Pilgrims of Christ’s Mission

jesuit indonesia

Provindo

Apa Kata Mereka?

TEMU KOLESE 2023 Temu Kolese 2023 adalah kegiatan yang diinisiasi oleh para pamong kolese agar siswa-siswi Kolese Jesuit Indonesia berjumpa dan berkolaborasi. Dalam kegiatan ini tidak hanya siswa-siswi Kolese saja yang berjumpa dan berkolaborasi, namun juga para pamong dan guru Kolese juga. Berikut ini beberapa pengalaman berkesan yang dirasakan oleh para guru dan siswa saat mengikuti Temu Kolese 2023. “Bertemu dengan teman-teman baru, tanpa mereka pengalaman di Temu Kolese 2023 ini gak bisa tak rasain. Di sini aku mengetes diriku sendiri bisa gak ya aku bergaul dengan semua orang tanpa melihat perbedaan,” ungkap Raina Atitaranti Brata. Kegiatan immersion di Pasar Beringharjo bagi siswi SMA Kolese Gonzaga ini begitu mengesan karena menguji keberaniannya akan banyak hal. Mulai dari harus memegang pisau dan memotong ayam, memungut puntung rokok di jalanan Malioboro, dan melakukan orasi mengenai bahaya rokok di depan para perokok. Langkah pertama ternyata mengubah segala ketakutan yang dia pikirkan sebelumnya. Senada dengan Raina, Hieronymus Halashan Samosir atau biasa dipanggil Hiero, merasakan bahwa pengalaman mengikuti Tekol ini begitu menantang dirinya. Hiero yang tertutup bahkan dengan teman-temannya di Seminari Mertoyudan, mau tidak mau belajar untuk membuka dirinya selama kegiatan ini. Dalam Temu Kolese ini Hiero melihat begitu banyak karakter dan latar belakang teman-temannya yang membuat sudut pandangnya berubah. Belum lagi dengan immersion yang dia lakukan di daerah Magelang. Hiero merasa bahwa memahami dinamika kehidupan dan orang dapat dimulai dari kemauan kita untuk membuka diri bagi orang-orang terdekat atau daerah sekitarnya. Di balik kegiatan expo Temu Kolese 2023 ada sosok Yakobus Dani Senja atau Pak Dani. Beliau menyiapkan mulai dari merchandise kaos Tekol untuk semua kontingen, piala kejuaraan, medali, hingga plakat-plakat. Selain itu beliau dibantu siswa-siswa panitia mengkoordinir merchandise dengan desain ciri khas masing-masing kolese dan satu desain kolaborasi yang berisi semua kolese. Merchandise ini disiapkan untuk expo yang dijual melalui dua sistem yaitu pre-order (sebelum tekol) dan on the spot (ketika tekol). Pak Dani terkejut karena 80% barang sudah habis terjual dan bahkan banyak pre-order yang melebihi target penjualan hanya dalam dua hari. Anak-anak kolese begitu excited dengan merchandise yang ditampilkan, bahkan banyak yang belum mendapatkan barangnya. Pak Dani berharap setelah Temu Kolese ini compassion anak-anak semakin terasah dan menjadi lebih peduli dengan yang tersingkirkan. Bertemu dan berkolaborasi dengan anak-anak yang penuh semangat memberikan kesan tersendiri bagi Ibu Antonina Yunika Suryawulan atau Bu Ika, guru SMA Kolese de Britto. Dalam kepanitian Temu Kolese ini Bu Ika menjadi sekretaris Tekol bersama dengan dua frater, satu awam, dan sembilan anak dari berbagai kolese. “Anak-anak semangatnya sungguh luar biasa. Bahkan malam hari pun mereka masih mengerjakan laporan harian,” ungkapnya. Memang tidaklah mudah mempersiapkan Temu Kolese ini. Namun dengan komunikasi dan pembagian jobdesc yang jelas, semua pekerjaan menjadi terasa lebih ringan. Tidak dipungkiri pula pasti ada ricuh secara teknis mendekati hari H, namun semuanya bisa teratasi. Bu Ika berharap agar siswa-siswi yang mengikuti Temu Kolese melakukan semuanya dari hati sehingga mereka menjadi berkat bagi orang lain serta membawa perilaku zero waste di tempat mereka masing-masing, yaitu dengan membawa tempat makan dan minum yang dapat dipakai berulang-ulang. Selain itu, beberapa alumni juga menceritakan pengalaman mereka ketika mengikuti Temu Kolese. “Pengalaman paling berkesan saat malam keakraban karena di sana bisa lebih mempererat hubungan antara sesama kolese lain. Pertandingan-pertandingannya juga seru karena sesama tim dicampur antar kolese,” kata Gilbert Widjaja. Alumni CC tahun 2016 ini juga pernah menjadi peserta Temu Kolese 2015 dengan tema “My Earth My Mother”. Dia masih ingat bagaimana mereka, para peserta diajak untuk merawat bumi demi masa depan yang lebih baik, walaupun dengan usaha yang kecil, namun berdampak bagi lingkungan sekitar. Pastinya, selama temu kolese ini Gilbert juga mendapatkan teman baru dari berbagai kolese. Dia berharap agar anak-anak kolese tetap menjaga nilai-nilai dan kehidupan rohani kolese. Hidup harus seimbang antara rohani dan jasmani. Jika ada kesempatan mengikuti acara Temu Kolese jangan disia-siakan karena kesempatan tidak datang dua kali. Marcelino Angelus atau biasa dipanggil Ino, alumni PIKA tahun 2018 pernah mengikuti Temu Kolese 2015. Pengalaman yang berkesan ketika mengikuti Temu Kolese ini adalah saat tampilan lomba Tekol Got Talent. Ketika ia mendengar teman-teman peserta mulai berteriak dan bersorak sorai memenuhi aula, ia merasakan hangatnya kekeluargaan kolese yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Perasaan bahagia yang teramat bisa bergabung dan merasakan kehangatan keluarga kolese melalui Temu Kolese waktu itu. Dia mendapatkan keluarga baru yang bahkan sampai saat ini masih sering bertegur sapa. “Cari teman sebanyak mungkin!! Jangan cuma main sama anak-anak satu sekolah, temen-temen dari kolese lain seru semua kok! Kalian bakal dapet pengalaman baru dan banyak wawasan tentang kehidupan kolese! Perluas zona nyaman kalian dan rasakan kehangatan keluarga kolese!!” pesan Ino untuk peserta Temu Kolese. Kontribusi: Margareta Revita – Tim Komunikator

Penjelajahan dengan Orang Muda

Mengkaji Larangan Pernikahan Beda Agama

Pada 11 November 2023, Kolese St. Ignatius mengadakan “Dialog untuk Aksi” (DIKSI) yang membahas topik mengenai pernikahan beda agama. Acara ini menghadirkan tiga narasumber antara lain Pendeta Dr. Murtini Hehanussa (Gereja Kristen Jawa), Rm. Dr. Tri Edy Warsono, Pr. (Dosen Hukum Kanonik) dan Dra. Mayawati Jati Lestari, M.T. (Kabid Dukcapil Sleman). Peserta dialog ini juga terdiri atas beragam kelompok orang muda, antara lain mahasiswa UKDW, Sanata Dharma, GMKI Yogyakarta, dan komunitas lintas agama YIPC. Pemilihan topik pernikahan beda agama merupakan upaya untuk menanggapi Surat Edaran Mahkamah Agama (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023. SEMA tersebut berisi larangan kepada semua hakim dalam mengizinkan pencatatan pernikahan beda agama. Padahal, perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pendeta Murtini menyampaikan pandangannya bahwa “SEMA tidak sesuai dengan hak asasi manusia, juga kondisi bangsa Indonesia yang sangat plural dan berdasarkan Pancasila.” Meskipun Gereja Kristen memiliki pandangan yang beragam, menurut Pendeta Murtini negara mestinya menghormati dan melindungi pilihan masing-masing warga negara, termasuk pilihan untuk menikah beda agama. Pernikahan adalah urusan manusia, peran negara adalah mencatat dan Gereja hadir untuk memberkati. Namun, Pendeta Murtini juga menekankan pentingnya komitmen pernikahan karena realitas pernikahan tak jarang penuh dengan kompleksitas dan tantangan. Dalam Gereja Katolik, pernikahan beda agama termasuk dalam perkawinan campur. Ada dua jenis perkawinan campur, yaitu perkawinan beda Gereja (membutuhkan izin) dan perkawinan beda agama (membutuhkan dispensasi). Dengan izin atau dispensasi, secara gerejawi tidak mengharuskan mereka yang non-Katolik berpindah agama. Ketentuan di Gereja Katolik ini menurut Rm. Tri Edy merupakan “wujud penghormatan terhadap agama masing-masing yang dilindungi oleh hukum Gereja.” Terkait SEMA, Rm. Tri Edy berpendapat bahwa produk hukum terkait pernikahan beda agama seharusnya tidak hanya dipandang oleh satu sudut pandang agama saja. Meskipun saat ini SEMA melarang pencatatan pernikahan beda agama, Ibu Mayawati memiliki pandangan hukum bahwa larangan dalam SEMA ini tidak mematuhi UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975. Ibu Mayawati menyebutkan bahwa “dalam PP No. 9 tahun 1975 pasal 10 dan 11 diatur tentang tata cara perkawinan yang menegaskan tentang status pencatatan perkawinan secara resmi.” Perkawinan tercatat secara resmi bila setelah perkawinan terjadi penandatanganan akta perkawinan oleh kedua mempelai, kedua saksi, dan pegawai pencatat. Artinya tata cara dan keabsahan perkawinan diatur menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaan, bukan diatur oleh negara. Selain itu, pencatatan secara resmi merujuk pada penandatanganan akta perkawinan, bukan pada regulasi yang lain. Dengan menguraikan argumentasi hukum ini, Ibu Mayawati mengajak agar generasi muda sungguh-sungguh paham dan ‘melek’ hukum, agar hak mereka untuk menikah tidak diintervensi dan dibatasi oleh kebijakan hukum yang tidak mematuhi regulasi yang telah berlaku. Dalam dialog bersama dengan para narasumber dan peserta dari kalangan muda ini ditegaskan bahwa larangan pencatatan pernikahan beda agama dianggap tidak terbuka pada realitas kemajemukan dan melanggar hak asasi serta ketentuan hukum. Saat ini masyarakat modern memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi dengan berbagai perjumpaan elemen hidup dan perubahan yang begitu cepat. Denyut perubahan dan kemajemukan ini seharusnya diikuti dengan keterbukaan dan keluwesan lembaga keagamaan dan kehadiran negara dalam menyesuaikan kebutuhan dan tuntutan zaman. Berhadapan dengan konteks masyarakat modern ini, heterogenitas dan kompleksitas sosial hendaknya diakomodasi secara bijaksana sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang selaras dengan nilai-nilai dalam berbagai agama. Jangan sampai produk hukum pernikahan beda agama tidak mengakomodasi keragaman perspektif berbagai agama, sehingga membuat kehidupan publik yang majemuk diatur hanya dengan satu perspektif agama tertentu. Kontributor: S. Ishak Jacues Cavin, S.J.

Kuria Roma

Menghidupi Kaul Kemiskinan sesuai Zaman

Kongregasi Jenderal ke-36 tahun 2016 meminta Pater Jenderal Arturo Sosa untuk melakukan revisi Statuta tentang Kaul Kemiskinan dalam Serikat Jesus dan Instruksi Pengelolaan Harta Benda (SOP-IAG). Untuk itu, pada Januari 2020 ia menunjuk sebuah komisi yang dikoordinasi Ekonom Kuria Generalat saat itu, Pater Thomas McClain (Provinsi Midwest Amerika Serikat) dengan para anggotanya PP Cristián del Campo (Chili), Michael Lewis (Afrika Selatan), Benoît Malvaux (Eropa Barat/Prokurator Jenderal), dan Paul Sun (Cina). Para penasihat yang ditunjuk yaitu PP Charles Lasrado (Karnataka), Agustín Moreira (Chili), Michel N’Tangu (Central Afrika), dan saya sendiri. Saya berterima kasih kepada semua orang dalam komisi ini yang telah dengan murah hati memberikan waktu, tenaga, dan keahlian demi melaksanakan penugasan ini. Setelah selama dua tahun melakukan konsultasi secara intensif, maka pada Desember 2021 komisi menyampaikan dokumen-dokumen yang telah direvisi kepada Pater Jenderal. Setelah melakukan konsultasi dengan Konsultor Jenderal dan menimba inspirasi dari laporan-laporan proses eksamen terkait cara bertindak kita dalam menghayati kaul kemiskinan, Pater Jenderal menulis pengantar untuk statuta baru mengenai Kaul Kemiskinan dalam Serikat Jesus dan Pedoman Administrasi Keuangan dan Pengelolaan Harta Benda (SOP-IAF 2023). Hari ini, 14 November 2023, pada hari raya Santo Yosef Pignatelli dan ulang tahun keseratus kelahiran Pater Pedro Arrupe, Pater Jendral Arturo Sosa mengumumkan SOP-IAF yang baru. Komisi mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari dunia yang berubah cepat pada instrumen administrasi keuangan seraya menyarankan perubahan seperti termaktub dalam SOP-IAF yang baru. Oleh karena itu, IAF yang telah direvisi ini menyajikan beberapa perubahan substansial untuk memperjelas dan menyelaraskan administrasi keuangan sesuai dengan kebutuhan dunia modern. Saya percaya bahwa dokumen-dokumen yang telah direvisi ini akan membantu seluruh Jesuit untuk menghayati kaul kemiskinan dengan cara yang lebih mendalam dan bermakna. Semoga semua ini akan membantu pengadministrasian keuangan dan pengelolaan harta benda sehingga lebih efektif dan transparan. Kontributor: Sebastian Jeerakassery, SJ – Ekonom Kuria Roma Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel “For contemporary ways to live the Jesuit vow of poverty | The Society of Jesus” dalam https://www.jesuits.global/2023/11/14/for-contemporary-ways-to-live-the-jesuit-vow-of-poverty/ Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo pada tanggal 20 November 2023.

Feature

Berbakti di Beringharjo

Ceritaku Di Temu Kolese Pagi sekali aku merasakan tepukan ringan di tangan kananku. Karena lelah akan hari yang telah berlalu, aku tidak mengambil pusing dan memutuskan kembali tidur. Lagi-lagi, Aku merasakan tepukan yang lebih keras. Aku pun memutuskan membuka mata. Tidak, bukan malaikat yang membangunkanku pagi itu. Panitia Temu Kolese yang giat melaksanakan tugasnya pagi-pagi dengan membangunkanku karena tanda pita di tanganku. Di tengah lelahnya diriku, walaupun sedikit kesal, aku berusaha menyadarkan diri agar tidak membuat kelompokku menunggu. Aku ingat kala itu pukul 02.00 pagi, tidak sering aku harus bangun sepagi itu. Kemarin aku baru saja sampai di Kolese De Britto, Yogyakarta, setelah perjalanan yang panjang. Aku tersenyum ketika mengingat pelepasan kontingen peserta Kolese Kanisius kemarin lusa, terlebih lagi canda-tawa yang kami bagikan sesaat sebelum tertidur lelap di bus. Sialnya, aku mendapatkan tempat duduk di samping cello (alat musik) berukuran besar milik performer dari SMP. Ya, walaupun sempit, tetapi setidaknya aku masih dapat menikmati perjalanan. Sakit pinggang bukan tantangan jika hadiahnya adalah kunjungan ke Yogyakarta, apalagi menemui rekan-rekan dari delapan kolese dan seminari di Indonesia. Ketika baru sampai, aku merasa sedikit cemas bagaimana nantinya akan menyapa yang lain. Mungkin aku harus belajar cara ngomong yang agak medok… Mungkin aku harus belajar kosakata Bahasa Jawa… Mungkin aku harus belajar sopan santun mereka… Itulah beberapa pikiranku yang mengganggu selama perjalanan. Mungkin suara-suara di dalam kepalaku terkesan aneh bagimu, wahai pembaca, tetapi aku memang sedikit anti sosial. Semua pikiran buruk itu pecah bagaikan balon ketika aku dan kontingen CC lainnya turun dari bus dan disambut hangat oleh panitia, baik oleh tuan rumah De Britto maupun oleh panitia dari kolese yang lain. Sambil menunggu mulainya sesi di aula De Britto, aku merasa bosan. Walaupun bosan tersebut sedikit terobati dengan berbincang bersama teman-teman sekamar di kelas X3, tetapi aku ingin bermain… Aku ingin bermain tenis meja! Ketika terpilih menjadi kontingen CC, bukan maksudku untuk menjalani semua acara Temu Kolese. Maksudku adalah untuk unjuk kemampuan dengan peserta lomba tenis meja dari kolese yang lain. Namun apa boleh buat, semua acara tersebut sudah disiapkan. Oleh karena itu, kuputuskan untuk mencoba ikut seluruh rangkaian acara. Ketika sesi di aula De Britto akhirnya dimulai, aku mencoba mendengarkan apa yang dikatakan Pater Jupri. Namun, mataku tak kunjung menurut dan aku setengah tertidur. Apa yang berhasil kutangkap hanyalah bahwa esok hari akan ada kegiatan immersion, atau semacam live in singkat selama satu hari. Immersion dibagi ke dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok memiliki anggota campuran dari kolese lain, dan aku seorang diri dari CC di kelompokku. Jujur, itu membuatku sedikit khawatir karena mau tidak mau aku harus bergaul dengan tuan rumah immersion sekaligus teman-teman dari kolese lain. Hal lain yang kutangkap adalah bahwa kelompokku, Xaverius dan Faber, diminta bangun jam 2 pagi untuk bersiap-siap ke lokasi immersion. Entah Pater menyebutkan lokasi immersion atau tidak, pokoknya aku tidak menangkap di mana aku dan kelompokku akan pergi keesokan harinya. Kembali ke pukul 02.00 pagi; aku memutuskan untuk tidak mandi karena waktu sudah mepet. Aku membawa tasku dan bergegas menuju titik temu kelompok kami, yaitu di depan perpustakaan De Britto. Jujur, aku masih merasa cemas akan keadaan di lokasi immersion nanti. Setelah diabsen, kami sekelompok beserta pendamping menaiki bus yang telah menunggu. Bus yang kami tumpangi tidak memiliki pendingin, berbeda dengan bus-bus yang biasa dijumpai di Jakarta. Kendati demikian, hawa pagi Yogyakarta membantuku tetap bertahan di dalam bus itu. Sekitar 10 menit kemudian, bus berhenti. Di tengah gelapnya malam, Aku melihat sebuah palang besar yang bertuliskan ‘Pasar Beringharjo’ dengan tulisan yang kukira adalah aksara Jawa di bawahnya. Saat turun, kuhirup udara yang berbau amis, menginjak jalan yang becek, dan mendengar sahut-sahut penjual yang sedang membereskan dagangannya. Kuingat itu sekitar jam 3 pagi. Aku mengalami nostalgia, kembali ketika berumur 10 tahun. Dulu, almarhum kakekku sering mengajakku ikut berbelanja bahan makanan mentah di Pasar Kemiri Depok. Setelah turun, kami dibagi lagi ke dalam beberapa kelompok. Aku bersama kelompokku tiga orang: Jesse, Kidung, Mahe, ditugaskan untuk berjalan menyusuri selasar gelap tempat parkir Pasar Beringharjo. Kami diminta mencari seseorang bernama Pak Ari. Setelah beberapa waktu, kami menemukan beliau sedang membereskan motor di selasar itu. Jesse lah yang menyambut Pak Ari terlebih dahulu. Aku tidak berani menyapa pertama karena takut dibalas dalam Bahasa Jawa. Aku sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. Kami berlima berbincang singkat selama 5 menit. Pak Ari ternyata telah bekerja sebagai tukang parkir di Pasar Beringharjo selama 20 tahun. Aku sangat terkejut dengan pernyataan itu. Semua orang di Beringharjo adalah keluarga bagi beliau karena mereka sudah bertemu setiap hari selama 20 tahun. Di Beringharjo, tukang parkir memiliki wilayahnya sendiri-sendiri. Tiap wilayah juga dibagi ke dalam 2 shift: shift pagi dan shift siang. Pak Ari bekerja pada shift pagi, bersama temannya, Pak Mamad. Pak Ari menggunakan kata ‘kartu kuning’ untuk menjelaskan temannya itu. Kami tentu bingung dengan maksud beliau, dan bertanya mengenainya. Pak Ari memperjelas bahwa Pak Mamad adalah orang dengan gangguan jiwa ringan. Jantungku berhenti sejenak ketika mendengar itu. Aku, Jesse, Kidung, dan Mahe kemudian berunding untuk berbagi tugas. Aku dan Mahe membantu Pak Mamad, Kidung dan Jesse membantu Pak Ari. Tidak banyak yang dipesankan oleh Pak Ari untuk kami lakukan, hanya, “Santai aja, kalau ada yang bisa dibantu, ya paling lurus-lurusin motornya.” Wilayah parkir Pak Mamad lebih jauh di ujung lorong gelap itu. Ternyata banyak motor yang sudah diparkirkan di sana, dan para penjual telah datang bersiap-siap sejak pagi. Aku dan Mahe pun duduk di atas dudukan bambu milik Pak Mamad yang beliau gunakan untuk beristirahat. Kami berbincang sedikit bersama Pak Mamad, aku sedikit takut setelah perkataan Pak Ari tadi bahwa Pak Mamad adalah orang dengan gangguan jiwa. Pak Mamad kebanyakan berbicara dalam bahasa Jawa, sehingga aku berkomunikasi melalui Mahe. Untung saja ada Mahe, kalau tidak, tidak mungkin aku bisa bertahan di tengah keadaan itu. Pak Mamad berkata bahwa dia telah bekerja sebagai tukang parkir di sana selama 18 tahun. Beliau bercerita bahwa dulu area parkir tersebut jauh lebih ramai dari yang sekarang, dan sudah tidak banyak orang muda yang masih singgah ke pasar secara rutin. Kebanyakan yang kami lakukan hanya menunggu, berbincang, serta meluruskan

Feature

Sampah Membawa Syukur

Pada awalnya hal ini tidak terkirakan. Maksud dari tidak terkirakan adalah perasaan saya setelah melihat apa yang ditugaskan kepada saya dan teman-teman kelompok immersion. Saya dan teman-teman mendapatkan tempat immersion di TPA Piyungan. Awalnya saya biasa-biasa saja dan beranggapan bahwa suasananya akan biasa-biasa saja. Ternyata tak sebanding dengan apa yang saya pikirkan. Ternyata di TPA masih ada orang-orang yang bekerja seperti memilah-milah sampah untuk dijual. Lebih kagetnya lagi, di TPA ada sapi yang mencari makan di tengah sampah dan ditambah lagi baunya yang sangat menyengat. Sampahnya sangat banyak sampai-sampai membentuk seperti gunung. Saya juga bertanya ke teman kelompok, katanya ini belum seberapa dibandingkan di Jakarta. Hal ini membuat saya teringat ketika mengunjungi TPA di Nabire yang kondisinya tidak seperti ini dan sampahnya tidak sebanyak ini. Ketika di TPA saya dan teman-teman dibagi menjadi 16 kelompok. Kami diminta untuk mengumpulkan plastik, botol kaca, dan botol karet. Kami berhasil mengumpulkan sampai satu trashbag penuh. Keadaan di TPA membuat saya bertanya-tanya di dalam hati, “Kok bisa ya orang-orang di sana bertahan dengan baunya sampah, panasnya matahari, dan debu?” Saya yang baru mengangkat sampah di sana saja sudah merasa malas, mual, dan jijik. Mereka adalah orang-orang hebat yang mencari uang dengan bekerja di tempat itu untuk mencukupi kehidupan mereka. Padahal hasil sampah satu plastik yang mereka dapat tidak cukup untuk makan mereka selama sehari. Saya sangat terharu dengan kerja keras mereka. Saya bersyukur karena melalui kesempatan untuk berinteraksi dengan orang-orang di TPA Piyungan saya dapat mengetahui bahwa masih ada orang yang lebih susah dari saya. Karena itu, saya harus tetap bersyukur dengan hidup saya dan tidak lagi membanding-bandingkan hidup saya dengan hidup orang lain. Juga, tetap merendahkan hati serta berbela rasa kepada sesama yang membutuhkan. Kontributor: Ferdinanda E. Godopia – Kolese Le cocq d’Armandville

Pelayanan Masyarakat

Rekonsiliasi dengan Ciptaan melalui Permakultur

“All my life, we have been at war with nature. I just pray that we lose that war. There is no winner in that war,” kata Bill Mollison pendiri gerakan permaculture (permanent agriculture). Melalui pengalamannya, Mollison melihat bahwa manusia dalam sejarah peradabannya telah berusaha keras “menaklukkan” atau berperang melawan alam. Ia berharap bahwa tidak ada pemenang dalam perang itu. Bagi Mollison, alam punya cara untuk mengorganisir dirinya sendiri. Bagi kita, yang saat ini bahkan tanpa sadar “berperang” melawan alam, kiranya perlu menyadari peran kita di alam ini. Yang pasti, kita perlu melakukan rekonsiliasi dengan alam tersebut dan seluruh ciptaan yang ada di dalamnya. Lantas, apa wujud nyata yang dapat dilakukan? Gerakan permaculture bisa jadi salah satu caranya. 10 tahun yang lalu saya menerima sebuah buku tebal dengan judul Permakultur: Menuju Hidup Lestari dari seorang teman Jesuit. Saya tidak sungguh membaca buku tersebut karena saat itu sedang fokus kuliah Pendidikan Biologi. Tahun ini, setelah 10 tahun, saya berjumpa dengan orang-orang muda yang secara khusus mendalami permaculture. Rasa ingin tahu tentang gerakan itu pun terpicu kembali. Kebetulan, saat ini saya berkecimpung di bidang kursus pertanian dan menjadi delegasi perdamaian dengan ciptaan. Kesempatan pun datang secara khusus, saya ditawari oleh Pater Gabriel Lamug-Nanawa, S.J. sebagai Koordinator Reconciliation with Creation JCAP (Jesuit Conference of Asia Pacific). Gayung pun bersambut, dengan senang hati saya mengikuti Permaculture Design Course (PDC) yang diadakan di Alhibe Permaculture, Cebu, Filipina pada tanggal 6-16 September 2023. Dalam kegiatan PDC di atas, ada dua orang Jesuit yang terlibat, yaitu saya sendiri dan seorang romo Jesuit dari Myanmar: Pater Paul Tu Ja, S.J. Sebelumnya, pada bulan Februari yang lalu, Pater Gabriel Lamug-Nanawa, S.J. juga sudah mengambil kursus yang sama. Bersama kami ada 14 orang peserta lain yang datang dari berbagai daerah di Filipina. Secara umum, kegiatan kursus dikemas dengan baik dan suasana yang menyenangkan serta penuh dengan kekeluargaan. Permaculture sendiri adalah konsep yang positif dan terbuka dengan berbagai macam informasi tentang kelestarian dan teknik-teknik ekologis yang selaras dengan alam. Maka, saya sendiri sangat tersentuh dengan bagaimana kita mesti sadar dan membangun hubungan yang erat dengan alam. Tanpa hubungan dengan alam yang erat, saya tidak yakin bahwa seseorang bisa sungguh memiliki opsi dan perhatian dengan alam itu sendiri. Konektivitas dengan alam, bagi saya adalah kata kunci saat kita mesti berbicara tentang rekonsiliasi dengan ciptaan. Alam adalah tempat terdekat bagi kita untuk berinteraksi dengan ciptaan lain, entah itu tumbuhan, hewan atau bahkan mikroorganisme yang mungkin tidak bisa kita lihat dengan jelas. Desain dalam permaculture menjadi salah satu hal yang pokok. Desain yang dimaksud tentunya adalah desain yang berasal dari alam sendiri. Untuk sungguh mengaplikasikan permaculture di sekitar kita, kita bisa belajar dan mengadopsi tatanan yang secara khusus terdapat di alam, misalnya adalah ekosistem hutan. Hutan sendiri memiliki pola-pola ekologis yang secara teratur membuat ekosistem tersebut lestari. Melalui pola-pola yang ada, suatu ekosistem dapat menyimpan atau melepaskan energi yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan hewan yang mungkin terdapat di dalamnya. Melalui pola-pola yang sama, suatu lingkungan hutan bisa melepaskan atau menahan air yang dibutuhkan oleh lingkungan hutan tersebut dan masih banyak lagi peranan pola-pola yang terdapat di alam. Di akhir kegiatan PDC, para peserta diminta untuk mempresentasikan desain-desain permaculture yang dimiliki. Saya sendiri juga sudah membuat desain permaculture yang nantinya akan saya terapkan di Kursus Pertanian Taman Tani Salatiga (KPTT Salatiga). Dalam desain itu, saya menambahkan unsur edukatif. Saya mencita-citakan permaculture yang akan dibuat di KPTT bisa menjadi desain permaculture yang bisa dipelajari oleh banyak orang. Saya merasa optimis, di KPTT sendiri penguasaan terhadap dasar-dasar dan pengembangan pertanian organik sudah lebih baik. Dengan dasar ilmu pertanian yang ada, saya yakin permaculture dapat diintegrasikan dengan lebih mudah. Perpaduan antara permaculture dan pertanian organik ini, saya harapkan bisa menjadi jalan untuk mewujudkan secara nyata perdamaian dengan ciptaan. Saya juga berharap, KPTT nantinya dapat pula menjadi pusat dan rujukan untuk belajar tentang pendidikan ekologis dengan bentuk-bentuk penerapanya yang kreatif. Kontributor: Br. Dieng Karnedi, S.J. – KPTT

Penjelajahan dengan Orang Muda

Medicine Relationship

Setiap Jumat Podcast season 3 Di dunia yang berjalan serba cepat dan instan seperti saat ini, banyak orang muda yang kesulitan untuk menemukan makna dan kedalaman hidup. Sebagai sebuah siniar (podcast) yang hadir dalam bentuk audio, Setiap Jumat Podcast (SJP) hadir sebagai platform (sarana) berbagi obrolan ringan tentang kedalaman refleksi, pengalaman doa, dan pergulatan orang muda dalam kacamata Spiritualitas Ignasian. Program SJP, melalui tagline-nya, mengajak para pendengarnya untuk masuk ke kedalaman hidup dengan cara “rehat sejenak, ngobrol bersama supaya hidup tidak terlewat begitu saja”. Tahun 2023 ini, SJP memasuki season ke-3 dengan tema utama “Orang Muda Ignatian Ngobrol tentang UAP”. Tema ini berbicara tentang orang muda dan peran mereka dalam mewujudkan empat preferensi kerasulan apostolik yang mendasari karya dan pelayanan Serikat Jesus atau sering disebut UAP (Universal Apostolic Preferences); (e-book UAP dapat diunduh di https://jesuits.id/download/e-book-uap/). Empat poin dalam UAP diturunkan menjadi tema-tema yang berkaitan dengan anak muda diantaranya Orang Muda dan Spiritualitas, Orang Muda dan Orang yang terpinggirkan, Orang Muda dan Persahabatan, serta Orang Muda dan Lingkungan. Pada SJP Season 3 kali ini, Tim Komunikator SJ Indonesia membentuk program kolaborasi model baru dengan melibatkan Komunitas Magis Indonesia dengan monolog sharing refleksinya, PT Kanisius dengan renungan dari buku-buku terbitannya, dan OMK Ignasian Semarang dengan dialognya bersama para Jesuit. Setiap poin dari UAP dibahas bergantian selama sebulan dengan episode tayang setiap Jumat selama empat bulan. Total tercipta 17 episode. SJP Season 3 ini juga disemarakkan Proses kolaborasi di SJP Season 3 ini sepenuhnya berjalan secara daring selama enam bulan dan puncaknya pada 7-8 Oktober 2023 para kolaborator Tim SJP season 3 berkumpul secara tatap muka dalam acara Evaluasi dan Malam Keakraban (Makrab) di Refter Shakuntala, Gunung Kidul, Yogyakarta. Akhirnya setelah sekian waktu bekerja bersama hanya melalui layar gawai (gadget), masing-masing tim dapat bertemu langsung dan tanpa menunggu lama, kehangatan pun tercipta dan dengan giveaway buku dari PT Kanisius di setiap akhir tema UAP. Harapannya, hal ini juga dapat meningkatkan minat membaca dari para pendengar. Proses kolaborasi di SJP Season 3 ini sepenuhnya berjalan secara online selama enam bulan dan puncaknya pada 7-8 Oktober 2023 para kolaborator Tim SJP season 3 berkumpul secara tatap muka dalam acara Evaluasi dan Malam Keakraban (Makrab) di Refter Shakuntala, Gunung Kidul, Yogyakarta. Akhirnya setelah sekian waktu bekerja bersama hanya melalui layar gawai (gadget), masing-masing tim dapat bertemu langsung dan tanpa menunggu lama, kehangatan pun tercipta dan melebur dalam tim. Tim berangkat bersama ke Gunung Kidul dari Taman Komunikasi Kanisius. Kegiatan langsung dibuka dengan bermain ke Pantai Slili dan dilanjutkan dengan makan malam serta evaluasi. Dikarenakan ada beberapa personil yang berhalangan hadir, maka evaluasi berlangsung secara hybrid, luring dan juga daring melalui Zoom. Selama makan malam dan evaluasi, Tim SJP season 3 membagikan kesan masing-masing mengenai pengalaman mereka selama terlibat dalam program ini. Teman-teman dari PT Kanisius bercerita bahwa karena produk yang dihasilkan hanya audio saja maka tim Kanisius tertantang untuk mengemas konten sedemikian rupa agar bisa membuat pendengar tertarik dengan episode yang dihasilkan PT Kanisius. Menurut Mas Danang, akhir-akhir ini platform yang berkualitas untuk didengarkan oleh orang muda cukup sedikit. Kehadiran SJP sangat berarti karena bisa membahas isu-isu berat, terutama dengan kacamata rohani, serta mampu dibuat menjadi lebih santai dan relate dengan anak muda zaman sekarang. Selain itu, Mas Widi bercerita bahwa dengan berpartisipasi di SJP Season 3 ini, dirinya menemukan tantangan-tantangan yang membuatnya belajar banyak hal, terutama terkait bagaimana mengembangkan skrip dan menemukan talent pengisi suara yang cocok. Perwakilan OMK Ignasian dari Semarang juga berbagi kisah suka duka yang dirasakan. Menurut Haryadi (Didi), melalui SJP season 3 ini dirinya bisa bertemu orang-orang hebat, baik itu para Imam Jesuit yang menjadi narasumber maupun tim SJP Season 3 secara keseluruhan yang bekerja sama dengan baik hingga akhir. Didi berkata bahwa SJP season 3 ini memberikan kesempatan bagi dirinya untuk bisa mengobrolkan topik-topik yang merangsang imajinasi untuk berpikir maju. Harapannya, “Semoga temen-temen yang terlibat di SJP bisa terus kontak, terus solid, syukur-syukur kita bisa kembali berkarya bersama lewat SJP karena jelas pengalaman terlibat di SJP ini once in a lifetime experience yang bermanfaat banget buat diri kita.” Pada malam evaluasi, hampir seluruh kolaborator tim SJP season 3 merasa bahwa SJP perlu untuk terus dilanjutkan dan harapannya semakin bisa menjangkau lebih banyak pendengar. Rasa syukur atas perjumpaan ini membuat semua merasa bahwa program ini diharapkan dapat membuka kesempatan dan melibatkan lebih banyak orang-orang baru yang mau secara sukarela berkembang bersama. Seusai evaluasi, malam hari sebelum tidur dan istirahat, tim melanjutkan dengan acara barbeque dan ngobrol santai bersama. Di pagi hari kedua, tim SJP Season 3 menyempatkan diri untuk menikmati matahari terbit di Pantai Krakal sembari mensyukuri rahmat kehidupan dan kebersamaan yang diberikan Tuhan dari awal program hingga selesai. Seusai sarapan, tim SJP Season 3 menghabiskan waktu untuk bermain di Pantai Sadranan sambil snorkeling melihat terumbu karang dan ikan. Jeje, Designer Tim Sosial Media SJP Season 2 hingga Season 3, merasa sangat senang memiliki ruang belajar desain grafis di SJP, bertemu teman-teman baru dengan latar belakang yang berbeda-beda tapi bisa kompak dalam satu tim. Walau ada duka yang dirasakannya karena selama proses pengerjaan hampir tidak pernah bertemu tatap muka langsung, hampir seluruh koordinasi berlangsung daring. Jeje mengungkapkan dirinya juga bersyukur karena di setiap akhir Season bisa refleksi dan refreshing bersama seluruh tim. Dalam evaluasi kali ini, sesi ngobrol dan sharing serta snorkeling menjadi bagian terfavorit Jeje. Acara hari kedua ditutup dengan Misa Syukur yang dipimpin oleh Pater Hendricus Satya selaku Koordinator Tim Komunikator SJ Indonesia. Membuka misa, Pater Hendric mengajak setiap anggota tim untuk memikirkan satu kata tentang kebersamaan Tim SJP Season 3 selama enam bulan terakhir. ‘Sukacita, kolaborasi, syukur, senang, bahagia, kebersamaan’ menjadi beberapa kata-kata yang diungkapkan dalam misa. Pater menyampaikan tiga pesan dalam homilinya. Pertama, bagaimana sekarang ini manusia membutuhkan relasi yang dapat menjadikan diri mereka lebih baik dan menyembuhkan mereka bagaikan obat, atau bisa dikatakan sebagai Medicine Relationship. Hubungan ini adalah lawan dari tren Toxic Relationship yang marak di situasi sekarang. Dukungan hubungan yang positif ini dapat dimulai dari dukungan teman sebaya atau peer support. Satu sama lain saling memberikan dan menerima bantuan, menghormati dan saling memberdayakan