Pingit merupakan tempat yang pasti banyak dikenang oleh seluruh anggota kelompok kami. Bagaimana tidak? Tempat tersebut menjadi destinasi pelayanan yang paling berbeda karena waktu pelayanannya di malam hari dan tentu saja pengalaman-pengalaman kami menghadapi anak-anak di kelas SD besar secara spesifik.
Permulaan pelayanan kami bisa dibilang tidak baik. Keterlambatan beberapa anggota mengharuskan anggota lainnya meninggalkan mereka di hotel untuk berangkat lebih dahulu. Tentu keputusan tersebut sulit dilakukan apalagi setelah tahu bahwa anggota-anggota yang terlambat ini sebenarnya berada di belakang bus. Keterlambatan juga tidak hanya terjadi sekali di dalam Mission Trip ini, tetapi lebih dari sekali. Perlu adanya konsekuensi supaya kami semua bisa belajar dari kesalahan-kesalahan dan menumbuhkan sikap disiplin sebagai karakter.
Kelas SD besar ini menjadi semacam spotlight bagi kami karena kericuhan yang terjadi di dalamnya. Kelas yang diawali dengan hanya enam orang yang mengurusnya, berubah menjadi hampir sekelompok yang harus turun tangan untuk membantu. Kelas SD besar ini diawali dengan bersih-bersih dan di situlah enam anggota awal mulai merasa kewalahan. Kelas yang harus dibersihkan dipenuhi dengan benturan meja, teriak anak-anak dalam bahasa Jawa, teriakan kata-kata kotor, dan juga bercandaan tidak pantas di dalam kelas. Mungkin tidak dikatakan secara verbal, tetapi tatapan mata dari enam anggota awal itu kepada satu sama lain mengatakan hal yang sama bahwa ini akan menjadi kelas yang sulit.
Dengan suara yang sedikit lebih tegas, akhirnya kelas tersebut bisa dikendalikan dan semua sudah mulai tenang. Sejujurnya, kelas tersebut walaupun sudah mulai tenang tetap diisi oleh sahutan dari sana-sini dalam bahasa yang tidak kami mengerti artinya. Ada beberapa kata yang terdengar kasar tetapi tidak bisa juga kami menafsirkan makna asli dari kata tersebut. Perhatian kami tertuju kepada salah satu anak di dalam kelas itu. Ia bernama Adit. Adit tiba-tiba lari keluar kelas saat sedang pengenalan. Jika boleh jujur, tim kami sudah tidak menghiraukannya karena memang dialah si pembuat onar dan susah diatur. Dia pulalah tersangka utama pelaku candaan tidak pantas. Saat Adit kembali, dia membawa kipas angin besar, menempatkan di mejanya, dan menyalakannya. Tentu saja, kelas yang sudah mulai bisa diatur kembali kacau. Anak-anak berlari mengerumuni kipas tersebut, membentur-benturkan meja, dan semua jadi berantakan lagi. Semua anggota tim saling menatap dan bisa ditebak apa yang mereka pikirkan.
Akhirnya, tim memulai aktivitas pertamanya, yaitu cerdas cermat. Baru saja memasuki pertanyaan matematika ketiga, kami semua sepakat bahwa anak-anak benar-benar tidak akan menghiraukan kami dan terus berteriak-teriak. Kami tahu bahwa anak-anak lebih menyukai pelajaran IPS. Oleh karena itu, kami berbalik ke arah situ saja. Semua berjalan lebih lancar. Dari menebak negara berdasarkan bendera hingga mengingat Pancasila. Lalu sampailah pada permainan rantai kata. Anak-anak membentuk sebuah rantai dimana setiap orang akan mengucapkan kata menurut kategori yang diberikan. Pertama-tama, kategori yang diberikan adalah kata yang diawali dengan huruf K. Kucing, kancing, keledai hingga sampailah giliran Adit. Dengan santai dan percaya diri, ia menyebut kata tidak sopan dan tidak pantas.
Permainan berlanjut dan akhirnya para anggota memutuskan untuk melakukan kategori binatang dalam permainan rantai kata ini. Kucing, babi, burung. Akhirnya kembali lagi kepada Adit. Adit ini menunjuk salah satu anggota dan dengan lantangnya mengatakan anjing tetapi dalam bahasa Jawa kasar. Pada titik itu, sudah banyak dari para anggota kelompok kami yang sudah mengerumuni pintu dan melihat penyebab dari keributan ini sambil siap-siap membantu enam orang anggota tim awal ini. Disambut juga oleh Adit yang melemparkan pakaian dalam di area kelas.
Akhirnya, para anggota menegur anak-anak di kelas itu dengan keras. Kami menginginkan mereka tahu bahwa perilaku mereka tidak pantas dilakukan. Anak-anak ini masih muda dan Perkampungan Sosial Pingit ini seharusnya sebuah tempat belajar, tempat mereka mendapat edukasi. Kami menjadi penasaran, hal apa saja yang mempengaruhi mereka sehingga tidak ada rasa hormat atau tata krama, setidaknya kepada kami?
Di tempat pelayanan ini, kami benar-benar diajarkan bagaimana caranya bersabar dan tentu banyak pembelajaran yang kami dapatkan. Kami belum pernah menjadi guru. Ketika menjadi guru seperti saat ini, kami jadi tahu perasaan mereka saat menghadapi kelas yang begitu sulit diatur. Kini kami mengerti betapa lelah dan sulitnya mengontrol emosi dengan baik dalam situasi-situasi seperti ini. Selain belajar bersabar, kami juga bisa lebih mengapresiasi guru-guru yang tidak hanya mengelola satu kelas, tetapi banyak kelas dalam waktu delapan jam.
Kami juga ingin menyebut nama yang sangat bangga untuk kami tuliskan di sini, Olivia. Olivia adalah salah satu anak kelas SD besar yang sangat ribut dan sulit untuk tenang. Ia tetap diam dan justru menasehati teman-temannya saat mereka berkata kasar atau berperilaku tidak sopan meskipun ia tidak dihiraukan. Ia juga menghampiri anggota-anggota yang bertugas dan menyemangati mereka yang sudah terlihat kewalahan menghadapi anak-anak lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memang dipengaruhi lingkungan mereka, tetapi semua kembali lagi kepada sikap dan reaksi individu sendiri atas pengaruh lingkungan. Olivia membuktikan bahwa ia bisa dan tetap tegas kepada karakternya dan tidak menjadi seperti yang lain di dalam kelas itu. Ia membuat kami percaya bahwa kami juga bisa demikian dan tidak membiarkan hal negatif mempengaruhi kami dan menyalahkannya hanya karena lingkungan kami.
Sebuah perjalanan naik dan turun melayani Perkampungan Sosial Pingit. Emosi-emosi yang meluap dan juga kejadian-kejadian tidak diduga terjadi di sini. Mungkin ada banyak hal yang bisa dikatakan jika ditanya, “Bagaimana pengalamanmu di Perkampungan Sosial Pingit?” Dari sekian banyak kata yang bisa diungkapkan, seluruh kelompok kami pasti setuju dengan satu kata: mengesankan.
Kontributor: Siswa-siswi Universitas Pelita Harapan College