Pilgrims of Christ’s Mission

Jesuits

Feature

Pantang Mundur, Arif Tanpa Kenal Takut

Pertemuan Paus Fransiskus dengan Jesuit Indonesia Rabu pagi (4/9) sekitar pukul 11.30 WIB setelah menemui Presiden Indonesia, para pejabat pemerintah, dan korps diplomatik, Paus Fransiskus kembali ke Wisma Kedutaan Vatikan untuk menemui sekitar 200 Jesuit Provinsi Indonesia yang telah menunggunya. Mereka ini, sekitar 2/3 dari keseluruhan Jesuit di Indonesia, hadir bersama Provinsial Pater Benedictus Hari Juliawan, S.J. Paus Fransiskus hadir di ruang pertemuan berbentuk “T” dengan penuh senyum sambil menyapa mereka. Komentar pertamanya adalah, “Ada banyak orang muda di sini!” Demikianlah, karena 1/3 dari yang hadir adalah para Jesuit muda yang sedang menjalani formasi filsafat, teologi (magisterium), dan regensi atau orientasi kerasulan yang dilaksanakan setelah lulus filsafat sebelum masuk teologi. Karena waktu terbatas, Paus Fransiskus segera mempersilakan mereka untuk mengajukan pertanyaan.   “Yang ingin bertanya, silakan tunjuk jari!”   Dialog berlangsung dalam bahasa Indonesia yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Italia.   Paus Fransiskus, terima kasih berkenan datang ke Indonesia dan menemui kami. Saya skolastik teologan. Pertanyaan saya, bagaimana kita menangani masalah-masalah yang sangat mendesak dalam Gereja saat ini, khususnya dalam membantu mereka yang paling terpinggirkan dan tersingkir? Saya ingin para Jesuit bersuara. Bacalah Kisah Para Rasul untuk melihat apa yang mereka lakukan pada awal Kristianitas! Roh Kudus menuntun kepada “keriuhan” bukannya membiarkan segala sesuatu diam. Singkatnya, ini adalah cara untuk menghadapi isu-isu penting. Ingatlah bahwa para Jesuit harus berada di tempat-tempat yang paling sulit. Ini adalah cara kita untuk “melangkah lebih jauh” demi kemuliaan Allah yang lebih besar. Untuk membuat suara yang baik yang dibimbing oleh Roh Kudus, kita harus banyak berdoa. Saya selalu teringat apa yang dikatakan Pater Arrupe, yaitu agar para Jesuit jangan meninggalkan doa. Pater Arrupe ingin agar Jesuit melayani karya bagi para pengungsi, sebuah kerasulan sulit di tapal batas. Hal pertama dan terutama yang ia minta adalah berdoa dan berdoa. Pidato terakhirnya yang ia sampaikan di Bangkok menjadi wasiat bagi semua Jesuit. Hanya dalam doa kita menemukan kekuatan dan inspirasi untuk menghadapi ketidakadilan sosial. Lihatlah juga kisah hidup Fransiskus Xaverius, Matteo Ricci dan banyak Jesuit lainnya. Mereka mampu bergerak maju karena semangat doa mereka.   Terkait dialog lintas agama dan pentingnya kerukunan antaragama, para Jesuit yang tinggal di Pakistan hidup bersama orang-orang yang menjadi korban penganiayaan. Apa saran Bapa Suci? Saya merasa bahwa jalan orang Kristiani selalu merupakan jalan “kemartiran,” yaitu bersaksi. Kita harus bersaksi dengan bijak dan penuh keberanian. Dua elemen yang berjalan beriringan dan tergantung pada masing-masing orang untuk menemukan jalannya sendiri. Berbicara tentang Pakistan, saya teringat sosok Asia Bibi yang dipenjara selama hampir 10 tahun. Saya bertemu dengan putrinya, yang secara diam-diam membawakannya komuni. Ia menunjukkan kesaksian penuh keberanian selama bertahun-tahun. Maju terus dengan bijaksana dan penuh keberanian! Kebijaksanaan selalu memberikan nyali untuk mengambil risiko. Sebaliknya, jiwa penakut itu bernyali ciut.   Bagaimana Bapa Suci berdoa di tengah kesibukan? Saya sangat perlu berdoa dan benar-benar membutuhkannya! Di usia tua ini, saya bisa tidur nyenyak dan selalu bangun pagi-pagi, sekitar sekitar pukul 04.00, lalu mulai berdoa sejam kemudian. Saya mendoakan brevir dan memanjatkan doa pribadi kepada Tuhan. Jika doa terasa “membosankan,” maka saya berdoa rosario. Kemudian saya pergi ke Istana Kepausan untuk audiensi. Setelah itu saya makan siang dan beristirahat sejenak. Kadang-kadang di hadapan Tuhan saya berdoa hening. Saya berdoa dan tentu saja merayakan Ekaristi. Di malam hari, saya melakukan lebih banyak doa. Dalam berdoa, bacaan rohani juga menjadi sangat penting; kita harus menumbuhkan kerohanian kita dengan bacaan yang baik. Saya berdoa seperti ini, secara sederhana. Sederhana saja dan malah terkadang saya tertidur dalam doa. Tidak masalah karena bagi saya itu menjadi tanda bahwa saya baik-baik saja dengan Tuhan! Saya beristirahat dengan berdoa. Jangan pernah meninggalkan doa!   Bapa Suci, saya seorang formator. Apa saran Bapa Suci agar para formator dapat membentuk para formandi sehingga terbangun interkulturalitas dan rasa saling menghormati latar belakang multikultural dalam sebuah komunitas internasional? Saya punya cerita “lelucon” yang dilakukan oleh Roh Kudus. Tahu apa yang Dia lakukan? Seperti saya katakan sebelumnya, setelah kebangkitan Kristus, hal pertama yang Roh Kudus lakukan adalah membuat “kekacauan.” Saya ulangi lagi, bacalah Kisah Para Rasul dengan saksama. Roh Kudus “menciptakan,” dan dengan cara ini Ia menyertai kita sepanjang hidup. Apa yang diceritakan oleh Kisah Para Rasul kepada kita? Yaitu bahwa di Yerusalem terdapat orang-orang dari segala bangsa: ada orang Partia, Media, dan Elam. Mereka semua berbeda satu sama lain dan berbicara dalam bahasa mereka masing-masing. Inilah anugerah Roh Kudus, yaitu mereka “bersuara riuh,” berbicara dalam bahasa mereka sendiri tetapi semua saling memahami satu sama lain. Hal ini sesuai dengan para Jesuit, yakni menjadi alat Roh Kudus yang berarti membuat keriuhan ini.   Inilah inkulturasi. Jesuit harus memiliki kemampuan untuk berinkulturasi seperti telah dilakukan oleh banyak misionaris di berbagai benua. Ini berarti bahwa seorang Jesuit berkhotbah dalam bahasa dan bentuk yang pas sesuai tempat dan waktunya. Dua pilarnya adalah inkulturasi Injil dan penginjilan kultural. Inilah mengapa Jesuit itu berbeda satu sama lain, dan itu baik. Tidak ada model tunggal. Panggilan kita adalah membiarkan Tuhan memampukan kita mewartakan Injil dengan segala kekayaan yang telah diberikan-Nya kepada kita.   Hal ini juga berlaku untuk kondisi personal, temperamen dan karakter, misalnya, usia. Orang muda tidak dapat membuat dirinya menjadi tua, dan orang tua tidak dapat membuat dirinya menjadi muda sebab jika itu terjadi maka itu konyol. Setiap orang dipanggil untuk mewartakan Injil sesuai dengan usia, pengalaman, dan budayanya masing-masing. Saya garis bawahi inilah mengapa kebijaksanaan itu begitu penting. Seseorang harus mampu ber-discernment untuk melakukan inkulturasi: mencari dan menemukan Allah di mana Ia telah berada dan telah hadir dalam budaya-budaya. Latihan discernment adalah sesuatu yang dinamis. Hal ini membantu kita untuk tidak bersembunyi di balik ungkapan “selalu dilakukan dengan cara ini,” dan terus berjalan seperti yang biasa dilakukan. Ini tidak baik. Kita perlu melakukan discernment setiap saat. Discernment menuntun kita untuk terus maju.   Penting juga berdiskresi bersama dan berdialog dengan pembesar kita. Jika engkau menerima perutusan yang membosankan atau yang menurut kita bukan perutusan yang benar-benar cocok, lakukanlah eksamen. Diskresi yang baik tidak selalu dapat dilakukan sendirian. Dibutuhkan kebersamaan. Saya mengatakan ini kepada mereka yang masih dalam masa formasi dan mereka yang telah selesai menjalani semua

Feature

Audiensi Fraternal Paus Fransiskus dengan para Jesuit Indonesia

Paus Fransiskus mengadakan pertemuan persaudaraan dengan para Jesuit Indonesia pada hari kedua kunjungannya ke Indonesia, tepatnya pada Rabu siang, 4 September 2024, di Wisma Kedutaan Vatikan, Jakarta setelah ia menemui pihak berwenang, pemerintah, dan korps diplomatik Indonesia di Istana Kepresidenan. Di antara mereka yang hadir dalam pertemuan fraternal di kedutaan adalah Pater Julius Kardinal Riyadi Darmaatmadja, S.J., Uskup Agung Emeritus Jakarta (1996-2010) yang kini berusia 89 tahun. Seperti yang biasa dilakukannya, Paus berbicara dengan para Jesuit secara pribadi selama sekitar satu jam dan menjawab beberapa pertanyaan.   Kunjungan persaudaraan di antara para konfrater  Menurut Pater Antonio Spadaro, S.J., Wakil Sekretaris Dikasteri Bidang Kebudayaan dan Pendidikan, pertemuan berlangsung hangat dan akrab. “Paus Fransiskus selalu sangat santai,” kata Pater Spadaro kepada Vatikan News. “Dia merasa seperti di rumah sendiri sehingga dapat memberikan masukan awal tentang kunjungannya ini.” Paus merasa sangat terkejut sekaligus gembira karena ada begitu banyak orang muda di Jesuit Provinsi Indonesia.   “Ini mungkin yang paling mengejutkan Paus. Ada banyak Jesuit muda dalam formasi di Indonesia,” kata Pater Spadaro. Dia mengatakan bahwa Paus berbicara tentang Serikat Jesus dan pentingnya discernment dan doa.   “Jesuit termuda bertanya kepada Paus di manakah ia menemukan waktu untuk berdoa. Paus menjawabnya dengan diselingi beberapa anekdot,” jelas Pater Spadaro seraya menambahkan topik yang dibahas terkait isu-isu penting lainnya di Indonesia, seperti dialog antaragama dan inkulturasi. Dua ini hal yang sangat ditekankan oleh Paus Fransiskus.     “Paus Fransiskus mencintai Gereja-Gereja nol koma (0….%). Di Indonesia, jumlah umat Katolik hanya 3%. Jumlah yang sangat kecil dari keseluruhan populasi, 8 juta orang, Namun jumlah cukup berperan signifikan di negara ini. Tujuan umat Kristiani adalah untuk berkontribusi pada pertumbuhan negara, menjadi seperti ragi yang dicampurkan ke dalam adonan, dan ini benar-benar penting bagi Paus. Pesan bagi umat Kristiani adalah untuk berkolaborasi sepenuhnya demi kebaikan bersama. Bagi Bapa Suci, yang terpenting adalah vitalitas dan kapasitas generatif,” jelas Pater Spadaro.   Setelah dari Indonesia, Paus dijadwalkan mengadakan dua pertemuan lagi dengan para konfraternya, yaitu di Timor Leste dan Singapura. “Paus Fransiskus melihat sebuah potensi di negeri ini, yaitu potensi harmoni dalam konteks yang majemuk,” katanya. “Bahkan presiden hari ini berbicara tentang harmoni dan pluralisme. Saya percaya di sini ada harapan untuk masa depan di tengah berbagai ancaman keterpecahbelahan. Jadi Paus sangat terbuka terhadap realitas dan pencarian akan masa depan.” Transkrip lengkap pertemuan Bapa Suci dengan para Jesuit biasanya diterbitkan di La Civiltà Cattolica beberapa minggu setelah ia kembali ke Roma.   Ditulis oleh Salvatore Cernuzio dan Devin Watkins – Vatican News Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel “Pope Francis holds ‘brotherly encounter’ with Jesuits in Indonesia – Vatican News’ https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2024-09/pope-francis-indonesia-society-jesus-encounter.html Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo pada tanggal 17 September 2024.

Feature

Perjalanan Paus Fransiskus sebagai seorang Jesuit

Awal bulan September ini, Paus Fransiskus melakukan kunjungan apostoliknya ke beberapa negara, salah satunya Indonesia. Dalam kunjungan apostoliknya ke Indonesia, Paus Fransiskus tidak hanya bertemu dengan pemerintah dan umat Katolik saja, namun juga dengan tokoh-tokoh lintas agama, kaum muda scholas, dan penerima manfaat organisasi amal. Kunjungan apostolik Paus Fransiskus ditutup dengan Misa Kudus yang diselenggarakan di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta dan dihadiri kurang lebih 80.000 umat Katolik dari seluruh Indonesia.   Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia begitu menarik perhatian dan antusiasme bukan hanya dari umat Katolik saja, namun juga non-Katolik. Banyak orang yang rela menunggu di jalan-jalan yang dilalui Paus agar bisa sekadar melihat atau juga menyapanya. Paus Fransiskus atau Jorge Mario Bergoglio terpilih menjadi Paus pada 13 Maret 2013 menggantikan Paus Benediktus XVI. Beliau adalah Paus pertama dari ordo Jesuit atau Serikat Jesus.   Serikat Jesus atau Societas Jesu adalah ordo religius dalam Gereja Katolik yang didirikan oleh St. Ignatius Loyola bersama sahabat-sahabatnya pada tahun 1540. Anggota Serikat Jesus ini terdiri atas imam, bruder, dan skolastik (frater atau calon imam) yang sedang belajar dalam proses pendidikan yang tersebar di enam benua dan 124 negara. Dalam kesehariannya, para Jesuit, termasuk Paus Fransiskus, meneladani cara hidup atau spiritualitas yang diajarkan oleh Ignatius Loyola dan kemudian lebih dikenal dengan istilah spiritualitas Ignatian. Spiritualitas inilah yang menjadi dasar para Jesuit dalam mengambil keputusan demi kemuliaan Allah yang lebih besar (Ad Maiorem Dei Gloriam).   Berikut akan kami sajikan tulisan singkat mengenai riwayat perjalanan panggilan Paus Fransiskus. Sebagai seorang Jesuit, ia menjalani formasinya sama seperti Jesuit lain. Gambaran proses formasi seorang Jesuit, khususnya berdasarkan praktik yang ada dalam konteks Indonesia adalah sebagai berikut: Formasi pertama seorang Jesuit adalah novisiat (dua tahun pendidikan awal dan masa probasi di mana rahmat panggilan dikembangkan sehingga terlihat buah-buahnya). Di masa novisiat ini para novis, sebutan untuk mereka yang sedang menjalani formasi di novisiat, diberikan dasar pemahaman spiritualitas dan kharisma St Ignatius Loyola melalui berbagai kegiatan, misalnya Latihan Rohani, eksperimen, ratio conscientiae, pengakuan dosa, bimbingan rohani, dan interaksi dengan sesama novis serta anggota komunitas lain. Para novis ini dibimbing oleh magister dan socius magister novisiat.     Setelah menyelesaikan formasi novisiat dan mengucapkan kaul pertamanya, seorang Jesuit akan melanjutkan ke jenjang formasi berikutnya, yaitu formasi intelektual. Formasi pertama adalah studi filsafat selama kurang lebih empat tahun. Mereka yang berada dalam formasi filsafat ini disebut skolastik atau frater. Frater adalah sebutan lain bagi seorang calon imam. Studi filsafat ini bertujuan untuk memperkenalkan para calon imam atau skolastik dengan dunia logika, aneka pemikiran, metafisika, etika, dan lain-lain. Selain fokus belajar ilmu filsafat, umumnya setiap skolastik diutus untuk “merasul”, seperti melakukan pendampingan ke mahasiswa dan pelajar, kerasulan sosial, kerasulan paroki, dan lainnya. Dengan ini setiap skolastik belajar untuk mengintegrasikan hidup studi-rohani-kerasulan.    Setelah selesai studi filsafat, seorang skolastik akan dilantik menjadi lektor-akolit dan melanjutkan ke formasi Tahap Orientasi Kerasulan (TOK) selama dua atau tiga tahun. Dalam masa ini, seorang skolastik bisa saja ditugasi untuk menjalani studi khusus atau terjun dan terlibat penuh dalam karya kerasulan Serikat. Mereka juga hidup dalam komunitas karya di mana mereka ditempatkan. Mereka akan banyak belajar berkolaborasi dengan sesama kolega Jesuit dan non-Jesuit berlandaskan semangat kerasulan Serikat.   Selesai TOK, mereka akan melanjutkan ke tahap formasi teologi selama tiga atau empat tahun. Formasi teologi ini menjadi syarat wajib untuk dapat ditahbiskan menjadi imam. Tujuan formasi teologi ini adalah membantu sesama untuk mengenal dan mengasihi Allah serta mencari keselamatan jiwa-jiwa mereka.   Dalam masa kurang lebih tiga sampai lima tahun setelah tahbisan, seorang imam Jesuit kemudian akan diundang untuk menjalani formasi tahap akhir: tersiat. Tahap ini sering disebut juga “schola affectus (sekolah hati)”. Sebutan lain untuk tahap ini ialah novisiat tahun ketiga. Para Jesuit diajak untuk menyegarkan kembali pengetahuan mengenai Serikat, spiritualitas, Latihan Rohani, dan lain-lain. Tersiat berlangsung enam atau sembilan bulan di bawah bimbingan seorang instruktur tersiat. Tersiat juga menjadi salah satu syarat bagi seorang Jesuit sebelum mengucapkan kaul akhir.   Riwayat Perjalanan Panggilan Paus Fransiskus   Jorge Mario Bergoglio lahir di Flores, Buenos Aires, Argentina 17 Desember 1936. Bergoglio dewasa menemukan panggilannya menjadi imam Jesuit setelah mengaku dosa di sebuah gereja pada 21 September 1953. Keinginannya masuk Jesuit sempat terhenti karena ia mengidap sakit pneumonia dan kista, sehingga sebagian paru-parunya harus dipotong. Akhirnya, ia masuk novisiat Jesuit pada 11 Maret 1958.   Motivasi awal Bergoglio bergabung dengan Serikat Jesus adalah keinginannya menjadi misionaris ke Jepang. Namun rupanya Tuhan memiliki misi yang lain. Setelah menjalani dua tahun formasi Novisiat, Bergoglio mengucapkan kaul pertama pada 12 Maret 1960. Kaul pertama yang diucapkan adalah kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Setelah mengucapkan kaul pertama, Bergoglio melanjutkan tugas perutusan pertama yaitu studi filsafat di College Maximus of San Jose di San Miguel, Buenos Aires.     Setelah selesai filsafat, Bergoglio menjalani formasi TOK di beberapa lembaga karya. Ia mengajar sastra dan psikologi di SMA Colegio de la Inmaculada Concepción di Santa Fe, Argentina dari 1964-1965. Tahun 1966, ia mengajar kursus di Sekolah Menengah Colegio del Salvador di Buenos Aires.   Pada tahun 1967, Bergoglio memulai formasi teologi di Fakultas Filsafat dan Teologi di Colegio San Jose, San Miguel. Selama kurang lebih tiga tahun Bergoglio belajar teologi untuk mengeksplorasi rasio mengenai hal-hal yang berkaitan dengan iman dan keilahian.   Pada 13 Desember 1969, Bergoglio menerima tahbisan imam dari tangan Mgr. Ramón José Castellano, Uskup Agung Cordoba. Satu tahun setelah tahbisan, Pater Bergoglio diundang untuk menjalani formasi tersiat. Ia menjalani tersiat di Universitas Alcala de Henares di Spanyol pada 1970-1971. Setelah tersiat, Pater Bergoglio melanjutkan tugas perutusannya sebagai Magister Novis (pendamping para frater novis) dan Wakil Rektor di Seminari San Miguel, Buenos Aires, Argentina. Dua tahun setelah tersiat, Pater Bergoglio mengucapkan kaul akhir sebagai profes (kaul khusus yang menyatakan ketaatan penuh kepada Paus terkait tugas dan perutusan apostoliknya) pada 22 April 1973. Di tahun yang sama, setelah kaul akhir, pada 31 Juli Pater Bergoglio menjadi Provinsial Serikat Jesus Provinsi Argentina dan Uruguay. Provinsial atau superior mayor adalah pemimpin Jesuit yang dipilih oleh Jenderal (Pimpinan Tertinggi) dan membawahi salah satu provinsi. Provinsi adalah unit teritorial di mana perkumpulan Jesuit ini diorganisir; pengawasan suatu provinsi dipercayakan

Feature

Spiritualitas yang Membebaskan

Setiap malam di bulan Mei dan Oktober, komunitas asrama Realino SPM di Jl. Mataram No. 66, Yogyakarta, mengadakan doa rosario bersama untuk menghormati bulan Maria dan Rosario. Patung Bunda Maria diambil dari lemari di bawah televisi dan ditempatkan di meja panjang di tengah ruangan. Di depannya ditaruh sebuah tempat lilin bercabang dua dengan salib di antaranya. Satu lilin besar lain dinyalakan dengan tatakan piring kecil. Semua anak asrama, dari yang masih SMP hingga yang mahasiswa, berkumpul di aula bersama dengan Romo dan Bruder. Terkadang, turut hadir pula Frater-frater yang sedang live in di tengah komunitas. Mak Sur, yang menjadi ibunya anak-anak asrama, juga tidak pernah absen. Para volunteer yang sedang ada di Realino juga dipersilakan untuk ikut. Setiap harinya tiap anak asrama mendapat giliran untuk memimpin dan membuka doa, sementara semua yang hadir bergantian mendaraskan tiap-tiap butir Salam Maria. Aku adalah salah satu orang yang mendapat kehormatan untuk bisa bergabung dengan pengalaman transformatif ini hampir setiap hari pada bulan Mei tahun lalu, ketika aku sedang berada di Yogyakarta untuk Merdeka Belajar dan mendapat kesempatan untuk turut serta dalam karya-karya Realino SPM sebagai volunteer yang tiba-tiba muncul di tengah semester.   Aku ini Katolik anyaran. Belum lima tahun sejak aku mulai ikut misa dan mempelajari iman Katolik, pun belum tiga tahun sejak aku menerima baptisan. Doa rosario sendiri bagiku awalnya merupakan suatu love-hate relationship. Di satu sisi, kebaktian terhadap Ibu Maria menjadi salah satu yang menggugah hatiku kepada Gereja Katolik. Ibu menjadi sosok yang memberikanku “ruang aman.” Beliau adalah penghibur, penenang, penolong, penunjuk jalan. Kasih ibunya adalah tempat aku dapat diam berserah diri. Di lain sisi, membiasakan praktik doa rosario, walaupun sangat kuinginkan sebagai bentuk kasihku terhadap Ibu, tetap tidak gampang. Meskipun doa-doanya mudah, sulit bagiku untuk “betah” mendoakan rosario. Lima puluh Salam Maria terasa terlalu banyak dan menjemukan. Jarang aku bisa mendoakan satu rosario penuh sendiri karena aku mudah mengantuk. Sulit juga untuk bisa dengan masuk ke dalam kondisi doa kontemplatif ketika pikiran rawan terdistraksi kesibukan sehari-hari. Doa rosario yang membutuhkan waktu dan fokus tersendiri rasanya sangat “mengganggu.”    Ini yang lantas berubah melalui pengalamanku di Realino SPM—tidak hanya dalam doa rosario bersama, tetapi juga dalam keseluruhan karyanya. Tiap butir Salam Maria yang bergulir dan bergantian didaraskan bersama. Suasana yang sakral, namun di satu sisi juga banal: sesekali ada yang salah membaca doa, kemudian dikoreksi oleh yang lain, disusul oleh senyum dan tawa kecil dari yang lain. Ada yang kelebihan membaca Salam Maria. Ada yang lupa sudah sampai mana. Ada yang mengantuk juga. Sesekali anjing-anjing Realino—Polo, Gendhis, dan Cipong—ikut berkeliaran dan rebah di aula, seakan turut mendengarkan doa. Dalam kemanusiaan di tengah yang sakral itu, aku perlahan menemukan keterikatanku dengan rutinitas tersebut. Tanpa disadari, aku ingin dan mengusahakan diriku untuk hadir setiap hari. Sekiranya tidak bisa, aku akan rindu untuk mendoakannya sendiri di kontrakan, dan kendati aku mendoakannya sendiri, tiap doa yang didaraskan selalu membawa suara kawan-kawan terdekat di kupingku untuk turut berdoa bersamaku. Di sini aku menyadari bahwa kecintaan dan kedekatanku kepada yang Ilahi tidak bisa kukerjakan sendiri. Aku harus menemukannya dalam sesamaku, dalam praktik kebersamaan komunal. Gereja adalah rumah bagi para hamba, dan keberadaanku di dalamnya harus menjadi solidaritas bersama mereka. Jika aku ingin dekat dengan Allah, aku harus dekat dengan yang disekitarku juga dan jika aku ingin diam dalam keberadaan Allah, aku juga harus ingin diam dalam kebersamaan dengan orang-orang di sekitarku. Ini yang kupetik dari keterlibatanku dalam karya-karya dan keseharian Realino SPM: sebuah spiritualitas yang membebaskan, dan ini termanifestasi dalam dua pemaknaan.   Pertama, spiritualitas ini “membebaskan” diriku dari diri sendiri. Dalam arti, ia mengeluarkanku dari kekang individualitas semu. Simone Weil, seorang filsuf Prancis yang sangat dekat bagiku, mengatakan bahwa kasih terhadap sesama adalah substansi yang sama dengan kasih terhadap Allah (Weil, Waiting for God, Routledge, 2021:69). Ketika kita mengasihi sesama, adalah Kristus sendiri yang memandang ciptaanNya melalui mata kita (ibid, 72). Kita adalah “antena”, wadah bagi Allah sendiri untuk hadir bagi ciptaanNya. “Kasih terhadap sesama adalah kasih yang turun dari Allah kepada manusia.” (ibid, 100). Dalam kasih terhadap sesamaku, khususnya dalam konteks kebersamaan dalam komunitas, aku menyadari keberadaanku di dunia ini dengan sepenuhnya. Aku menyadari “akarku” sebagai insan manusia, dan mengarahkan atensiku kepada hal-hal yang tepat melalui kesadaran ini: bahwa—tentu tanpa menegasikan pentingnya gerak jiwa individu—komunalitas menjadi aspek yang penting dalam mencapai spiritualitas yang benar. Bahwa kecintaan terhadap Allah harus berangkat dari kecintaan terhadap sesama di tengah-tengah masyarakat. “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ aku ada di tengah-tengah mereka.” (Matius 18:20)   Kedua, spiritualitas ini tidak hanya membebaskan diri sendiri, tetapi juga memanggil kita untuk turut serta dalam karya pembebasan Allah bagi sesama kita. Kita dipanggil untuk saling “membebaskan.” Pembaca mungkin sudah familiar dengan kerja-kerja Realino SPM sebagai karya sosial dari Serikat Jesus Provindo. Aku sendiri telah mendapat kehormatan untuk bergabung dalam karya-karya pendampingan Realino di komunitas sosial Pingit, Bongsuwung, dan Jombor; di bengkel kerja Realino; juga dalam proses registrasi sekaligus kunjungan beasiswa pendidikan Realino. Keberadaan karya-karya Realino mengingatkanku pada ajaran sosial Gereja akan preferential option for the poor, atau keberpihakan Gereja bagi mereka yang miskin, lemah, dan tersingkir. Istilah ini pernah digunakan oleh Pater Jenderal Jesuit, P. Pedro Arrupe, SJ, diartikulasikan oleh Konferensi Uskup Amerika Latin (CELAM) di Medellin, Kolombia pada tahun 1968. Melalui peran teologi pembebasan P. Gustavo Gutierrez, Gereja menyadari bahwa kenyataan ketidakadilan sosial di dunia harus ditanggapi dengan keberpihakan Gereja bersama dengan kaum miskin yang terjerat oleh “kekerasan yang melembaga”—yaitu, lembaga negara dan ekonomi hari ini yang ditandai oleh ketidakadilan sistemik dan kemiskinan struktural. Spiritualitas kita lantas harus direfleksikan dari realitas kemiskinan, ketidakadilan, dan ketertindasan yang dialami oleh banyak dari sesama kita hari ini. Pun ketika kita merenungkan rosario, bukankah kita mengingat Kristus dan Maria yang menderita di bawah kekerasan kaisar dan para pemuka agama? Tidakkah seharusnya penderitaan dan karya pembebasan Kristus juga mengingatkan kita pada kondisi saudara-saudara kita yang juga menderita hari ini, di mana Kristus hidup bersama mereka?      Karya sosial yang dilakukan oleh Realino dan di mana saya terlibat lantas menjadi manifestasi dari suatu spiritualitas yang membebaskan, yakni satu spiritualitas

Karya Pendidikan

Kemerdekaan di Puncak Merbabu

Sebuah Refleksi Diri untuk Negeri Merbabu, Sang Penjaga Langit Jawa Tengah, adalah salah satu anugerah terindah dari Tuhan yang diberikan pada negeri ini. Keindahan alamnya yang menakjubkan membuat kami semakin mencintai Indonesia. Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-79, organisasi pecinta alam SMK Mikael Surakarta atau biasa disebut PASTELLO (Pecinta Alam STM Mikael Solo) mengajak siswa SMK Mikael untuk bersama-sama memperingati hari kemerdekaan Indonesia di Puncak Merbabu. Dengan semangat kemerdekaan, kami berencana untuk mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Gunung Merbabu. Kami mulai merencanakan kegiatan ini sejak 2 minggu sebelum pendakian. Banyak hal yang harus dipersiapkan, mulai dari pemilihan perlengkapan yang tepat hingga aklimatisasi. Dengan persiapan yang matang, pendakian akan menjadi lebih aman dan menyenangkan.   Jumat, 16 Agustus 2024, pukul 14.30 WIB, 11 siswa SMK Mikael dan 3 guru pendamping mulai berangkat menuju salah satu basecamp di kaki Gunung Merbabu. Gunung Merbabu memiliki beberapa pilihan jalur pendakian dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Kami memilih jalur Wekas karena kuota pendakian untuk jalur lain sudah penuh. Jalur Wekas merupakan jalur pendakian tersulit di Gunung Merbabu. Meski begitu, hal itu tidak membuat semangat kami goyah. Kami malah semakin termotivasi dan bersemangat untuk menjalani misi kami.   Setelah makan malam di basecamp, sekitar pukul 18.00, kami memulai pendakian. Pada pendakian ini, kami berencana membangun tenda di pos 2 dan beristirahat sejenak di sana. Agar pendakian lebih efisien, kami membentuk dua tim pendaki. Tim 1 bertugas sebagai porter yang membawa tenda dan berangkat lebih dulu. Dengan begitu, tim 1 akan sampai lebih cepat dan dapat mendirikan tenda terlebih dahulu. Tim 2 bertugas membawa logistik dan peralatan masak. Sepanjang perjalanan pendakian, kami saling membantu satu sama lain. Kami telah berkomitmen untuk saling menjaga dan tidak meninggalkan teman di belakang. Sebagai siswa Kolese Mikael, kami sangat memegang teguh nilai komitmen yang merupakan bagian dari core values SMK Mikael. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, terjal, dan menantang, kami bersyukur karena seluruh anggota tim berhasil mencapai Pos 2. Kami beristirahat di pos ini selama sekitar lima jam.   Sabtu, 17 Agustus 2024, sekitar pukul 04.30, suara burung berkicau mulai menyambut pagi di Pos 2. Petualangan baru pun dimulai. Setelah bersiap, kami pun melanjutkan pendakian menuju puncak. Tantangan demi tantangan kami hadapi, seperti jalur yang sangat terjal, cuaca yang tak menentu, dan kelelahan fisik. Namun, setiap kesulitan yang kami hadapi mengajarkan kami untuk semakin gigih, sabar, dan membangun kerja sama tim. Meski kami seringkali merasa lelah dan pegal, kami tidak pernah berpikir untuk menyerah. Bagi kami, pendakian ini merupakan sebuah perjalanan spiritual untuk menemukan kedamaian dan keharmonisan dengan alam. Dengan penuh semangat, kami terus mendaki menuju puncak sembari menikmati keindahan alam yang disuguhkan oleh Tuhan. Setiap langkah yang kami tapaki membawa kami lebih dekat dengan awan. Pemandangan matahari terbit adalah hadiah terindah yang tak terlupakan. Kabut yang menyelimuti lembah, hamparan sabana yang luas, dan mata air yang segar, semuanya menyatu menjadi sebuah lukisan alam yang sempurna.     Dengan napas tersengal-sengal, kami akhirnya mencapai puncak Merbabu. Kami pun langsung membentangkan bendera kebangsaan Indonesia, Merah Putih. Tak lupa kami juga membentangkan bendera CTE atau bendera SMK St. Mikael Surakarta. Lelah dan keringat yang bercucuran terbayar lunas saat bendera berkibar gagah di atas awan. Pemandangan sinar matahari yang menyinari Sang Saka Merah Putih dan bersanding dengan bendera CTE adalah momen yang tak terlupakan. Ini adalah persembahan kami untuk para pahlawan yang telah berjuang merebut kemerdekaan. Mendaki Gunung Merbabu adalah sebuah perjalanan spiritual yang mengingatkan kami pada perjuangan para pahlawan. Jalur pendakian yang terjal dan cuaca yang tak menentu mengajarkan kami arti kegigihan dan pantang menyerah. Sama seperti para pahlawan yang berjuang merebut kemerdekaan, kami juga harus terus berjuang untuk mencapai tujuan hidup kami. Merbabu mengajarkan kami arti perjuangan.   Misi kami untuk mengibarkan bendera Merah Putih dan bendera CTE di puncak Gunung Merbabu telah tercapai. Namun sayangnya, kami tidak dapat mengikuti upacara bendera peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-79 bersama para pendaki lainnya karena adanya miskomunikasi. Kami pun memutuskan untuk kembali ke Pos 2 dan melaksanakan upacara di sana.   Di tengah keindahan alam merbabu, kami merenungkan arti kemerdekaan dan nilai-nilai apa yang kami dapat selama pendakian. Kemerdekaan dalam konteks pendakian bukan hanya sekedar mencapai puncak, tetapi juga tentang proses perjalanan. Setiap langkah pendakian adalah sebuah tantangan. Menaklukkan setiap tanjakan, melewati medan yang sulit, dan menghadapi cuaca ekstrem adalah simbol perjuangan untuk mencapai tujuan. Dalam sebuah kelompok pendakian, pasti ada perbedaan karakter dan kemampuan. Mampu menghargai perbedaan adalah kunci keberhasilan dalam mencapai tujuan bersama. Mendaki gunung adalah upaya melepaskan diri dari rutinitas sehari-hari, dari zona nyaman, dan dari segala keterbatasan yang mengikat. Ini adalah bentuk kebebasan untuk mengeksplorasi diri dan potensi yang lebih besar. Dalam kesunyian alam pegunungan, kami memiliki banyak waktu untuk merenung dan memahami diri secara lebih dalam. Ini adalah kesempatan untuk menemukan kekuatan dan kelemahan diri, serta menggali potensi yang selama ini terpendam. Nilai-nilai dan semangat kemerdekaan yang kami rasakan saat mendaki gunung dapat kami terapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai tujuan yang lebih besar. MERDEKA!   Kontributor: Raditya Dhamar Alfikri – PASTELLO SMK St. Mikael Surakarta

Karya Pendidikan

Literasi Keuangan Mempersiapkan Masa Pensiun

“Sudah sekian lama guru dan karyawan berbakti di Kanisius. Bukan waktu yang menjadi tolak ukur, namun lebih mengenai kualitas. Pengabdian boleh diukur dengan waktu, tetapi yang lebih bermakna adalah bagaimana kita berupaya berbakti pada Yayasan Kanisius. Yayasan Kanisius Cabang Surakarta mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Kanisius Pusat yang berkenan memberi “ular-ular” literasi finansial, mempersiapkan para guru dan karyawan, pegawai Kanisius yang akan memasuki masa pensiun,” kata Pater Joseph MMT Situmorang, S.J. dalam acara “Pembekalan Pengelolaan Dana Pegawai di Masa Pensiun.”   Pembekalan Pengelolaan Dana Pegawai di Masa Pensiun diselenggarakan oleh Pengurus Yayasan Kanisius Pusat pada Selasa, 13 Agustus 2024 di aula bawah Fransiscus Xaverius Gereja St. Antonius Padua Purbayan Surakarta. Pemateri dalam pembekalan ini yaitu Pater Aria Dewanto, S.J. bersama Bapak Antonius Supardjono, Bapak Felix Yanik Sargunadi, dan Bapak Hariyo Projo Kusumo. Sebanyak 49 orang yang terdiri atas guru dan karyawan Yayasan Kanisius Cabang Surakarta yang akan memasuki masa pensiun tahun 2024 -2031 turut hadir dalam pembekalan ini.   Tujuan Pembekalan “Pengurus Yayasan Kanisius berharap pegawai-pegawai Yayasan Kanisius bisa sejahtera mulai dari pegawai honorer, pegawai tetap, dan pegawai pensiun. Pembekalan yang diberikan bertujuan agar pegawai yang akan pensiun memahami pengelolaan keuangan terutama yang berkaitan dengan Yadapen dan BPJS Ketenagakerjaan. Pembekalan ini bukan pembekalan dari aspek psikologis memasuki pensiun. Akan tetapi, merupakan ajakan bagi peserta untuk membuka akses yang berhubungan dengan Yadapen dan BPJS Ketenagakerjaan sehingga bisa mengetahui aset yang dimiliki serta apa saja yang bisa dilakukan untuk pengelolaan aset yang dimiliki,” kata Bapak Felix Yanik Sargunadi dari Yayasan Kanisius Pusat.   Awal pembekalan Bendahara Yayasan Kanisius Pusat, Pater Aria Dewanto, S.J. mengungkapkan bahwa memasuki usia pensiun tidak berarti hidup sudah selesai. Namun hanya purna karya di Yayasan Kanisius. Masa harapan hidup masih memungkinkan peserta memiliki usia 68 tahun atau 78 tahun, bahkan lebih. Pemikiran perlu dipersiapkan setelah pensiun. Banyak aspek yang mempengaruhi ketika memasuki masa pensiun, di antaranya aspek psikologis, mental, keuangan, spiritualitas atau kerohanian, kesehatan, dan aspek-aspek lainnya. Pembekalan kali ini hanya membahas mengenai aspek finansial saja.   Cek dan Ricek Kekayaan Pater Aria mengajak peserta untuk melakukan cek dan ricek kekayaan pegawai yang memiliki dana di Yadapen dan BPJS Ketenagakerjaan. Dengan melakukan pengecekan, pegawai yang akan pensiun dapat membuat perencanaan keuangan ke depan. Perencanaan keuangan diperlukan agar dapat mengelola keuangan secara bijak, membuat anggaran, berinvestasi secara cerdas, tidak melakukan hutang yang tidak perlu dan melakukan kontrol secara konsisten. “Ingat jangan terjerat pada pinjol, pinjaman online dan judi online,” pesan Pater Aria Lebih lanjut Pater Aria mengatakan bahwa ketahanan bidang keuangan dapat dilakukan dengan mengupayakan dan mengembangkan passive income, bagi yang memungkinkan. Misalnya berinvestasi yang aman di Yadapen, usaha dagang makanan dan minuman, usaha kost-kostan, usaha laundry, usaha antar jemput anak sekolah, beternak, berkebun produktif, dan lain sebagainya. “Semua itu dilakukan agar memiliki kebebasan dalam bidang keuangan yakni berkecukupan, meskipun tidak berkelimpahan. Selain itu bisa mengembangkan nilai-nilai pribadi,” ungkap Pater Aria.   Iuran Sukarela dan Manfaat Waktu Berkala Yadapen Selanjutnya Pater Aria memaparkan Jaminan Sosial Pensiun dan Yadapen. Pada saat pemaparan Yadapen, Pater Aria menyampaikan ada alternatif-alternatif pengembangan dana di Yadapen. Salah satunya dengan menambah iuran sukarela atau top up bagi peserta aktif Yadapen yang belum pensiun. Bagi yang sudah pensiun, bisa memanfaatkan manfaat waktu berkala.   Dana Kesehatan telah Disisihkan Selain itu juga dipaparkan pemanfaatan dana dari BPJS Ketenagakerjaan dan juga BPJS Kesehatan. Berkaitan dengan BPJS Kesehatan, Pater Aria mengajak peserta untuk memanfaatkan BPJS Kesehatan pada saat jatuh sakit dan memerlukan perawatan karena dana kesehatan telah disisihkan sebagai jaminan kesehatan. Dalam pembekalan ini peserta juga diajak untuk membuka link web Yadapen dan BPJS Ketenagakerjaan menggunakan gawai, untuk mengetahui jumlah aset yang dimiliki peserta. Bapak Antonius Supardjono, Bapak Felix Yanik Sargunadi dan Bapak Hariyo Projo Kusumo dengan penuh kesabaran membantu peserta pembekalan membuka web dan mengetahui jumlah aset yang dimiliki di Yadapen dan BPJS Ketenagakerjaan.   Kontributor: F.X. Juli Pramana – YKC Surakarta

Penjelajahan dengan Orang Muda

Ite Inflammate Omnia!

Rekoleksi Missioning Magis Jakarta 2023-2024 ‘Pergilah dan kobarkanlah seluruh dunia!’ Demikian pesan St. Ignatius Loyola sebelum mengutus sahabatnya, St. Fransiskus Xaverius, untuk menyebarkan Injil ke seluruh penjuru dunia. Ignatius ingin agar Xaverius tidak lupa akan semangat Injil yang mengubah dan mengobarkan hati mereka sebagaimana dua murid Emaus yang berkobar-kobar setelah mereka melek Kitab Suci kala berbincang-bincang dengan Yesus dalam perjalanan (bdk. Luk 24: 13-35). Api semangat yang mereka rasakan itu perlu diwartakan juga kepada yang lain supaya dunia semakin berkobar. Pesan yang sama rupanya ingin dimaknai oleh teman-teman Magis Jakarta untuk menutup rangkaian program Formasi tahun 2023 melalui kegiatan Missioning. Missioning berasal dari akar kata mittere, bahasa Latin, yang berarti mengirim atau mengutus. Kata tersebut kemudian ditafsirkan menjadi missio, yang dalam konteks teologi berarti tugas atau perutusan. Setelah berformasi dan ‘kembali’ pada perutusannya masing-masing, teman-teman Magis Jakarta diharapkan semakin mampu mengobarkan api cinta Allah kepada lingkungan di sekitarnya. Harapannya, terciptalah suatu dunia yang lebih baik dan teman-teman Magis menjadi sebagai salah satu frontliner-nya.    Dari Membangun Disposisi menuju Pembaharuan Hidup Rangkaian kegiatan Missioning Formasi Magis Jakarta 2023 mengambil tempat di Civita Youth Camp, Keuskupan Agung Jakarta. Selama kurang lebih 3 hari 2 malam, teman-teman Formandi dan Pengurus Magis Jakarta 2023 diajak untuk menemukan jejak kasih Allah dan menemukan wajah-Nya melalui pengalaman berformasi selama kurang lebih 9 bulan. Missioning sendiri terdiri dari beberapa sesi yang membantu teman-teman Formandi dan Pengurus Magis Jakarta 2023 mengkristalkan pengalaman formasinya. Sebelum memulai berbagai sesi, Fr. Albertus Alfian Ferry Setiawan, S.J. (Pendamping Magis Jakarta 2023) mengajukan pertanyaan reflektif, “Bagaimana disposisi batinmu sekarang dan rahmat apa yang kamu mohonkan dalam Missioning ini?” Pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang penting sebab proses kristalisasi itu tidak dapat berjalan dengan baik dan bermakna kala disposisi batin tidak mendukung. Memang tidak semua dari teman-teman peserta Missioning memiliki disposisi batin yang siap untuk mengikuti kegiatan ini. Ada yang kurang bersemangat. Ada juga yang bertanya-tanya untuk apa. Ada yang setengah hati. Namun, mereka semua mencoba untuk berkomitmen, membangun disposisi untuk ikut masuk ke dalam rangkaian penutup Formasi Magis Jakarta 2023 ini.     Berbagai materi dipaparkan dalam sesi-sesi Missioning untuk membantu teman-teman peserta mengkristalkan pengalaman mereka. Sesi-sesi tersebut antara lain: Collecting Rainbows yang dibawakan oleh Sanita Ayu Burhan (Magis Jakarta 2016), Pendalaman Hidup & Karya Kristus oleh Luisa Catherine (Magis Jakarta 2019), Correctio Fraterna & Reformatio Vitae (Pembaruan Hidup) oleh Pater Alexander Koko Siswijayanto, S.J. (Moderator Magis Indonesia), Contemplatio Ad Amorem yang dibawakan oleh Pater Alexander Koko Siswijayanto, S.J. (Moderator Magis Indonesia), dan ditutup dengan sesi sharing alumni bersama Monica Wibowo (Magis Jakarta 2008), Claudia Rosari Dewi (Magis Yogyakarta 2016), Fr. Ferry, serta dimoderatori Fransiscus Xaverius Siahaan (Magis Jakarta 2015). Di samping berbagai sesi ini, terdapat juga kesempatan untuk melakukan percakapan rohani bersama sahabat rohani (saroh), sharing circle, dan emaus untuk memperkaya proses pendalaman buah-buah pengalaman formasi yang sudah dijalani.   Sesi Collecting Rainbows menjadi saat di mana teman-teman Formandi dan Pengurus Magis Jakarta 2023 diajak untuk melihat buah-buah rahmat formasi yang sudah dijalani. Kegiatan dilanjutkan dengan sesi pendalaman Hidup & Karya Kristus. Pendalaman Hidup & Karya Kristus menjadi hal yang penting sebab Kristus, Sang Pokok Anggur itulah junjungan umat Kristiani. Buah-buah rahmat itu datang karena kemurahan-Nya juga. Maka, untuk dapat membagikan buah-buah rahmat, menjadi garam dan terang bagi orang-orang di sekitar, teman-teman peserta diajak untuk mendalami lagi Kristus, Sang Pokok Anggur. Sesi Correctio Fraterna & Reformatio Vitae juga menjadi salah satu titik penting dalam momen Missioning. Bersama-sama teman seperjalanan dalam terang Roh Kudus, masing-masing menyampaikan apa yang sudah baik dan apa yang masih bisa dikembangkan satu sama lain. Ini menjadi dasar untuk menuliskan Reformatio Vitae, perubahan hidup yang ingin dicapai sebagai salah satu proses on going formation dalam hidup.    Setelah mengumpulkan berbagai rahmat, mendalami Hidup & Karya Kristus, bersama-sama dalam terang Roh Kudus melakukan koreksi diri dan menentukan arah perubahan diri, teman-teman peserta diajak untuk mengkontemplasikan bagaimana cara berbagi kasih yang sudah didapatkan melalui Contemplatio Ad Amorem. Bahwa rahmat dan kasih yang sudah dicecap dan dikristalkan dalam Missioning ini tidak bisa hanya disimpan untuk diri sendiri. Rahmat dan kasih itu perlu dibagikan kepada sesama sehingga berbuah lebih banyak lagi dan Kristus sungguh-sungguh semakin dirasakan kehadiran-Nya melalui teman-teman peserta yang adalah alter Christus, Kristus yang lain. Dengan demikian, pembaharuan hidup merupakan kunci dalam perjalanan teman-teman Magis Jakarta selanjutnya. Untuk semakin memantapkan dan menginspirasi perjalanan panjang proses melatih Spiritualitas Ignasian ini, tidak lupa ada sharing dari teman-teman alumni dan frater. Harapannya, teman-teman peserta terinspirasi untuk dapat berbagi cinta dan rahmat yang sudah dimiliki dalam konteks dan cara masing-masing.     Rekoleksi Missioning juga menjadi kesempatan untuk melakukan regenerasi pengurus Magis lama ke pengurus Magis baru. Berjalanannya formasi Magis selama setahun tentu tak terlepas dari peran-serta para pengurus yang turut belajar mengobarkan apinya dalam proses formasi mereka masing-masing. Pada umumnya para pengurus terdiri dari lintas angkatan formasi. Kepengurusan Magis tahun 2023-2024 yang dinahkodai oleh Hana Putra Wicesa dan Yuyun Dewi Cendana diteruskan oleh Antonius Eko Sunardi dan Editha Mei Indah Banjarnahor sebagai ketua dan wakil ketua pengurus Magis Jakarta tahun 2024-2025. “Nuansa kebersamaan di tengah hujan dalam misa ini merupakan sebuah tanda bahwa Magis tetap bisa terus kompak untuk melangkah ke depan,” ujar Pater Koko, moderator Magis Jakarta. Memang pada saat itu, di tengah-tengah misa, tiba-tiba turun hujan dan membuat seluruh peserta Missioning ini merapat dalam kebersamaan di depan altar Amphitheater Civita Youth Camp.    Kembali ke Hidup Sehari-Hari Missioning diibaratkan sebagai “puncak gunung” dalam perjalanan formasi Magis. Semua peserta pada akhirnya harus kembali ke hidup sehari-hari setelah berformasi. Tak dipungkiri bahwa perjalanan berformasi tidak melulu indah dan menyenangkan. Ada kalanya jatuh dan tersungkur karena jalan yang terjal berbatu-batu. Ada kalanya merasa hilang semangat, bahkan kehilangan arah. Namun kemudian rahmat Tuhan hadir lewat teman-teman seperjalanan yang mendorong dan menolong untuk bangkit kembali. Hadir sebagai sahabat untuk satu sama lain merupakan bagian dari aspek companionship atau persahabatan yang menjadi salah satu pilar Magis. Dalam Missioning, aspek companionship yang telah dibangun dalam circle atau kelompok sharing sejak awal formasi ini kemudian dipadukan dengan aspek spiritualitas. Kedua aspek tersebut memungkinkan para formandi dan pengurus untuk memaknai proses

Pelayanan Gereja

Pemberkatan dan Peresmian Gedung Pelayanan Pastoral Paroki Bongsari di Hari Kemerdekaan RI

Tepat di peringatan hari kemerdekaan RI, 17 Agustus 2024, Bapak Uskup Mgr. Robertus Rubiyatmoko meresmikan dan memberkati Gedung Pelayanan Pastoral Grha Argya, Paroki St Theresia Bongsari Semarang. Pemberkatan dilakukan dalam misa konselebrasi bersama Provinsial Serikat Jesus Pater Benedictus Hari Juliawan, S.J. dan Pastor Paroki Pater Eduardus Didik Chahyono, S.J., beserta empat pastor yang lain, yaitu Pater Agustinus Sarwanto, S.J., Pater Thomas Surya Awangga, S.J., Pater Clemens Budiarta, S.J., dan Pater Bonifasius Melkyor Pando, S.J. Selain peresmian Grha Argya, diresmikan pula Kapel Adorasi St Ignatius (taman dan kawasan baru Gereja Bongsari).   Di hari penuh syukur ini Bapak Uskup mengajak seluruh umat untuk bersyukur atas selesainya pembangunan gedung pelayanan pastoral Grha Argya yang memiliki arti rumah pemuliaan atau persembahan kepada Allah. Lalu apa yang akan kita persembahkan untuk kemuliaan Allah? Apa yang kita persembahkan dengan gedung ini? “Persembahan itu tentu persembahan terbaik dan berkualitas, yaitu iman kita,” tandas Monsinyur.   “Saya berharap, iman akan Yesus Kristus dapat berkembang dengan adanya Gedung Pelayanan Pastoral Grha Argya. Karena gedung ini dipakai untuk proses pembinaan iman dan pewartaan secara terus-menerus dan dari waktu ke waktu. Ini melibatkan anak-anak sampai orang dewasa. Gedung ini akan menghasilkan buah berlimpah ketika umat yang terlibat memberikan diri penuh ketulusan hati, kerelaan, dan dedikasi demi kemuliaan Tuhan,” harap Bapak Uskup.   Sementara itu Pater Didik menyampaikan bahwa pembangunan gedung pelayanan pastoral ini menelan biaya lebih dari 12 milyar rupiah. Dari mana dananya? Pater pun tidak tahu. “Karena kita tidak memulainya dengan simpanan yang ada. Melainkan memulainya dengan Tuhan Yesus dan Bunda Maria, serta tentunya seluruh umat,” tandasnya. Pada kesempatan tersebut, Ketua Panitia Pembangunan, Ignatius Natalis Utomo, menyatakan rasa syukur atas selesainya pembangunan ini. Menurutnya, panitia telah bekerja sejak 2019 atau hampir 5 tahun. Ia pun memperkenalkan satu per satu panitia pembangunan. Dengan diresmikannya gedung pelayanan dan berakhirnya pembangunan, Natalis menyerahkan secara simbolis kunci gedung pelayanan kepada ketua PGPM Paroki Bongsari, Pater Didik.      Sebagai bentuk syukur diadakan pemotongan tumpeng dan penandatanganan prasasti peresmian sebelum berkat penutup. Penandatangan prasasti dilakukan oleh Bapak Uskup, Provinsial Serikat Jesus, dan Romo Kepala Paroki Bongsari. Tumpeng yang dipotong oleh Bapak Uskup diserahkan kepada Pater Didik dan Pater Benny menyerahkan potongan tumpeng kepada Natalis Utomo. Di akhir misa, Bapak Uskup menyampaikan proficiat kepada umat Paroki Bongsari. Menurutnya, Paroki Bongsari adalah paroki yang getol, gencar, dan bersemangat dalam pembangunan dan penggalian dana. “Dalam beberapa kesempatan saya berpesan kepada paroki-paroki lain. Contonen Bongsari kae le golek dana luar biasa dan proses yang dijalani sesuai prosedur berdiskusi dengan Tim Pembangunan Ekonomat Keuskupan!” ungkap Bapak Uskup.   Pembangunan yang menelan biaya 12 M lebih itu meliputi gedung pelayanan pastoral dua lantai dengan luas 1600 m persegi lengkap dengan sound system dan furniture, kapel adorasi, taman, dan penataan kawasan. Setelah Perayaan Ekaristi ada pesta umat. Masing-masing lingkungan menyediakan minimal 40 porsi makanan dan minuman. Sambil menikmati sajian makan malam, umat menyaksikan tampilan dari adik-adik PIA, komunitas adiyuswa, musik OMK, gamelan soepra SMA Loyola, dan group Paksi band dari Yogyakarta.   Hadir dalam acara ramah tamah Kardinal Julius Darmaatmadja, Bante Cattamano, dan beberapa tokoh lintas agama. Dalam acara ramah-tamah disampaikan juga tanda penghargaan pada lingkungan dan donatur. Kemeriahan acara yang dilangsungkan di depan Gedung Pastoral yang megah menggambarkan kegembiraan umat atas keberadaan gedung pastoral paroki. Antonius Iwan Wahyudi selaku ketua panitia pemberkatan dan peresmian menyatakan, ”Saya sangat bersyukur proses pembangunan bisa berjalan lancar dan acara pemberkatan serta peresmian berlangsung meriah. Tidak kurang 1000 umat mengikuti perayaan Ekaristi belum termasuk para penampil yang bersiap mengisi acara. Umat mengapresiasi berhasilnya pembangunan gedung pelayanan pastoral dan tata kawasan gereja yang tampak luas, indah, sejuk, dan nyaman.”   Kontributor:  Antonius Tri – Panitia Peresmian Gedung Grha Argya dan Tata Kawasan Gereja St. Theresia Bongsari Semarang