Ceritaku Di Temu Kolese
Pagi sekali aku merasakan tepukan ringan di tangan kananku. Karena lelah akan hari yang telah berlalu, aku tidak mengambil pusing dan memutuskan kembali tidur. Lagi-lagi, Aku merasakan tepukan yang lebih keras. Aku pun memutuskan membuka mata. Tidak, bukan malaikat yang membangunkanku pagi itu. Panitia Temu Kolese yang giat melaksanakan tugasnya pagi-pagi dengan membangunkanku karena tanda pita di tanganku. Di tengah lelahnya diriku, walaupun sedikit kesal, aku berusaha menyadarkan diri agar tidak membuat kelompokku menunggu. Aku ingat kala itu pukul 02.00 pagi, tidak sering aku harus bangun sepagi itu.
Kemarin aku baru saja sampai di Kolese De Britto, Yogyakarta, setelah perjalanan yang panjang. Aku tersenyum ketika mengingat pelepasan kontingen peserta Kolese Kanisius kemarin lusa, terlebih lagi canda-tawa yang kami bagikan sesaat sebelum tertidur lelap di bus. Sialnya, aku mendapatkan tempat duduk di samping cello (alat musik) berukuran besar milik performer dari SMP. Ya, walaupun sempit, tetapi setidaknya aku masih dapat menikmati perjalanan. Sakit pinggang bukan tantangan jika hadiahnya adalah kunjungan ke Yogyakarta, apalagi menemui rekan-rekan dari delapan kolese dan seminari di Indonesia.
Ketika baru sampai, aku merasa sedikit cemas bagaimana nantinya akan menyapa yang lain. Mungkin aku harus belajar cara ngomong yang agak medok… Mungkin aku harus belajar kosakata Bahasa Jawa… Mungkin aku harus belajar sopan santun mereka… Itulah beberapa pikiranku yang mengganggu selama perjalanan. Mungkin suara-suara di dalam kepalaku terkesan aneh bagimu, wahai pembaca, tetapi aku memang sedikit anti sosial. Semua pikiran buruk itu pecah bagaikan balon ketika aku dan kontingen CC lainnya turun dari bus dan disambut hangat oleh panitia, baik oleh tuan rumah De Britto maupun oleh panitia dari kolese yang lain.
Sambil menunggu mulainya sesi di aula De Britto, aku merasa bosan. Walaupun bosan tersebut sedikit terobati dengan berbincang bersama teman-teman sekamar di kelas X3, tetapi aku ingin bermain… Aku ingin bermain tenis meja! Ketika terpilih menjadi kontingen CC, bukan maksudku untuk menjalani semua acara Temu Kolese. Maksudku adalah untuk unjuk kemampuan dengan peserta lomba tenis meja dari kolese yang lain. Namun apa boleh buat, semua acara tersebut sudah disiapkan. Oleh karena itu, kuputuskan untuk mencoba ikut seluruh rangkaian acara.
Ketika sesi di aula De Britto akhirnya dimulai, aku mencoba mendengarkan apa yang dikatakan Pater Jupri. Namun, mataku tak kunjung menurut dan aku setengah tertidur. Apa yang berhasil kutangkap hanyalah bahwa esok hari akan ada kegiatan immersion, atau semacam live in singkat selama satu hari. Immersion dibagi ke dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok memiliki anggota campuran dari kolese lain, dan aku seorang diri dari CC di kelompokku. Jujur, itu membuatku sedikit khawatir karena mau tidak mau aku harus bergaul dengan tuan rumah immersion sekaligus teman-teman dari kolese lain. Hal lain yang kutangkap adalah bahwa kelompokku, Xaverius dan Faber, diminta bangun jam 2 pagi untuk bersiap-siap ke lokasi immersion. Entah Pater menyebutkan lokasi immersion atau tidak, pokoknya aku tidak menangkap di mana aku dan kelompokku akan pergi keesokan harinya.
Kembali ke pukul 02.00 pagi; aku memutuskan untuk tidak mandi karena waktu sudah mepet. Aku membawa tasku dan bergegas menuju titik temu kelompok kami, yaitu di depan perpustakaan De Britto. Jujur, aku masih merasa cemas akan keadaan di lokasi immersion nanti. Setelah diabsen, kami sekelompok beserta pendamping menaiki bus yang telah menunggu. Bus yang kami tumpangi tidak memiliki pendingin, berbeda dengan bus-bus yang biasa dijumpai di Jakarta. Kendati demikian, hawa pagi Yogyakarta membantuku tetap bertahan di dalam bus itu.
Sekitar 10 menit kemudian, bus berhenti. Di tengah gelapnya malam, Aku melihat sebuah palang besar yang bertuliskan ‘Pasar Beringharjo’ dengan tulisan yang kukira adalah aksara Jawa di bawahnya. Saat turun, kuhirup udara yang berbau amis, menginjak jalan yang becek, dan mendengar sahut-sahut penjual yang sedang membereskan dagangannya. Kuingat itu sekitar jam 3 pagi. Aku mengalami nostalgia, kembali ketika berumur 10 tahun. Dulu, almarhum kakekku sering mengajakku ikut berbelanja bahan makanan mentah di Pasar Kemiri Depok.
Setelah turun, kami dibagi lagi ke dalam beberapa kelompok. Aku bersama kelompokku tiga orang: Jesse, Kidung, Mahe, ditugaskan untuk berjalan menyusuri selasar gelap tempat parkir Pasar Beringharjo. Kami diminta mencari seseorang bernama Pak Ari. Setelah beberapa waktu, kami menemukan beliau sedang membereskan motor di selasar itu. Jesse lah yang menyambut Pak Ari terlebih dahulu. Aku tidak berani menyapa pertama karena takut dibalas dalam Bahasa Jawa. Aku sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. Kami berlima berbincang singkat selama 5 menit.
Pak Ari ternyata telah bekerja sebagai tukang parkir di Pasar Beringharjo selama 20 tahun. Aku sangat terkejut dengan pernyataan itu. Semua orang di Beringharjo adalah keluarga bagi beliau karena mereka sudah bertemu setiap hari selama 20 tahun. Di Beringharjo, tukang parkir memiliki wilayahnya sendiri-sendiri. Tiap wilayah juga dibagi ke dalam 2 shift: shift pagi dan shift siang. Pak Ari bekerja pada shift pagi, bersama temannya, Pak Mamad. Pak Ari menggunakan kata ‘kartu kuning’ untuk menjelaskan temannya itu. Kami tentu bingung dengan maksud beliau, dan bertanya mengenainya. Pak Ari memperjelas bahwa Pak Mamad adalah orang dengan gangguan jiwa ringan. Jantungku berhenti sejenak ketika mendengar itu.
Aku, Jesse, Kidung, dan Mahe kemudian berunding untuk berbagi tugas. Aku dan Mahe membantu Pak Mamad, Kidung dan Jesse membantu Pak Ari. Tidak banyak yang dipesankan oleh Pak Ari untuk kami lakukan, hanya, “Santai aja, kalau ada yang bisa dibantu, ya paling lurus-lurusin motornya.” Wilayah parkir Pak Mamad lebih jauh di ujung lorong gelap itu. Ternyata banyak motor yang sudah diparkirkan di sana, dan para penjual telah datang bersiap-siap sejak pagi. Aku dan Mahe pun duduk di atas dudukan bambu milik Pak Mamad yang beliau gunakan untuk beristirahat. Kami berbincang sedikit bersama Pak Mamad, aku sedikit takut setelah perkataan Pak Ari tadi bahwa Pak Mamad adalah orang dengan gangguan jiwa. Pak Mamad kebanyakan berbicara dalam bahasa Jawa, sehingga aku berkomunikasi melalui Mahe. Untung saja ada Mahe, kalau tidak, tidak mungkin aku bisa bertahan di tengah keadaan itu. Pak Mamad berkata bahwa dia telah bekerja sebagai tukang parkir di sana selama 18 tahun. Beliau bercerita bahwa dulu area parkir tersebut jauh lebih ramai dari yang sekarang, dan sudah tidak banyak orang muda yang masih singgah ke pasar secara rutin.
Kebanyakan yang kami lakukan hanya menunggu, berbincang, serta meluruskan motor. Ketika seseorang keluar dari gerbang samping ke area parkir, Pak Ari dan Pak Mamad sudah tahu motor mana milik orang tersebut. Mereka langsung mengambil motornya dan membawakan ke dekat gerbang, sehingga tidak banyak menyisakan motor untuk aku keluarkan. Motor-motor yang kutarik juga relatif berat. Tidak sering aku harus berkecimpung dengan motor di Jakarta, apalagi mendorong motor milik orang lain. Semakin lama kami membantu Pak Mamad, lorong tempat parkir motor semakin terkena sinar fajar dan menjadi tidak begitu seram lagi.
Aku masuk ke dalam konteks sosial yang amat menarik di area parkir Pasar Beringharjo. Butuh waktu yang cukup lama untuk dapat mengikuti ritme kerja Pak Mamad, khususnya dalam mengingat motor mana milik siapa, bagaimana harus memposisikan motor, dan berapa tarif parkirnya. Ketika aku akhirnya mulai memahami dan menguasai konteks sosial dan etika menjadi tukang parkir, jam sudah menunjukkan pukul 08.00. Setelah berpamitan dengan Pak Ari dan Pak Mamad, aku beserta kelompok dipanggil untuk kembali berkumpul. Aku sedikit kecewa bahwa aku tidak dapat lanjut membantu Pak Mamad. Walaupun tidak banyak yang dapat aku bantu, tetapi aku ingin terlebih lagi memahami alur dan etika kerja yang dianut tukang parkir di Pasar Beringharjo dan daerah sekitarnya.
Setelah berkumpul lagi, kami diberikan sarapan berupa nasi padang. Pada saat yang singkat itu, nasi padang tiba-tiba menjadi makanan terenak yang pernah kucicipi. Sambil makan, aku juga berbincang bersama teman-temanku sekelompok. Kami saling menceritakan kegiatan yang baru saja dilakukan. Ada beberapa yang kerja membersihkan toilet umum dan beberapa yang kerja memotong daging ayam. Kami sekelompok saling menjelaskan dengan amat detail lelahnya, baunya, dan kotornya masing-masing dari pekerjaan yang kami emban. Sambil asyik bercerita dan tertawa, kami diinterupsi oleh salah satu pendamping. Kelompok kami diminta mempersiapkan diri untuk tantangan selanjutnya. Jujur aku sedikit kesal, tapi sekaligus tertarik mengenai tantangan tersebut. Setelah selesai makan, kami sekelompok mulai berjalan keluar dari Pasar Beringharjo.
Aku dan kelompokku dituntun ke arah Jalan Malioboro, dan di sana kami diberitahu tugasnya. “Sekarang pukul 09.00 kurang. Sampai pukul 10.00, setiap kelompok kumpulkan 600 puntung rokok dari area yang telah ditentukan,” ujar pendamping kelompok kami. Otakku mulai berpikir keras. Jalan Malioboro seharusnya merupakan area bebas rokok, dan kami diminta mencari puntung rokok sedemikian banyak. Ada pula petugas kebersihan di sana yang secara berkala membersihkan trotoar. Namun, bagaimanapun alasannya, tantangan harus diselesaikan. Kami dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Aku, Jesse, dan Kana mendapatkan area Jalan Malioboro zona 2-3. Kami pun menyisir jalan itu di tengah teriknya matahari siang dan lelahnya tubuh. Tepat pukul 10.00, kami sudah menemukan sebanyak 900 puntung rokok. Aku sangat bersyukur karena kami bertiga dapat bekerja sebagai sebuah tim yang baik.
Sebelum kelompok kami diperbolehkan pulang, pendamping berkata bahwa masih ada satu tantangan terakhir. Aku berusaha tetap sabar walaupun memiliki keingintahuan yang sangat tinggi, sehingga yang bisa kulakukan hanyalah berdiam diri menanti. Tak lama kemudian, pendamping kelompok berkata kepada kami, “Berorasilah di Jalan Malioboro! Buatlah orasi yang berkaitan dengan kepedulian lingkungan! Masing-masing 3 menit berorasi.” Lagi-lagi, jantungku berhenti sejenak. Banyak sekali kejutan-kejutan tak terduga pada hari ini. Dengan tubuh yang kelelahan, aku pun merancang sebuah orasi yang menyuarakan pengolahan sampah organik dan non-organik. Setelah mendengar potongan orasi milik teman-temanku sekelompok, aku menjadi minder. Mengapa orasi mereka sangat bagus? Mengapa orasi mereka sangat meyakinkan? Sedangkan, suaraku kecil dan tidak terdengar. Sambil mengulang-ulang rangkaian kata yang ingin kusampaikan di kepala, l aku merasa cemas akan tanggapan orang yang lalu-lalang. Ketika akhirnya giliranku berbicara, aku mendapatkan bahwa ada beberapa orang yang berdiri diam mendengarkanku. Tidak, aku tidak mendapatkan tepukan tangan yang meriah. Tidak, aku tidak mendapatkan persetujuan orang sekitar. Namun, yang penting adalah bahwa pesan yang ingin kusampaikan telah tersampaikan dengan usaha yang sebaik mungkin. Setelah semua anggota kelompok berorasi, kami semua menaiki bus yang sama kembali ke De Britto. Di dalam bus sangat panas, seakan-akan ditelan oleh panasnya siang Yogyakarta.
Aku diberikan waktu untuk beristirahat dan mengendapkan pengalaman immersion. Dan hal yang aku dapatkan cukup banyak. Hal yang pertama adalah kesabaran dan ketaatan. Awalnya aku tidak memiliki niat untuk ikut immersion, melainkan murni dengan niat untuk berlomba. Namun, ternyata immersion menjadi sebuah pengalaman perjuangan yang sangat berharga. Toh, akhirnya aku juga mendapatkan kesempatan berlomba, walaupun pada akhirnya kalah. Hal yang kedua adalah niat. Tanpa niat, tentu pagi itu aku akan memilih lanjut tidur dibandingkan menjalankan immersion bersama kelompokku. Hal yang ketiga adalah conscience, ketika disadarkan bahwa lingkungan di sekitarku tidak sebersih yang kukira. Bahwa aku juga turut bertanggung jawab untuk menjaga kebersihannya, baik itu secara pasif (tidak membuang sampah sembarangan) maupun secara aktif (membersihkan sampah yang berserakan). Hal yang keempat adalah sikap siap menghadapi tantangan apapun. Baik itu menyampaikan sebuah orasi spontan maupun membersihkan trotoar jalan, Aku belajar untuk menerima keadaan dan menjalankannya sebaik mungkin. Hal yang kelima adalah compassion, untuk mau menghargai dan mencoba mengerti keadaan orang kecil dan orang terkucilkan sekalipun.
Berkaca dari hal-hal yang telah aku alami, aku merumuskan satu komitmen utama yang dapat menjadi pedoman aksi follow up dari kegiatan Temu Kolese, yaitu memahami konteks (baik itu konteks kehidupan, konteks lingkungan, maupun konteks keadaan) sebelum berkomentar mengenai sesuatu. Setelah memahami konteks kehidupan seorang tukang parkir, aku tidak lagi menganggap mereka sebagai pemalak uang pengendara. Mereka bekerja. Mereka harus mengurus izin parkir kepada pemerintah, membayar pajak dari uang yang mereka peroleh, serta turut menjaga kendaraan yang parkir di dalam wilayah parkir mereka. Tidak mudah menjadi seorang tukang parkir.
Kontributor: Timothy Calvin Yang – Kolese Kanisius