Membangun Fondasi Pendidikan di Tanah Papua (Bagian 2)
Selain itu, pola asuh yang mengandalkan kekerasan menciptakan rasa frustasi (frustration) karena anak tidak bisa menghindar dari situasi tersebut dan harus bertahan. Anak-anak di asrama seringkali membenarkan pola asuh model kekerasan di keluarga dengan mengatakan bahwa itu adalah demi pendidikan. Mekanisme emosi dominan ini mereka bawa saat masuk asrama atau sekolah di Kolese. Kebiasaan dan tuntutan baru di asrama maupun sekolah mudah membuat mereka frustasi karena mereka tidak memiliki pondasi literasi yang dibutuhkan. Akibatnya antara 30-50% siswa asrama di Waghete dan Nabire serta SMA Kolese Le Cocq rontok di tengah jalan. Emosi dominan lainnya adalah keras kepala (stubbornness). Ketika mulai membandingkan dengan kemampuan orang lain atau tingkat pencapaian yang harus diraih, mereka merasa minder. Mereka yang berhasil mengatasinya, memperkuat nilai kemandirian yang potensinya sudah mereka miliki. Mereka yang gagal biasanya menjadi keras kepala, tukang protes, dan semau-maunya sendiri. Emosi dominan yang tidak diolah ini seringkali dibawa sampai usia dewasa dan membentuk kecenderungan untuk mau bebas sebebas-bebasnya (compulsive freedom). Banyak tanah misi atau tanah gereja di wilayah Mee Pago dipalang. Sekolah dipalang, Jalan dipalang. Proyek dipalang. Main hakim sendiri. Kalau mereka punya kemauan, mereka bisa berbuat apa saja meskipun merugikan orang lain. Tindakan ini bisa dibaca sebagai reaksi masyarakat kecil akibat keterdesakan karena kehadiran pendatang dan protes terhadap para elit pemerintahan yang tidak menjawab aspirasi mereka. Polisi sebagai representasi negara tidak berbuat apa-apa. Sementara para elit pemerintahan punya cara yang lebih canggih dalam mengekspresikan compulsive freedom-nya untuk mencari perolehan bagi diri sendiri. Misalnya, menggunakan dana negara bukan sesuai intensinya. Pentingnya membangun fondasi kesehatan dan pendidikan sejak di keluarga perlu dilakukan oleh lembaga-lembaga Gereja karena merekalah yang saat ini punya akses langsung kepada masyarakat. Kita tidak bisa banyak mengharapkan pemerintah melakukannya sebagai kewajiban sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang, karena banyak elit tersandera oleh kepentingan ego masing-masing. Kepentingan keluarga dan kelompoknya sendiri lebih dipentingkan daripada urusan pendidikan dan kesehatan masyarakat. Tentu ada beberapa bupati atau kepala dinas dalam jumlah kecil yang berbeda dari kebanyakan lainnya. Mereka bisa diajak berkolaborasi untuk memajukan pendidikan dan kesehatan. Para pemimpin gereja Katolik di tanah Papua di LoC 199, para pemimpin agama Kristen Protestan LoC 156, dan para pemimpin agama Islam LoC 99. Sedangkan bupati dan gubernur masing-masing di LoC 98 dan 77. Melihat kondisi ini tidak mudahlah menggerakkan para pemimpin di lembaga-lembaga agama dan pemerintahan untuk mau berbasah tangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan. Bagi pengelola asrama dan sekolah Kolese Le Cocq d’Armandville, tidak ada pilihan selain membangun fondasi pendidikan dan kesehatan dalam diri siswa yang didampingi meski sebenarnya sudah terlambat. Selain menambah asupan gizi, berbagai program untuk melatih kebiasaan baru mendesak diperlukan. Otak kita tidak berbeda dari otak homo sapiens 600.000 tahun lalu. Apabila anak-anak diajak melakukan praktik kesadaran dengan berfokus pada nilai-nilai kejujuran, integritas, dan altruisme, maka LoC (level of consciousness) mereka akan naik di atas 200+ (dari skala Hawkins 1-1000) dan sel-sel otaknya mengalami transformasi signifikan. Saat ini kebanyakan siswa berasal dari wilayah adat Mee Pago dengan LoC 140 dan wilayah adat Saereri (Nabire dan sekitarnya) LoC 68. Pendidikan karakter sekolah Kolese Le Cocq saat ini mencapai LoC 199, sama dengan SMA YPK Anak Panah Nabire. Sementara sekolah-sekolah lain di dua wilayah adat ini berada di bawahnya. Nilai-nilai cukup baik ditangkap oleh para siswa lewat latihan-latihan hidup berkesadaran dasar, seperti bangun lebih pagi dan mandi, menjaga hidup rohani dengan misa harian di asrama, memperhatikan kepentingan orang lain atau kepentingan bersama dengan menjalankan tugas memasak, membuang sampah di tempatnya, mengucapkan salam dan membalas salam, berani meminta maaf, mengatakan terimakasih, tepat waktu hadir di sekolah atau kelas, memuji teman, membantu teman yang sakit, melakukan refleksi melalui pemeriksaan batin (Examen Conscientiae) setiap hari, mengenal diri lebih intensif dalam kesempatan rekoleksi tahunan, dst. Rangkaian demo atau protes terbesar oleh siswa Kolese Le Cocq selama 21 tahun terakhir, setidaknya tahun 2015 dan 2020, apapun pemicunya dan siapapun yang bermain di air keruh, menunjukkan bahwa pengelola asrama dan sekolah masih gamang dalam membantu pengolahan emosi-emosi dasar siswa. Ini pekerjaan yang tidak mudah karena kondisi politik dan budaya sangat berpengaruh. Oleh karena itu penting dan mendesak dibuat modul-modul latihan berkesadaran dasar. Modul-modul ini juga penting supaya sistem pendidikan karakter berjalan tanpa bergantung pada guru atau pendamping yang terus berganti. Misalnya, modul-modul pendidikan ekologi, modul-modul apresiasi, teknik-teknik relaksasi dan pelepasan emosi atau ketegangan, modul pengampunan radikal dan rekonsiliasi, modul pengembangan seni dan kecakapan kinestetik, dst. Model pembelajaran kinestetik (paling dominan), auditif, dan visual setiap kali perlu digunakan sesuai kebutuhan masing masing siswa. Cura personalis menjadi kuncinya. 3. Akses pada Teknologi Digital Era Revolusi Industri 4.0 memaksa manusia saat ini untuk hidup dalam dunia digital. Saat ini produk digital dan internet begitu lekat dengan manusia. Bahkan penduduk di Papua yang di banyak wilayah tak mendapat akses internet dan listrik, dapat menonton video kesukaannya dari kanal Youtube yang sudah diunduh terlebih dahulu dari handphone mereka. Informasi juga menjadi mudah didapatkan dan disebar. Banyak buku yang sudah didigitalisasi dan disebar juga via internet sehingga dapat diakses gratis. Salah satu tantangan akses teknologi digital di Papua adalah faktor geografis yang menyebabkan variasi topografi. Hal ini membuat pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi tak bisa dilakukan di 64% wilayah karena tak ada internet. Jaringan internet tersedia di pusat-pusat kota di sepanjang pesisir pantai. Di pinggiran kota, apalagi di wilayah pegunungan, jaringan internet tidak tersedia. Sebenarnya cukup banyak bantuan VSat untuk sekolah-sekolah pedalaman. Namun teknologi ini banyak tidak terpakai, kecuali hanya sebatas untuk sms atau Whatsapp. Kebijakan kuota gratis yang diberikan Kemendikbud pun tidak maksimal manfaatnya di Papua. Karena itu perlu kreativitas untuk menyiasati keterbatasannya. PNE 4.0 (Pustaka Neo EduTech) sebagai sebuah platform sharing materi digital tanpa sambungan ke internet, adalah salah satu inovasi yang dibutuhkan di Papua. Adalah fakta bahwa semakin terpencil sebuah wilayah, semakin tidak berkualitas pendidikannya. Semakin ke pinggir, semakin sulit penduduk punya akses teknologi. Namun demikian, berbagai penelitian menyebutkan bahwa anak punya kemampuan belajar mandiri, asal mereka mau dan ada teknologi yang mendukung. Kita tidak perlu menunggu anak mengerti Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris untuk bisa membuka internet atau materi digital. Teknologi digital justru bisa mempercepat literasi membaca. Teknologi digital tanpa sambungan ke jaringan internet







