capture imaginations, awaken desires, unite the Jesuits and Collaborators in Christ mission

Jalan Sutra Perdagangan Manusia di Thailand

Date

Sore hari saat bersepeda menuju kediaman saya di sebuah perumahan, saya tiba-tiba dicegat seseorang bersepeda motor. Saya didekati sambil dipaksa mengangkat telepon saya. Yang bersangkutan berusaha meyakinkan bahwa sayalah orang yang dicari. Saya baru dilepas setelah yakin bahwa saya bukanlah yang dicari. Ini terjadi di Mahachai, sebuah kota pelabuhan ikan yang terbesar di Provinsi Samutsakhon, Thailand. Ratusan ribu pekerja imigran asal Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam dipekerjakan baik secara legal maupun ilegal di berbagai perusahan penangkapan dan pengolahan ikan dan makanan laut. Sampai saat itu, Thailand masih menjadi negara pengekspor makanan laut kedua terbesar di dunia.

Para imigran khususnya para imigran gelap dijanjikan pekerjaan dan gaji yang besar. Mereka biasanya didatangkan oleh agen atau broker asal Myanmar dan dihubungkan dengan broker di Thailand atau pihak kedua sebelum diserahkan ke perusahaan atau employers. Karena status hubungan kerja yang sangat labil, mereka kemudian sangat mudah ‘diperjualbelikan’ dari satu employer ke employer lain dengan melewati jejaring brokerbroker yang lainnya pula. Kasus penghilangan paksa, penyiksaan, dan pembunuhan para nelayan yang berasal dari provinsi Timur (Isan), utara Thailand dan terkhusus imigran Myanmar baik yang terjadi di laut maupun di daratan harus dipahami dalam konteks perdagangan buruh kerja. Perdagangan buruh kerja bisa dikatakan bagian ‘hilir’ dari aliran perdagangan manusia yang diantaranya menghulu dari daerah-daerah perbatasan antara Thailand dan negara-negara tetangga di sepanjang semenanjung Indocina.

Pengusutan kasus perdagangan manusia dalam industri perikanan mulai serius ditanggapi hanya setelah WTO dan US Department of State men-downgrade Thailand ke level 2 pada tahun 2015 pasca laporan beberapa LSM seperti EJF (Environmental Justice Foundation) dan Seafarers. Menanggapi sanksi tersebut, pemerintah Thailand berusaha membenahi diri dengan mencabut izin operasi semua perusahan penangkapan ikan sampai investigasi setiap kasus selesai. Kurang lebih selama dua tahun, industri perikanan Thai mengalami paceklik serius. Pemerintah berusaha meyakinkan dunia bahwa negaranya bukan lagi menjadi terminal perdagangan manusia dan beroperasinya sindikat penangkapan ikan ilegal di dunia. Selain itu pemerintah kerajaan Thailand meratifikasi perjanjian Organisasi Internasional untuk Buruh Kerja/ILO (protokol nomor 29 tentang kerja paksa) – yang menjanjikan perlindungan terhadap buruh kerja dan sanksi kepada para pelanggar – dan perjanjian tentang Pekerjaan dalam Industri Perikanan yang menetapkan standar fundamental untuk para pekerja dalam industri perikanan.

Sayang sekali inisiatif pemerintah ini tidak diimbangi dengan penerapan yang terpadu di semua provinsi-provinsi pelabuhan karena kompleksnya jaringan sindikat perdagangan manusia yang sudah terlanjur merembes dalam struktur-struktur birokrasi lokal. Inisiatif-inisiatif yang disebutkan diatas seringkali berhenti pada taraf formal dan publisitas dengan tujuan mengembalikan kepercayaan pasar. Akan tetapi, dalam kenyataannya, perdagangan buruh tetap terjadi meski dalam taraf yang lebih invisible daripada sebelumnya. Alasan utamanya tidak lepas dari prinsip ekonomi, yaitu modal sekecil-kecilnya, keuntungan sebesar-besarnya. Tentu perusahan-perusahan penangkapan ikan lokal tetap ingin mendapatkan keuntungan yang besar dengan cara merekrut buruh-buruh murah yang didapatkan dari jaringan perdagangan dan penyelundupan manusia.

Pengalaman saya bersentuhan dengan realitas perdagangan buruh ini terjadi awalnya semata-mata dari pengalaman hidup selama enam bulan di tengah perumahan buruh imigran Myanmar di Ban Uea Athorn, di sekitar Mahachai. Sambil menekuni tahun belajar bahasa Thai, saya berusaha memahami realitas yang ada di depan mata saya, yaitu anak-anak buruh migran yang miskin, para buruh imigran legal yang hidup berdesak-desakan di kontrakan bersebelahan dengan kontrakan saya. Melalui sebuah meetup group untuk para peneliti independen tentang masalah-masalah sosial di Bangkok, saya akhirnya terdorong membuat penelitian kasus kecil tentang buruh-buruh migran di perusahan perikanan Thailand.

Atas permintaan, seorang teman saya pernah diminta mencari kabar seorang nelayan asal Indonesia yang dikabarkan hilang di Selatan Thailand. Pencarian terhadap seorang nelayan yang hilang ini tanpa dibayangkan justru mengantar saya pada penemuan yang lebih besar. Ada sekitar sepuluh nelayan asal Indonesia dan tujuh nelayan asal Filipina yang ditahan pihak imigrasi Thailand di Phuket atas tuduhan illegal fishing. Mereka pada saat itu ditahan di dalam kapal mereka yang disita – sambil menunggu proses hukum. Dengan bantuan seorang nelayan Indonesia di selatan, saya mulai mengatur proses advokasi mereka.

Mengingat otoritas diplomatik Indonesia terkesan lamban membantu proses advokasi saat itu, akhirnya saya berhasil meminta bantuan Seafarers Thailand dan EJF untuk memfasilitasi proses legal dan bantuan kemanusiaan sampai pada proses pemulangan mereka yang berlangsung selama lebih dari setahun. Dalam proses pendampingan itu, saya memilih bekerja undercover mengingat kompleksnya jaringan perdagangan manusia yang bahkan bisa menjalar ke otoritas diplomatik. Misalnya broker asal Indonesia yang mengontrol perdagangan buruh nelayan asal Indonesia adalah seorang yang dikenal baik oleh otoritas diplomatik Indonesia dan juga oleh aparat hukum Thailand. Kenyataan bahwa meskipun orang yang bersangkutan sudah diberi red notice oleh interpol, buktinya dia tetap tidak ditahan. Bekerja undercover adalah pilihan yang cukup aman untuk tetap memonitor kerja mereka. Sampai saat ini saya tetap bekerja undercover menjadi konsultan organisasi lokal dan internasional untuk kasus perdagangan manusia.

Pemahaman saya tentang skala dan kompleksitas perdagangan manusia mulai sungguh-sungguh terbentuk setelah saya tinggal di Utara Barat Daya di perbatasan antara Thailand dan Myanmar. Maesod, Maesai, Maehongsong, Chiangmai, Ranong, Kanchanaburi dan Prachuabkirikhan yang merupakan pintu masuk imigran Myanmar baik legal maupun ilegal ke Thailand. Belum dihitung lagi pintu-pintu masuk yang sifatnya natural dan liar sepanjang hutan-hutan perbatasan. Perlu diketahui bahwa jika ditarik garis lurus dari Utara Barat Daya hingga Selatan Barat daya Thailand, terdapat Karen State atau Provinsi Etnik Karen yang sebagian besar dikuasai oleh Gerakan Separatis Karen yang sudah berseteru dengan Pemerintah Myanmar lebih dari tujuh puluh tahun. Imigran ilegal jika ingin masuk melalui pintu imigrasi di kota-kota di atas harus membayar dua kali lipat dari tarif normal. Sementara imigran ilegal harus menempuh resiko yang besar dan biaya yang juga tidak kecil melewati hutan-hutan sebelum tiba di Thailand dan dibawa oleh calo-calo atau broker kerja ke tujuan akhir.

Instabilitas politik di Myanmar yang melemahkan ekonomi negara, kemiskinan, dan perang sipil biasanya menjadi faktor pemicu migrasi orang Myanmar ke Thailand. Disebut pemicu karena kalau ketiga hal tersebut absen, orang Myanmar tentu enggan ke luar negeri mencari hidup yang lebih baik. Situasi ini menjadi ladang pancingan para calo kerja, traffickers, and smugglers. Faktor pendorong dan penarik umumnya adalah kondisi kehidupan imigran pendahulu yang lebih baik. Dengan gaji yang besar mereka bisa menopang hidup keluarga di Myanmar. Gaya hidup kosmopolitan seperti Bangkok, Kualalumpur, dan Malaysia adalah faktor yang ikut mendorong imigrasi. Ditemukannya kuburan massal buruh kerja asal Myanmar di perbatasan Thailand dan Malaysia di tahun 2015 adalah salah satu bukti yang kuat tentang jalan sutra perdagangan dan penyelundupan manusia. Faktor pendukung yang tidak bisa dipungkiri adalah korupsi yang terjadi secara massif dalam birokrasi Thailand. Para aparat penegak hukum sendiri disogok sedemikian serupa sehingga membiarkan jalan sutera ini terpelihara. Mereka sendiri pun ikut terlibat di dalamnya.

Di seluruh Thailand, terdapat kira-kira sembilan temporary shelters yang berfungsi sebagai kamp pengungsi. Meski sampai saat ini Thailand tidak meratifikasi konvensi internasional tentang pengungsi, negara ini dengan alasan kemanusian menampung secara sementara para pengungsi perang sipil antara kelompok (terutama etnik Karen) dan pemerintah Myanmar. Sementara itu konstelasi gerakan separatis yang terlalu terfragmentasi membuat situasi di sepanjang perbatasan juga tidak pernah stabil dan aman. Misalnya awal tahun ini saya melindungi seorang tentara separatis Karen dari Faksi Buddhist (DKBA) yang mencari perlindungan dari kejaran sebuah batalyon DKBA karena melarikan diri dari wajib militer. Tanpa sepengetahuan saya, yang bersangkutan akhirnya minta diantar ke terminal untuk seterusnya oleh agen pekerja ilegal dibawa ke Bangkok. Dia harus membayar 15,000 bath (kurang lebih 7 juta rupiah) agar bisa secara ilegal dibawa ke Bangkok. Menurutnya itu adalah pilihan yang paling aman. Lagipula dia bisa membantu orangtuanya. Bergerilya bersama fraksi yang di dalamnya terdapat kepentingan internal yang tak kunjung habis, menurutnya hanya membuang-buang waktu saja. Dia adalah satu dari begitu banyak desersi militer baik Karen maupun Myanmar yang melarikan diri meski harus melewati jaringan perdagangan orang.

Tidak semua pengungsi di kamp-kamp pengungsi Thailand berstatus sebagai pencari suaka. Cukup banyak yang ‘merelakan diri’ menjadi pengungsi dengan alasan ekonomi. Mengingat UNHCR sudah memberangkatkan ratusan bahkan jutaan pengungsi semenjak perang sipil ini pecah, kamp-kamp pengungsi tidak bisa menyembunyikan daya tarik bagi mereka yang mau mengadu nasib di negara-negara tujuan pengungsi seperti Australia, Amerika, dan Eropa. Inilah alasannya kenapa selalu ada ‘bisnis’ di dalam kamp pengungsi. Mereka yang ingin menjadi pengungsi secara sukarela harus membayar aparat atau pengungsi lain untuk bisa diterima sebagai pengungsi. Belum dihitung lagi bisnis pemalsuan data dan identitas. Selain itu para aparat tidak sedikit ikut berperan dalam mencari dan menyalurkan tenaga kerja ilegal dari kamp pengungsi ke perkebunan sekitar atau ke kota-kota terdekat. Dalam konteks ini, beberapa pengungsi bisa digolongkan secara aktif dan pasif diperdagangkan atau diselundupkan. Tidak sedikit dari mereka, terutama gadis dan anak-anak, jatuh dalam bisnis gelap seperti pelacuran dan narkotika di kota-kota besar Thailand.

Daerah perbatasan Thailand-Myanmar sampai saat ini tetap menjadi target para pelaku bisnis gelap dan kriminal atau sedang difasilitasi agar dibebaskan dan selanjutnya dikembalikan ke negara asal. Kebanyakan korban diiming-imingi melalui platform online untuk bekerja di Thailand dengan gaji besar. Padahal, mereka dibawa ke daerah Myanmar melalui perbatasan Thailand untuk secara paksa dipekerjakan dalam jaringan kriminal mereka.

Keterlibatan masyarakat lokal untuk menanggulangi masalah perdagangan dan penyelundupan manusia relatif rendah. Penyebab utamanya adalah karena para pelaku kejahatan mempunyai pengaruh politik yang cukup kuat dalam masyarakat. Usaha-usaha advokatif biasanya dilakukan secara personal, diam-diam, dan penuh diskresi. Pemberantasan masalah ini bisa dibayangkan seperti mencabut rumput liar diantara rumput-rumput indah yang kita tanam dalam taman. Sangat sulit membedakan siapa lawan dan kawan. Berkarya sebagai pengajar, baik di sekolah-sekolah publik di Thailand maupun daerah Karen State adalah pilihan saya pribadi untuk ikut serta bersama beberapa orang yang beritikad baik untuk suatu waktu mengubah jalan sutra perdagangan manusia ini menjadi jalan sutra pergerakan manusia yang bebas, etis, dan memerdekakan.

Kontributor: N.N. – Peneliti Independent, Berkarya di perbatasan Thailand-Myanmar

More
articles

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *