Pilgrims of Christ’s Mission

serikat yesus

Kuria Roma

Damai di Bumi

Pesan Natal Pater Jenderal Pater Jenderal Arturo Sosa dalam pesan natalnya mengharap doa dan dukungan kita semua bagi upaya-upaya perdamaian yang diusahakan para Jesuit dan para rekan berkarya dalam perutusan. Ia mengajak kita untuk menimba inspirasi dari Fransiskus Asisi, Uskup Romero, Beato Rupert Mayer, dan martir Ignacio Ellacuría beserta rekan-rekannya yang telah berjuang sekuat tenaga melawan ketidakadilan, kekerasan, dan peperangan. Penantian dan nubuat lahirnya “Raja Damai” yang memberi jalan bagi kedatangan Sang Juru Selamat untuk kedua kalinya menjadi kesempatan untuk merefleksikan makna perdamaian dan mengungkapkan kerinduan atas kedamaian sebagaimana dirasakan para Jesuit dan banyak rekan berkarya. Puluhan tahun yang lalu, Paus Pius XII mengatakan, “Perdamaian tidak pernah menghancurkan tetapi segalanya bisa hancur karena peperangan.” Tanpa bosan, Paus Fransiskus selalu mengulangi bahwa perang selalu merupakan kekalahan bagi umat manusia. Ketika kita melihat wajah anak-anak di Afghanistan, atau para wanita di sana yang merindukan pendidikan … Ketika kita melihat wajah anak-anak di Ukraina yang terpisah dari orang tua mereka dan tinggal di kamp-kamp pengungsian … Ketika kita melihat wajah anak-anak di Gaza … Ketika kita melihat wajah-wajah anak-anak warga Israel yang terbunuh dalam serangan Hamas … Ketika melihat semua itu, kita harus mengatakan dengan lantang dan jelas, “Semua ini harus dihentikan.” Kapan kita akan belajar bahwa peperangan tidak menghasilkan apa-apa selain menyuburkan kebencian dan dendam serta melahirkan generasi pencinta peperangan berikutnya? Kapan kita belajar bahwa peperangan justru membuat kita semakin sulit memaafkan? Kapan kita bisa belajar bahwa peperangan hanya membuat generasi mendatang sakit hati dan melanggengkan siklus kebencian sepanjang waktu? Kapan kita akan memahami bahwa alih-alih menghabiskan uang miliaran untuk berbelanja senjata, uang itu bisa kita gunakan untuk mengentaskan kemiskinan. Sepertinya kita memang tidak akan pernah punya uang untuk memberantas kemiskinan, namun selalu mampu menghasilkan uang untuk berperang dan menciptakan banyak senjata. Kapankah kita bisa berkata, “Cukup!” Kapan kita akan bangkit bersama orang miskin, orang yang tersingkir, dan para korban untuk tidak hanya mengecam tumpulnya moralitas, tetapi juga menemukan cara untuk mengubahnya? Kita dapat memetik inspirasi dari orang-orang kudus seperti Fransiskus dari Asisi, Uskup Romero, Beato Rupert Mayer atau para martir seperti Ignacio Ellacuría dan para sahabatnya. Mereka menghadapi begitu banyak ketidakadilan, kekerasan, dan peperangan, merasakan kebencian yang begitu besar sehingga mereka berjuang melawannya dalam semua dimensi. Dalam konteks ini, menjelang Natal, Serikat Jesus ingin bertanya pada diri sendiri tentang apa yang dapat dilakukan, bagaimana memperjuangkannya, bagaimana menggunakan sumber daya apa pun yang dimiliki bagi karya-karya kerasulan Serikat di seluruh dunia demi menyerukan perdamaian. Perdamaian dan keadilan adalah apa yang diserukan dan dirindukan di seluruh dunia. Pada perayaan Natal 2023 ini, semoga Sang Raja Damai menyentuh hati kita, menyentuh hati mereka yang memiliki kekuatan dan tanggung jawab untuk mengubah situasi, dan membuka diri mereka pada dialog yang mampu membuka jalan menuju perdamaian abadi. Selamat Natal. Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel “Fr Sosa Christmas Plea for Peace” dalam https://www.jesuits.global/2023/12/20/fr-sosa-christmas-plea-for-peace/ Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo pada tanggal 2 Januari 2024.

Feature

Dari Pingit Kami Belajar Melayani

Pingit merupakan tempat yang pasti banyak dikenang oleh seluruh anggota kelompok kami. Bagaimana tidak? Tempat tersebut menjadi destinasi pelayanan yang paling berbeda karena waktu pelayanannya di malam hari dan tentu saja pengalaman-pengalaman kami menghadapi anak-anak di kelas SD besar secara spesifik. Permulaan pelayanan kami bisa dibilang tidak baik. Keterlambatan beberapa anggota mengharuskan anggota lainnya meninggalkan mereka di hotel untuk berangkat lebih dahulu. Tentu keputusan tersebut sulit dilakukan apalagi setelah tahu bahwa anggota-anggota yang terlambat ini sebenarnya berada di belakang bus. Keterlambatan juga tidak hanya terjadi sekali di dalam Mission Trip ini, tetapi lebih dari sekali. Perlu adanya konsekuensi supaya kami semua bisa belajar dari kesalahan-kesalahan dan menumbuhkan sikap disiplin sebagai karakter. Kelas SD besar ini menjadi semacam spotlight bagi kami karena kericuhan yang terjadi di dalamnya. Kelas yang diawali dengan hanya enam orang yang mengurusnya, berubah menjadi hampir sekelompok yang harus turun tangan untuk membantu. Kelas SD besar ini diawali dengan bersih-bersih dan di situlah enam anggota awal mulai merasa kewalahan. Kelas yang harus dibersihkan dipenuhi dengan benturan meja, teriak anak-anak dalam bahasa Jawa, teriakan kata-kata kotor, dan juga bercandaan tidak pantas di dalam kelas. Mungkin tidak dikatakan secara verbal, tetapi tatapan mata dari enam anggota awal itu kepada satu sama lain mengatakan hal yang sama bahwa ini akan menjadi kelas yang sulit. Dengan suara yang sedikit lebih tegas, akhirnya kelas tersebut bisa dikendalikan dan semua sudah mulai tenang. Sejujurnya, kelas tersebut walaupun sudah mulai tenang tetap diisi oleh sahutan dari sana-sini dalam bahasa yang tidak kami mengerti artinya. Ada beberapa kata yang terdengar kasar tetapi tidak bisa juga kami menafsirkan makna asli dari kata tersebut. Perhatian kami tertuju kepada salah satu anak di dalam kelas itu. Ia bernama Adit. Adit tiba-tiba lari keluar kelas saat sedang pengenalan. Jika boleh jujur, tim kami sudah tidak menghiraukannya karena memang dialah si pembuat onar dan susah diatur. Dia pulalah tersangka utama pelaku candaan tidak pantas. Saat Adit kembali, dia membawa kipas angin besar, menempatkan di mejanya, dan menyalakannya. Tentu saja, kelas yang sudah mulai bisa diatur kembali kacau. Anak-anak berlari mengerumuni kipas tersebut, membentur-benturkan meja, dan semua jadi berantakan lagi. Semua anggota tim saling menatap dan bisa ditebak apa yang mereka pikirkan. Akhirnya, tim memulai aktivitas pertamanya, yaitu cerdas cermat. Baru saja memasuki pertanyaan matematika ketiga, kami semua sepakat bahwa anak-anak benar-benar tidak akan menghiraukan kami dan terus berteriak-teriak. Kami tahu bahwa anak-anak lebih menyukai pelajaran IPS. Oleh karena itu, kami berbalik ke arah situ saja. Semua berjalan lebih lancar. Dari menebak negara berdasarkan bendera hingga mengingat Pancasila. Lalu sampailah pada permainan rantai kata. Anak-anak membentuk sebuah rantai dimana setiap orang akan mengucapkan kata menurut kategori yang diberikan. Pertama-tama, kategori yang diberikan adalah kata yang diawali dengan huruf K. Kucing, kancing, keledai hingga sampailah giliran Adit. Dengan santai dan percaya diri, ia menyebut kata tidak sopan dan tidak pantas. Permainan berlanjut dan akhirnya para anggota memutuskan untuk melakukan kategori binatang dalam permainan rantai kata ini. Kucing, babi, burung. Akhirnya kembali lagi kepada Adit. Adit ini menunjuk salah satu anggota dan dengan lantangnya mengatakan anjing tetapi dalam bahasa Jawa kasar. Pada titik itu, sudah banyak dari para anggota kelompok kami yang sudah mengerumuni pintu dan melihat penyebab dari keributan ini sambil siap-siap membantu enam orang anggota tim awal ini. Disambut juga oleh Adit yang melemparkan pakaian dalam di area kelas. Akhirnya, para anggota menegur anak-anak di kelas itu dengan keras. Kami menginginkan mereka tahu bahwa perilaku mereka tidak pantas dilakukan. Anak-anak ini masih muda dan Perkampungan Sosial Pingit ini seharusnya sebuah tempat belajar, tempat mereka mendapat edukasi. Kami menjadi penasaran, hal apa saja yang mempengaruhi mereka sehingga tidak ada rasa hormat atau tata krama, setidaknya kepada kami? Di tempat pelayanan ini, kami benar-benar diajarkan bagaimana caranya bersabar dan tentu banyak pembelajaran yang kami dapatkan. Kami belum pernah menjadi guru. Ketika menjadi guru seperti saat ini, kami jadi tahu perasaan mereka saat menghadapi kelas yang begitu sulit diatur. Kini kami mengerti betapa lelah dan sulitnya mengontrol emosi dengan baik dalam situasi-situasi seperti ini. Selain belajar bersabar, kami juga bisa lebih mengapresiasi guru-guru yang tidak hanya mengelola satu kelas, tetapi banyak kelas dalam waktu delapan jam. Kami juga ingin menyebut nama yang sangat bangga untuk kami tuliskan di sini, Olivia. Olivia adalah salah satu anak kelas SD besar yang sangat ribut dan sulit untuk tenang. Ia tetap diam dan justru menasehati teman-temannya saat mereka berkata kasar atau berperilaku tidak sopan meskipun ia tidak dihiraukan. Ia juga menghampiri anggota-anggota yang bertugas dan menyemangati mereka yang sudah terlihat kewalahan menghadapi anak-anak lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memang dipengaruhi lingkungan mereka, tetapi semua kembali lagi kepada sikap dan reaksi individu sendiri atas pengaruh lingkungan. Olivia membuktikan bahwa ia bisa dan tetap tegas kepada karakternya dan tidak menjadi seperti yang lain di dalam kelas itu. Ia membuat kami percaya bahwa kami juga bisa demikian dan tidak membiarkan hal negatif mempengaruhi kami dan menyalahkannya hanya karena lingkungan kami. Sebuah perjalanan naik dan turun melayani Perkampungan Sosial Pingit. Emosi-emosi yang meluap dan juga kejadian-kejadian tidak diduga terjadi di sini. Mungkin ada banyak hal yang bisa dikatakan jika ditanya, “Bagaimana pengalamanmu di Perkampungan Sosial Pingit?” Dari sekian banyak kata yang bisa diungkapkan, seluruh kelompok kami pasti setuju dengan satu kata: mengesankan. Kontributor: Siswa-siswi Universitas Pelita Harapan College

Feature

Kebersamaan, Menghargai dan Menerima Sesama

Toleransi!!! Kata toleransi sudah tidak asing lagi di telinga kita. Tentang toleransi ini, pada suatu kesempatan, saya terkesan dengan kalimat sebuah artikel di laman bola.com, “Toleransi mengajarkan kita kebersamaan, menghargai, dan menerima sesama.” Kalimat ini berkesan bagi saya karena negara kita, Indonesia adalah negara dengan dasar Pancasila dan tersusun dari berbagai perbedaan masyarakatnya. Ada perbedaan suku, ras, agama, sosial, ekonomi, pulau, budaya, bahasa, pendapat, dan banyak perbedaan lainnya. Perbedaan itu membuat kita semakin kaya dalam keberagaman. Saya ingin bercerita tentang pengalaman saya mengenai toleransi dan perbedaan, khususnya di Asrama Realino Yogyakarta. Saya seorang mahasiswi Program Studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma. Saya biasa disapa Echa, berasal dari Bomomani, Mapia, Papua. Sejak awal di Yogyakarta, untuk menjalani pendidikan, saya tinggal di Asrama Realino. Sebelumnya, selama menempuh pendidikan sekolah menengah atas saya sempat tinggal di asrama sekolah di Nabire. Saya beranggapan, waktu itu, bahwa saya sudah punya sikap dan jiwa toleransi. Namun, setelah merantau, saya merasa ada yang kurang. Alasannya, lingkungan pergaulan saya hanya sebatas lingkungan asrama, sekolah, dan keluarga yang mayoritas beragama Katolik dan dari daerah yang sama. Memang ada pula kenalan dari daerah lain tetapi itu sedikit sekali. Hati saya agak ketar-ketir ketika mengetahui saya diterima di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Situasi ini mengajak saya keluar dari zona nyaman pergaulan dan bertemu banyak orang dari latar belakang sangat berbeda. Apalagi di Prodi Pendidikan Agama Katolik, saya berjumpa dengan teman-teman dari seluruh nusantara. Saya belajar tentang kebersamaan, menerima, dan menghargai setiap proses perjumpaan dengan teman-teman baru. Tentu hal pertama yang saya lakukan adalah menerima diri sendiri supaya bisa mengalami kebersamaan, menerima, dan menghargai pribadi yang lain. Ketika saya refleksikan lagi, saya ingat frase menerima diri sendiri sebelum menerima orang lain ini dari renungan Pater Setyawan, S.J. saat retret angkatan kami di Syantikara. Beliau menyampaikan, “kalau belum bisa menerima diri bagaimana mau menerima orang lain.” Sama halnya dalam toleransi. Belajarlah kebersamaan, menghargai, dan menerima dirimu sendiri baru kemudian belajar kebersamaan, menghargai, menerima sesama. Pengalaman bertoleransi kemudian semakin nyata saya rasakan di Asrama Realino. Saya sangat bersyukur tinggal di Asrama Realino. Di sini, saya belajar lebih percaya diri dan menerima diri apa adanya lewat perjumpaan dengan pribadi dan kebersamaan di Realino SPM. Saya belajar dan mengalami kebersamaan, menghargai, dan menerima perbedaan di Asrama Realino. Asrama ini unik, menarik, sekaligus menantang saya untuk berkembang. Di sini saya berjumpa dan hidup bersama dengan teman-teman dari suku, budaya, ras, agama, dan latar belakang yang berbeda. Ini berbeda dari pengalaman di lingkungan sebelumnya di Nabire maupun lingkungan kampus. Asrama Realino mendorong saya untuk semakin mengembangkan diri lagi. Saat ini ada 16 teman saya di asrama dengan latar belakang berbeda. Mereka berasal dari Sumatra, Nias, Sleman, Ganjuran, Ketapang, dan Kendal. Ada teman-teman yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik. Selain teman-teman asrama, kami didampingi para romo, bruder, karyawan Realino, teman-teman bengkel, Komunitas Volunteer Realino, para perawat, dan dokter Klinik Pratama Realino. Hal yang menarik bagi saya adalah ketika makan bersama kami bisa belajar berbagai bahasa daerah. Sesekali kami juga mengenalkan makanan khas daerah masing-masing. Saat memberikan jawaban kepada teman-teman yang bertanya asal dan identitas, saya bisa jujur menjelaskan dan lebih percaya diri. Selain itu, kami belajar bersama untuk saling menghargai dan mengalami toleransi secara nyata. Menarik juga bahwa kadang teman-teman asrama yang beragama Islam atau Kristen sesekali mengingatkan kami yang Katolik untuk misa harian dan misa mingguan di Gereja. Perbedaan yang ada di lingkungan Realino justru telah membentuk saya menjadi pribadi yang bisa menghayati toleransi. Dari situ saya menyadari bahwa saya bukan lagi belajar toleransi namun menjadi pelaku toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Terima kasih kepada setiap pribadi yang bermurah hati membantu Asrama Realino. Ad Maiorem Dei Gloriam Kontributor: Theresa Kegiye

Pelayanan Gereja

Menjadi Kaum Muda yang 100% Katolik 100% Indonesia

Pada 14 Februari 2024 nanti, negara kita akan mengadakan Pemilu untuk menentukan pemimpin negara yang baru. Dalam rangka menyambut Pemilu ini, Gereja St. Yusup, Gedangan menyelenggarakan Talkshow Kebangsaan dengan tema “Terlibat dan Mewarnai Pemilu 2024”. Kegiatan ini diselenggarakan pada Jumat, 13 Oktober 2023 dengan menghadirkan empat narasumber, yaitu P. Benedictus Cahyo Christanto, S.J., Mas Erasmus, Mas Wempy, dan Mas Indra. Sasaran utama dalam Talkshow Kebangsaan ini adalah kaum muda Katolik dengan rentang usia 17-21 tahun atau biasa disebut dengan pemilih pemula. Pemilih pemula adalah pemilih yang pada pemilu sebelumnya (tahun 2019) belum bisa menggunakan hak pilihnya karena belum terkategori sebagai pemilih. Pengetahuan mereka masih kurang mendalam dan sebagian besar belum memahami pentingnya hak pilih yang dimiliki demi nasib bangsa dan negara Indonesia untuk lima tahun ke depan. Selain itu menjadi keprihatinan dan kekhawatiran bahwa akhirnya para pemilih pemula memutuskan untuk golput (golongan putih) karena kurangnya informasi dan tidak peduli dengan masa depan Indonesia. Tak jarang para pemilih pemula pun menjadi sasaran untuk dipolitisi para calon demi mendongkrak popularitas dan mengikuti kampanye yang dilakukan. Bisa juga menjadi sasaran dalam politik uang yang terkadang masih terjadi. Dalam talkshow ini, ada 49 peserta yang datang. Secara khusus mereka diajak agar mau terlibat dan mewarnai Pemilu 2024 nanti. Dalam talkshow Kebangsaan ini, Pater Cahyo, S.J. memaparkan tentang Ajaran Sosial Gereja (ASG). Pater Cahyo menegaskan bahwa ASG merupakan ungkapan keprihatinan Gereja Katolik atas persoalan sosial kemasyarakatan. “Kita tidak dapat disebut sebagai orang Katolik sejati kecuali kalau kita mendengarkan dan melaksanakan panggilan gereja untuk melayani mereka yang membutuhkan dan untuk bekerja demi keadilan dan perdamaian,” ujarnya. Mas Erasmus dari Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) memberikan wawasan kepada peserta mengenai Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Merdeka berarti menjunjung nilai kebebasan, bersatu dalam arti bersatunya seluruh rakyat Indonesia, adil dalam nilai kesetaraan, serta makmur yang artinya setiap orang harus dapat mencapai hidup sejahtera. Mas Wempy dan Mas Indra perwakilan dari Kevikepan Semarang mengajak kaum muda Katolik mau terlibat dalam kegiatan politik dengan ikut serta dalam Pemilu dan menggunakan hak pilihnya. Mgr. Soegijapranata, Uskup pribumi yang pertama, mencetuskan tentang “100% Katolik, 100% Indonesia”. 100% Katolik berarti kita ikut terlibat dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan menggereja dan 100% Indonesia berarti terlibat dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan berbangsa dan bernegara. Mereka berdua mengatakan kaum muda yang menggunakan hak pilihnya adalah kaum muda yang 100% Katolik 100% Indonesia. Talkshow Kebangsaan membawa angin segar bagi kaum muda. Kaum muda bukan hanya diajak untuk menggunakan hak pilihnya tetapi juga diajak secara sadar menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia. Dengan berbagai materi dari narasumber, kaum muda diharapkan dapat melek politik sehingga mereka menjadi pemilih pemula yang cerdas dan berkualitas. Valen sebagai pengurus misdinar yang mengikuti Talkshow Kebangsaan merasa mendapatkan banyak informasi dan termotivasi untuk ikut serta dalam Pemilu. “Saya harus menggunakan hak pilih saya karena saya mau menjadi 100% Katolik 100% Indonesia,” tegasnya. Kontributor: Fr. Wahyu Mega, S.J.

Karya Pendidikan

Sosialisasi Pedoman Umum Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PUPTK)

Rabu, 15 November 2023 lalu diselenggarakan Sosialisasi Peraturan Umum Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PUPTK) Yayasan Kanisius Cabang Surakarta yang diadakan di aula Paroki Gereja Santo Antonius Padua Purbayan, Surakarta. Selain sosialisasi PUPTK juga dilakukan Sosialisasi Petunjuk Pelaksanaan Keuangan dan Sosialisasi Pedoman Remunerasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Yayasan Kanisius. Narasumber pada kegiatan sosialisasi ini adalah Pengurus Yayasan Kanisius (Pusat) Pater J. Heru Hendarto, S.J.; Pater Melkyor Pando, S.J.; Pater Ig. Aria Dewanto, S.J.; Bapak Ant. Suparjono, dan Bapak Feliks Yanik. Sosialisasi diikuti oleh 75 orang peserta yang terdiri dari 34 kepala sekolah , 34 guru, dan 7 staf Yayasan Kanisius Cabang Surakarta. Pelaksanaan Sosialisasi PUPTK, merupakan rangkaian kegiatan pembenahan atau pembaruan yang dilakukan Yayasan Kanisius untuk menandai ulang tahunnya yang ke-105. Kegiatan sebelum sosialisasi yang telah dilakukan adalah peluncuran One Gate System. One Gate System adalah sistem tata kelola sekolah yang memadukan sistem informasi pembelajaran dan informasi keuangan secara digital. Sistem ini bisa diakses oleh orang tua murid dan pemerhati pendidikan. Peluncuran sistem ini sendiri dilakukan pada 28 Oktober 2023 yang lalu di Auditorium Driyarkara Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. One Gate System terdiri dari dua program yaitu My Home School (MHS) dan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). SAK dalam implementasinya didasari semangat “ARTS” (Accountable, Responsible, Transparent, Sustainable) di lingkungan Yayasan Kanisius. Dengan adanya peluncuran MHS orang tua peserta didik dapat memantau kehadiran putra-putrinya di sekolah. Selain itu, mereka juga dapat memantau kegiatan pembelajaran di sekolah, kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan, penilaian yang diberikan sekolah, dan MHS dapat menjadi media komunikasi antara sekolah dengan orang tua. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) sendiri dapat memberikan informasi terkini mengenai data keuangan yang menjadi tanggungjawab orang tua dan penyelesaian keuangan yang telah dilaksanakan. Penetapan dan Penerapan PUPTK Pater Joseph MMT Situmorang, S.J., Kepala Yayasan Kanisius Cabang Surakarta, dalam sambutannya mengungkapkan bahwa sosialisasi PUPTK merupakan upaya memperbaiki karya pelayanan di Yayasan Kanisius. Jika dikaitkan dengan perayaan ulang tahun Yayasan Kanisius yang ke-105, kegiatan sosialisasi merupakan perwujudan tema ”Berpadu untuk Kanisius Maju”. Pedoman-pedoman yang disusun diawali dengan diskusi di sekolah, regio, dan cabang kemudian dibicarakan bersama oleh pimpinan cabang serta pengurus yayasan. ”Pedoman Umum Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang dulu bersifat ad experimentum atau uji coba kini ditetapkan dan akan diterapkan menjadi pedoman kepegawaian,” kata Pater Joseph Situmorang S.J. Keterpaduan Pengelolaan Sementara itu, Ketua Pengurus Yayasan Kanisius, Pater J. Heru Hendarto, S.J., mengungkapkan bahwa pada awal tahun 2023 telah dilakukan rapat Yayasan Kanisius yang dihadiri para kepala cabang, pengurus, pengawas, dan pembina. Dalam rapat tersebut telah disepakati usaha untuk melakukan keterpaduan pengelolaan Yayasan Kanisius. ”Keterpaduan itu harus dilakukan dengan komunikasi yang semakin intensif. Sosialisasi PUPTK, Petunjuk Pelaksanaan Keuangan dan Pedoman Remunerasi akan dikomunikasikan sehingga secara bertahap agar Yayasan Kanisius dapat menjawab kepercayaan yang diberikan serta tantangan zaman,” kata Pater Heru Hendarto, S.J. Berkaitan dengan pembaruan tata kelola Yayasan Kanisius, Pater Heru Hendarto mengharapkan agar semua pihak ikut berpadu karena Kanisius dipercaya oleh masyarakat. Banyak hal yang harus dikerjakan bersama. Salah satunya adalah tata kelola yang menjadi bentuk perwujudan lembaga pendidikan yang transformatif. Selain tata kelola juga akan dikembangkan sistem komunikasi, sarana prasarana, dan guru serta tenaga kependidikan. Pengembangan guru sudah mulai dilakukan dengan memberikan tugas belajar di Universitas Sanata Dharma bagi 11 orang guru. Di sisi lain, pengembangan dilakukan dengan menerapkan evaluasi kinerja individu dan evaluasi kinerja sekolah. ”Evaluasi kinerja di Yayasan Kanisius dilakukan dengan evaluasi diri pendidik dan tenaga kependidikan serta evaluasi kinerja sekolah. Evaluasi kinerja sekolah sangat diperlukan khususnya untuk menghadapi tantangan sekolah yang kekurangan murid. Maka, sekolah harus mengevaluasi kinerjanya, tidak bisa hanya tenang-tenang saja,” kata Pater Heru Hendarto. ”Keunikan sekolah-sekolah Kanisius yang bisa dibanggakan perlu disampaikan kepada anak didik, kinerja pelayanan yang baik harus diberikan pada orang tua. Di era digital saat ini tata kelola yang lebih ditingkatkan merupakan nilai magis yang perlu diwujudkan bersama.” ungkap Pater Heru Hendarto. Mendukung Pelayanan Pendidikan Sosialisasi PUPTK disampaikan oleh Pater Melkyor Pando, S.J. Tujuan PUPTK selain untuk mencapai visi, misi, tujuan, dan nilai dasar yang dilaksanakan oleh Yayasan Kanisius juga bertujuan agar tercapai efektivitas dan efisiensi kerja. ”Selain tujuan tersebut, terbitnya Pedoman Umum Pendidik dan Tenaga Pendidikan Yayasan Kanisius bertujuan untuk tercipta kenyamanan dan kesejahteraan pendidik serta tenaga kependidikan yang akan mendukung terlaksananya pelayanan pendidikan di Yayasan Kanisius,” kata Pater Melkyor, S.J. Pada saat sosialisasi Pater Melkyor, S.J. juga memberikan pemaparan tentang status pegawai, mekanisme penerimaan, pengangkatan, kepangkatan, pembinaan, dan pengembangan pegawai, evaluasi kinerja dan kesejahteraan di Yayasan Kanisius Cabang Surakarta. Pengelolaan Keuangan dengan Prinsip ARTS Sosialisasi Petunjuk Pelaksanaan Keuangan dan Pedoman Remunerasi disampaikan oleh Pater Ig. Aria Dewanta, S.J. Pater Aria S.J. Dalam pemaparannya, beliau menyampaikan bahwa sebagai lembaga yang berada dalam lingkup Keuskupan Agung Semarang, pengelolaan keuangan berlandaskan prinsip solidaritas kristiani dan subsidiaritas. Solidaritas kristiani artinya yang kuat membantu yang lemah, dan subsidiaritas artinya mengusahakan kemandirian di setiap unit karya. Pengelolaan keuangan menggunakan sistem terpadu sehingga terjadi subsidi silang. Semua pemasukan keuangan yang dikumpulkan oleh Kantor Yayasan/ Cabang didistribusikan ke unit-unit sesuai dengan kebutuhan dalam anggaran (budgeting). Hal ini dilakukan demi terselenggaranya operasional dan pengembangan karya pendidikan. Pater Aria, S.J. mengingatkan dalam pengelolaan keuangan harus memenuhi kriteria manajemen keuangan yang sehat: yaitu ARTS (Accountable, Responsible, Transparent, dan Sustainable). Remunerasi adalah pemberian kepada pendidik dan tenaga kependidikan sebagai imbalan atau penghargaan atas hasil kerja atau kontribusi yang bersifat rutin kepada Yayasan Kanisius tempat dia bekerja. Pedoman remunerasi Yayasan Kanisius merupakan wujud pelaksanaan dari Peraturan Umum Pendidik dan Tenaga Kependidikan tahun 2003 khususnya pasal 26 yang mengatur tentang gaji dan tunjangan. Saat penjelasan tentang pedoman remunerasi, salah satu tanggapan positif dari para peserta adalah rencana pemberian Tunjangan Hari Raya atau THR. Pada akhir kegiatan sosialisasi, Pater Joseph MMT Situmorang, S.J. mengajak para pendidik dan tenaga kependidikan untuk merefleksikan kinerja diri dan kinerja komunitas; meningkatkan kinerja dengan semakin bekerja lebih ”mantap” dan bergairah. Kontributor: FX Juli Pramana – YKC Surakarta

Provindo

Apa Kata Mereka?

TEMU KOLESE 2023 Temu Kolese 2023 adalah kegiatan yang diinisiasi oleh para pamong kolese agar siswa-siswi Kolese Jesuit Indonesia berjumpa dan berkolaborasi. Dalam kegiatan ini tidak hanya siswa-siswi Kolese saja yang berjumpa dan berkolaborasi, namun juga para pamong dan guru Kolese juga. Berikut ini beberapa pengalaman berkesan yang dirasakan oleh para guru dan siswa saat mengikuti Temu Kolese 2023. “Bertemu dengan teman-teman baru, tanpa mereka pengalaman di Temu Kolese 2023 ini gak bisa tak rasain. Di sini aku mengetes diriku sendiri bisa gak ya aku bergaul dengan semua orang tanpa melihat perbedaan,” ungkap Raina Atitaranti Brata. Kegiatan immersion di Pasar Beringharjo bagi siswi SMA Kolese Gonzaga ini begitu mengesan karena menguji keberaniannya akan banyak hal. Mulai dari harus memegang pisau dan memotong ayam, memungut puntung rokok di jalanan Malioboro, dan melakukan orasi mengenai bahaya rokok di depan para perokok. Langkah pertama ternyata mengubah segala ketakutan yang dia pikirkan sebelumnya. Senada dengan Raina, Hieronymus Halashan Samosir atau biasa dipanggil Hiero, merasakan bahwa pengalaman mengikuti Tekol ini begitu menantang dirinya. Hiero yang tertutup bahkan dengan teman-temannya di Seminari Mertoyudan, mau tidak mau belajar untuk membuka dirinya selama kegiatan ini. Dalam Temu Kolese ini Hiero melihat begitu banyak karakter dan latar belakang teman-temannya yang membuat sudut pandangnya berubah. Belum lagi dengan immersion yang dia lakukan di daerah Magelang. Hiero merasa bahwa memahami dinamika kehidupan dan orang dapat dimulai dari kemauan kita untuk membuka diri bagi orang-orang terdekat atau daerah sekitarnya. Di balik kegiatan expo Temu Kolese 2023 ada sosok Yakobus Dani Senja atau Pak Dani. Beliau menyiapkan mulai dari merchandise kaos Tekol untuk semua kontingen, piala kejuaraan, medali, hingga plakat-plakat. Selain itu beliau dibantu siswa-siswa panitia mengkoordinir merchandise dengan desain ciri khas masing-masing kolese dan satu desain kolaborasi yang berisi semua kolese. Merchandise ini disiapkan untuk expo yang dijual melalui dua sistem yaitu pre-order (sebelum tekol) dan on the spot (ketika tekol). Pak Dani terkejut karena 80% barang sudah habis terjual dan bahkan banyak pre-order yang melebihi target penjualan hanya dalam dua hari. Anak-anak kolese begitu excited dengan merchandise yang ditampilkan, bahkan banyak yang belum mendapatkan barangnya. Pak Dani berharap setelah Temu Kolese ini compassion anak-anak semakin terasah dan menjadi lebih peduli dengan yang tersingkirkan. Bertemu dan berkolaborasi dengan anak-anak yang penuh semangat memberikan kesan tersendiri bagi Ibu Antonina Yunika Suryawulan atau Bu Ika, guru SMA Kolese de Britto. Dalam kepanitian Temu Kolese ini Bu Ika menjadi sekretaris Tekol bersama dengan dua frater, satu awam, dan sembilan anak dari berbagai kolese. “Anak-anak semangatnya sungguh luar biasa. Bahkan malam hari pun mereka masih mengerjakan laporan harian,” ungkapnya. Memang tidaklah mudah mempersiapkan Temu Kolese ini. Namun dengan komunikasi dan pembagian jobdesc yang jelas, semua pekerjaan menjadi terasa lebih ringan. Tidak dipungkiri pula pasti ada ricuh secara teknis mendekati hari H, namun semuanya bisa teratasi. Bu Ika berharap agar siswa-siswi yang mengikuti Temu Kolese melakukan semuanya dari hati sehingga mereka menjadi berkat bagi orang lain serta membawa perilaku zero waste di tempat mereka masing-masing, yaitu dengan membawa tempat makan dan minum yang dapat dipakai berulang-ulang. Selain itu, beberapa alumni juga menceritakan pengalaman mereka ketika mengikuti Temu Kolese. “Pengalaman paling berkesan saat malam keakraban karena di sana bisa lebih mempererat hubungan antara sesama kolese lain. Pertandingan-pertandingannya juga seru karena sesama tim dicampur antar kolese,” kata Gilbert Widjaja. Alumni CC tahun 2016 ini juga pernah menjadi peserta Temu Kolese 2015 dengan tema “My Earth My Mother”. Dia masih ingat bagaimana mereka, para peserta diajak untuk merawat bumi demi masa depan yang lebih baik, walaupun dengan usaha yang kecil, namun berdampak bagi lingkungan sekitar. Pastinya, selama temu kolese ini Gilbert juga mendapatkan teman baru dari berbagai kolese. Dia berharap agar anak-anak kolese tetap menjaga nilai-nilai dan kehidupan rohani kolese. Hidup harus seimbang antara rohani dan jasmani. Jika ada kesempatan mengikuti acara Temu Kolese jangan disia-siakan karena kesempatan tidak datang dua kali. Marcelino Angelus atau biasa dipanggil Ino, alumni PIKA tahun 2018 pernah mengikuti Temu Kolese 2015. Pengalaman yang berkesan ketika mengikuti Temu Kolese ini adalah saat tampilan lomba Tekol Got Talent. Ketika ia mendengar teman-teman peserta mulai berteriak dan bersorak sorai memenuhi aula, ia merasakan hangatnya kekeluargaan kolese yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Perasaan bahagia yang teramat bisa bergabung dan merasakan kehangatan keluarga kolese melalui Temu Kolese waktu itu. Dia mendapatkan keluarga baru yang bahkan sampai saat ini masih sering bertegur sapa. “Cari teman sebanyak mungkin!! Jangan cuma main sama anak-anak satu sekolah, temen-temen dari kolese lain seru semua kok! Kalian bakal dapet pengalaman baru dan banyak wawasan tentang kehidupan kolese! Perluas zona nyaman kalian dan rasakan kehangatan keluarga kolese!!” pesan Ino untuk peserta Temu Kolese. Kontribusi: Margareta Revita – Tim Komunikator

Penjelajahan dengan Orang Muda

Mengkaji Larangan Pernikahan Beda Agama

Pada 11 November 2023, Kolese St. Ignatius mengadakan “Dialog untuk Aksi” (DIKSI) yang membahas topik mengenai pernikahan beda agama. Acara ini menghadirkan tiga narasumber antara lain Pendeta Dr. Murtini Hehanussa (Gereja Kristen Jawa), Rm. Dr. Tri Edy Warsono, Pr. (Dosen Hukum Kanonik) dan Dra. Mayawati Jati Lestari, M.T. (Kabid Dukcapil Sleman). Peserta dialog ini juga terdiri atas beragam kelompok orang muda, antara lain mahasiswa UKDW, Sanata Dharma, GMKI Yogyakarta, dan komunitas lintas agama YIPC. Pemilihan topik pernikahan beda agama merupakan upaya untuk menanggapi Surat Edaran Mahkamah Agama (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023. SEMA tersebut berisi larangan kepada semua hakim dalam mengizinkan pencatatan pernikahan beda agama. Padahal, perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pendeta Murtini menyampaikan pandangannya bahwa “SEMA tidak sesuai dengan hak asasi manusia, juga kondisi bangsa Indonesia yang sangat plural dan berdasarkan Pancasila.” Meskipun Gereja Kristen memiliki pandangan yang beragam, menurut Pendeta Murtini negara mestinya menghormati dan melindungi pilihan masing-masing warga negara, termasuk pilihan untuk menikah beda agama. Pernikahan adalah urusan manusia, peran negara adalah mencatat dan Gereja hadir untuk memberkati. Namun, Pendeta Murtini juga menekankan pentingnya komitmen pernikahan karena realitas pernikahan tak jarang penuh dengan kompleksitas dan tantangan. Dalam Gereja Katolik, pernikahan beda agama termasuk dalam perkawinan campur. Ada dua jenis perkawinan campur, yaitu perkawinan beda Gereja (membutuhkan izin) dan perkawinan beda agama (membutuhkan dispensasi). Dengan izin atau dispensasi, secara gerejawi tidak mengharuskan mereka yang non-Katolik berpindah agama. Ketentuan di Gereja Katolik ini menurut Rm. Tri Edy merupakan “wujud penghormatan terhadap agama masing-masing yang dilindungi oleh hukum Gereja.” Terkait SEMA, Rm. Tri Edy berpendapat bahwa produk hukum terkait pernikahan beda agama seharusnya tidak hanya dipandang oleh satu sudut pandang agama saja. Meskipun saat ini SEMA melarang pencatatan pernikahan beda agama, Ibu Mayawati memiliki pandangan hukum bahwa larangan dalam SEMA ini tidak mematuhi UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975. Ibu Mayawati menyebutkan bahwa “dalam PP No. 9 tahun 1975 pasal 10 dan 11 diatur tentang tata cara perkawinan yang menegaskan tentang status pencatatan perkawinan secara resmi.” Perkawinan tercatat secara resmi bila setelah perkawinan terjadi penandatanganan akta perkawinan oleh kedua mempelai, kedua saksi, dan pegawai pencatat. Artinya tata cara dan keabsahan perkawinan diatur menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaan, bukan diatur oleh negara. Selain itu, pencatatan secara resmi merujuk pada penandatanganan akta perkawinan, bukan pada regulasi yang lain. Dengan menguraikan argumentasi hukum ini, Ibu Mayawati mengajak agar generasi muda sungguh-sungguh paham dan ‘melek’ hukum, agar hak mereka untuk menikah tidak diintervensi dan dibatasi oleh kebijakan hukum yang tidak mematuhi regulasi yang telah berlaku. Dalam dialog bersama dengan para narasumber dan peserta dari kalangan muda ini ditegaskan bahwa larangan pencatatan pernikahan beda agama dianggap tidak terbuka pada realitas kemajemukan dan melanggar hak asasi serta ketentuan hukum. Saat ini masyarakat modern memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi dengan berbagai perjumpaan elemen hidup dan perubahan yang begitu cepat. Denyut perubahan dan kemajemukan ini seharusnya diikuti dengan keterbukaan dan keluwesan lembaga keagamaan dan kehadiran negara dalam menyesuaikan kebutuhan dan tuntutan zaman. Berhadapan dengan konteks masyarakat modern ini, heterogenitas dan kompleksitas sosial hendaknya diakomodasi secara bijaksana sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang selaras dengan nilai-nilai dalam berbagai agama. Jangan sampai produk hukum pernikahan beda agama tidak mengakomodasi keragaman perspektif berbagai agama, sehingga membuat kehidupan publik yang majemuk diatur hanya dengan satu perspektif agama tertentu. Kontributor: S. Ishak Jacues Cavin, S.J.

Kuria Roma

Menghidupi Kaul Kemiskinan sesuai Zaman

Kongregasi Jenderal ke-36 tahun 2016 meminta Pater Jenderal Arturo Sosa untuk melakukan revisi Statuta tentang Kaul Kemiskinan dalam Serikat Jesus dan Instruksi Pengelolaan Harta Benda (SOP-IAG). Untuk itu, pada Januari 2020 ia menunjuk sebuah komisi yang dikoordinasi Ekonom Kuria Generalat saat itu, Pater Thomas McClain (Provinsi Midwest Amerika Serikat) dengan para anggotanya PP Cristián del Campo (Chili), Michael Lewis (Afrika Selatan), Benoît Malvaux (Eropa Barat/Prokurator Jenderal), dan Paul Sun (Cina). Para penasihat yang ditunjuk yaitu PP Charles Lasrado (Karnataka), Agustín Moreira (Chili), Michel N’Tangu (Central Afrika), dan saya sendiri. Saya berterima kasih kepada semua orang dalam komisi ini yang telah dengan murah hati memberikan waktu, tenaga, dan keahlian demi melaksanakan penugasan ini. Setelah selama dua tahun melakukan konsultasi secara intensif, maka pada Desember 2021 komisi menyampaikan dokumen-dokumen yang telah direvisi kepada Pater Jenderal. Setelah melakukan konsultasi dengan Konsultor Jenderal dan menimba inspirasi dari laporan-laporan proses eksamen terkait cara bertindak kita dalam menghayati kaul kemiskinan, Pater Jenderal menulis pengantar untuk statuta baru mengenai Kaul Kemiskinan dalam Serikat Jesus dan Pedoman Administrasi Keuangan dan Pengelolaan Harta Benda (SOP-IAF 2023). Hari ini, 14 November 2023, pada hari raya Santo Yosef Pignatelli dan ulang tahun keseratus kelahiran Pater Pedro Arrupe, Pater Jendral Arturo Sosa mengumumkan SOP-IAF yang baru. Komisi mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari dunia yang berubah cepat pada instrumen administrasi keuangan seraya menyarankan perubahan seperti termaktub dalam SOP-IAF yang baru. Oleh karena itu, IAF yang telah direvisi ini menyajikan beberapa perubahan substansial untuk memperjelas dan menyelaraskan administrasi keuangan sesuai dengan kebutuhan dunia modern. Saya percaya bahwa dokumen-dokumen yang telah direvisi ini akan membantu seluruh Jesuit untuk menghayati kaul kemiskinan dengan cara yang lebih mendalam dan bermakna. Semoga semua ini akan membantu pengadministrasian keuangan dan pengelolaan harta benda sehingga lebih efektif dan transparan. Kontributor: Sebastian Jeerakassery, SJ – Ekonom Kuria Roma Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel “For contemporary ways to live the Jesuit vow of poverty | The Society of Jesus” dalam https://www.jesuits.global/2023/11/14/for-contemporary-ways-to-live-the-jesuit-vow-of-poverty/ Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo pada tanggal 20 November 2023.