capture imaginations, awaken desires, unite the Jesuits and Collaborators in Christ mission

Mereka yang Martabatnya Dirampas

Date

“Kita merasa apa yang kita lakukan tak lebih hanya ibarat setetes air di lautan. Tetapi lautan itu sendiri merasa kurang tanpa adanya tetesan yang hilang itu.”

Bunda Teresa

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan kutipan Ibu Teresa di atas dan bagaimana beliau memberi pelajaran jatuh bangun menemani orang-orang kecil yang seakan-akan sia-sia. Di awal beliau memulai pelayanannya, ia dan para suster tidak dipercaya dan bahkan ditertawakan karena dianggap sebagai pelayanan yang tidak masuk akal. Saat saya memulai tugas pastoral anti human trafficking, saya bingung mau melakukan apa. Saya memulainya dengan memanfaatkan beberapa data yang saya miliki.

Persoalan trafficking dan pekerja migran tidak dapat dipisahkan terutama ketika bertemu para pekerja non-prosedural di lapangan. Acapkali mereka menjadi korban yang mengalami kekerasan fisik, psikis bahkan meninggal dunia. Meskipun beberapa waktu lalu sudah ada kesepakatan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Labuan Bajo untuk melindungi para pekerja migran dan menangkap pelaku perdagangan manusia, kondisi saat ini cenderung memburuk. Saya pribadi belum melihat adanya upaya penanganan serius untuk memerangi perdagangan manusia.

Lima tahun belakangan ini, jenazah-jenazah pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur yang merantau di negeri jiran cenderung meningkat setiap tahunnya. Per 31 Juli 2023, sudah ada 82 jenazah pekerja migran non prosedural yang tiba di bandara El Tari Kupang. Saya membantu mengurus dan mendampingi jenazah-jenazah pekerja migran yang tiba. Di awalnya orang-orang memandang miring karya ini karena dirasa sangat sia-sia.

Tidak hanya jenazah saja yang saya dampingi namun juga mereka korban yang hidup. Tiga tahun terakhir selama melakukan pendampingan, saya menemukan beberapa jenis kekerasan yang dialami pekerja migran seperti kekerasan fisik, seksual, verbal dan diskriminasi dalam penanganan kesehatan. Pengalaman seperti ini membuat pekerja migran kadang sampai ke titik terendah dalam hidup mereka dan tidak dapat menolong diri mereka sendiri. Ada faktor-faktor lain yang, sejauh pengamatan saya, memperburuk situasi, seperti keberangkatan yang bermasalah (lewat calo), ketidaktahuan para pekerja migran akan hak-hak mereka, lemahnya posisi tawar mereka karena sangat tergantung kepada majikan dan calo, dan tidak sabar untuk menjalani proses resmi (prosedural) untuk bekerja di negara asing karena urusannya dirasakan panjang, ribet, dan susah.

Pekerja migran menjadi korban yang mengalami kekerasan saat tinggal di penampungan maupun di tempat kerja. Mereka (korban) yang tidak tahan akan melarikan diri mencari tempat perlindungan. Ketika mendapat tempat perlindungan, mereka akan ditampung dan didampingi selama beberapa hari. Bila korban mengalami depresi parah mereka bisa didampingi sampai lebih dari tiga bulan. Mereka akan diantar kembali ke Indonesia setelah mulai membaik. Saya dan tim biasanya akan melanjutkan proses pendampingan setelah mereka sampai di Indonesia dan sebelum dipulangkan ke rumah orang tua mereka. Korban yang mengalami depresi parah kami dampingi sesuai proses pendampingan di shelter terlebih dahulu sebelum dikembalikan ke keluarganya. Bila ada permasalahan dengan hukum sebisa mungkin kami juga akan mendampingi baik saat BAP maupun persidangan di pengadilan.

Ada satu peristiwa yang sampai saat ini masih menjadi keprihatinan saya. Seorang cucu dari sebuah keluarga sudah lebih sepuluh tahun tidak diketahui keberadaannya. Berita terakhir yang diperoleh oleh keluarga ialah bahwa sang cucu pamit ke Kupang untuk merayakan pesta ulang tahun temannya. Ternyata ia dibawa calo untuk dipekerjakan di Malaysia dan sampai sekarang tidak ada kejelasan nasibnya. Berhadapan dengan kasus seperti ini saya biasanya menanyakan foto terakhir orang yang dicari untuk melakukan penelusuran dan pencarian. Keluarga itu hanya punya foto ijazah SD cucu mereka. Mereka juga tidak punya informasi di wilayah Malaysia bagian mana sang cucu itu berada. Kalau kami punya sedikit informasi lebih, kami bisa perlahan-lahan untuk menemukan titik terang keberadaan orang yang dicari. Sejauh ini, ada sepuluh orang yang bernasib seperti ini dalam data kami. Selalu mengiang kata-kata keluarga mereka “Suster saudara saya, cucu saya, anak saya, suami saya tidak ada kabar beritanya sampai saat ini, entah hidup atau meninggal.”

Pekerja migran perempuan sangat rentan mengalami kekerasan ketika mereka kehilangan posisi tawar mereka. Saat dokumen mereka dipegang oleh majikan atau calo yang membawa mereka, praktis mereka tidak punya kekuatan tawar apapun. Mereka hanya bisa menuruti apa yang dikatakan oleh majikan. Perlawanan akan berakibat penganiayaan seperti dipukul, ditampar, dan bahkan ditendang yang bukan hanya berakibat kesakitan tapi juga meregang nyawa. Yang lebih mengerikan ialah ada di antara pekerja migran perempuan yang dituduh membunuh dan difitnah sehingga mereka harus mendekam di penjara seperti kasus Wilfrida Soik, Nirmala Bonat, dll. Beberapa korban yang mengalami kekerasan hingga meninggal dunia kebanyakan perempuan yang tak berdaya untuk dapat membela dirinya sendiri.

Pekerja migran non prosedural laki-laki terkadang masih bisa membela diri atau lari. Namun tak jarang pula, mereka mengalami kekerasan saat ditangkap polisi di negara asing. Beberapa bahkan menjadi korban perdagangan organ tubuh manusia. Saat ini kami sedang menangani para migran yang dideportasi dari Malaysia Timur dan Barat. Lingkungan dan makanan di rumah detensi sangatlah jelek sehingga para deportan ini sakit. Ketika sakit, mereka harus membayar sendiri pengobatan mereka. Karena tidak punya uang, mereka kerap dieksploitasi dengan memberi pinjaman uang untuk membeli obat.

Kami bekerjasama dengan komunitas migran yang punya keprihatinan untuk menangani para deportan di daerah Sabah, Tawau dan Sandakan (Malaysia Timur). Meskipun demikian mereka yang sudah dipulangkan biasanya akan kembali lagi dengan jalur non-prosedural untuk bekerja di luar negeri. Seluruh upaya sosialisasi untuk migrasi yang aman tampaknya berhadapan dengan realitas di lapangan di mana orang-orang memilih jalur non-prosedural yang dianggap lebih mudah dan cepat. Belum lagi situasi kemiskinan memaksa orang-orang untuk mencari kebutuhan hidup.

Suster Laurentina, SDP menemani keluarga mengurus dokumen pemulangan jenazah di bandara.
Dokumentasi: Penulis.

Jika kamu ingin pergi dengan cepat, berjalanlah sendiri tetapi jika kamu ingin pergi jauh, berjalanlah bersama orang lain. “Janganlah biarkan persaudaraan kita dirampas.”

Pendampingan korban kasus human trafficking atau human smuggling tidak bisa sendirian. Kami membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak, baik keluarga, pemerintah, maupun lembaga masyarakat baik di dalam maupun luar negeri.

Pendampingan yang seringkali kami lakukan pertama kali adalah membangun kepercayaan dengan korban melalui komunikasi yang menjunjung tinggi martabat manusia. Menjadi teman dan saudari ketika mereka mengalami ketakutan, kebingungan, dan ketidakberdayaan. Kami mencoba merangkul dan mendengarkan keluh kesah mereka. Ketika sudah aman dan nyaman baru kami melakukan proses pendampingan. Bila korban sudah siap maka kami antar ke kampung halamannya. Dalam proses dialog, kami akan memberikan bekal keterampilan dengan kursus sesuai keinginan korban, jika masih memungkinkan. Jika yang kami dampingi masih usia sekolah, maka kami akan mencarikan beasiswa agar ia bisa melanjutkan sekolah.

Pelayanan pastoral anti human trafficking ini tidak bisa dikerjakan sendiri. Dibutuhkan jaringan atau networking yang solid serta mempunyai visi dan misi yang sama. Beberapa kali kami menerima rujukan dari shelter di lembaga lain seperti shelter Tenaganita Malaysia, Komunitas Pekerja Migran Hongkong, shelter Santa Theresia Batam, Perkumpulan Sahabat Insan, dan juga shelter BP2MI Pusat dan Kupang. Selain itu kami juga sering bekerjasama dengan lembaga seperti SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia), Kabar Bumi, Rumah Harapan, Migran Care, dan Rumah Perempuan.

Bantuan yang kami berikan dalam pendampingan di shelter disesuaikan dengan kebutuhan korban seperti memberikan tempat perlindungan yang aman dan nyaman, dan pendampingan rohani untuk membangun kepercayaan korban. Jika masih ada kesempatan (cukup umur/usia produktif), mereka akan diberi keterampilan seperti kursus menjahit, boga, beasiswa sekolah, dan lainnya sebelum dipulangkan. Jika kondisi sudah nyaman dan aman atau sudah siap untuk dipulangkan maka kami akan memfasilitasi mereka pulang ke kampung halamannya.

Peran Gereja dalam masalah ini sebenarnya sangat dibutuhkan. Namun tingkat keterlibatan dalam isu perdagangan manusia belum merata. Hanya beberapa keuskupan yang mempunyai Komisi Keadilan Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) yang terkadang digabungkan dengan JPIC (Justice Peace And Integrity Of Creation) Keuskupan. Selama ini saya mencoba membangun kerja sama beberapa keuskupan di Nusa Tenggara Timur seperti Keuskupan Ruteng, Ende, Maumere, Larantuka, Weetebula, Kupang, dan Atambua. Keuskupan seperti Ende, Larantuka, dan Ruteng sangat aktif terlibat dalam keprihatinan ini. Keuskupan Ende bahkan sudah mewujudkan paroki ramah migran di wilayah keuskupannya. Sementara beberapa keuskupan yang menjadi kantong migran seperti Atambua, Kupang, dan Sumba masih perlu meningkatkan perhatian mereka pada isu ini. kurang memberi perhatian penuh. Semoga pertemuan pastoral se–Nusra pada tahun 2019 mengangkat tema “Gereja Peduli Migran.” bisa menjadi daya dorong baru untuk keterlibatan mendalam Gereja lokal mengenai isu ini.

Menurut saya di level Gereja Nasional, adanya KKPPMP KWI (Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran Perantau Konferensi Wali Gereja) menunjukkan kepedulian isu trafficking. Komisi bekerja sama dengan beberapa jejaring dan komisi lain seperti PSE, Caritas, Kerawam, dan SGPP (kerja rumpun) dalam menangani migran perantau. Dalam Gereja, masing-masing punya peran dalam upaya bersama meminimalisasi korban perdagangan manusia di tanah air.

Sosialisasi menjadi salah satu cara memotong rantai perdagangan manusia. Siapapun tidak boleh melarang orang untuk memperbaiki hidup atau melarang mereka untuk bekerja di manapun mereka kehendaki. Sebagai langkah preventif, kami mengadakan sosialisasi ke daerah kantong-kantong migran. Sosialisasi seringkali kami lakukan di gereja paroki, desa, sekolah, dan lembaga pendidikan tinggi. Kesadaran tentang prosedur yang sesuai, keahlian tertentu dan kesiapan dokumen sebelum berangkat ke luar negeri sekurang-kurangnya memberi modal daya tawar bagi pekerja migran dalam berhadapan dengan kompleksitas masif masalah migrasi dan bahaya human trafficking.

Kontributor: Sr Laurentina, SDP

More
articles