Dua hari sebelum Idul Adha, beberapa perwakilan Gereja Katolik St. Yusup Gedangan melakukan aksi bakti sosial ke Demak. Kegiatan ini sebagai tanggapan dari Gereja untuk membantu beberapa warga yang berkekurangan. Hanya dalam waktu 1 minggu, Gereja menawarkan kepada komunitas lektor dan PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi) untuk menggalang dana dengan mengajak para anggota berdonasi. Dana yang terkumpul digunakan untuk membeli sembako berupa beras, minyak, gula dan kebutuhan pokok lainnya.
Sekitar pukul 17.00 WIB, perwakilan komunitas lektor dan PSE berkumpul membawa sembako. Kami berangkat bersama naik mobil menuju Demak dan baru tiba di Demak jam 18.00 WIB karena jalanan yang ramai dan macet. Di sana, kami disambut hangat oleh KH. Abdul Qodir. Beliau adalah pimpinan Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin. Kami diajak bertamu ke rumahnya sambil perkenalan singkat karena sebelumnya belum pernah bertemu. KH. Abdul Qodir menjelaskan tempat tujuan baksos kami yaitu dua rumah keluarga miskin.
Rumah pertama yang kami kunjungi berisikan dua kepala keluarga. Kalau dilihat sepintas, memang rumahnya layak huni. Mereka sudah mendapatkan bantuan dari kegiatan bedah rumah. Namun, kondisi depan rumah masih memprihatinkan. Akses pintu masuk depan rumah tergenang air. Ketika masuk rumah harus lewat tetangga sebelahnya supaya tidak terkena banjir.
Setelah kunjungan yang pertama, kami diajak menuju rumah warga lain untuk beristirahat. Disana kami bersantap malam bersama. Niat awal kami adalah memberikan donasi kepada warga yang kurang mampu. Kenyataannya justru kami merasa mendapatkan donasi. Kami dijamu dengan ikan bakar dan beberapa lauk lainnya. Ikan yang disajikan ukurannya sangat besar dibanding ikan sejenis yang saya temui di pasar. Kami makan kenyang dan makanan masih sisa banyak. Ketika kami ditawari untuk membawa pulang, ada rasa sungkan tetapi saya menerimanya dengan senang hati. Prinsip saya, rezeki tidak boleh ditolak.
Sembari santap malam, kami mengobrol santai dengan KH. Abdul Qodir. Pada dasarnya semua agama mengajarkan kebaikan. Akan tetapi, masih banyak orang yang membeda – bedakan agama. “Ada beberapa sejarah kelam yang membuat orang tidak menyukai agama lain dan kita tidak perlu terpengaruh,” ujarnya. Bagi saya, kegiatan bakti sosial ini adalah jalan untuk kerukunan umat beragama karena membantu sesama manusia tanpa mempermasalahkan identitas. Sesama manusia adalah semua orang tanpa memandang golongan, agama dan ras.
Sebagai pemuda gereja, tentu saja baksos ini bukan baksos pertama yang saya ikuti. Baksos ini sangat unik karena kami tidak menginfokan kepada penerima baksos sebelumnya. Tiba-tiba kami datang malam hari seperti “Santa Claus” dan mengetuk pintu rumah sambil membawa bingkisan. Saya melihat nenek yang membuka pintu bingung dan kaget karena tiba-tiba mendapat bantuan.
Pada kunjungan yang kedua, kami mengunjungi seorang nenek yang tinggal sebatang kara dalam rumah kecilnya. Rumahnya terbuat dari kayu yang beberapa bagiannya sudah lapuk. Dapur dan tempat tidur menjadi satu ruangan. Halaman di sekitar rumah tergenang air. Sebenarnya rumah ini bisa dikatakan kurang layak untuk ditinggali. Perjuangan hidup nenek yang keras dan berat memberi inspirasi bagi kami. Raut mukanya terlihat tegar dan tabah menghadapi hidup ini. Tidak tersirat keluhan sama sekali.
Saya belajar untuk lebih peka terhadap sesama dalam memahami makna kehidupan. Sebaik–baiknya semua makhluk, adalah makhluk yang bermanfaat dan berguna untuk makhluk lainnya. Hidup terasa hampa jika hanya fokus memikirkan diri sendiri. Kasih adalah rahmat yang Tuhan berikan dan membuat kita bahagia. Dengan mengasihi sesama manusia dan terlibat dalam aksi baksos, hidup tidak terasa kering dan hampa. Dalam peziarahan hidup ini, inilah sukacita yang ditemukan ketika berjalan bersama kaum lemah, miskin dan tersingkir.
Kontributor: Steven Sugiarto Wijaya – Koordinator Lektor St. Yusup Gedangan