Selasa, 21 September 2021 menjadi kesempatan istimewa bagi Komunitas Novisiat St. Stanislaus Kostka Girisonta. Kami merayakan ulang tahun ke-90 Novisiat Girisonta. Perayaan ulang tahun kali ini dilakukan secara sederhana. Kami menggunakan kesempatan ini bukan sebagai titik puncak perayaan tetapi justru sebagai awal proses perjalanan yang baru dengan mendalami semangat Peziarahan St. Ignatius. Hal ini sekaligus menjadi tanggapan atas undangan Pater Jenderal untuk menyiapkan formasi menghadapi tantangan Serikat ke depan. Kami tergerak untuk menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh seperti Bapa Ignatius, sekaligus terbuka pada banyak kemungkinan yang tak terduga.
Dengan membaca buku Berjalan Bersama Ignatius yang telah diluncurkan pada peringatan 50 tahun Provindo yang lalu, para novis belajar membatinkan semangat jiwa besar hati rela berkorban. Begitu pula melalui pendalaman bersama Rm. Priyo Poedjiono, para novis diajak untuk menyerap proses internalisasi Autobiografi, Latihan Rohani dan Konstitusi yang terarah untuk Missio Dei.
Begitulah kami komunitas Novisiat merayakan 90 tahun Novisiat Girisonta menyongsong undangan untuk bertransformasi bersama seluruh tubuh serikat Universal. Berikut ini selayang pandang Novisiat St. Stanislaus Girisonta:
Novisiat SJ di Indonesia dibuka pertama kali pada tahun 1922 di suatu rumah sewaan di Yogyakarta. Novis Indonesia pertama yang masuk Novisiat SJ di Yogyakarta adalah Frs. Hardjasoewanda, Poespadihardja, Reksaatmadja, dan Soemarna serta beberapa novis dari Belanda. Mereka dibina oleh Pater F. Strater. Lalu pada tahun 1931 Novisiat mulai dibangun di samping rumah retret Girisonta di Ungaran. Pada bulan September, Novisiat dan Yuniorat pindah dari Yogyakarta ke kompleks yang baru ini. Magister novis pertama di Novisiat Girisonta adalah Pater Gregorius Schmedding, yang sejak tahun 1932 telah berkarya di bidang formasi sampai dengan akhir hidupnya, tahun 1934.

Para novis pertama yang menikmati formasi di kompleks ini adalah enam orang yang berasal dari Indonesia. Masuk SJ pada 3 September 1931, mereka ini adalah Leonardus Daroewenda, Antonius Sontoboedoyo dan Servatius Tjakrawirjana. Tiga orang lainnya merupakan bruder Indonesia pertama yang diterima pada 10 Mei 1931. Mereka adalah Neo Kardis, Matheus Tirtasumarta, dan Hermanus Wirjapoespita. Pada tahun 1932, beberapa novis Belanda, yaitu Cornelis Jeuken, Carolus Krekelberg Kiswara, Joannes Overes, Bernardus Schouten, Alphonsus Smetsers, dan Laurentius van der Werf menjalani formasi di Novisiat Girisonta.
Dalam buku Girisonta: Dari Novisiat Menatap Taman Getsemani, Pater Henricus Suasso memberikan gambaran tentang Novisiat awal di tahun 1937. Novisiat sederhana yang dibangun seperti asrama biasa ditambah kapel dan dihias sehingga tercipta suasana yang tidak menekan (tenang). Pada saat itu, para novis dididik untuk mengalami komunitas antarbudaya di mana penyesuaian diri menjadi tantangan utamanya. Selain itu, Pater Widyana menambahkan bahwa suasana silentium amat ditekankan dan semua harus menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar dan jika ingin berbicara harus menggunakan bahasa Latin.
Novisiat Girisonta pernah mengalami masa-masa perang kemerdekaan. Pada tahun 1948, suasana yang santai tersebut berubah ketika Pater Schonhoff tiba di Novisiat dengan menerobos garis demarkasi perang. Dalam catatan Pater Harry van Voorst tot Voorst, adat kebiasaan novisiat pada tahun tersebut menjadi para novis memakai jubah setiap saat kecuali olahraga; makan pagi, siang, dan malam dengan silentium; adanya penitensi di refter (parva mensa); dan terakhir adanya lectio saat awal makan. Dalam hari-hari khusus ada rekreasi sesudah makan. Kebiasaan-kebiasaan dalam novisiat mengalami perubahan dan penyesuaian dari masa ke masa. Dalam perjalanan Novisiat tersebut, beberapa formator magister yang terlibat dalam formasi para Jesuit adalah Pater Magister Petrus Sunu Hardiyanta, Agustinus Setyodarmono, Leo Agung Sardi, Laurensius Priyo Poedjiono, Sartopandoyo, Warnabinarja, Ignatius Haryoto, dan Chrysantus Prawirasuprapta.
Tidak terasa usia 90 tahun itu telah dicapai oleh Novisiat ini. Dalam prosesnya itu, sudah dan masih ada begitu banyak orang yang terlibat dalam mewarnai peziarahan formasi para Jesuit di Provinsi Indonesia. Hasilnya, Novisiat ini telah melahirkan para Putra Ignatius yang dibakar dengan semangat Latihan Rohani, untuk terus melayani Tuhan melalui Gereja dan Negara. Memang, perayaan ke 90 ini harus dirayakan secara sederhana di tengah keterbatasan karena pandemi. Namun, dalam suasana 500 tahun pertobatan St. Ignatius, kita diajak untuk melihat segala sesuatu secara baru di dalam Kristus. Dalam suasana penuh syukur kita diminta untuk menghayati tegangan yang kreatif dan semangat bersungguh-sungguh dan terbuka terhadap sesuatu yang tidak terduga.
Kontributor : Hendricus Satya Wening, S.J.