat di Pusat Pastoral Pendidikan Ekologis KPTT, Salatiga. Laudato Si Kids Eco Camp dikemas dengan acara yang menyenangkan melalui berbagai macam permainan dan penugasan yang sesuai dengan tema serta dunia anak & remaja. Kemah ini diikuti oleh 37 anak dan remaja yang berasal dari beragam paroki, antara lain: Paroki Antonius Padua Purbayan, Paroki Stanislaus Kostka Girisonta, Paroki St. Yusup Ambarawa, Paroki Paulus Miki Salatiga, dan Paroki Kristus Raja Semesta Alam Tegalrejo. Dalam kemah hari pertama, anak-anak diajak untuk lebih mengenal ensiklik Laudato Si. Dengan lebih mengenal ensiklik ini, terbersit harapan supaya anak-anak ini bisa menjadi perpanjangan tangan Allah dalam memelihara bumi, melalui tindakan nyata sederhana yang bisa dilakukan oleh anak-anak dan remaja. Ensiklik Laudato Si memang harus diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan nyata. Pada hari berikutnya, anak-anak diajak untuk membuka mata terhadap masalah-masalah yang ada di sekitarnya. Anak-anak ini berkeliling di lingkungan sekitar Area 3 Pusat Pastoral KPTT untuk melihat masalah sampah yang mencemari daratan, sampah yang mencemari saluran air di dekat KPTT; serta masalah polusi dari industri besar yang ada di sekitarnya. Ada satu hal yang menarik: ketika sekelompok anak memunguti sampah di sungai, secara kebetulan mereka bertemu dengan salah satu pegiat lingkungan disana. Beliau bercerita bahwa pada tahun 2020 lalu; ada sekitar 3-4 ton sampah yang masuk ke saluran air itu setiap harinya. Sekelompok anak yang lain merasakan langsung polusi udara yang ditimbulkan oleh pabrik karena limbah yang berbau tidak sedap serta polusi suara yang ditimbulkan dari dampak aktivitas pabrik. Kelompok yang lain menemukan begitu banyak sampah plastik yang susah sekali terurai di tanah dan mengakibatkan pemandangan yang tidak sedap. Di penghujung kemah, anak-anak ini berkomitmen untuk menciptakan surga surga bagi semua makhluk hidup yang hidup di bumi. Tujuan ialah agar melalui keberadaannya, setiap makhluk di bumi bisa memuliakan nama Tuhan dengan caranya masing-masing dan menciptakan bumi yang baik seperti ketika Allah menciptakannya. Komitmen ini ditegaskan oleh Pater Agustinus Wahyu, S.J. dalam Misa Alam sebagai puncak perutusan dari keseluruhan acara ini. Pada akhirnya, Alam – Manusia dan Tuhan adalah satu kesatuan utuh yang saling terkoneksi. Melalui ensiklik ini, kita diajak untuk hidup lebih bijaksana, berpikir lebih mendalam dan mencintai dengan tulus hati. Santo Fransiskus dari Assisi menunjukkan kepada kita betapa tak terpisahkan ikatan antara kepedulian akan alam, keadilan bagi kaum miskin, komitmen kepada masyarakat, dan kedamaian batin. Kontributor: Rosalia Devi – Boemi Svarga

Pelayanan Gereja

Menjadi Santa Claus Sejenak

Dua hari sebelum Idul Adha, beberapa perwakilan Gereja Katolik St. Yusup Gedangan melakukan aksi bakti sosial ke Demak. Kegiatan ini sebagai tanggapan dari Gereja untuk membantu beberapa warga yang berkekurangan. Hanya dalam waktu 1 minggu, Gereja menawarkan kepada komunitas lektor dan PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi) untuk menggalang dana dengan mengajak para anggota berdonasi. Dana yang terkumpul digunakan untuk membeli sembako berupa beras, minyak, gula dan kebutuhan pokok lainnya. Sekitar pukul 17.00 WIB, perwakilan komunitas lektor dan PSE berkumpul membawa sembako. Kami berangkat bersama naik mobil menuju Demak dan baru tiba di Demak jam 18.00 WIB karena jalanan yang ramai dan macet. Di sana, kami disambut hangat oleh KH. Abdul Qodir. Beliau adalah pimpinan Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin. Kami diajak bertamu ke rumahnya sambil perkenalan singkat karena sebelumnya belum pernah bertemu. KH. Abdul Qodir menjelaskan tempat tujuan baksos kami yaitu dua rumah keluarga miskin. Rumah pertama yang kami kunjungi berisikan dua kepala keluarga. Kalau dilihat sepintas, memang rumahnya layak huni. Mereka sudah mendapatkan bantuan dari kegiatan bedah rumah. Namun, kondisi depan rumah masih memprihatinkan. Akses pintu masuk depan rumah tergenang air. Ketika masuk rumah harus lewat tetangga sebelahnya supaya tidak terkena banjir. Setelah kunjungan yang pertama, kami diajak menuju rumah warga lain untuk beristirahat. Disana kami bersantap malam bersama. Niat awal kami adalah memberikan donasi kepada warga yang kurang mampu. Kenyataannya justru kami merasa mendapatkan donasi. Kami dijamu dengan ikan bakar dan beberapa lauk lainnya. Ikan yang disajikan ukurannya sangat besar dibanding ikan sejenis yang saya temui di pasar. Kami makan kenyang dan makanan masih sisa banyak. Ketika kami ditawari untuk membawa pulang, ada rasa sungkan tetapi saya menerimanya dengan senang hati. Prinsip saya, rezeki tidak boleh ditolak. Sembari santap malam, kami mengobrol santai dengan KH. Abdul Qodir. Pada dasarnya semua agama mengajarkan kebaikan. Akan tetapi, masih banyak orang yang membeda – bedakan agama. “Ada beberapa sejarah kelam yang membuat orang tidak menyukai agama lain dan kita tidak perlu terpengaruh,” ujarnya. Bagi saya, kegiatan bakti sosial ini adalah jalan untuk kerukunan umat beragama karena membantu sesama manusia tanpa mempermasalahkan identitas. Sesama manusia adalah semua orang tanpa memandang golongan, agama dan ras. Sebagai pemuda gereja, tentu saja baksos ini bukan baksos pertama yang saya ikuti. Baksos ini sangat unik karena kami tidak menginfokan kepada penerima baksos sebelumnya. Tiba-tiba kami datang malam hari seperti “Santa Claus” dan mengetuk pintu rumah sambil membawa bingkisan. Saya melihat nenek yang membuka pintu bingung dan kaget karena tiba-tiba mendapat bantuan. Pada kunjungan yang kedua, kami mengunjungi seorang nenek yang tinggal sebatang kara dalam rumah kecilnya. Rumahnya terbuat dari kayu yang beberapa bagiannya sudah lapuk. Dapur dan tempat tidur menjadi satu ruangan. Halaman di sekitar rumah tergenang air. Sebenarnya rumah ini bisa dikatakan kurang layak untuk ditinggali. Perjuangan hidup nenek yang keras dan berat memberi inspirasi bagi kami. Raut mukanya terlihat tegar dan tabah menghadapi hidup ini. Tidak tersirat keluhan sama sekali. Saya belajar untuk lebih peka terhadap sesama dalam memahami makna kehidupan. Sebaik–baiknya semua makhluk, adalah makhluk yang bermanfaat dan berguna untuk makhluk lainnya. Hidup terasa hampa jika hanya fokus memikirkan diri sendiri. Kasih adalah rahmat yang Tuhan berikan dan membuat kita bahagia. Dengan mengasihi sesama manusia dan terlibat dalam aksi baksos, hidup tidak terasa kering dan hampa. Dalam peziarahan hidup ini, inilah sukacita yang ditemukan ketika berjalan bersama kaum lemah, miskin dan tersingkir. Kontributor: Steven Sugiarto Wijaya – Koordinator Lektor St. Yusup Gedangan

Provindo

Iman yang Tumbuh dan Berkembang di Timor

Dalam perjalanan dari Kupang menuju Atapupu, saya berjumpa dengan alam Nusa Tenggara Timur yang sarat dengan teriknya sinar matahari, tanah gersang, sungai kering, pohon meranggas, bukit terjal dan berbatu. Siang terasa begitu panas tetapi malam bisa dingin sekali. Mungkin saja banyak misionaris 140 tahun yang lalu sakit atau meninggal karena kondisi iklim yang ekstrem dan tidak menentu di sana. Kedatangan saya dan Pater Bambang Sipayung, S.J. ke Atapupu untuk memenuhi undangan dari Pastor Paroki Atapupu, Pater Gorys Sainudin Dudy, Pr. Pada kesempatan ini Paroki Maris Stella Atapupu akan memberkati makam dua misionaris Jesuit yang pernah bertugas di stasi Atapupu dan merayakan 140 tahun berdirinya stasi Atapupu. Pater Jacobus Kraayvanger, S.J. dan Pater Augustinus de Kuijper, S.J. adalah dua misionaris Belanda yang dimakamkan di sana. Sebelum ke Atapupu, Pater Jacobus Kraayvanger, S.J. bertugas di Larantuka. Beliau paling setia mengunjungi umat-umat yang ada di daerah Timor sejak tahun 1879. Terkadang, dalam perjalanannya ke Timor, beliau menghadapi angin topan dan angin badai yang ganas. Pater Kraayvanger, S.J. inilah yang meneruskan Pater Dyckman, S.J. dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk memulai stasi baru di Atapupu. Setiap kali melakukan kunjungan, beliau menuliskan surat mengenai kondisi di Atapupu serta meminta ijin untuk membuka stasi ke Uskup Jakarta. Dalam salah satu suratnya kepada Uskup Jakarta pada tanggal 29 Januari 1883, ia mengungkapkan, “Biarpun perut saya masih tetap bengkak dan penyakit liver saya belum sembuh betul, saya merasa sudah agak baik. Saya tidak berkeberatan untuk memulai karya misi di stasi baru, di Atapupu itu. Malah saya rindu untuk kembali ke sana. Untuk memulai karya misi di Timor, saya terpaksa mengorbankan gaji saya. Itu tidak menjadi soal. Semuanya ini saya serahkan kepada Tuhan.” Gubernur Batavia saat itu akhirnya menyetujui didirikannya stasi di Atapupu untuk melayani umat yang ada di Timor terutama di wilayah Jenilu dan Fialaran (Lahurus). Persetujuan pendirian diberikan per 1 Agustus 1883. Pater Kraayvanger, S.J. bersama Br Vermeulen, S.J. memulai misi di Timor dengan membeli sebuah rumah dari orang Tionghoa yang digunakan sebagai kapel dan juga rumah pastoran. Kemudian Br Vermeulen, S.J. mulai membongkar rumah yang dibeli untuk dibangun menjadi gereja. Pater Kraayvanger, S.J. menjadi pastor stasi pertama dan pelopor misi Timor. Akhir tahun 1886, datang Pater Augustinus de Kuijper, S.J. sebagai pastor pembantu paroki Atapupu. Kehadiran Pater Kuijper, S.J. memperingan tugas-tugas Pater Kraayvanger, S.J., terlebih ketika penyakit yang dideritanya kambuh. Beliau dikenal sebagai “baja” karena kesehatannya yang sangat baik. Akan tetapi, setelah mengunjungi Lahurus pada tahun 1888, Pater Kuijper, S.J. jatuh sakit cukup parah. Tak lama setelah itu beliau meninggal dan dimakamkan di sebuah bukit di dekat situ yang kemudian dikenal sebagai bukit Kalvari. Beberapa imam baru pun datang untuk membantu, yaitu Pater Willem Vogel, S.J. dan Hendrik Jansen, S.J. Setelah kepergian Pater Kuijper, S.J. kesehatan Pater Kraayvanger mulai memburuk dan beliau meninggal pada 6 Februari 1889, sebulan setelah diresmikannya gedung gereja stasi Atapupu yang baru. Beliau dimakamkan tepat di sebelah makam Pater Kuijper, S.J. Gedung gereja Atapupu sempat pindah tempat beberapa kali karena kondisi iklim yang tidak bersahabat, yaitu di Ularo lalu kembali lagi ke Atapupu. Para misionaris yang datang dan bertugas di sana pun banyak yang akhirnya kembali ke Jawa untuk pemulihan kesehatan karena sakit akibat iklim dan penyakit malaria yang ganas. Kurangnya tenaga, iklim yang tidak menentu, dan umat yang semakin banyak, membuat Serikat Jesus memutuskan untuk menyerahkan misi Timor ini ke Serikat Sabda Allah (SVD) pada tahun 1913. Selama 30 tahun Jesuit melayani di Timor sampai saat diserahkan kepada tarekat SVD, umat berkembang menjadi 2500 jiwa. Di Atapupu kami juga bertemu dengan Suku Bunda’o, salah satu suku asli Nusa Tenggara Timur yang tinggal di kawasan Atapupu. Suku inilah yang menerima para misionaris ketika mereka datang dari laut pada waktu itu. Leluhur suku ini berjanji bahwa suatu saat akan membangunkan rumah untuk makam misionaris. Kondisi makam yang sebelumnya dengan salib kayunya yang mulai keropos, cukup memprihatinkan dibandingkan dengan makam-makan di sekelilingnya. Bukan hal yang mudah bagi mereka untuk menepati janji ini. Berbagai pergulatan pun mereka hadapi dari desain bangunan yang sulit, dana, dan SDM-nya. Hingga akhirnya tahun ini mereka bisa membangun rumah untuk makam misionaris ini dari hasil swadaya anak suku Bunda’o. Kerinduan yang begitu besar untuk memahami warisan leluhurnya tentang para misionaris ini, juga bisa dirasakan ketika bertemu dengan mereka. Mereka sangat ingin melihat foto kedua misionaris ini. Mereka mencari foto kedua misionaris ini selama bertahun-tahun dan akhirnya mendapatkannya setelah menghubungi media sosial Jesuit Indonesia. Begitu bahagianya mereka bisa mendapatkan foto itu sehingga kedua wajah missionaris tersebut bisa langsung dilukiskan di rumah itu. Mereka juga sangat merindukan kehadiran perwakilan Jesuit ke Atapupu. Mereka juga bercerita bahwa mereka ingin sekali ada Jesuit yang datang ke sana ketika ulang tahun yang ke 100. Setelah 40 tahun berselang, akhirnya ada Jesuit yang datang kemari untuk menengok makam leluhurnya. Salah seorang umat berkata, “Terima kasih Pater, dari Jesuit kami mengenal Yesus”. Ketika mendengar hal ini saya langsung terdiam dan terharu. Terasa sekali bagaimana rindunya mereka akan kehadiran Jesuit di tanah Timor ini. Pada 31 Juli 2023, Pater Bambang Alfred Sipayung, S.J. bersama dengan Romo Yosef Tae Bria, Pr memberkati makam misionaris ini. Hari itu bertepatan dengan pesta Santo Ignatius Loyola dan datangnya Pater Kraayvanger, S.J. atau sehari sebelum misi Timor dimulai. Sehari setelahnya umat merayakan 140 tahun Stasi Atapupu dan pusat misi Timor. Perayaan ini diselenggarakan secara konselebran di Gereja Stella Maris, Atapupu dan dipimpin oleh Mgr Dominikus Saku, Pr, Uskup Keuskupan Atambua, Pater Gorys Sainudin Dudy, Pr, pastor Paroki Stella Maris Atapupu, Pater Bambang Alfred Sipayung, S.J. sebagai perwakilan Provindo serta beberapa romo lain yang pernah berkarya atau berasal dari Atapupu. Dalam kotbahnya Mgr. Dominikus Saku, Pr mengatakan bahwa Pater Kraayvanger dan Kuijper melalui banyak sekali tantangan selama menjalankan misi mereka di sini. Kecewa, gagal, senang, sedih, marah dilalui namun mereka tidak menyerah. Mereka tetap setia. Kesetiaan mereka ini berasal dari cinta mereka untuk umat Atapupu. Pater Kraayvanger, S.J. dan Pater Kuijper, S.J. sungguh dicintai oleh umatnya karena mereka melihat bahwa kedua Pater ini sangat mencintai mereka. Cinta yang mereka tanamkan di Timor menumbuhkan iman yang semakin berkembang dan tumbuh. Setelah 140 tahun berlalu

JCAP

Pertemuan Para Pengelola Arsip Serikat Jesus di Asia Pasifik

Untuk pertama kalinya setelah masa pandemi Covid-19, para pengelola arsip atau archivist Serikat Jesus yang berada dalam konferensi Asia Pasifik (Jesuit Conference of Asia Pacific/JCAP) bertemu tatap muka. Agenda besar dalam pertemuan ini ialah belajar dan diskusi bersama mengenai pemeliharaan dan digitalisasi arsip. Pertemuan ini diikuti oleh para Jesuit dan rekan awam dari Vietnam, Filipina, Indonesia, Kamboja, China, Australia, dan didampingi oleh Archivum Romanum Societatis Iesu (ARSI). Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 3 – 5 Juli 2023. Hari pertama dibuka dengan kunjungan ke beberapa tempat penyimpanan arsip, yaitu University Archives of Ateneo de Manila University, Manila Observatory, Archives of the Philippine Province of Society of Jesus, dan Recollect Archives at Recollect Theologate Manila. Di sini para peserta belajar bagaimana katalogisasi arsip yang tepat agar koleksi yang dimiliki dapat diketahui dengan mudah. Selain itu, peserta juga melihat secara langsung bagaimana proses konservasi pada beberapa koleksi yang rapuh. Hampir di setiap tempat arsip dalam kunjungan ini, memiliki laboratorium kecil untuk proses konservasi dan digitalisasi pada dokumen-dokumen arsip yang mereka miliki. Di hari kedua, peserta diajak untuk mendengarkan presentasi dari Dr. Francis Navarro, PhD sebagai archivist dari University Archives of Ateneo de Manila University dan Ian Saulog sebagai archivist dari De la Salle University. Materi yang disampaikan oleh kedua narasumber ini ialah apa saja yang harus dikumpulkan sebagai barang arsip atau koleksi beserta alasan dan kebijakan apa yang harus diterapkan agar dapat bertahan lama; apa yang harus dilakukan untuk melestarikan dokumen dan materi lain; dan yang terakhir bagaimana pengaturan koleksi yang tepat. Selain itu, mereka juga menjelaskan bagaimana memanfaatkan kemajuan teknologi atau digitalisasi untuk bidang kearsipan sekarang ini. Pada hari terakhir, para peserta melakukan kunjungan ke Rizal Library yang terletak di dalam kompleks Ateneo de Manila University. Setelah itu, para peserta berdiskusi bersama dengan staff ARSI dari Roma terkait pelatihan khusus bagi archivarist. Di beberapa provinsi, archivarist sudah berumur lanjut bahkan sudah menjelang pensiun. Sementara itu di tempat lain, ada archivarist muda dan belum berpengalaman. Beberapa kelompok awam telah tergabung dalam pengelolaan arsip tetapi masih memerlukan pelatihan terus menerus. Secara umum para peserta banyak belajar dan mengambil manfaat dari kunjungan ke lima tempat arsip dan pemaparan narasumber. Meskipun Serikat telah menerbitkan beberapa pedoman dan arahan umum, namun pengarsipan harus terus beradaptasi dengan tantangan unik dalam pengumpulan (collection), pelestarian (preservation), dan persebaran arsip di lokasi tertentu (dissemination). Pertemuan seperti ini menjadi kesempatan bagi para archivarist dari berbagai provinsi untuk saling berbagi cerita, pengalaman, kesulitan dalam memelihara arsip yang menjadi memori Serikat Jesus selama ini. Pertemuan ini juga menjadi kesempatan belajar bersama dalam menyimpan dan merawat arsip ataupun koleksi, memberi akses yang lebih luas bagi banyak orang, dan pemanfaatan teknologi.  Kontributor: Antonia Adinda – Arsip Provindo