Pilgrims of Christ’s Mission

Karya Pendidikan

Membangun Fondasi Pendidikan di Tanah Papua (Bagian 2)

Selain itu, pola asuh yang mengandalkan kekerasan menciptakan rasa frustasi (frustration) karena anak tidak bisa menghindar dari situasi tersebut dan harus bertahan. Anak-anak di asrama seringkali membenarkan pola asuh model kekerasan di keluarga dengan mengatakan bahwa itu adalah demi pendidikan. Mekanisme emosi dominan ini mereka bawa saat masuk asrama atau sekolah di Kolese. Kebiasaan dan tuntutan baru di asrama maupun sekolah mudah membuat mereka frustasi karena mereka tidak memiliki pondasi literasi yang dibutuhkan. Akibatnya antara 30-50% siswa asrama di Waghete dan Nabire serta SMA Kolese Le Cocq rontok di tengah jalan.   Emosi dominan lainnya adalah keras kepala (stubbornness). Ketika mulai membandingkan dengan kemampuan orang lain atau tingkat pencapaian yang harus diraih, mereka merasa minder. Mereka yang berhasil mengatasinya, memperkuat nilai kemandirian yang potensinya sudah mereka miliki. Mereka yang gagal biasanya menjadi keras kepala, tukang protes, dan semau-maunya sendiri.  Emosi dominan yang tidak diolah ini seringkali dibawa sampai usia dewasa dan membentuk kecenderungan untuk mau bebas sebebas-bebasnya (compulsive freedom). Banyak tanah misi atau tanah gereja di wilayah Mee Pago dipalang. Sekolah dipalang, Jalan dipalang. Proyek dipalang. Main hakim sendiri. Kalau mereka punya kemauan, mereka bisa berbuat apa saja meskipun merugikan orang lain. Tindakan ini bisa dibaca sebagai reaksi masyarakat kecil akibat keterdesakan karena kehadiran pendatang dan protes terhadap para elit pemerintahan yang tidak menjawab aspirasi mereka. Polisi sebagai representasi negara tidak berbuat apa-apa. Sementara para elit pemerintahan punya cara yang lebih canggih dalam mengekspresikan compulsive freedom-nya untuk mencari perolehan bagi diri sendiri. Misalnya, menggunakan dana negara bukan sesuai intensinya.  Pentingnya membangun fondasi kesehatan dan pendidikan sejak di keluarga perlu dilakukan oleh lembaga-lembaga Gereja karena merekalah yang saat ini punya akses langsung kepada masyarakat. Kita tidak bisa banyak mengharapkan pemerintah melakukannya sebagai kewajiban sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang, karena banyak elit tersandera oleh  kepentingan ego masing-masing. Kepentingan keluarga dan kelompoknya sendiri lebih dipentingkan daripada urusan pendidikan dan kesehatan masyarakat. Tentu ada beberapa bupati atau kepala dinas dalam jumlah kecil yang berbeda dari kebanyakan lainnya. Mereka bisa diajak berkolaborasi untuk memajukan pendidikan dan kesehatan.  Para pemimpin gereja Katolik di tanah Papua di LoC 199, para pemimpin agama Kristen Protestan LoC 156, dan para pemimpin agama Islam LoC 99. Sedangkan bupati dan gubernur masing-masing di LoC 98 dan 77. Melihat kondisi ini tidak mudahlah menggerakkan para pemimpin di lembaga-lembaga agama dan pemerintahan untuk mau berbasah tangan untuk  meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan.  Bagi pengelola asrama dan sekolah Kolese Le Cocq d’Armandville, tidak ada pilihan selain membangun fondasi pendidikan dan kesehatan dalam diri siswa yang didampingi meski sebenarnya sudah terlambat. Selain menambah asupan gizi, berbagai program untuk melatih kebiasaan baru mendesak diperlukan. Otak kita tidak berbeda dari otak homo sapiens 600.000 tahun  lalu. Apabila anak-anak diajak melakukan praktik kesadaran dengan berfokus pada nilai-nilai kejujuran, integritas, dan altruisme, maka LoC (level of consciousness) mereka akan naik di atas 200+ (dari skala Hawkins 1-1000) dan sel-sel otaknya  mengalami transformasi signifikan. Saat ini kebanyakan siswa berasal dari wilayah adat Mee Pago dengan LoC 140 dan wilayah adat Saereri (Nabire dan sekitarnya) LoC 68. Pendidikan karakter sekolah Kolese Le Cocq saat ini mencapai LoC 199, sama dengan SMA YPK Anak Panah Nabire. Sementara sekolah-sekolah lain di dua wilayah adat ini berada di bawahnya.  Nilai-nilai cukup baik ditangkap oleh para siswa lewat latihan-latihan hidup berkesadaran dasar, seperti bangun lebih pagi  dan mandi, menjaga hidup rohani dengan misa harian di asrama, memperhatikan kepentingan orang lain atau kepentingan  bersama dengan menjalankan tugas memasak, membuang sampah di tempatnya, mengucapkan salam dan membalas salam,  berani meminta maaf, mengatakan terimakasih, tepat waktu hadir di sekolah atau kelas, memuji teman, membantu teman  yang sakit, melakukan refleksi melalui pemeriksaan batin (Examen Conscientiae) setiap hari, mengenal diri lebih intensif  dalam kesempatan rekoleksi tahunan, dst.   Rangkaian demo atau protes terbesar oleh siswa Kolese Le Cocq selama 21 tahun terakhir, setidaknya tahun 2015 dan 2020, apapun pemicunya dan siapapun yang bermain di air keruh, menunjukkan bahwa pengelola asrama dan sekolah masih  gamang dalam membantu pengolahan emosi-emosi dasar siswa. Ini pekerjaan yang tidak mudah karena kondisi politik dan budaya sangat berpengaruh.  Oleh karena itu penting dan mendesak dibuat modul-modul latihan berkesadaran dasar. Modul-modul ini juga penting supaya sistem pendidikan karakter berjalan tanpa bergantung pada guru atau pendamping yang terus berganti. Misalnya, modul-modul pendidikan ekologi, modul-modul apresiasi, teknik-teknik relaksasi dan pelepasan emosi atau ketegangan, modul pengampunan radikal dan rekonsiliasi, modul pengembangan seni dan kecakapan kinestetik, dst.   Model pembelajaran kinestetik (paling dominan), auditif, dan visual setiap kali perlu digunakan sesuai kebutuhan masing masing siswa. Cura personalis menjadi kuncinya.  3. Akses pada Teknologi Digital  Era Revolusi Industri 4.0 memaksa manusia saat ini untuk hidup dalam dunia digital. Saat ini produk digital dan internet begitu lekat dengan manusia. Bahkan penduduk di Papua yang di banyak wilayah tak mendapat akses internet dan listrik, dapat menonton video kesukaannya dari kanal Youtube yang sudah diunduh terlebih dahulu dari handphone mereka.  Informasi juga menjadi mudah didapatkan dan disebar. Banyak buku yang sudah didigitalisasi dan disebar juga via internet sehingga dapat diakses gratis.   Salah satu tantangan akses teknologi digital di Papua adalah faktor geografis yang menyebabkan variasi topografi. Hal ini membuat pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi tak bisa dilakukan di 64% wilayah karena tak ada internet.  Jaringan internet tersedia di pusat-pusat kota di sepanjang pesisir pantai. Di pinggiran kota, apalagi di wilayah pegunungan, jaringan internet tidak tersedia. Sebenarnya cukup banyak bantuan VSat untuk sekolah-sekolah pedalaman. Namun teknologi ini banyak tidak terpakai, kecuali hanya sebatas untuk sms atau Whatsapp. Kebijakan kuota gratis yang diberikan Kemendikbud pun tidak maksimal manfaatnya di Papua. Karena itu perlu kreativitas untuk menyiasati keterbatasannya.   PNE 4.0 (Pustaka Neo EduTech) sebagai sebuah platform sharing materi digital tanpa sambungan ke internet, adalah salah satu inovasi yang dibutuhkan di Papua. Adalah fakta bahwa semakin terpencil sebuah wilayah, semakin tidak berkualitas pendidikannya. Semakin ke pinggir, semakin sulit penduduk punya akses teknologi.  Namun demikian, berbagai penelitian menyebutkan bahwa anak punya kemampuan belajar mandiri, asal mereka mau dan ada teknologi yang mendukung. Kita tidak perlu menunggu anak mengerti Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris untuk  bisa membuka internet atau materi digital. Teknologi digital justru bisa mempercepat literasi membaca.   Teknologi digital tanpa sambungan ke jaringan internet

Karya Pendidikan

Gonzaga Festival 2021 : Jatuh Satu, Tumbuh Seribu

Setiap tahunnya, kompleks bangunan di Jalan Pejaten Barat 10A menjadi saksi bisu kemeriahan pagelaran Gonzaga Festival (Gonzfest). Ratusan anak muda tumpah ruah dan terlibat di dalamnya. Ada pekik gembira lantaran bertemu kawan lama. Ada histeria karena bertemu idola, mendapati teman-teman sepermainannya naik panggung, atau karena bisa menunjukkan kebolehannya. Akan tetapi, pandemi tahun ini membungkam segalanya. Kompleks bangunan yang terletak di Jalan Pejaten Barat 10A itu kini sunyi, sepi, dan nyaris tak berpenghuni. Tidak ada lagi antrean body checking, pembelian tiket, maupun lorong-lorong yang penuh sesak oleh tenant yang menjajakan berbagai kudapan. Lapangan-lapangan olahraga yang biasa menjadi medan laga kontingen dari berbagai sekolah, kini ditinggalkan kosong. Demikian pula dinding-dinding SMA Gonzaga tidak lagi bersolek dengan dekorasi meriah. Ia ditinggalkan pucat pasi tanpa riasan. Pada malam hari, tidak ada lagi sorot lampu warna-warni di halaman sekolah. Hanya pendar samar-samar lampu taman yang menerangi jalan setapak yang sesekali dilewati orang. Sekali lagi, pandemi tahun ini membungkam segalanya.  Pandemi memang membuat anak jatuh, terpuruk, kesepian, dan bahkan kehilangan harapan. Gonzfest 2021 pun menjadi monumen mereka tumbuh, menyongsong hari baru yang masih akan datang, dan merawat api harapan yang masih berpendar dalam diri mereka. Keinginan untuk tetap tumbuh di tengah ketidakpastian inilah yang membuat mereka sampai pada rumusan tema “Jatuh satu, Tumbuh seribu”. Gonzfest ditandai dengan kegiatan ZADARI (Gonzaga Sepeda Lari). Kegiatan ZADARI berlangsung satu bulan dari tanggal 9 Agustus 2021 s/d 12 September 2021. Seluruh Komunitas Kolese Gonzaga diundang untuk berolahraga sambil mengumpulkan donasi. Olahraga yang dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah sesuai protokol kesehatan yang dibuat.  Donasi yang terkumpul sebesar Rp. 111.320.000,- (Seratus sebelas juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) dan disumbangkan melalui LDD KAJ (Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung Jakarta) bagi keluarga-keluarga pra-sejahtera yang terdampak pandemi.  Rangkaian perayaan Gonzfest pun berlanjut dengan berbagai agenda sejak tanggal 13 hingga 18 September 2021. Pekan Gonzfest ini ditandai dengan diselenggarakannya pengumpulan donasi. Ada dua metode yang digunakan, yaitu melalui donasi secara langsung dan melalui Gonzcart. Dalam kegiatan ini, siswa/siswi Gonzaga mengupayakan adanya e-canteen yang menjajakan berbagai kudapan. Keuntungan yang dihasilkan dari Gonzcart inilah yang nantinya turut akan disumbangkan bagi keluarga pra-sejahtera. Pekan Gonzfest diawali dengan webinar mengenai Perubahan Iklim oleh pendiri Greenwalfare.id, Nala Amira Putri dan workshop pembuatan kompos oleh anggota komunitas Kertabumi, Santi Novianti. Dalam kegiatan ini, semua peserta disadarkan kembali identitas mereka sebagai bagian dari alam semesta. Semua peserta diingatkan akan adanya tuntutan untuk terus berkontribusi aktif terhadap kelestarian lingkungan. Setiap orang dipanggil untuk terlibat dalam merawat bumi, rumah bersama ini. Selanjutnya, dinamika Gonzfest diisi dengan berbagai perlombaan pada hari kedua hingga kelima, antara lain: Solo vocal, Poster, English Debate, E-Sport, Visualisasi Puisi, Short Film, Pidato Virtual, Fotografi, Solo dance, dan Makeup. Meskipun penyelenggaraan lomba dilakukan secara daring tetapi tidak menurunkan animo para peserta yang terlibat. Perlombaan dan kompetisi Gonzfest diikuti oleh 36 SMP, 121 SMA, dan 12 perguruan tinggi. Mereka berasal dari Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Malang, Bali, Bajawa, Lampung, Aceh, Jambi, Pare, dan Nabire. Rangkaian Gonzfest ditutup dengan Charity Concert pada hari Sabtu, 18 September 2021 secara daring. Di ruang virtual inilah, siswa-siswi Gonzaga menunjukkan kebolehan mereka, baik dalam bentuk nyanyian, tarian, maupun visualisasi puisi. Secara khusus, konser ini dimeriahkan oleh penampilan Hindia sebagai bintang tamu. Penutupan Gonzfest ini menandai pula akhir dari pengumpulan donasi bagi keluarga pra-sejahtera yang terdampak oleh pandemi Covid-19.  Meski warga Kolese Gonzaga tidak lagi dapat mengekspresikan kemeriahan Gonfest Gonzfest seperti di tahun-tahun sebelumnya, akan tetapi jiwa muda kawula muda Kolese Gonzaga tetap dapat diungkapkan dalam tindakan nyata untuk membantu sesama. Gonzfest tidak lagi hanya diperjuangkan demi kemeriahan maupun gengsi belaka. Gonzfest tahun ini terus mengupayakan agar mereka yang putus asa dan terpuruk karena pandemi dapat menemukan dan menyalakan sekali lagi harapan mereka. Akhirnya, kompleks bangunan di Jalan Pejaten Barat 10A inilah yang menjadi saksi bisu geliat anak muda yang gelisah atas keprihatinan dunia. Kompleks bangunan di Jalan Pejaten Barat 10A juga menjadi rumah bagi orang muda yang tidak gentar memberikan diri bagi sesama. Mereka inilah nyala-nyala api di tengah kabut ketidakpastian, yang siap menyalakan api harapan dunia yang mulai pudar nyalanya.   Kontributor : Gregorius Agung Satriyo Wibisono, S.J.

Pelayanan Masyarakat

Empat Preferensi Kerasulan JRS

JRS Indonesia menemani, melayani, dan membela kepentingan para pengungsi di Indonesia. Karya kerasulan JRS Indonesia mengintegrasikan Universal Apostolic Preferences ke dalam karya kerasulan Serikat Jesus Provinsi Indonesia dalam misi rekonsiliasi dan keadilan.  Menemani Para Pengungsi Orang-orang yang merasa tak aman di negeri asal mereka (negeri pertama) terpaksa mengungsi, melintasi batas negara mereka, dan mencari suaka atau perlindungan internasional. Tiga belas ribuan pengungsi ada di Indonesia. Bagi mereka, Indonesia merupakan negeri transit (negeri kedua). Di Indonesia, mereka menunggu diterima dan ditempatkan di negeri tujuan (negeri ketiga) oleh negara peratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Tahun 1951 dan Protokol Tahun 1967 tentang Pengungsi. Proses penerimaan dan penempatan ini disebut resettlement.  Semakin lama mereka di Indonesia menanti resettlement, semakin memprihatinkan kehidupan mereka. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjunjung tinggi martabat pribadi dan hak manusia untuk mencari suaka. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia melalui Ketetapan Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia sudah menugasi Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Kendatipun demikian, Negara Indonesia belum memberikan hak untuk bekerja kepada para pengungsi. Sebutan-sebutan “imigran ilegal” dan “imigran gelap” mendiskreditkan mereka. Negara hanya memberikan hak untuk belajar di sekolah kepada anak-anak pengungsi yang berusia tujuh sampai dua belas tahun, dijamin oleh suatu organisasi, memiliki surat izin dari Kantor Imigrasi setempat. Meskipun demikian, mereka tak akan menerima ijazah.  JRS giat dalam interaksi sehari-hari bersama para pengungsi untuk melindungi hak-hak mereka atas kebutuhan-kebutuhan esensial, pelayanan kesehatan, dan pengembangan diri. Mereka dapat mengambil bagian dalam pelbagai pelatihan keterampilan untuk bertahan hidup selama mereka berada di Indonesia. JRS menyediakan ruang-ruang kolaborasi dengan para warga Indonesia di sekitar para pengungsi.  Di JRS Learning Center, yaitu pusat belajar yang dikelola oleh JRS bersama para pengungsi di Bogor, JRS menyelenggarakan kursus-kursus Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan latihan-latihan yoga dan meditasi mindfulness bagi mereka yang ingin memelihara kesehatan jasmani dan rohani.  JRS selalu mengajak semua pihak untuk ikut berkolaborasi dengan JRS. Beberapa kali, Uskup Bogor mengundang JRS untuk menceritakan karya JRS kepada para imam dan rekan-rekan mereka dalam pertemuan para pelayan pastoral di Keuskupan Bogor. Kepada mereka pada 27 Agustus 2019, JRS menceritakan pelaksanaan misinya, maka tiga bulan kemudian bangkitlah kepedulian dalam tindakan bagi para pengungsi. Komunitas Serikat Sosial Vinsensius (SSV) Paroki Sentul, Bogor, menyelenggarakan pelatihan kekriyaan bagi para pengungsi di JRS Learning Center.  Merawat Harapan Para Pengungsi Muda  Para pengungsi muda menghadapi banyak tantangan dalam dunia yang tak memberi alasan bagi mereka untuk mengharapkan masa depan yang lebih baik. JRS melibatkan para pengungsi muda untuk membantu diri mereka sendiri dan para pengungsi yang lain dalam upaya-upaya memulihkan diri, merawat harapan, dan membangun masa depan.  Pada 2020, perahu-perahu mengangkut 396 pengungsi Rohingya dan mendarat di Aceh. Sebagian besar mereka adalah pemuda, pemudi, dan anak-anak. JRS tak hanya menyediakan makanan tiga kali sehari bagi mereka, namun juga ngobrol dan bermain bersama mereka dalam kamp di Lhokseumawe.  Di JRS Learning Center, mereka yang mengajar adalah para pengungsi yang berusia 21 sampai 35 tahun, namun bukan para pengungsi muda ini saja yang mau menjalin relasi dengan sesama mereka. Para warga Indonesia pada usia muda pun mau menjadi sesama bagi para pengungsi, bahkan ketika gelombang kedua kasus infeksi dan kematian Covid-19 di Indonesia mencapai puncak yang empat kali lebih tinggi daripada yang pertama. Selama Maret sampai Agustus 2021, tiga mahasiswi peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta bergabung dengan JRS di Bogor dan Jakarta. Mereka mengambil bagian secara aktif dalam kegiatan-kegiatan JRS, tak hanya daring namun juga luring, tentu dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19 bagi semua anggota staf dan sukarelawan JRS Indonesia. Kontribusi-kontribusi para mahasiswi Atmajaya Jakarta peserta KKN ini membantu JRS untuk memberikan dukungan yang sebaik-baiknya kepada orang-orang yang kami layani. Memelihara Rumah Kita Bersama Sekelompok pengungsi yang dilayani oleh JRS mengolah tanah. Pada tiga tahun terakhir ini, JRS bersama para pengungsi semakin berani mewujudkan ide-ide yang kreatif, tak hanya agar mereka dapat makan dan meneruskan kehidupan mereka, namun juga agar mereka dapat mempraktikkan ekologi yang integral dengan sederhana. Sikap hormat dan peduli terhadap martabat manusia tak terpisahkan dari sikap hormat dan peduli terhadap keindahan, diversitas, keutuhan, dan kelestarian semua ciptaan. Untuk melindungi masa depan martabatnya sendiri, manusia perlu memulihkan ekosistem yang rusak. Kewajiban manusia untuk memelihara planet ini merupakan konsekuensi martabat manusia sebagai yang diciptakan secitra dengan Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam keadaan baik.  Para pengungsi yang bertani sayur-mayur ini memang, seperti semua orang asing di Indonesia, harus menerima banyak pembatasan. Namun mereka pantang menyerah, terus berpikir dan bertindak secara proaktif, memberdayakan diri. Mereka dan JRS mengajak para warga Indonesia di sekitar mereka untuk bercocok tanam. JRS menyelenggarakan pelatihan bagi para pengungsi dan para warga ini agar meluas dan mendalam pengetahuan dan keterampilan mereka untuk mengelola lahan pertanian dengan cara yang ramah lingkungan. Mereka mewujudkan komunitas agraris yang akrab dengan tanah dan air. Bumi dapat mereka andalkan untuk mengganjar jerih payah dan tetes-tetes keringat mereka dengan hasil bumi yang dapat mereka masak menjadi pangan sehari-hari. Dengan sepenuh hati, mereka mau ikut memelihara bumi. Menjadi Sakramen Cinta Allah yang Universal Di JRS, orang-orang yang lemah dan berdosa menanggapi panggilan Allah dengan pemberian diri melalui praksis solidaritas sehari-hari. JRS menjadi komunitas yang kreatif karena mereka menyatukan karya, misi, iman, komitmen, dan kehidupan mereka untuk memperhatikan dan merangkul para pengungsi yang diabaikan dan disingkirkan. Mereka adalah para anggota staf JRS dan para sukarelawan, para warga Indonesia dan para pengungsi, para Jesuit dan para religius, orang-orang Katolik dan yang beragama lain, laki-laki dan perempuan.  Betapa pun proses dan hasil kerja mereka tak ideal dan tak sempurna, pluralitas JRS dan pluralitas pengungsi menampakkan dan menghadirkan sesuatu yang sempurna, yaitu cinta Allah yang universal. Selama berjalan bersama para pengungsi, JRS akan terus menjadi tanda dan sarana cinta Allah yang universal itu.  Kontributor : Fransisca Asmiarsi dan Peter Devantara, S.J. 

Pelayanan Spiritualitas

Bersepeda Tandem Bersama Yesus dalam Latihan Rohani Pemula

Syukur kepada Allah, Latihan Rohani Pemula (LRP) angkatan ke-5 yang dimulai 1 Agustus 2021 telah usai pada Minggu, 12 September 2021. Meskipun LRP diibaratkan seperti pisang goreng karena lebih ringan dan mudah ini, tetapi tetap diminati oleh banyak umat. Keikutsertaan umat semakin berkembang baik dalam segi kuantitas maupun kualitas. Jika pada LRP angkatan ke-1 hanya diikuti oleh 90 peserta, pada LRP angkatan selanjutnya selalu lebih dari 100 orang. Bahkan, peserta LRP angkatan ke-5 mencapai 173 orang. Hingga saat ini total peserta LRP sudah mencapai lebih dari 650 orang. Akan tetapi, ternyata, tidak semua peserta bisa menyelesaikan dinamika LRP. Di angkatan ke-5 ini hanya 156 peserta (90% dari peserta awal) yang dapat menyelesaikan LRP. Bahkan 138 dari antara mereka mengirimkan refleksi akhir. Jumlah peserta yang bertahan ini sungguh luar biasa mengingat tuntutan proses LRP tidak mudah. Setiap peserta LRP dituntut untuk berdoa batin selama 5 minggu berturut-turut minimal setengah jam sehari dan dilanjutkan dengan menuliskan refleksi pengalaman doa mereka. Banyak dari mereka yang jatuh bangun, tetapi mereka tetap mau bertekun. Oleh karena itu, dapat bertahan dan setia dalam LRP merupakan anugerah tersendiri dari Allah bagi para peserta. Selama menjalani LRP, peserta bagaikan bersepeda tandem bersama Yesus. Hal ini diungkapkan oleh Pater Marwan, S.J. saat pertemuan awal dengan para peserta dan fasilitator. Setiap peserta berada dalam satu sepeda dengan Yesus, menikmati kebersamaan dengan Yesus, jatuh bangun, mengalami desolasi dan konsolasi. Sementara itu para fasilitator bersepeda di samping peserta, menemani mereka yang sedang berproses bersama Allah.  Pada minggu persiapan, melalui buku Berdoa dengan Jujur karangan William Barry, setiap peserta diajak untuk memahami doa sebagai dialog dengan Tuhan. Setelah itu mereka diperkenalkan dengan latihan doa dasar yang meliputi doa batin, merenung, berkontemplasi, dan masuk ke dalam keheningan. Harapannya, ketika mendoakan bahan-bahan LRP, setiap peserta lebih mampu merenung dan mengheningkan diri, serta mampu mendengarkan sapaan Tuhan bagi mereka. Ada lima tema besar dalam permenungan setiap minggunya. Tema besar Minggu Pertama adalah “mengingat akan cinta”. Minggu Kedua adalah “tinggal dalam cinta”. Minggu Ketiga bertema “cinta yang dilaksanakan.” Minggu Keempat, “cinta dalam pelayanan” dan akhirnya pada Minggu Kelima peserta diperkenalkan pada “Asas dan Dasar, Meditasi Panggilan Kristus Raja Abadi, dan Cara Ignatian dalam pengambilan keputusan.” Dalam doa-doa selama lima minggu ini, setiap peserta diajak untuk mengunjungi kembali peristiwa-peristiwa saat mereka menerima cinta dari Tuhan melalui sesama. Proses doa seringkali terasa berat karena terkadang yang  justru muncul adalah peristiwa-peristiwa luka dan kekecewaan dalam hidup. Dengan dinamika inilah, kami justru semakin mengenal gerak batin yang hidup di dalam diri kami.  Ketika gerak batin semakin mampu dikenali, pada saat itulah kemudian peserta diantar untuk semakin memahami pembedaan roh lewat dua kali webinar. Pedoman pembedaan roh adalah rambu-rambu yang membantu mereka peka terhadap gerak-gerak batin. Webinar pembedaan roh mengantar peserta untuk mengenali suara Tuhan dan memilih jalan yang membuat mereka semakin dekat dengan Tuhan. Mereka juga diajari mengenali godaan roh jahat dan bagaimana cara menolak godaan tersebut. Roh jahat sering menghasut untuk lebih mengingat peristiwa luka daripada rahmat yang diberikan Tuhan. Juga  ketika seseorang mengalami hiburan rohani, sebab iblis sering menjerumuskan seseorang pada kesombongan karena merasa dekat dengan Tuhan.  Pada Minggu V semua peserta diajak untuk semakin berani mengambil keputusan sebagai manusia Latihan Rohani dalam hidup sehari-hari. Webinar tentang mengambil keputusan secara Ignasian menjadi pengantarnya. Pada intinya pengambilan keputusan secara Ignasian adalah senantiasa melibatkan Tuhan, berdialog dengan Tuhan sebelum mengambil keputusan. Ada dua tahapan yang menarik ketika melibatkan Tuhan dalam mengambil keputusan. Pertama, kita bertanya, “Aku ingin apa atau sebaiknya aku mengambil keputusan apa?” Pertanyaan ini fokusnya masih di “aku”. Tahap berikutnya, kita bertanya, “Tuhan, Engkau ingin saya mengambil keputusan yang mana?” Dalam tahap ini kita dapat mengatakan, “Tuhan, saya suka ini dan saya tidak suka itu.” Namun, akhirnya kita ajak untuk bersikap, “Walaupun saya menyukai hal ini, saya akan tetap memilihnya jika itu yang Engkau kehendaki.”  Sepanjang LRP ini, setiap kali peserta selesai melakukan latihan rohani harian, mereka diminta menuliskan refleksi hasil olah batin yang mereka lakukan. Dari catatan refleksi ini akan bisa dilihat dinamika yang mereka alami. Hasil refleksi ini kemudian dibagikan ke peserta lain dalam percakapan rohani mingguan. Percakapan rohani dilakukan dalam kelompok kecil terdiri dari lima orang melalui platform Zoom dan didampingi oleh seorang fasilitator. Dalam percakapan ini, setiap peserta berlatih untuk berbagi pengalaman rohani, mendengarkan, dan melakukan pembedaan roh. Baik pembicara maupun pendengar berusaha memahami bagaimana Allah bekerja dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka berlatih untuk tidak cepat berbicara, tidak menasehati, tidak menghakimi, memperlakukan orang lain sebagai pihak yang setara, bersikap rendah hati dan tulus, berbicara penuh kasih dan pengertian dan melihat bahwa Allah Tritunggal berbicara pada semua orang. Sungguh percakapan rohani ini sangat unik dibanding sharing yang sering dilakukan dalam kegiatan rohani lainnya yang tanpa sadar cenderung melihat kelemahan orang lain dan menghakimi meski kemudian dibawa dalam doa.  Doa dalam percakapan rohani juga memiliki keistimewaan tersendiri. Setiap doa menyadarkan peserta tentang cara melakukan percakapan rohani yang baik. Misalnya doa “Litani bagi Pendengar.” Dalam doa tersebut peserta diajak memohon pada Tuhan untuk bisa memahami apa yang mereka dengar, memiliki sikap rendah hati, membiarkan misteri tetap menjadi misteri, dan lain-lain. Juga dalam doa saling memberikan tanggapan, peserta memohon Tuhan memberikan pengertian dan perhatian, rahmat mendengarkan tanpa prasangka, menjaga pengalaman doa setiap pembicara dengan hormat, dan sebagainya. Kemudian “Doa kepada Roh Kudus” peserta memohon kekuatan terhadap gangguan roh jahat dan kelemahan-kelemahan lainnya. Betapa indahnya Latihan Rohani Pemula ini! LRP mampu membantu para peserta untuk tumbuh menjadi pribadi yang baru. Namun keindahan dalam proses LRP tidak terlepas dari kerja keras orang-orang di balik layar. Para peserta LRP bagian 5 didampingi oleh 34 fasilitator, yang terdiri atas para Jesuit, rekan awam, dan suster FCJ serta PMY. Para fasilitator ini didukung oleh Pengurus LRP. Mereka semua adalah motor penggerak LRP ini dari bagian awal hingga sekarang.  Setiap dinamika yang muncul dalam proses latihan rohani sungguh berasal dari Allah Tritunggal melalui tangan-tangan yang tulus membantu menyelamatkan jiwa-jiwa. Akhirnya, ibarat pepatah, jika ingin tahu manisnya pisang goreng hendaklah ia memakannya; jika ingin tahu manisnya LRP hendaknya ikut berproses di dalamnya.  Kontributor : Yohanna Tungga Prameswarawati – Peserta LRP S2 dan Fasilitator LRP S5

Formasi Iman

Babak Baru Peziarahan Novisiat St. Stanislaus Kostka Girisonta

Selasa, 21 September 2021 menjadi kesempatan istimewa bagi Komunitas Novisiat St. Stanislaus Kostka Girisonta. Kami merayakan ulang tahun ke-90 Novisiat Girisonta. Perayaan ulang tahun kali ini dilakukan secara sederhana. Kami menggunakan kesempatan ini bukan sebagai titik puncak perayaan tetapi justru sebagai awal proses perjalanan yang baru dengan mendalami semangat Peziarahan St. Ignatius. Hal ini sekaligus menjadi tanggapan atas undangan Pater Jenderal untuk menyiapkan formasi menghadapi tantangan Serikat ke depan. Kami tergerak untuk menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh seperti Bapa Ignatius, sekaligus terbuka pada banyak kemungkinan yang tak terduga. Dengan membaca buku Berjalan Bersama Ignatius yang telah diluncurkan pada peringatan 50 tahun Provindo yang lalu, para novis belajar membatinkan semangat jiwa besar hati rela berkorban. Begitu pula melalui pendalaman bersama Rm. Priyo Poedjiono, para novis diajak untuk menyerap proses internalisasi Autobiografi, Latihan Rohani dan Konstitusi yang terarah untuk Missio Dei.  Begitulah kami komunitas Novisiat merayakan 90 tahun Novisiat Girisonta menyongsong undangan untuk bertransformasi bersama seluruh tubuh serikat Universal. Berikut ini selayang pandang Novisiat St. Stanislaus Girisonta: Novisiat SJ di Indonesia dibuka pertama kali pada tahun 1922 di suatu rumah sewaan di Yogyakarta. Novis Indonesia pertama yang masuk Novisiat SJ di Yogyakarta adalah Frs. Hardjasoewanda, Poespadihardja, Reksaatmadja, dan Soemarna serta beberapa novis dari Belanda. Mereka dibina oleh Pater F. Strater. Lalu pada tahun 1931 Novisiat mulai dibangun di samping rumah retret Girisonta di Ungaran. Pada bulan September, Novisiat dan Yuniorat pindah dari Yogyakarta ke kompleks yang baru ini. Magister novis pertama di Novisiat Girisonta adalah Pater Gregorius Schmedding, yang sejak tahun 1932 telah berkarya di bidang formasi sampai dengan akhir hidupnya, tahun 1934. Para novis pertama yang menikmati formasi di kompleks ini adalah enam orang yang berasal dari Indonesia. Masuk SJ pada 3 September 1931, mereka ini adalah Leonardus Daroewenda, Antonius Sontoboedoyo dan Servatius Tjakrawirjana. Tiga orang lainnya merupakan bruder Indonesia pertama yang diterima pada 10 Mei 1931. Mereka adalah Neo Kardis, Matheus Tirtasumarta, dan Hermanus Wirjapoespita. Pada tahun 1932, beberapa novis Belanda, yaitu Cornelis Jeuken, Carolus Krekelberg Kiswara, Joannes Overes, Bernardus Schouten, Alphonsus Smetsers, dan Laurentius van der Werf menjalani formasi di Novisiat Girisonta. Dalam buku Girisonta: Dari Novisiat Menatap Taman Getsemani, Pater Henricus Suasso memberikan gambaran tentang Novisiat awal di tahun 1937. Novisiat sederhana yang dibangun seperti asrama biasa ditambah kapel dan dihias sehingga tercipta suasana yang tidak menekan (tenang). Pada saat itu, para novis dididik untuk mengalami komunitas antarbudaya di mana penyesuaian diri menjadi tantangan utamanya. Selain itu, Pater Widyana menambahkan bahwa suasana silentium amat ditekankan dan semua harus menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar dan jika ingin berbicara harus menggunakan bahasa Latin. Novisiat Girisonta pernah mengalami masa-masa perang kemerdekaan. Pada tahun 1948, suasana yang santai tersebut berubah ketika Pater Schonhoff tiba di Novisiat dengan menerobos garis demarkasi perang. Dalam catatan Pater Harry van Voorst tot Voorst, adat kebiasaan novisiat pada tahun tersebut menjadi para novis memakai jubah setiap saat kecuali olahraga; makan pagi, siang, dan malam dengan silentium; adanya penitensi di refter (parva mensa); dan terakhir adanya lectio saat awal makan. Dalam hari-hari khusus ada rekreasi sesudah makan. Kebiasaan-kebiasaan dalam novisiat mengalami perubahan dan penyesuaian dari masa ke masa. Dalam perjalanan Novisiat tersebut, beberapa formator magister yang terlibat dalam formasi para Jesuit adalah Pater Magister Petrus Sunu Hardiyanta, Agustinus Setyodarmono, Leo Agung Sardi, Laurensius Priyo Poedjiono, Sartopandoyo, Warnabinarja, Ignatius Haryoto, dan Chrysantus Prawirasuprapta.  Tidak terasa usia 90 tahun itu telah dicapai oleh Novisiat ini. Dalam prosesnya itu, sudah dan masih ada begitu banyak orang yang terlibat dalam mewarnai peziarahan formasi para Jesuit di Provinsi Indonesia. Hasilnya, Novisiat ini telah melahirkan para Putra Ignatius yang dibakar dengan semangat Latihan Rohani, untuk terus melayani Tuhan melalui Gereja dan Negara. Memang, perayaan ke 90 ini harus dirayakan secara sederhana di tengah keterbatasan karena pandemi. Namun, dalam suasana 500 tahun pertobatan St. Ignatius, kita diajak untuk melihat segala sesuatu secara baru di dalam Kristus. Dalam suasana penuh syukur kita diminta untuk menghayati tegangan yang kreatif dan semangat bersungguh-sungguh dan terbuka terhadap sesuatu yang tidak terduga.  Kontributor : Hendricus Satya Wening, S.J.

Kuria Roma

Tantangan Penyusunan Proposal terkait Statuta dan Tata Kelola Harta Benda pada Level Serikat Universal

Sebuah dokumen tidak akan mengubah apa pun jika tidak ada pertobatan dalam Serikat. Itulah yang selalu menjadi tantangan kita. – Tom McClain, S.J., Ekonom Kuria Roma Konsul yang diperluas (Extended Council) dari Pater Jenderal mengadakan pertemuan untuk membahas hasil kerja Komisi yang bertugas meninjau Instruction on the Administration of Goods (IAG). Bersama Pater Tom McClain, Ekonom Kuria, kami berkesempatan menanyakan beberapa hal terkait pembahasan tersebut. Pater McClain, dari mana asal usul komisi yang Pater pimpin ini dan apa tugas-tugasnya selama ini? Pada dasarnya, dibentuknya Komisi ini merupakan mandat KJ 36 yang meminta Pater Jenderal untuk melakukan revisi Statutes on Poverty (Statuta Serikat tentang kemiskinan) dan Instruction on the Administration of Goods IAG (Instruksi tentang Administrasi Harta Benda)) dengan perhatian khusus pada instrumen keuangan baru yang umum dipakai dan penggunaan dana bersama (Common Fund).. Implikasi dari pekerjaan kami ialah upaya mengkombinasikan hukum, usulan dan nilai-nilai. Di satu sisi, Statuta adalah undang-undang dengan kutipan langsung dari Konstitusi dan Norma Pelengkap, sedangkan Instruksi adalah pedoman, rambu, dan praktik baik laporan finansial masing-masing Provinsi kepada Pater Jenderal atau antara berbagai tingkat gubernasi Serikat kita mengenai seluruh administrasi sumber daya kita. Lalu dibentuklah sebuah Komisi khusus terkait hal di atas. Nah, bisakah Pater menceritakan hal tersebut beserta tugas-tugasnya? Pater Jenderal mengangkat enam anggota, yaitu tiga orang dari kantor saya di Kuria Roma dan tiga dari belahan dunia lain, yaitu Cina-Taiwan, Afrika Selatan, dan Chili. Beberapa Jesuit kemudian ditambahkan menjadi asisten saya. Beberapa orang lain mungkin diundang untuk berpartisipasi setelah Consiglio Allargato ini. Kami seharusnya mulai bekerja mulai Maret 2020. Pandemi membuat jadwal itu diundur karena kami tidak punya kesempatan untuk bertemu. Tetapi mundur karena pandemi dan selanjutnya. Kami akhirnya harus melakukan semua pekerjaan melalui Zoom setiap Sabtu. Di antara topik-topik yang telah kami bahas adalah hakikat “karya” kita. Apakah yang dimaksud dengan  “karya Serikat kita?” Bahasa yang kita pakai kurang fokus dan tidak jelas mengenai hal ini. Kami juga mempertimbangkan perubahan yang berkembang di dunia keuangan. Misalnya, hukum Serikat yang mengatakan bahwa Jesuit tidak boleh memiliki barang atas nama pribadi sekarang menjadi problematis. Satu negara, misalnya, sudah melarang penggunaan uang kontan sehingga Jesuit harus memiliki rekening bank untuk melakukan transaksi keuangan mulai dari membeli permen hingga pakaian atau membayar berbagai macam tagihan.  Tentulah  ada kebutuhan untuk membahas tentang peran individu dalam administrasi harta benda. Contoh lain ialah syarat-syarat dalam dunia keuangan saat ini sudah lebih kompleks dan harus sungguh-sungguh memperhatikan undang-undang anti pencucian uang yang berlaku.  Perhatian utama lainnya bagi Komisi ini adalah masalah budaya dan bahasa. Ketika kami mencoba mengartikan kata “miskin” atau “sederhana,” kami  menghadapi kesulitan terkait perbedaan makna kata tersebut di seluruh dunia. “Kemiskinan, “pauvreté”, “pover” memiliki nada yang berbeda dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Salah satu tantangan besar dalam menyusun Statuta dan Instruksi adalah bahwa setiap orang harus memiliki pandangan yang luas terkait tradisi dan budaya. Misalnya, dalam satu budaya, “sederhana” berarti kaya, sementara di budaya lain “sederhana” memiliki makna yang mendekati miskin. Manual yang kami revisi harus cukup fleksibel agar Serikat dapat mengikuti perubahan dan mempertimbangkan kepekaan budaya secara lebih baik. Kemudian apa yang menjadi harapan Anda? Bagaimana usaha yang dilakukan Komisi ini bisa membantu Serikat dalam masa yang akan datang?? Dokumen tidak akan mengubah apapun jika tidak ada pertobatan dalam Serikat. Itu selalu menjadi tantangan. Semoga dokumen ini bisa memberikan panduan yang lebih baik bagi Serikat. Serikat terus menghadapi tantangan yang berbeda dari zaman ke zaman. Ada penyusutan di beberapa bagian dunia tetapi ada pertumbuhan di bagian lainnya. Ada  prasangka budaya, dan sejenisnya. Dan semoga dokumen ini akan membantu kita semua untuk membangun kesadaran dan solidaritas yang lebih global. Saat ini dunia semakin saling bergantung satu sama lain, begitu juga keuangan kita. Itu tentunya akan menjadi bagian dari arah masa depan hidup kita dalam Serikat dan bagaimana kita akan menghidupi kaul kemiskinan kita, dalam kehidupan pribadi dan Provinsi kita, dan juga juga dalam karya kerasulan kita. Hal ini terkait dengan pertanyaan lain yang diajukan oleh Pater Jenderal, yaitu apa arti “kemiskinan” bagi lembaga-lembaga kerasulan kita? Artikel diterjemahkan dari laman https://www.jesuits.global/2021/09/17/in-administration-the-challenge-of-making-proposals-at-the-universal-level/ oleh Hermanus Wahyaka pada 23 September 2021

Kuria Roma

Seri Video Berjalan Bersama Ignatius Episode 1: Santo Ignatius Loyola menjadi Peziarah

Setiap bulan, Pater Jenderal Arturo Sosa akan memberikan pesan khusus untuk menyertai buku karangannya Berjalan bersama Ignatius. Mulai September 2021 hingga Juli 2022 Pater Jenderal akan memberikan poin refleksi untuk membantu kita memetik pengalaman doa, terutama pada Tahun Ignatian ini.  Dalam episode perdananya, Pater Sosa mendorong kita untuk berani memberikan kesaksian kepada orang lain mengenai bagaimana Tuhan berkarya dalam hidup kita. Di tengah situasi yang sulit dan rawan akan perpecahan, ternyata masih banyak orang yang memiliki kehendak baik. Meskipun mereka tengah menderita dan kesulitan, tetapi mereka terus-menerus berupaya membangun jembatan persaudaraan demi terciptanya dunia yang lebih adil dan baik sebagaimana gambaran Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus Kristus.  Seperti halnya Santo Ignatius, hingga hari ini kita terus mendapati banyak orang, laki-laki dan perempuan, yang menjadi saksi kehadiran Tuhan dalam sejarah kehidupan kita. Mereka memberikan kesaksian sederhana tetapi sungguh menunjukkan bahwa cinta kasih selalu ada dan lebih unggul.  Kita membutuhkan lebih banyak lagi saksi-saksi, pribadi-pribadi, yang meski mengalami penderitaan, kerapuhan, dan kegagalan, tetap mampu membuka diri pada perjumpaan, keyakinan, dan solidaritas, serta membiarkan diri mereka dibimbing oleh Tuhan. Merekalah peziarah-peziarah yang mencari kehendak-Nya. Dengan ditemani oleh Santo Ignatius Loyola yang terluka dan membiarkan dirinya ditaklukkan oleh Tuhan, Pater Jenderal ingin mengajak kita semua untuk menjadi saksi jalan Tuhan dalam kehidupan kita. Pentinglah bagi kita untuk memperhatikan setiap tindakan dan ucapan kita. Apakah kita berani?  Pater Jenderal juga mendorong agar kita terus berdoa, baik secara pribadi maupun bersama-sama di dalam komunitas. 

Provindo

Menuntaskan Marathon

Pada Minggu, 3 Oktober 2021, sepuluh orang Jesuit Indonesia di Jakarta, Nabire, Yogyakarta, dan Manila mengikuti London Virtual Marathon. Empat orang Jesuit lainnya mendukung marathoners itu dengan berjalan atau berlari dengan jarak minimal 42,195 km dari 11 September hingga 3 Oktober 2021. Kegiatan ini diprakarsai oleh Indonesian Province Development Office (IPDO)  Serikat Jesus untuk menggalang dana bagi para Jesuit dalam formasi.   P. Riyo Mursanto dan P. Eka Heru Murcahyo memulai komitmen marathon ini di Manila pada 3 Oktober 2021. P. Herry Setianto menyusul dengan berlari di Nabire pada tanggal 3 Oktober 2021 mulai pukul 16.00 WIT. Sepuluh anak Asrama Putra Teruna Karsa, Kolese Le Cocq d’Armandville  Nabire ikut berlari bersama secara bergantian menemani P. Harry. P. A Widyarsono, P. Dam Febrianto dan tiga frater dari Myanmar: Frs. Stephen Tuntun, James Naw Kam, dan Patrick Law Ang berlari di Jakarta. Sedangkan P. Pieter Dolle dan Fr. Aditya berlari di Yogyakarta. Selain kesepuluh Jesuit ini, empat Jesuit lainnya  yaitu Pater Andang Binawan, Pater Edi Mulyono, Pater Moerti Yoedho, dan Pater Bambang Alfred Sipayung mendukung acara dengan cara berjalan atau berlari dengan jarak kurang lebih sama dengan jarak maraton yang sesungguhnya.   Tenaga yang terkuras terlihat dari wajah-wajah mereka yang mulai tampak lelah seiring meningkatnya jarak. Demikian juga dengan kecepatan lari yang mulai berkurang. Tampaknya kesepuluh Jesuit ini berhasil menjadikan keraguan yang muncul sesaat sebelum lomba menjadi tantangan yang perlu dituntaskan. Dukungan  anak-anak asrama, beberapa frater dari Kolese Hermanum di Jakarta, Kolese Ignatius di Yogyakarta, dan beberapa romo lainnya juga tampak lewat partisipasi dan kesediaan diri mereka sebagai tim logistik dan kesehatan. Dukungan selama lomba ini sangat berdampak bagi marathoners untuk menyelesaikan London Virtual Marathon dengan sekuat tenaga.   Frater James, seorang frater Jesuit yang berasal dari Myanmar dan sedang menjalani studi di STF Driyarkara, sangat senang karena bisa memberikan dirinya untuk mendukung formasi Jesuit Indonesia. Awalnya dia sangat khawatir seandainya tidak bisa menyelesaikan marathon ini. Akan tetapi selama ia berlari, ia merasa begitu damai dan senang apalagi tidak ada masalah fisik selama berlari. Selama berlari ini Frater James didampingi oleh teman-teman Kolman yang memberi banyak energi dan semangat.   Begitu pula dengan Pater Harry di Nabire. Ia mendapatkan banyak dukungan dari rekan Jesuit dan anak-anak asrama putra. Selama marathon ia selalu dikawal oleh 3 guru relawan dan 1 frater. Secara tidak terduga ada sepuluh anak asrama putra yang pada awalnya bertugas untuk menjaga pos minuman. Akan tetapi mereka justru dengan gembira ikut berlari. Ada yang berlari 3 km, ada yang 5 km, ada juga yang 10 km. Bahkan mereka berlari tanpa alas kaki, tanpa perlengkapan lari lainnya, juga tanpa persiapan tetapi terbukti bahwa fisik mereka kuat. Anak-anak tersebut mengawal sang pamong asrama mereka dengan setia dan gembira hingga garis akhir. Menurut Pater Harry, 5 kilometer terakhir adalah bagian yang paling berat secara fisik dan mental namun ada teman-teman Jesuit yang setia menunggu dan memberi semangat. “Senang sekali bisa finish maraton dalam keadaan sehat dan tanpa cedera.”   Kegiatan “10 Jesuit di London Marathon” ini berhasil menghimpun sumbangan mendekati dua miliar rupiah. “Kami sungguh merasa tersentuh dan berterima kasih atas kemurahan hati (para donatur) membantu formasi para Jesuit dengan cara berlari,” ujar Pater Benedictus Hari Juliawan, SJ, Provinsial Serikat Jesus Provinsi Indonesia. Binar semangat Ignasian itu pula yang telah menyentuh ribuan hati Sahabat Ignatius untuk membaktikan donasi bagi pendidikan para Jesuit muda seturut pesan Sang Jenderal Jesuit Perdana: Santo Ignasius Loyola.   Acara ini terselenggara berkat kerjasama IPDO dan alumni Kolese Kanisius Jakarta. Serikat Jesus berbangga karena masih banyak orang yang bermurah hati dan mendukung karya-karya Serikat Jesus termasuk karya Formasi. Terima kasih atas kemurahan hati para donatur dalam mendukung acara ini.   Kontributor : Margareta Revita – Tim Komunikator Provindo