Pilgrims of Christ’s Mission

serikat yesus

Feature

Berbakti di Beringharjo

Ceritaku Di Temu Kolese Pagi sekali aku merasakan tepukan ringan di tangan kananku. Karena lelah akan hari yang telah berlalu, aku tidak mengambil pusing dan memutuskan kembali tidur. Lagi-lagi, Aku merasakan tepukan yang lebih keras. Aku pun memutuskan membuka mata. Tidak, bukan malaikat yang membangunkanku pagi itu. Panitia Temu Kolese yang giat melaksanakan tugasnya pagi-pagi dengan membangunkanku karena tanda pita di tanganku. Di tengah lelahnya diriku, walaupun sedikit kesal, aku berusaha menyadarkan diri agar tidak membuat kelompokku menunggu. Aku ingat kala itu pukul 02.00 pagi, tidak sering aku harus bangun sepagi itu. Kemarin aku baru saja sampai di Kolese De Britto, Yogyakarta, setelah perjalanan yang panjang. Aku tersenyum ketika mengingat pelepasan kontingen peserta Kolese Kanisius kemarin lusa, terlebih lagi canda-tawa yang kami bagikan sesaat sebelum tertidur lelap di bus. Sialnya, aku mendapatkan tempat duduk di samping cello (alat musik) berukuran besar milik performer dari SMP. Ya, walaupun sempit, tetapi setidaknya aku masih dapat menikmati perjalanan. Sakit pinggang bukan tantangan jika hadiahnya adalah kunjungan ke Yogyakarta, apalagi menemui rekan-rekan dari delapan kolese dan seminari di Indonesia. Ketika baru sampai, aku merasa sedikit cemas bagaimana nantinya akan menyapa yang lain. Mungkin aku harus belajar cara ngomong yang agak medok… Mungkin aku harus belajar kosakata Bahasa Jawa… Mungkin aku harus belajar sopan santun mereka… Itulah beberapa pikiranku yang mengganggu selama perjalanan. Mungkin suara-suara di dalam kepalaku terkesan aneh bagimu, wahai pembaca, tetapi aku memang sedikit anti sosial. Semua pikiran buruk itu pecah bagaikan balon ketika aku dan kontingen CC lainnya turun dari bus dan disambut hangat oleh panitia, baik oleh tuan rumah De Britto maupun oleh panitia dari kolese yang lain. Sambil menunggu mulainya sesi di aula De Britto, aku merasa bosan. Walaupun bosan tersebut sedikit terobati dengan berbincang bersama teman-teman sekamar di kelas X3, tetapi aku ingin bermain… Aku ingin bermain tenis meja! Ketika terpilih menjadi kontingen CC, bukan maksudku untuk menjalani semua acara Temu Kolese. Maksudku adalah untuk unjuk kemampuan dengan peserta lomba tenis meja dari kolese yang lain. Namun apa boleh buat, semua acara tersebut sudah disiapkan. Oleh karena itu, kuputuskan untuk mencoba ikut seluruh rangkaian acara. Ketika sesi di aula De Britto akhirnya dimulai, aku mencoba mendengarkan apa yang dikatakan Pater Jupri. Namun, mataku tak kunjung menurut dan aku setengah tertidur. Apa yang berhasil kutangkap hanyalah bahwa esok hari akan ada kegiatan immersion, atau semacam live in singkat selama satu hari. Immersion dibagi ke dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok memiliki anggota campuran dari kolese lain, dan aku seorang diri dari CC di kelompokku. Jujur, itu membuatku sedikit khawatir karena mau tidak mau aku harus bergaul dengan tuan rumah immersion sekaligus teman-teman dari kolese lain. Hal lain yang kutangkap adalah bahwa kelompokku, Xaverius dan Faber, diminta bangun jam 2 pagi untuk bersiap-siap ke lokasi immersion. Entah Pater menyebutkan lokasi immersion atau tidak, pokoknya aku tidak menangkap di mana aku dan kelompokku akan pergi keesokan harinya. Kembali ke pukul 02.00 pagi; aku memutuskan untuk tidak mandi karena waktu sudah mepet. Aku membawa tasku dan bergegas menuju titik temu kelompok kami, yaitu di depan perpustakaan De Britto. Jujur, aku masih merasa cemas akan keadaan di lokasi immersion nanti. Setelah diabsen, kami sekelompok beserta pendamping menaiki bus yang telah menunggu. Bus yang kami tumpangi tidak memiliki pendingin, berbeda dengan bus-bus yang biasa dijumpai di Jakarta. Kendati demikian, hawa pagi Yogyakarta membantuku tetap bertahan di dalam bus itu. Sekitar 10 menit kemudian, bus berhenti. Di tengah gelapnya malam, Aku melihat sebuah palang besar yang bertuliskan ‘Pasar Beringharjo’ dengan tulisan yang kukira adalah aksara Jawa di bawahnya. Saat turun, kuhirup udara yang berbau amis, menginjak jalan yang becek, dan mendengar sahut-sahut penjual yang sedang membereskan dagangannya. Kuingat itu sekitar jam 3 pagi. Aku mengalami nostalgia, kembali ketika berumur 10 tahun. Dulu, almarhum kakekku sering mengajakku ikut berbelanja bahan makanan mentah di Pasar Kemiri Depok. Setelah turun, kami dibagi lagi ke dalam beberapa kelompok. Aku bersama kelompokku tiga orang: Jesse, Kidung, Mahe, ditugaskan untuk berjalan menyusuri selasar gelap tempat parkir Pasar Beringharjo. Kami diminta mencari seseorang bernama Pak Ari. Setelah beberapa waktu, kami menemukan beliau sedang membereskan motor di selasar itu. Jesse lah yang menyambut Pak Ari terlebih dahulu. Aku tidak berani menyapa pertama karena takut dibalas dalam Bahasa Jawa. Aku sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. Kami berlima berbincang singkat selama 5 menit. Pak Ari ternyata telah bekerja sebagai tukang parkir di Pasar Beringharjo selama 20 tahun. Aku sangat terkejut dengan pernyataan itu. Semua orang di Beringharjo adalah keluarga bagi beliau karena mereka sudah bertemu setiap hari selama 20 tahun. Di Beringharjo, tukang parkir memiliki wilayahnya sendiri-sendiri. Tiap wilayah juga dibagi ke dalam 2 shift: shift pagi dan shift siang. Pak Ari bekerja pada shift pagi, bersama temannya, Pak Mamad. Pak Ari menggunakan kata ‘kartu kuning’ untuk menjelaskan temannya itu. Kami tentu bingung dengan maksud beliau, dan bertanya mengenainya. Pak Ari memperjelas bahwa Pak Mamad adalah orang dengan gangguan jiwa ringan. Jantungku berhenti sejenak ketika mendengar itu. Aku, Jesse, Kidung, dan Mahe kemudian berunding untuk berbagi tugas. Aku dan Mahe membantu Pak Mamad, Kidung dan Jesse membantu Pak Ari. Tidak banyak yang dipesankan oleh Pak Ari untuk kami lakukan, hanya, “Santai aja, kalau ada yang bisa dibantu, ya paling lurus-lurusin motornya.” Wilayah parkir Pak Mamad lebih jauh di ujung lorong gelap itu. Ternyata banyak motor yang sudah diparkirkan di sana, dan para penjual telah datang bersiap-siap sejak pagi. Aku dan Mahe pun duduk di atas dudukan bambu milik Pak Mamad yang beliau gunakan untuk beristirahat. Kami berbincang sedikit bersama Pak Mamad, aku sedikit takut setelah perkataan Pak Ari tadi bahwa Pak Mamad adalah orang dengan gangguan jiwa. Pak Mamad kebanyakan berbicara dalam bahasa Jawa, sehingga aku berkomunikasi melalui Mahe. Untung saja ada Mahe, kalau tidak, tidak mungkin aku bisa bertahan di tengah keadaan itu. Pak Mamad berkata bahwa dia telah bekerja sebagai tukang parkir di sana selama 18 tahun. Beliau bercerita bahwa dulu area parkir tersebut jauh lebih ramai dari yang sekarang, dan sudah tidak banyak orang muda yang masih singgah ke pasar secara rutin. Kebanyakan yang kami lakukan hanya menunggu, berbincang, serta meluruskan

Feature

Sampah Membawa Syukur

Pada awalnya hal ini tidak terkirakan. Maksud dari tidak terkirakan adalah perasaan saya setelah melihat apa yang ditugaskan kepada saya dan teman-teman kelompok immersion. Saya dan teman-teman mendapatkan tempat immersion di TPA Piyungan. Awalnya saya biasa-biasa saja dan beranggapan bahwa suasananya akan biasa-biasa saja. Ternyata tak sebanding dengan apa yang saya pikirkan. Ternyata di TPA masih ada orang-orang yang bekerja seperti memilah-milah sampah untuk dijual. Lebih kagetnya lagi, di TPA ada sapi yang mencari makan di tengah sampah dan ditambah lagi baunya yang sangat menyengat. Sampahnya sangat banyak sampai-sampai membentuk seperti gunung. Saya juga bertanya ke teman kelompok, katanya ini belum seberapa dibandingkan di Jakarta. Hal ini membuat saya teringat ketika mengunjungi TPA di Nabire yang kondisinya tidak seperti ini dan sampahnya tidak sebanyak ini. Ketika di TPA saya dan teman-teman dibagi menjadi 16 kelompok. Kami diminta untuk mengumpulkan plastik, botol kaca, dan botol karet. Kami berhasil mengumpulkan sampai satu trashbag penuh. Keadaan di TPA membuat saya bertanya-tanya di dalam hati, “Kok bisa ya orang-orang di sana bertahan dengan baunya sampah, panasnya matahari, dan debu?” Saya yang baru mengangkat sampah di sana saja sudah merasa malas, mual, dan jijik. Mereka adalah orang-orang hebat yang mencari uang dengan bekerja di tempat itu untuk mencukupi kehidupan mereka. Padahal hasil sampah satu plastik yang mereka dapat tidak cukup untuk makan mereka selama sehari. Saya sangat terharu dengan kerja keras mereka. Saya bersyukur karena melalui kesempatan untuk berinteraksi dengan orang-orang di TPA Piyungan saya dapat mengetahui bahwa masih ada orang yang lebih susah dari saya. Karena itu, saya harus tetap bersyukur dengan hidup saya dan tidak lagi membanding-bandingkan hidup saya dengan hidup orang lain. Juga, tetap merendahkan hati serta berbela rasa kepada sesama yang membutuhkan. Kontributor: Ferdinanda E. Godopia – Kolese Le cocq d’Armandville

Pelayanan Masyarakat

Rekonsiliasi dengan Ciptaan melalui Permakultur

“All my life, we have been at war with nature. I just pray that we lose that war. There is no winner in that war,” kata Bill Mollison pendiri gerakan permaculture (permanent agriculture). Melalui pengalamannya, Mollison melihat bahwa manusia dalam sejarah peradabannya telah berusaha keras “menaklukkan” atau berperang melawan alam. Ia berharap bahwa tidak ada pemenang dalam perang itu. Bagi Mollison, alam punya cara untuk mengorganisir dirinya sendiri. Bagi kita, yang saat ini bahkan tanpa sadar “berperang” melawan alam, kiranya perlu menyadari peran kita di alam ini. Yang pasti, kita perlu melakukan rekonsiliasi dengan alam tersebut dan seluruh ciptaan yang ada di dalamnya. Lantas, apa wujud nyata yang dapat dilakukan? Gerakan permaculture bisa jadi salah satu caranya. 10 tahun yang lalu saya menerima sebuah buku tebal dengan judul Permakultur: Menuju Hidup Lestari dari seorang teman Jesuit. Saya tidak sungguh membaca buku tersebut karena saat itu sedang fokus kuliah Pendidikan Biologi. Tahun ini, setelah 10 tahun, saya berjumpa dengan orang-orang muda yang secara khusus mendalami permaculture. Rasa ingin tahu tentang gerakan itu pun terpicu kembali. Kebetulan, saat ini saya berkecimpung di bidang kursus pertanian dan menjadi delegasi perdamaian dengan ciptaan. Kesempatan pun datang secara khusus, saya ditawari oleh Pater Gabriel Lamug-Nanawa, S.J. sebagai Koordinator Reconciliation with Creation JCAP (Jesuit Conference of Asia Pacific). Gayung pun bersambut, dengan senang hati saya mengikuti Permaculture Design Course (PDC) yang diadakan di Alhibe Permaculture, Cebu, Filipina pada tanggal 6-16 September 2023. Dalam kegiatan PDC di atas, ada dua orang Jesuit yang terlibat, yaitu saya sendiri dan seorang romo Jesuit dari Myanmar: Pater Paul Tu Ja, S.J. Sebelumnya, pada bulan Februari yang lalu, Pater Gabriel Lamug-Nanawa, S.J. juga sudah mengambil kursus yang sama. Bersama kami ada 14 orang peserta lain yang datang dari berbagai daerah di Filipina. Secara umum, kegiatan kursus dikemas dengan baik dan suasana yang menyenangkan serta penuh dengan kekeluargaan. Permaculture sendiri adalah konsep yang positif dan terbuka dengan berbagai macam informasi tentang kelestarian dan teknik-teknik ekologis yang selaras dengan alam. Maka, saya sendiri sangat tersentuh dengan bagaimana kita mesti sadar dan membangun hubungan yang erat dengan alam. Tanpa hubungan dengan alam yang erat, saya tidak yakin bahwa seseorang bisa sungguh memiliki opsi dan perhatian dengan alam itu sendiri. Konektivitas dengan alam, bagi saya adalah kata kunci saat kita mesti berbicara tentang rekonsiliasi dengan ciptaan. Alam adalah tempat terdekat bagi kita untuk berinteraksi dengan ciptaan lain, entah itu tumbuhan, hewan atau bahkan mikroorganisme yang mungkin tidak bisa kita lihat dengan jelas. Desain dalam permaculture menjadi salah satu hal yang pokok. Desain yang dimaksud tentunya adalah desain yang berasal dari alam sendiri. Untuk sungguh mengaplikasikan permaculture di sekitar kita, kita bisa belajar dan mengadopsi tatanan yang secara khusus terdapat di alam, misalnya adalah ekosistem hutan. Hutan sendiri memiliki pola-pola ekologis yang secara teratur membuat ekosistem tersebut lestari. Melalui pola-pola yang ada, suatu ekosistem dapat menyimpan atau melepaskan energi yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan hewan yang mungkin terdapat di dalamnya. Melalui pola-pola yang sama, suatu lingkungan hutan bisa melepaskan atau menahan air yang dibutuhkan oleh lingkungan hutan tersebut dan masih banyak lagi peranan pola-pola yang terdapat di alam. Di akhir kegiatan PDC, para peserta diminta untuk mempresentasikan desain-desain permaculture yang dimiliki. Saya sendiri juga sudah membuat desain permaculture yang nantinya akan saya terapkan di Kursus Pertanian Taman Tani Salatiga (KPTT Salatiga). Dalam desain itu, saya menambahkan unsur edukatif. Saya mencita-citakan permaculture yang akan dibuat di KPTT bisa menjadi desain permaculture yang bisa dipelajari oleh banyak orang. Saya merasa optimis, di KPTT sendiri penguasaan terhadap dasar-dasar dan pengembangan pertanian organik sudah lebih baik. Dengan dasar ilmu pertanian yang ada, saya yakin permaculture dapat diintegrasikan dengan lebih mudah. Perpaduan antara permaculture dan pertanian organik ini, saya harapkan bisa menjadi jalan untuk mewujudkan secara nyata perdamaian dengan ciptaan. Saya juga berharap, KPTT nantinya dapat pula menjadi pusat dan rujukan untuk belajar tentang pendidikan ekologis dengan bentuk-bentuk penerapanya yang kreatif. Kontributor: Br. Dieng Karnedi, S.J. – KPTT

Penjelajahan dengan Orang Muda

Medicine Relationship

Setiap Jumat Podcast season 3 Di dunia yang berjalan serba cepat dan instan seperti saat ini, banyak orang muda yang kesulitan untuk menemukan makna dan kedalaman hidup. Sebagai sebuah siniar (podcast) yang hadir dalam bentuk audio, Setiap Jumat Podcast (SJP) hadir sebagai platform (sarana) berbagi obrolan ringan tentang kedalaman refleksi, pengalaman doa, dan pergulatan orang muda dalam kacamata Spiritualitas Ignasian. Program SJP, melalui tagline-nya, mengajak para pendengarnya untuk masuk ke kedalaman hidup dengan cara “rehat sejenak, ngobrol bersama supaya hidup tidak terlewat begitu saja”. Tahun 2023 ini, SJP memasuki season ke-3 dengan tema utama “Orang Muda Ignatian Ngobrol tentang UAP”. Tema ini berbicara tentang orang muda dan peran mereka dalam mewujudkan empat preferensi kerasulan apostolik yang mendasari karya dan pelayanan Serikat Jesus atau sering disebut UAP (Universal Apostolic Preferences); (e-book UAP dapat diunduh di https://jesuits.id/download/e-book-uap/). Empat poin dalam UAP diturunkan menjadi tema-tema yang berkaitan dengan anak muda diantaranya Orang Muda dan Spiritualitas, Orang Muda dan Orang yang terpinggirkan, Orang Muda dan Persahabatan, serta Orang Muda dan Lingkungan. Pada SJP Season 3 kali ini, Tim Komunikator SJ Indonesia membentuk program kolaborasi model baru dengan melibatkan Komunitas Magis Indonesia dengan monolog sharing refleksinya, PT Kanisius dengan renungan dari buku-buku terbitannya, dan OMK Ignasian Semarang dengan dialognya bersama para Jesuit. Setiap poin dari UAP dibahas bergantian selama sebulan dengan episode tayang setiap Jumat selama empat bulan. Total tercipta 17 episode. SJP Season 3 ini juga disemarakkan Proses kolaborasi di SJP Season 3 ini sepenuhnya berjalan secara daring selama enam bulan dan puncaknya pada 7-8 Oktober 2023 para kolaborator Tim SJP season 3 berkumpul secara tatap muka dalam acara Evaluasi dan Malam Keakraban (Makrab) di Refter Shakuntala, Gunung Kidul, Yogyakarta. Akhirnya setelah sekian waktu bekerja bersama hanya melalui layar gawai (gadget), masing-masing tim dapat bertemu langsung dan tanpa menunggu lama, kehangatan pun tercipta dan dengan giveaway buku dari PT Kanisius di setiap akhir tema UAP. Harapannya, hal ini juga dapat meningkatkan minat membaca dari para pendengar. Proses kolaborasi di SJP Season 3 ini sepenuhnya berjalan secara online selama enam bulan dan puncaknya pada 7-8 Oktober 2023 para kolaborator Tim SJP season 3 berkumpul secara tatap muka dalam acara Evaluasi dan Malam Keakraban (Makrab) di Refter Shakuntala, Gunung Kidul, Yogyakarta. Akhirnya setelah sekian waktu bekerja bersama hanya melalui layar gawai (gadget), masing-masing tim dapat bertemu langsung dan tanpa menunggu lama, kehangatan pun tercipta dan melebur dalam tim. Tim berangkat bersama ke Gunung Kidul dari Taman Komunikasi Kanisius. Kegiatan langsung dibuka dengan bermain ke Pantai Slili dan dilanjutkan dengan makan malam serta evaluasi. Dikarenakan ada beberapa personil yang berhalangan hadir, maka evaluasi berlangsung secara hybrid, luring dan juga daring melalui Zoom. Selama makan malam dan evaluasi, Tim SJP season 3 membagikan kesan masing-masing mengenai pengalaman mereka selama terlibat dalam program ini. Teman-teman dari PT Kanisius bercerita bahwa karena produk yang dihasilkan hanya audio saja maka tim Kanisius tertantang untuk mengemas konten sedemikian rupa agar bisa membuat pendengar tertarik dengan episode yang dihasilkan PT Kanisius. Menurut Mas Danang, akhir-akhir ini platform yang berkualitas untuk didengarkan oleh orang muda cukup sedikit. Kehadiran SJP sangat berarti karena bisa membahas isu-isu berat, terutama dengan kacamata rohani, serta mampu dibuat menjadi lebih santai dan relate dengan anak muda zaman sekarang. Selain itu, Mas Widi bercerita bahwa dengan berpartisipasi di SJP Season 3 ini, dirinya menemukan tantangan-tantangan yang membuatnya belajar banyak hal, terutama terkait bagaimana mengembangkan skrip dan menemukan talent pengisi suara yang cocok. Perwakilan OMK Ignasian dari Semarang juga berbagi kisah suka duka yang dirasakan. Menurut Haryadi (Didi), melalui SJP season 3 ini dirinya bisa bertemu orang-orang hebat, baik itu para Imam Jesuit yang menjadi narasumber maupun tim SJP Season 3 secara keseluruhan yang bekerja sama dengan baik hingga akhir. Didi berkata bahwa SJP season 3 ini memberikan kesempatan bagi dirinya untuk bisa mengobrolkan topik-topik yang merangsang imajinasi untuk berpikir maju. Harapannya, “Semoga temen-temen yang terlibat di SJP bisa terus kontak, terus solid, syukur-syukur kita bisa kembali berkarya bersama lewat SJP karena jelas pengalaman terlibat di SJP ini once in a lifetime experience yang bermanfaat banget buat diri kita.” Pada malam evaluasi, hampir seluruh kolaborator tim SJP season 3 merasa bahwa SJP perlu untuk terus dilanjutkan dan harapannya semakin bisa menjangkau lebih banyak pendengar. Rasa syukur atas perjumpaan ini membuat semua merasa bahwa program ini diharapkan dapat membuka kesempatan dan melibatkan lebih banyak orang-orang baru yang mau secara sukarela berkembang bersama. Seusai evaluasi, malam hari sebelum tidur dan istirahat, tim melanjutkan dengan acara barbeque dan ngobrol santai bersama. Di pagi hari kedua, tim SJP Season 3 menyempatkan diri untuk menikmati matahari terbit di Pantai Krakal sembari mensyukuri rahmat kehidupan dan kebersamaan yang diberikan Tuhan dari awal program hingga selesai. Seusai sarapan, tim SJP Season 3 menghabiskan waktu untuk bermain di Pantai Sadranan sambil snorkeling melihat terumbu karang dan ikan. Jeje, Designer Tim Sosial Media SJP Season 2 hingga Season 3, merasa sangat senang memiliki ruang belajar desain grafis di SJP, bertemu teman-teman baru dengan latar belakang yang berbeda-beda tapi bisa kompak dalam satu tim. Walau ada duka yang dirasakannya karena selama proses pengerjaan hampir tidak pernah bertemu tatap muka langsung, hampir seluruh koordinasi berlangsung daring. Jeje mengungkapkan dirinya juga bersyukur karena di setiap akhir Season bisa refleksi dan refreshing bersama seluruh tim. Dalam evaluasi kali ini, sesi ngobrol dan sharing serta snorkeling menjadi bagian terfavorit Jeje. Acara hari kedua ditutup dengan Misa Syukur yang dipimpin oleh Pater Hendricus Satya selaku Koordinator Tim Komunikator SJ Indonesia. Membuka misa, Pater Hendric mengajak setiap anggota tim untuk memikirkan satu kata tentang kebersamaan Tim SJP Season 3 selama enam bulan terakhir. ‘Sukacita, kolaborasi, syukur, senang, bahagia, kebersamaan’ menjadi beberapa kata-kata yang diungkapkan dalam misa. Pater menyampaikan tiga pesan dalam homilinya. Pertama, bagaimana sekarang ini manusia membutuhkan relasi yang dapat menjadikan diri mereka lebih baik dan menyembuhkan mereka bagaikan obat, atau bisa dikatakan sebagai Medicine Relationship. Hubungan ini adalah lawan dari tren Toxic Relationship yang marak di situasi sekarang. Dukungan hubungan yang positif ini dapat dimulai dari dukungan teman sebaya atau peer support. Satu sama lain saling memberikan dan menerima bantuan, menghormati dan saling memberdayakan

Formasi Iman

Pertemuan Bruder Jesuit Indonesia di Kolese Loyola Semarang

Pertemuan Bruder Jesuit Indonesia tahun 2023 diadakan di Kolese Loyola Semarang, dari tanggal 29 – 31 Oktober 2023. Ada 16 Bruder yang hadir dalam acara tersebut dan berasal dari beberapa komunitas. Hadir pula seorang Bruder Novis, yang diutus oleh Magister dan Socius Magister di komunitas formasi Novisiat Girisonta. Walaupun ada beberapa Bruder yang tidak hadir dalam acara ini, karena kesibukan maupun karena lokasi yang terlalu jauh (luar pulau), namun acara ini tetap berjalan dengan menggembirakan dan lancar.

Penjelajahan dengan Orang Muda

“Apa yang Tidak Boleh Kita Lewatkan untuk Masa Depan yang Penuh Harapan?”

Dialog Pater Jenderal Arturo Sosa dengan Orang Muda Pada pesta St. Ignatius Loyola, 31 Juli 2023, Pater Arturo Sosa, S.J, melakukan percakapan dengan enam peziarah muda yang mewakili berbagai benua dan latar belakang sosial-ekonomi. Masing-masing dari enam peserta berkesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada Pater Sosa tentang Gereja dan dunia. Elijah, seorang peziarah asal Amerika Serikat, adalah orang pertama yang mengajukan pertanyaan. Dia ingin tahu bagaimana dia bisa menghayati iman Katoliknya sebagai seorang pemuda dan baru saja menjadi seorang Katolik. “Menjadi seorang Katolik berarti memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan—dengan Yesus, ketika mengakui Dia sebagai Tuhan,” jawab Pater Jendral. “Katolik bukanlah sebuah doktrin. Itu adalah sebuah keyakinan. Prinsip satu-satunya adalah mengikuti Yesus. Dan untuk mengikuti Yesus, kita perlu berhubungan dengan Dia. Kita harus menjadi, seperti [St. Ignatius] berkata, dengan akrab; untuk mengembangkan keakraban itu melalui doa, melalui pelayanan kepada orang lain adalah hal yang benar-benar membawamu ke dalam iman Katolik.” Pertanyaan berikutnya yang diajukan kepada Pater Jendral adalah mengenai peran para Jesuit dan preferensi apostolik Serikat Jesus dalam bekerja dengan kaum muda dan mendorong mereka menjadi “pencipta masa depan yang penuh harapan,” seperti yang muncul dalam tema MAGIS 2023. “Saya ingin tahu apakah mereka yang tidak terpanggil pada panggilan religius dapat mengambil peran juga,” kata Sofia, seorang putri dari Portugal, kepada Pater Jendral. “Bagaimana kita bisa memberdayakan kelompok masyarakat ini?” Ia kemudian menambahkan pertanyaan lebih lanjut: “Bagaimana Serikat Jesus dapat menyediakan alat dan pelatihan integral bagi mereka yang ingin menjadi bagian dalam membangun masa depan yang penuh harapan, bahkan jika jalan hidup mereka tidak mengarah pada panggilan religius?” Menanggapi pertanyaan tersebut, Pater Jendral mengambil analogi tubuh Kristus yang digunakan dalam Kitab Suci oleh St. Paulus, mengingatkan para peziarah bahwa gereja, seperti halnya tubuh, memiliki banyak bagian. “Gereja membayangkan kembali dirinya sebagai umat Tuhan yang berjalan bersama,” katanya. “Tetapi panggilan utama umat Kristiani adalah menjadi orang awam—mayoritas umat Tuhan adalah orang awam.” “Bagaimana kita berkontribusi terhadap hal itu?” tanya Pastor Sosa. “Karena panggilan berasal dari Tuhan; Tuhanlah yang memanggil, bukan manusia yang menciptakan. Saya tidak bermaksud melakukan ini atau itu; Tuhan memanggil siapa pun yang Dia inginkan, karena apa yang Dia yakini bisa lebih baik bagi kebahagiaan mereka—demi kebahagiaan kita masing-masing.” Pater Jendral kemudian beralih ke karunia khusus yang dapat diberikan oleh spiritualitas Ignatian untuk membantu orang menemukan panggilan mereka: “Yang harus kita pelajari adalah mendengarkan panggilan Tuhan. Spiritualitas Ignasian adalah cara nyata dalam memahami, mendengarkan panggilan dan mempersiapkan diri untuk mengambil pilihan, karena panggilan itu diberikan oleh Tuhan, tetapi keputusan ada di tangan kita masing-masing.” Yvonne, seorang Katolik dari Malaysia, berkomentar bahwa di beberapa negara Asia, menjadi Katolik mengakibatkan penganiayaan. Dia bertanya kepada Pater Jendral, “Ketika lingkungan kita membatasi kemampuan kita untuk mengekspresikan dan membagikan iman kita, bagaimana kita bisa menjadi mercusuar harapan bagi orang lain?” “Paus Fransiskus mengundang kita tidak hanya untuk menyaksikan Yesus Kristus di kayu salib tetapi juga untuk menyaksikan dari salib,” kata Pater Jendral. “Jika kita benar-benar ingin mengikuti Yesus, kita perlu bangkit dan mengamati dunia serta melihat sejarah dari sudut pandang Kristus di kayu salib—dan itu mengubah segalanya. Saat Anda disalib, Anda terbuka terhadap apa yang Tuhan ingin lakukan bagi dunia.” Paus Fransiskus sering menggambarkan hari ini sebagai momen penganiayaan umat Kristen yang terbesar, kata Pater Jendral. Ia mencontohkan kejadian baru-baru ini di India di mana ratusan gereja dibakar dan banyak yang meninggal. “Sebagai umat Kristiani, kita harus membiasakan diri menghadapi kesulitan. Jalan menuju kehidupan sejati melewati salib. Anda tidak akan sampai pada kebangkitan tanpa mengalami kematian,” katanya. “Yang memberi kita penghiburan adalah bahwa [Yesus] menyertai kita. Dia membuka jalan. Dia berjalan sampai akhir dan itulah sebabnya dia bangkit dan membuka kehidupan kebangkitan kepada kita.” Bia, seorang perempuan asal Brazil, menyampaikan isu ketenagakerjaan bagi kaum muda merupakan hal yang sangat penting. Martabat pekerja menyentuh sejumlah isu, termasuk ras dan gender. Dia bertanya kepada Pater Jendral bagaimana pandangan Gereja dan Serikat Jesus mengenai masalah ini. “Bukan hanya kebijakan neoliberal yang membuat perekonomian tumbuh,” kata Pater Jendral. “Untuk mewujudkan pekerjaan yang bermartabat bagi semua orang, diperlukan keadilan sosial. Selama kemiskinan terus meningkat, berapapun banyaknya pekerjaan yang tersedia, akan terjadi eksploitasi dan pekerjaan yang tidak bermartabat bagi manusia.” Serikat Jesus memahami misinya sebagai “iman kepada Tuhan yang memajukan keadilan sosial bagi semua orang,” katanya. “Pelayanan yang ingin kami tawarkan kepada dunia adalah berkontribusi dalam mengubah struktur sosial untuk mengakhiri kemiskinan sebagai kondisi yang terjadi di sebagian besar dunia, untuk mengakhiri migrasi paksa, untuk mengakhiri pekerjaan yang tidak bermartabat.” Namun perubahan ini, katanya, hanya akan terjadi jika umat Katolik berkomitmen untuk kebaikan bersama seluruh umat manusia. “Selama masih ada masyarakat miskin, tidak ada harkat dan martabat manusia,” ujarnya. Shingirai, seorang remaja putri dari Zimbabwe, mengajukan pertanyaan terakhir kepada Pater Sosa. Dia menyatakan keprihatinannya mengenai dampak agama Kristen terhadap budaya Afrika, khususnya hilangnya akar tradisional. “Apa yang dilakukan gereja untuk membentuk tatanan moral generasi muda?” tanyanya, dengan menyebutkan secara spesifik tentang L.G.B.T.Q. masyarakat. Dia juga menanyakan tentang upaya Gereja untuk melibatkan orang-orang dari Afrika dan Asia dalam membentuk nilai-nilai dan administrasinya. Pastor Sosa menjawab: “Mungkin abad ke-20 dan abad ini, abad ke-21, adalah momen ketika Gereja menjadi Katolik. Sekarang adalah momen dalam sejarah ketika Gereja menjadi benar-benar universal; karena kita sekarang memiliki Gereja Multikultural.” “Setiap kebudayaan harus diubah melalui terang Injil. Menjadi seorang Kristen atau Katolik bukanlah berarti memperoleh budaya baru; itu adalah untuk menginjili budaya tempat Anda berasal. Kekristenan bukanlah sebuah budaya, melainkan keyakinan agama yang menerangi setiap budaya,” ujarnya. “Itulah mengapa tantangan besarnya adalah menjadi antar budaya; dari budaya Anda yang diterangi oleh Injil, Anda berhubungan dengan budaya lain dan Anda memperkaya budaya lain dan Anda diperkaya oleh budaya lain.” Pater Jendral kemudian menanggapi secara lebih lugas kekhawatiran Shingirai tentang dampak Gereja terhadap moralitas seksual di berbagai budaya. Pemikiran moral dan teologis Katolik “selalu dalam proses,” katanya. “Kita perlu mengembangkan dari inspirasi Roh Kudus bagaimana menghadapi berbagai masalah. Dan itulah mengapa kearifan sangat penting,” tambahnya. “Kita perlu mengasihi manusia, karena Tuhan mengasihi semua orang. Tuhan adalah cinta. Dan dia mengambil inisiatif untuk mencintai semua orang; setiap manusia dikasihi oleh Tuhan. Jadi dari situ kita bisa benar-benar memahami dan mengembangkan

Provindo

To be Men and Women for and with Others

Setelah sempat tertunda selama dua tahun karena pandemi, akhirnya Temu Kolese (Tekol) diselenggarakan kembali. Temu kolese kali ini diselenggarakan di SMA Kolese de Britto, Yogyakarta dan mengusung tema “To Be Friend with The Poor!”. Kegiatan ini dilaksanakan pada 16-20 Oktober 2023 dan dihadiri delapan Kolese Jesuit Indonesia, yaitu Kolese Kanisius Jakarta, Kolese Gonzaga Jakarta, Kolese Loyola Semarang, Kolese de Britto Jogja, Kolese PIKA Semarang, Kolese Mikael Solo, Seminari Mertoyudan Magelang, dan Kolese Le Cocq Nabire. Temu kolese adalah kegiatan yang diinisiasi oleh para pamong kolese agar siswa-siswi Kolese Jesuit Indonesia berjumpa dan berkolaborasi. Pater Baskoro Poedjinoegroho, Delegat Pendidikan Serikat Jesus, bercerita bahwa kegiatan ini bermula dari 3 kolese besar (Kolese de Britto, Kolese Loyola, dan Kolese Kanisius) yang saling berkunjung dari satu kolese ke kolese lain secara bergantian. Dalam kunjungan ini diselenggarakan pula pertandingan olahraga sehingga terjadi interaksi antarsiswa kolese. Lambat laun, para pamong kolese menginisiasi pertemuan seluruh kolese Jesuit Indonesia yang terprogram dan rutin sekitar tahun 1980n. Temu Kolese tahun 1985 dilaksanakan di Seminari Mertoyudan Magelang dan dihadiri oleh 6 kolese Jesuit yaitu Kolese Loyola, Kolese de Britto, Kolese Kanisius, SMK PIKA dan STM Mikael. Kegiatan ini dilaksanakan pada 11-13 Oktober 1985 dengan agenda pertandingan olahraga. Pertemuan kolese selanjutnya dilaksanakan di Kolese Loyola Semarang pada 11-13 Oktober 1988 dengan tema “Satu dalam Semangat Yesuit”. Kegiatan ini diikuti oleh Kolese de Britto, Kolese Kanisius, Seminari Pejanten atau Kanisius Unit Selatan, PIKA, STM Mikael, Seminari Mertoyudan dan Kolese Loyola. Sempat beberapa kali temu kolese diselenggarakan di Seminari Mertoyudan karena ada asrama yang mengurangi kesulitan akomodasi dan mck anak-anak. Setelah beberapa waktu, Tekol diselenggarakan di kolese-kolese lain agar dapat mengunjungi sekolah-sekolah yang lainnya. Sempat, pertandingan olahraga menjadi sebuah ajang untuk menunjukkan kehebatan kolese serta mengajarkan para peserta berkompetisi. Lambat laun tidak hanya pertandingan olahraga saja, berbagai kegiatan seperti lomba namun mulai berkembang menjadi berbagai kesenian, debat, refleksi bersama, ekaristi, doa, dan malam ekspresi. Berbeda dengan temu kolese sebelumnya, panitia Tekol 2023 menambahkan sebuah kegiatan baru yaitu immersion. Program immersion ini adalah salah satu ciri khas formasi di SMA Kolese de Britto, di mana para siswa diajak untuk tidak hanya menjadi pengamat namun pelaku yang berinteraksi langsung dengan mereka yang tersingkirkan lewat live in di karya sosial atau slum area. Tujuan immersion dalam kegiatan Tekol 2023 ini adalah agar anak-anak belajar mengasah hati dan sisi compassion mereka serta memperdalam semangat to be men and women for and with others. Kegiatan ini sejalan dengan tema Temu Kolese kali ini yaitu “To Be Friend with The Poor!” sekaligus selaras dengan salah satu fokus Universal Apostolic Preferences (UAP). Saat immersion, para peserta dibagi dalam beberapa kelompok. Ada yang mengunjungi lapas, menjadi pedagang di pasar Beringharjo, buruh pasir, tukang parkir, dan mengambil sampah di TPA Piyungan. Pater Hugo, ketua panitia Tekol 2023 mengatakan, “Semoga setelah mereka berbaur dengan orang sederhana, mencium bau keringat mereka, dan melihat situasi yang ada, akan menggugah mereka. Jika suatu saat mereka menjadi pemimpin, mereka ingat dengan saudara yang menderita dan dengan ringan tangan membantu.” Sebelum peserta terjun langsung ke lapangan, Pater Nano memberikan pengantar bahwa mereka datang ke tempat immersion perlu menyiapkan diri, termasuk mengidentifikasi ketakutan. Selain itu para peserta juga diajak untuk membuka hati, persepsi, dan imajinasi. Setelah immersion para peserta dibantu oleh Pater Pieter untuk menajamkan refleksi mereka sehingga menjadi bekal mereka untuk masa depan. Pater Hugo mengibaratkan anak-anak mendapatkan menu hamburger yang lezat dalam Tekol kali ini, dengan immersion sebagai dagingnya serta refleksi dari Pater Nano dan Pater Pieter Dolle sebagai rotinya. Logo Temu Kolese 2023 ini terinspirasi dari tema “To Be Friend with The Poor”, yang memiliki makna dengan kebersamaan dan saling merangkul, kita dapat mencapai tujuan bersama. Dalam logo ini terdapat bentuk 8 tangan yang melingkar membentuk bunga dengan matahari di tengahnya, dan tulisan melingkar “Temu Kolese 2023” serta tema Tekol tahun ini. Bentuk tangan disusun menyerupai bentuk bunga yang bermakna saling merangkul dan menghasilkan bentuk yang indah. Selain itu tangan yang mengelilingi ini merupakan gambaran bentuk compassion untuk menjadi sahabat bagi mereka yang tersingkirkan. Tangan ini melambangkan 8 Kolese di Indonesia dan menggunakan warna dominan dari masing-masing Kolese. Matahari menjadi representasi tujuan dari Tekol tahun ini yaitu melatih compassion, yang terinspirasi dari logo Jesuit. Bentuk matahari yang menyala dan menyebar merupakan gambaran kepekaan terhadap lingkungan sekitar agar mau berbagi dan memperhatikan mereka yang terpinggirkan. Di bagian kanan kiri terdapat bentuk salib yang melambangkan kegiatan ini dilandasi oleh iman katolik yang kuat untuk menjalankan dan menyebarkan kasih Tuhan kepada sesama manusia dan lingkungan. Tidak hanya para siswa-siswi saja yang berjumpa dan berkolaborasi bersama dalam Temu Kolese ini, juga para guru kolese. Hal ini terlihat dari keterlibatan para guru masing-masing kolese yang ikut menjadi panitia. Para guru yang menjadi panitia dibantu pula oleh siswa-siswi dari berbagai kolese. Temu Kolese ini tidak hanya menjadi ajang untuk berkolaborasi saja namun juga menyatukan energi. “Energi dari kolese-kolese Jesuit begitu positif dan bagus sehingga bila disatukan akan menjadi energi yang besar yang menggerakkan di wilayah masing-masing. Serikat Jesus melalui sekolah-sekolah memberikan kontribusi bagi masyarakat yang lebih luas tidak hanya untuk Gereja saja,” tutur Pater Hugo. Pater Kuntoro, rektor SMA Kolese De Britto, berharap setelah Tekol ini para peserta lebih berani mengambil waktu untuk diri sendiri guna mengendapkan, mengidentifikasi, dan memaknai pengalaman yang mereka peroleh. “Mungkin mereka tidak tahu apa maknanya sekarang, tapi nanti akan menjadi energi bagi mereka dalam menjalani kehidupan.” Pater Baskoro Poedjinoegroho pun menambahkan bahwa perkembangan dunia yang destruktif membutuhkan mereka yang mempunyai bekal yang kuat. Salah satunya berupa pengalaman dicintai. Semoga dalam perjumpaan di Temu Kolese ini, anak-anak merasakan pengalaman dicintai dan persahabatan dari teman-teman dan sesama sehingga mereka merasa diri mereka berharga. Ketika mereka merasa diri mereka berharga, mau mengapresiasi diri serta bersedia untuk bertumbuh, mereka pun akan memberikan kebaikan juga untuk orang lain. Dengan cara itu, mereka menghidupi semangat to be men and women for and with others. Kontributor: Margareta Revita – Tim Komunikator