Pada awalnya hal ini tidak terkirakan. Maksud dari tidak terkirakan adalah perasaan saya setelah melihat apa yang ditugaskan kepada saya dan teman-teman kelompok immersion. Saya dan teman-teman mendapatkan tempat immersion di TPA Piyungan. Awalnya saya biasa-biasa saja dan beranggapan bahwa suasananya akan biasa-biasa saja. Ternyata tak sebanding dengan apa yang saya pikirkan. Ternyata di TPA masih ada orang-orang yang bekerja seperti memilah-milah sampah untuk dijual. Lebih kagetnya lagi, di TPA ada sapi yang mencari makan di tengah sampah dan ditambah lagi baunya yang sangat menyengat. Sampahnya sangat banyak sampai-sampai membentuk seperti gunung. Saya juga bertanya ke teman kelompok, katanya ini belum seberapa dibandingkan di Jakarta. Hal ini membuat saya teringat ketika mengunjungi TPA di Nabire yang kondisinya tidak seperti ini dan sampahnya tidak sebanyak ini.
Ketika di TPA saya dan teman-teman dibagi menjadi 16 kelompok. Kami diminta untuk mengumpulkan plastik, botol kaca, dan botol karet. Kami berhasil mengumpulkan sampai satu trashbag penuh. Keadaan di TPA membuat saya bertanya-tanya di dalam hati, “Kok bisa ya orang-orang di sana bertahan dengan baunya sampah, panasnya matahari, dan debu?” Saya yang baru mengangkat sampah di sana saja sudah merasa malas, mual, dan jijik. Mereka adalah orang-orang hebat yang mencari uang dengan bekerja di tempat itu untuk mencukupi kehidupan mereka. Padahal hasil sampah satu plastik yang mereka dapat tidak cukup untuk makan mereka selama sehari.
Saya sangat terharu dengan kerja keras mereka. Saya bersyukur karena melalui kesempatan untuk berinteraksi dengan orang-orang di TPA Piyungan saya dapat mengetahui bahwa masih ada orang yang lebih susah dari saya. Karena itu, saya harus tetap bersyukur dengan hidup saya dan tidak lagi membanding-bandingkan hidup saya dengan hidup orang lain. Juga, tetap merendahkan hati serta berbela rasa kepada sesama yang membutuhkan.
Kontributor: Ferdinanda E. Godopia – Kolese Le cocq d’Armandville