Kontemplasi
Sebagai salah satu peserta Temu Kolese 2023, aku berkesempatan untuk mengikuti dinamika yang menjadi ‘signature menu’ acara Temu Kolese tahun ini, yakni “immersion”. Melalui kegiatan immersion, peserta diajak untuk mengenal sekaligus menguraikan pokok tema “To Be Friend with the Poor” dengan wujud aksi nyata. Peserta menyambangi tempat-tempat masyarakat kecil. Cerita sedikit tentang pengalaman immersion yang kualami, aku mendapat bagian berkunjung ke daerah tambang pasir di lereng Gunung Merapi untuk melihat realitas kehidupan penambang pasir tradisional yang ada di sana.
Di hari pelaksanaan immersion, aku dan teman-teman dibangunkan pukul 01.00 dini hari, lalu cuci muka, dan berkumpul untuk melakukan pengkondisian. Dengan keadaan lelah dan masih mengantuk, akhirnya kami berangkat dari SMA Kolese De Britto, Yogyakarta pukul 02.00 pagi. Selama perjalanan, aku diselimuti rasa penasaran dan antusias. Apalagi ini merupakan pengalaman perdana bagiku. Setelah perjalanan selama kurang lebih 45 menit, kami tiba di Desa Srumbung, Kabupaten Magelang. Kami berkumpul di base camp truk pasir milik Bapak Nida Nur Afandi, seorang Ketua Asosiasi Pekerja Tambang Pasir Merapi sebelum akhirnya kami dibagi dalam kelompok-kelompok berisikan lima siswa dari berbagai kolese tiap kelompok. Komposisi kelompokku berisikan dua siswa dari Kolese Loyola (termasuk diriku) serta tiga siswa dari Kolese Mikael.
Setelahnya, masing-masing kelompok secara bergilir menaiki truk-truk pasir. Waktu berselang, giliran kami pun tiba. Kami berlima menumpangi salah satu truk pasir dan menetap di bagian dek kargo truk. Dengan keadaan apa adanya, kami melanjutkan perjalanan ke tambang pasir. Tujuan kami adalah ke daerah pasir lereng Gunung Merapi. Lokasi penambangan ini terletak di daerah bernama Tegalan, dengan jarak sekitar 3-4 km dari Puncak Merapi. Perjalanan di dalam truk menuju tambang pasir menghabiskan waktu kurang lebih dua jam. Jalan yang kami lalui cukup terjal dan menanjak. Hal ini membuat kami berkali-kali merasa kesulitan untuk duduk atau berdiri. Namun kami berusaha membuat diri kami nyaman dengan berpegangan pada tali pengait yang ada di dek kargo truk tersebut.
Selama perjalanan, kami melihat begitu banyak aktivitas tambang dengan riuhnya truk-truk yang juga lalu lalang di sepanjang rute yang kami lewati. Bahkan tak jarang kami harus beradu mengantre dengan truk pasir lainnya. Hal ini membuat kami semakin bersemangat dan tak sabar untuk segera sampai di daerah tambang. Di tengah perjalanan, bapak sopir menyempatkan kami berhenti sejenak untuk beristirahat dan buang air kecil. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami juga diajak berfoto dengan berlatarkan indahnya lanskap Gunung Merapi di belakang.
Sesampainya di daerah tambang pasir, truk pun parkir di area aktivitas penambangan. Suasana pagi itu cukup ramai oleh kuli-kuli pasir yang sedang sibuk menggali pasir. Kami turun dari truk dan sarapan sebentar sembari mengamati lingkungan sekitar. Kedatangan kami disambut dengan sangat hangat dan kami diterima dengan baik. Rasa antusiasme dan penasaran kami pelan-pelan terbayarkan.
Awalnya, kami menyaksikan segala proses penambangan tradisional dan turut melihat cara pekerja-pekerja tersebut memecah, mengayak, hingga mengangkut pasir. Kami juga belajar cara menggunakan alat-alat tambang pasir, seperti linggis, penyaring, dan gerobak pasir. Setelah cukup melihat dan merasa siap, kami mencoba menawarkan diri kami untuk membantu para pekerja tambang pasir. Berbekal pengetahuan seadanya dan hasil observasi yang baru dilakukan, kami mulai mencoba menggali pasir dengan menggunakan linggis. Pasir yang masih bercampur dengan batu itu kemudian kami pisahkan dengan menggunakan penyaring kecil. Pasir yang telah disaring, kemudian diangkut menggunakan gerobak pasir untuk dimasukkan ke dalam truk.
Berkali-kali kami merasa kesulitan ketika menggali dan mengangkut pasir, namun mereka rela tetap menuntun dan membantu kami. Meskipun kami masih sering salah, mereka tetap sabar mengajari kami dan kadang menggantikan kami ketika kami kelelahan. Meskipun sebenarnya mungkin kami merepotkan mereka, kami tetap dibuat nyaman dan diterima oleh mereka. Kami diperlakukan dengan sangat baik dan kami merasa sangat diterima oleh mereka. Selain membantu dan ikut mencoba menambang pasir, kami juga berinteraksi dengan para pekerja dan mencoba memahami tantangan yang mereka hadapi setiap harinya. Meski lelah, 1 jam kami mengangkut pasir ternyata tidak begitu terasa karena kami menikmatinya. Beberapa kali juga kami bersenda gurau bersama pekerja-pekerja tambang pasir supaya suasana bisa lebih cair.
Setelah truk kami terisi penuh, kami pun bersiap turun ke bawah untuk kembali ke base camp. Kami menutup dek kargo truk dan berpamitan dengan pekerja-pekerja. Sebelum naik ke truk, kami diberikan semangat dan wejangan oleh pekerja-pekerja. Kami diingatkan supaya rajin belajar dan sekolah dengan serius. Pesan-pesan yang terkesan sederhana tersebut justru mengesan dan kuingat hingga sekarang. Setelah berpamitan, kami pun naik ke dek kargo. Uniknya, kami tentu harus duduk di atas tumpukan pasir. Kami pun kembali ke base camp, makan siang, dan kembali ke SMA Kolese De Britto untuk menutup rangkaian dinamika immersion dengan refleksi.
Banyak hal yang kudapat dan kusyukuri dari pengalaman perjumpaan singkat ini. Kami benar-benar mencoba untuk keluar dari zona nyaman, melawan rasa takut dan gejolak-gejolak hati. Kami belajar untuk lebih terbuka, berbaur, dan membangun relasi dengan berbagai elemen masyarakat, khususnya yang terpinggirkan. Pengalaman ini lekat sekali dengan apa yang St. Ignatius jelaskan dalam Latihan Rohani-nya. Dalam Latihan Rohani, St. Ignatius memberikan penjelasan tentang cinta dengan menggarisbawahi pentingnya tindakan nyata. “Cinta harus lebih diwujudkan dalam perbuatan daripada diungkapkan dalam kata-kata” (Latihan Rohani No. 230). Dalam arti ini cinta menunjukkan kebenaran atau sekurang-kurangnya sisi-sisi kesadaran sosial Ignatius yang mewujud pada perhatian terhadap orang-orang kecil dan kepedulian terhadap situasi sosial yang buruk.
Selama ini, kita terlalu sibuk dengan urusan pribadi hingga lupa bahwa kita hidup berdampingan bersama masyarakat-masyarakat kecil, misalnya seperti kuli pasir atau sopir truk. Mereka seringkali luput dalam pandangan kita. Padahal kehadiran mereka ternyata begitu krusial bagi aktivitas ekonomi warga sekitar. Tanpa terjun langsung, mungkin kesadaran akan itu tidak akan kami dapatkan. Akhirnya, kami memahami pentingnya mengapresiasi kehadiran dan kerja keras mereka, serta bersyukur atas segala hal yang kita miliki saat ini.
Kontributor: Vincentius Andika Rahadian – Kolese Loyola