Pilgrims of Christ’s Mission

Pelayanan Spiritualitas

Pelayanan Spiritualitas

TAHUN IGNATIAN (20 Mei 2021 – 31 Juli 2022)

Saudara-saudara yang terkasih, Pada tahun 1521, ketika Ignatius sedang berada di rumah keluarganya di Loyola karena luka yang menghancurkan kakinya pada pertempuran Pamplona, Tuhan menuntun pertobatannya dan menempatkannya di jalan menuju Manresa. Bersama dengan sahabat-sahabat kita dan seluruh Gereja, Serikat universal ingin mengingat momen istimewa ketika Roh Kudus mengilhami Ignatius Loyola dalam keputusannya untuk mengikuti Kristus, dan untuk memperdalam pemahaman kita tentang cara ziarah ini guna “mengambil buah” darinya. Untuk tujuan ini, tahun Ignasian akan dibuka pada tanggal 20 Mei 2021 (peringatan luka-luka di Pamplona). Berakhir pada tanggal 31 Juli 2022. Sementara itu, tanggal 12 Maret 2022 akan menjadi pusatnya, yang menandai peringatan 400 tahun kanonisasi Santo Ignatius dan Santo Fransiskus Xaverius, Santo Teresa Avila, Santo Isidorus Pekerja dan Santo Philipus Neri. Juga merupakan niat saya untuk memanggil Kongregasi Prokurator ke-71 dalam waktu biasa. Ini akan berlangsung di Loyola (Spanyol), tanggal 16 dan 22 Mei 2022. Kegiatan ini akan didahului dengan delapan hari Latihan Rohani untuk para peserta Kongregasi. Saya mengundangkan kepada serikat secara resmi Kongregasi Prokurator ke-71 pada 15 Januari 2021 sehingga pada 15 Desember 2021, Kongregasi Provinsial dapat diselesaikan. Adalah keinginan saya bahwa di tahun Ignasian ini kita akan mendengarkan lagi Tuhan yang memanggil kita, dan kita akan membiarkan Dia bekerja dalam pertobatan kita, dengan terang pengalaman pribadi Ignatius. Selama masa pemulihannya di Loyola (1521-1522) dalam Autobiografi, Ignatius menceritakan kepada kita bahwa, ‘saudara laki-lakinya dan semua yang lain di rumah tahu, tampak dari perubahan di luar, bahwa ada perubahan di dalam jiwanya.'(Auto 10) ‘Mereka curiga bahwa dia ingin membuat perubahan yang sangat hebat.’ Sudah sejak di Manresa Ignatius bertanya, ‘Hidup baru macam apakah yang aku mulai sekarang ini?’ (auto 21) Lalu, selanjutnya dalam Autobiografi, Ignatius mengakui hal ini, mengatakan bahwa ia datang untuk melihat ‘semuanya dengan cara baru.’ (auto 30). Preferensi RasuliUniversal (2019-2029) telah mengkonfirmasi panggilan kita kepada pertobatan pribadi, komunitas, dan kelembagaan kita, yang semua itu diperlukan untuk lebih besarnya kerohanian dan kebebasan apostolis kita serta kemampuan kita beradaptasi. Mari kita ambil kesempatan ini untuk membiarkan Tuhan mentransformasi perutusan hidup kita, sesuai dengan kehendak-Nya. Ketika Ignatius tiba di Manresa, ia berhasrat untuk berziarah ke Tanah Suci, Ignatius melakukan perjalanan rohani dari orang yang bertobat, dari orang yang mencari Tuhan. Ini juga berlaku bagi kita hari ini. Karena itu, motto perayaan kita adalah, “Melihat segala sesuatu baru dalam Kristus”. Ini menggarisbawahi bahwa tahun ini juga merupakan waktu yang tepat bagi kita untuk ‘diperbarui’ oleh Tuhan sendiri. Latihan Rohani yang disusun oleh Peziarah akan menjadi salah satu buah terpenting dari pertobatannya yang berkelanjutan, warisan bagi seluruh umat manusia, sarana istimewa untuk menunjukkan jalan kepada Tuhan. Seperti yang ditekankan Paus Fransiskus ketika ia mengkonfirmasi Preferensi Rasuli Universal, “mereka menerimanya sebagai kondisi fundamental relasi para Jesuit dengan Tuhan, kehidupan doa pribadi dan komunitas serta diskresi.” Kemiskinan yang mulai dipraktikkan Ignatius, juga persahabatan pribadinya dengan orang miskin dan bantuan yang ia tawarkan kepada mereka, adalah salah satu tanda besar dari perubahan dalam hidupnya. Saya yakin bahwa ini adalah salah satu panggilan paling mendesak bagi Serikat Jesus di zaman ini; ini adalah undangan yang jelas bagi kita untuk mendekat kepada cara hidup Tuhan sendiri. Oleh karena itu, tahun Ignasian 2021-2022, akan menjadi kesempatan istimewa bagi kita untuk mendengar seruan orang miskin, orang-orang yang tersingkirkan, dan mereka yang martabatnya tidak dihormati, dalam semua keadaan sosial dan budaya yang beragam di mana kita hidup dan bekerja. Ini adalah suatu cara mendengarkan yang menggerakkan hati kita dan mendorong kita untuk semakin dekat kepada orang miskin, berjalan bersama mereka dalam mencari keadilan dan rekonsiliasi. Dimensi pertobatan kita yang diundangkan oleh Roh Kudus untuk kita jalani tahun ini, adalah untuk mengetahui secara umum bagaimana kita dapat memperdalam kaul kemiskinan kita. Dengan cara ini kita dapat mendekati cara hidup yang diinginkan Ignatius dan sahabat-sahabat pertama, dalam kesetiaan pada karisma yang mereka terima, yang dikehendaki oleh Serikat kita. Serikat Jesus kembali ke asalnya pada pengalaman-pengalaman Ignasian, yang akan kita panggil kembali di tahun Ignasian (2021-2022). Ini memberi kita kesempatan yang baik untuk menggali akar spiritual kita, sumber spiritual yang memberi makan dan memelihara kita dalam begitu banyak cara dan tempat yang berbeda. Memperdalam dan memperbarui kebebasan batin dan semangat magis akan membuka kita pada perspektif baru dan memperkayanya. Ini bisa berasal dari pendampingan orang-orang muda, dari harapan yang mendorong kita untuk berpartisipasi dalam upaya kolektif yang berupaya menyembuhkan derita lingkungan hidup dan mempersiapkan dunia yang lebih baik untuk generasi mendatang. Saya mendorong semua Konferensi-konferensi, Provinsi-provinsi dan Regio-regio, bekerja sedekat mungkin dengan para sahabat kita dalam perutusan, untuk mengenang dengan antusias pertobatan dari Pendiri kita, “Padre Maestro Ignacio”. Sekali lagi, manfaat dari kegiatan ini akan memberi kita semua kesempatan untuk mengenal, untuk mencintai dan mengikuti Tuhan dalam segalanya. Dari Kuria kami akan mendukung upaya ini, terutama melalui komisi yang telah saya buat untuk tujuan ini. Sebagaimana pada Bapa Ignatius, semoga Bunda kita menjadi penuntun kita di jalan pertobatan ini. Semoga kita diilhami untuk memiliki keterbukaan hati yang kita butuhkan untuk menerima Roh Kudus yang hendak memberi kita keberanian yang ajaib. Roma, 27 September 2019Peringatan Bulla Regimini militantis EcclesiaeArturo Sosa, S.J.Superior General *diterjemahkan oleh P. Dominico Savio Octariano W, SJ

Pelayanan Spiritualitas

Webinar 1: Life in the Time of Pandemi

Jumat, 12 Juni 2020, diadakan webinar untuk para skolastik yang mengundang juga keluarga Ignasian dari berbagai kelompok seperti CLC, Magis, Mitra Ignasian, Kelompok Ignatius dan lainnya. Kegiatan ini dinamakan bincang bersama yang bertemakan “Faith in the Time of Pandemic” bersama Pater Luis López-Yarto Elizalde, SJ (Editor Jurnal Manresa) dan Pater Dominico Octariano, SJ, langsung dari Salamanca, Spanyol. Pater Luis López-Yarto Elizalde, SJ, adalah seorang editor Jurnal Manresa, sebuah jurnal spiritualitas Ignatian di Provinsi Spanyol, dan Pater Dominico Octariano, kandidat master spiritualitas. Mereka mengajak kita berbincang-bincang tentang pengalaman St. Ignatius yang identik dengan masa-masa pandemi Covid-19 serta melihat dan kemudian membadankan discernment tersebut dalam hidup kita sehari-hari. Luka dan Trauma St. IgnatiusLuis-Yarto mengawali aktualiannya dengan mengisahkan situasi tiga luka yang dialami Ignatius, yaitu luka batin karena ibunya yang meninggal saat ia lahir, luka fisik saat di pamplona dan luka jiwa saat ia di Manresa. Berbagai penyakit yang dialami Ignatius selalu mengajarkan sesuatu bagi dirinya. Maka, Ignatius memberikan teladan kepada kita, bukan dari pemahamannya akan sesuatu, melainkan dari pengalamannya akan sakit dan penyakit yang dideritanya. Bukan Ignasius yang mengajarkan sesuatu pada kita, tetapi dia yang selalu belajar sesuatu dari sakit-penyakit. Luka awal yang dialami Ignatius adalah kematian Ibunya. Hal ini telah mengajarkan Ignatius untuk selalu bertindak sendiri dan mandiri. Tindakan ini, bisa dikatakan, menjadi cikal bakal dari magis, karena ia belajar untuk bisa melakukan sesuatu lebih dari yang lainnya, tanpa dukungan orang-orang terdekatnya. Tujuannya agar ia bisa disukai orang lain, terutama oleh ayahnya, sehingga ia dapat dihargai. Dengan demikian, ada tiga tahapan yang dialami Ignatius, yaitu luka (yang membuatnya shock) kemudian lockdown (yang membuatnya harus terisolasi, harus menyendiri dan merenung-berefleksi) dan akhirnya itu semua mengubah sikap dan pandangannya akan hidupnya. Dalam berbagai pengalaman yang dialaminya, pola yang dialami Ignasius, selalu seperti ini, yaitu Luka (kaget, shock), lockdown (sendirian, isolasi, refleksi) dan perubahan sikap dan tujuan hidup. Tiga tahap ini selalu berulang lebih dari sekali. Dalam konteks tersebut, Serikat Jesus dilahirkan dalam situasi pandemi. Gereja yang sedang sakit membuatnya merasakan suasana yang rentan, terisolasi, dihina, harus berubah dan berusaha menolong yang lemah. Dilihat dari situasi ini, Serikat Jesus lahir bukan karena sebuah kekuasaan atau prestasi yang telah dicapai namun karena Ignatius dan kawan-kawan merasa dirinya rentan dan tak berdaya. Jika kita belajar dari situasi ini maka kita bisa melihat kalau manusia itu rapuh. Namun, dari kerapuhannya ini bisa lahir belas kasih. Penyintas Covid-19Luis-Yarto sendiri mengatakan bahwa ia sendiri harus berjuang dengan Covid-19. Pada awalnya ia merasakan desolasi dengan Covid-19. Namun seiring waktu, dengan adanya waktu hening dan sendiri, ia mulai menerima penyakitnya tersebut dan mengatakan dalam dirinya bahwa penyakit Covid ini merupakan “a real gift” dari Allah. Hadiah yang membuatnya merasa rentan dan sepertinya kematian sudah di depan mata. Seperti Yesus di taman Getsemani, ia juga mengatakannya, “Saya tidak ingin berada dalam situasi ini namun jika Engkau menginginkannya, marilah kita bersama-sama berjuang dengan penyakit ini, tidak saya sendirian”. Rasa takut membuat kita makin manusiawi. Janganlah takut dengan rasa takut. Dalam suasana desolasi, kita harus belajar dari Ignatius. Jangan pernah lari dari apa yang terjadi. Jangan ada penolakan. Penolakan adalah musuh kita (Discernment 12).Maka menurutnya kita tidak berlu berubah banyak dalam situasi pandemi ini. Kita tetap akan menjadi manusia yang sama seperti sebelum pandemi. Namun yang membuat kita bisa berdamai dengan situasi ini adalah kemauan kita untuk menerima dan berjuang dengan situasi pandemi yang tidak mengenakan dan situasi ini harus kita perjuangkan bersama-sama. Sangat tidak mungkin untuk keluar dari situasi desolasi sendirian. New NormalityMenghadapi new normality, mari kita menjadi diri kita sendiri, sama seperti sebelumnya, tapi lebih kuat. Kita perlu membangun kesadaran baru kita setelah pandemi ini. Kita harus bisa melawan dan memproteksi diri terhadap virus tersebut. Meskipun tidak ada jaminan apakah kita akan bertahan atau tidak melawan virus tersebut, namun setidaknya kita dapat mengajak banyak orang untuk memiliki harapan untuk masa depan mereka masing-masing. Jangan pernah meyakinkan orang lain dengan mengatakan “setelah adanya vaksin, semua akan kembali seperti sedia kala kembali”. Saya rasa tidak semudah itu karena lewat pandemi ini kita diajak untuk percaya akan adanya berbagai perubahan yang mengarahkan kita pada hal-hal yang lebih baik lagi.Kita harus tetap setia kepada Tuhan kita, Yesus Kristus. Jangan memuja berhala. Uang, penghargaan, dan mungkin juga agama adalah berhala. Kita harus semakin mendalam dengan Yesus. Kita harus lebih loyal kepada komunitas kita. Perbarui hubungan kita dengan orang yang menggerakkan perhatian dan keyakinan kita. Temukan kedalaman iman kita. Kita dapat melakukannya jika saya kita bisa mengolahnya bersama orang-orang disekitar kita. Ini yang baginya disebut sebagai “rasa humor transendental”. Karena selera humor memberikan nilai nyata bagi semua yang ada di dunia ini. Tuhan memiliki selera humor tinggi. Dia tahu pandemi ini “kecil” dibandingkan dengan hal-hal lain dalam sejarah, dulu dan sekarang.

Pelayanan Spiritualitas

Webinar 2: Kepemimpinan Solidaritas St. Aloysius Gonzaga

Pada minggu, 21 Juni 2020, di hari raya St. Aloysius Gonzaga, Provinsi mengadakan acara webinar bersama Provinsial, Rm. Petrus Sunu Hardiyanta untuk para Jesuit, rekan berkarya, dan seluruh keluarga besar Ignasian di Indonesia. Tujuan acara ialah bersama-sama merefleksikan kehadiran Allah dalam hidup dan keterlibatan kita pada karya-karya Serikat Jesus Provinsi Indonesia selama enam tahun terakhir. Rm. Sunu akan mengajak kita belajar dari hidup dan teladan St. Aloysius Gonzaga (1568-1591), seorang frater muda yang wafat karena memilih mewujudkan solidaritas ketika wabah pes dan bencana kelaparan melanda Italia. Teladan hidupnya akan membantu kita melihat lebih jauh bagaimana “Kepemimpinan Solidaritas yang Mengobarkan Harapan” diwujudkan dalam karya-karya Jesuit Indonesia, termasuk di masa pandemi Covid-19 ini. Dalam webinar ini, Rm. Sunu ditemani oleh Geraldine Rachel Gutama. Ia bercerita tentang inspirasi yang ia alami sebagai siswi SMA Kolese Gonzaga, sehingga sebagai orang muda ia dapat mulai menghidupi kepemimpinan solidaritas yang mengobarkan harapan. Menelusuri Sejarah Hidup St. Aloysius GonzagaPada usia 11 tahun, Gonzaga sudah membuat sebuah keputusan yaitu untuk menjadi Imam, bahkan menjadi Jesuit di usia 15 tahun. Kemudian di usia 17 tahun, ia masuk novisiat. Lewat aktivitas ini, kita bisa melihat ada leadership di dalam dirinya atau bisa kita sebut juga ia memiliki kemampuan leadership within. Dari usia 10-17 tahun ia memperjuangkan kehendaknya untuk hidup murni, untuk menjadi Imam, untuk menjadi Jesuit dan dengan rendah hati ia mendengarkan penolakan ayahnya. Selain itu ia juga melakukan bimbingan rohani dengan Kardinal Boromeus. Dengan demikian, kita di sini dapat melihat adanya leadership among. Ketika wabah pes melanda Eropa, Aloysius Gonzaga memutuskan untuk menolong korban yang terlantar. Ia membopong mereka, sekalipun tahu ada resiko akan tertular, untuk dirawat di Rumah Sakit yang dikelola oleh Serikat Jesus. Solidaritasnya yang kuat menunjukkan dalam dirinya memiliki kemampuan leadership ahead karena ia melakukannnya untuk orang lain. Keputusan Aloysius Gonzaga untuk ‘solider’ atau setia kawan dengan para korban yang terkena wabah sampar (PES), bukan hanya menghibur mereka yang ditolong, tetapi juga menggerakkan para sahabat untuk berani bergerak dan mengambil Resiko. Dalam kesaksian Tiberio Bondi, sahabat Aloysius, ia mengatakan bahwa Aloysius sama sekali tidak takut ‘tertular’. Semangat solidaritasnya sama sekali tidak ‘tergoyahkan’ oleh apapun untuk menolong para korban wabah pes. Pripadi-pribadi yang tergerak/ tersentuh oleh Kepemimpinan St. Aloysius Gonzaga: Ludovico Corbinelli (imam), Kardinal Scipio Gonzaga, Kardinal della Rovere, Don Ferrante (Bapak St. Aloysius Gonzaga yang bertobat setelah memahami sepenuhnya bahwa panggilan anaknya adalah dari Allah). Inspirasi St. Aloysius Gonzaga dalam 6 tahun terakhirAda banyak sekali aktivitas yang dilakukan oleh Serikat Jesus karena inspirasi dari St. Aloysius Gonzaga. Kami, para Jesuit –Rekan Berkarya, Komunitas dan Karya-Karya Provindo pernah melakukan Novena selama 9 bulan untuk memohon rahmat keterbukaan batin untuk mengubah diri agar mendalam secara rohani, mendalam secara intelektual dan berakar dalam pada spiritualitas Ignatian, supaya hidup dan karya menjadi atraktif, relevan dan transformatif, agar mampu berbagi kharisma Serikat, untuk menemani dan memformasi orang muda, dalam semangat hospitalitas, kolaborasi dan jejaring dalam mengentaskan kemiskinan, berjalan bersama yang paling tersingkir, serta memelihara Rumah Kita Bersama, Bumi. Juga, di masa Pandemi ini, meneladan St. Aloysius Gonzaga, PROVINDO membentuk gugus tugas Gerak Solidaritas dan Belarasa bagi korban Wabah Covid 19. Proses Pengambilan Keputusan dilakukan berawal dari adanya gagasan atau ide dari beberapa teman, kemudian kami bersama-sama menimbang baik dan buruknya. Setalah itu kami mencoba mengambil keputusan dengan meneliti pengalaman nalar, rasa, kehendak. Akhirnya, keputusan terjadi oleh Provinsial dan kemudian diumumkan untuk dieksekusi oleh panitia. Sungguh tak terduga, ternyata banyak sekali sahabat yang ikut serta bergerak dan memberi bantuan bagi para korban yang paling terdampak oleh Covid-19. Kami hingga saat ini terus memperhatikan dan membantu mereka-mereka yang paling tersingkir dan paling tidak diperhatikan. Kami mengundang anda semua untuk terus membangun solidaritas membantu para korban yang paling tersingkir dan paling menderita karena Covid 19.

Pelayanan Spiritualitas

Webinar 3: Kepemimpinan Solidaritas St. Ignatius Loyola

Pada Hari Raya St. Ignasius Loyola, Jesuit Indonesia mengadakan acara diskusi bersama Pater Provinsial, P. Benedictus Hari Juliawan, SJ dan salah satu pakar pendidikan Indonesia, Prof. Dr. Anita Lie dalam webinar bertema “Kepemimpinan Solidaritas St. Ignasius Loyola”. Webinar ini dipandu oleh Ibu Gregoria Arum Yudarwati, dosen Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Acara ini berlangsung pada 31 Juli 2020 pukul 17:00-18:30 yang merupakan kesempatan bagi kita untuk bersama-sama merefleksikan relevansi teladan kepemimpinan St. Ignasius Loyola bagi hidup bersama saat ini, serta bagaimana kita bisa mengusahakan kepemimpinan solidaritas yang diwariskannya dalam hidup pribadi, komunitas, dan karya kita. Kepemimpinan St. IgnatiusSt. Ignatius merupakan orang eropa dan orang Spanyol pada abad ke 16. Abad 16 adalah abad yang penuh gonjang ganjing. Saat itu ada skisma besar dalam gereja yang melahirkan gerakan protestantisme dan sebelumnya juga ada skisma besar antara gereja barat dan gereja timur. Di zaman itu, sains juga berkembang. Banyak orang saat itu mempertanyakan banyak hal dan menganalisanya dengan konteks ilmu pengetahuan. Banyak orang menjelajah dunia dan menemukan dunia baru. Saat-saat ini adalah abad yang penuh gejolak. Pada saat seperti itu, munculah St. Ignatius Loyola. Lewat masa yang seperti itu, Ignatius Loyola memberikan warisan yaitu sebuah spiritualitas. Spiritualitas yang dipahami St. Ignatius pertama-tama adalah cara kita memahami Allah dan dunia. Jika dunia dalam kacamata Allah dapat kita pahami maka kita juga dapat mengerti bagaimana kita dapat membuat dunia ini lebih baik seturut kehendak Allah. Kemudian yang terpenting adalah bagaimana peranku di dunia ini dalam praktik-praktik hidup sehari-hari. Kepemimpinan Ignatian merupakan kepemimpinan yang digerakkan oleh cara pandang kita terhadap Allah, dunia dan diri kita sendiri yang diperkenalkan oleh St. Ignatius. Semua hal itu sebenarnya dapat didalami lewat Latihan Rohani, Konstitusi Serikat Jesus dan juga surat-surat yang ditulisnya sendiri. Lewat hal-hal inilah kita bisa menemukan inti dari Spiritualitas Ignatian. Inti dari kepemimpinan Ignatius berasal dari LR 234, yang berbunyi “Ambilah ya Tuhan kebebasanku, kehendakku, budi ingatanku…” Kutipan doa ini menampilkan inti dari Spiritualitas St. Ignatius. Yang pertama bisa kita lihat adalah kemerdekaan batin, yaitu agar kita semua tidak terikat oleh segala hal yang menghambat kemajuan kita, tidak terikat oleh hal-hal yang mengganggu dan fokus kita adalah persembahan kita kepada Tuhan. Jika seseorang sudah merdeka secara batin, maka ia sudah berani memberikan diri kepada orang lain. Pemberian diri muncul dari kebebasan atau kemerdekaan batin untuk mengikuti Yesus. Jika seseorang sudah mau memberikan diri, maka ia dikatakan bebas untuk mengikuti Yesus.Latihan Rohani tidak hanya populer di kalangan Gereja, namun juga dikenal di kalangan yang lebih politis maupun bisnis karena Latihan Rohani menyediakan sebuah grammar atau rumus untuk perubahan diri. Kepemimpinan seringkali didefinisikan sebagai kemampuan melakukan transformasi yang dimulai dari diri sendiri. latihan Rohani memegang kunci atau isi penting untuk melakukan perubahan. Banyak penulis politik maupun bisnis menulis bukunya dengan berdasar pada Latihan Rohani.Begitu juga dengan konstitusi, yang yang menggambarkan bagaimana seorang Jenderal Serikat Jesus dekat dengan Tuhan. Kedekatan tersebut merasuki tindakan dan kata-katanya sehingga dalam mengambil keputusan seorang pemimpin berorientasi kepada Allah. Kepemimpinan di masa PandemiApa yang perlu kita lakukan sebagai seorang pemimpin di situasi pandemi ini. Tentu saja kita diajak untuk mendengarkan kehendak Allah. Kita tidak perlu mendengarkan berbagai keputusan orang lain, cukup hanya dengan mendengarkan kehendak Allah. Mulai dari kegembiraan dan juga kekhawatiran yang ada dalam diriku. Kemudian meluas dengan melihat orang-orang yaitu apa yang sebenarnya mereka butuhkan selama pandemi ini. Apa yang mereka harus dilakukan dalam situasi yang tidak kita inginkan ini. Tentu saja kita juga harus paham secara ilmu pengetahuan atau kedokteran apa yang baik kita lakukan seperti bagaimana kita menggunakan masker, juga bagaimana kita diajak untuk wajib mencuci tangan. Dengan demikian, spiritualitas Igantian tidak berhenti pada hal-hal saleh yang semuanya serba Allah, melainkan spiritualitas yang mengajak kita menemukan bagaimana Tuhan kita akan mengambil tindakan dalam situasi kita yang seperti ini. Spiritualitas Ignatian harus menghasilkan tindakan konkrit yang mengikuti aturan setempat dan yang tidak memunculkan kebodohan atau berpaling dari yang umum. Seperti juga telah diungkapkan oleh Ignatius bahwa “Cinta harus lebih diwujudkan dalam perbuatan daripada kata-kata” (LR 230).Dalam situasi ini juga, kita perlu memperhatikan saudara/i kita yang terpapar pandemi ini. Serikat Jesus secara konkrit melakukan moratorium dengan menghentikan pembangunan besar. Kita tidak ingin apa yang kita lakukan akan melukai orang-orang kecil yang tidak bisa melakukan berbagai hal seperti yang kita lakukan. Kemudian, masa pandemi ini membuat kita mengalami masa dunia yang lebih hening karena semuanya serba terhenti. Bahkan kita sendiri harus mengadakan perayaan ekaristi secara daring. Lewat pengalaman ini, Tuhan yang online ini mengajak kita melakukan perjamuan dalam communion satu sama lain yang terhubung lewat sarana-sarana teknologi yang ada. Solidaritas kita semakin berkembang ketika kita hidup dalam kesatuan dengan yang lainnya artinya Tuhan mengajak kita untuk menemukan Allah dalam diri orang lain kita. Kita diajak untuk memberi waktu dalam hidup kita agar hidup kita berharga dengan merawat kedekatan kita dengan Allah lewat berbagai sarana apapun.

Pelayanan Spiritualitas

Mengenang Keindahan Pribadi Pater Adolfo Nicholas, S.J.

Pater Nicholas adalah pribadi yang sangat ‘friendly’. Kehadirannya membuat diri merasa aman, berharga, damai, gembira dan optimis. Sebagai Jendral Serikat Jesus beliau sangat ramah, penuh humor sekaligus mendalam dan tegas. Sebagai Provinsial, saya selalu bisa ‘rely on him’ atau selalu bisa mengandalkan beliau. Itulah sebabnya dalam mengemban perutusan melayani Provindo, sebagai Provinsial, saya merasa aman karena memiliki sahabat, seorang pimpinan yang bisa saya andalkan. Dalam beberapa pertemuan dengan beliau saya menikmati kegembiraan, optimisme, kedalaman dan rasa sebagai sahabat dalam Tuhan, juga ketika bertemu beliau di Manila dan di Jepang setelah mengundurkan diri sebagai Jenderal Serikat Jesus. Jendral Serikat yang Penuh Rasa Humor dan Bersahabat Dalam beberapa kali pertemuan dengan Pater Adolfo Nicholas, saya selalu terkesan dengan KEGEMBIRAAN, KEDALAMAN dan KEHENINGAN-nya yang bersatu dengan RASA HUMOR YANG CERDAS. Sapaan personal dengan mengatakan ‘Selamat Pagi atau Selamat Sore’ selalu beliau sampaikan setiap kali kami bertemu. Tentu saja beliau akrab dengan sapaan dalam Bahasa Indonesia tersebut karena kebersamaan beliau dengan Rm. Riyo Mursanto yang menjadi Sociusnya saat Pater Nicholas menjabat sebagai Presiden Jesuit Conference Asia Pacific (JCAP). Sapaan sederhana ini mengungkapkan perhatian dan persahabatan yang sederhana dan mendalam. Ketika saya melihat kembali pengalaman-pengalaman bertemu Pater Nico, ternyata saya selalu merindukan cerita-cerita humornya yang sangat segar. Bila ada kesempatan saya sangat senang duduk semeja makan dengan beliau karena pasti akan mendengar pengalaman yang sangat bernilai sekaligus cerita-cerita segar. Rasa humor beliau yang berasal dari kedalaman selalu mengejutkan dan membuat teman-teman di sekeliling beliau merasa dekat, gembira dan optimis. Beliau selalu membagikan kisah-kisah lucu entah saat makan bersama atau saat snack maupun pada kesempatan lain. Salah satu contoh yaitu ketika kita mengadakan misa pembukaan Kongregasi Prokurator di Nairobi 2012. Dalam berkat penutup beliau mengatakan, “The Mass is ended but …. the Congregation begins” dan spontan seluruh peserta Kongregasi Prokurator tertawa terhibur. Contoh lain lagi ketika Pater Arturo Sosa terpilih untuk menggantikan beliau sebagai Jendral Serikat. Beliau mendapatkan kesempatan pertama untuk maju ke depan dan memberikan ucapan selamat. Persis dua tiga langkah di hadapan Pater Arturo, beliau memberi hormat bagai hormat militer. Kontan seluruh peserta KJ 36 tertawa gembira melihat adegan lucu yang cerdas tersebut. Itulah gambaran singkat Pater Nicholas yang saya kagumi. Ia pribadi yang gembira, optimis, penuh humor, mendalam dan bersahabat. Rowing into the Deep ‘Rowing into the deep’. Itulah undangan yang selalu disampaikan oleh Pater Nicholas kepada seluruh anggota dan karya-karya Serikat.  Ketika Serikat mengadakan Kongregasi Prokurator ke-70 di Nairobi ( 9-16 Juli 2012) dalam De Statu Serikat, Pater Nicholas menyampaikan refleksi sangat dalam mengenai situasi hidup rohani Serikat. Dari laporan para Prokurator, Pater Nicholas menangkap betapa laporan mengenai hidup rohani sangat tipis dibandingkan laporan mengenai Karya Kerasulan. Secara  bergurau Pater Nicholas mengatakan ‘barangkali para Jesuit sedemikian bersemangat merasul, sehingga hidup rohaninya tergambar di dalam karya mereka’. Melalui ungkapan itu Beliau mengajak Serikat dan setiap Jesuit untuk sungguh-sungguh membaharui hidup Rohaninya. Refleksi tersebut disambung dengan pertanyaan mendasar: mengapa Latihan Rohani tidak mentransformasi kita sedalam yang kita harapkan? Pertanyaan penting ini diangkat kembali dalam KJ 36. The question that confronts the Society today is why the Exercises do not change us as deeply as we would hope. What elements in our lives, works, or lifestyles hinder our ability to let God’s gracious mercy transform us? This Congregation is deeply convinced that God is calling the entire Society to a profound spiritual renewal (KJ 36 Dekrit 1, n.  18). Undangan untuk masuk ke KEDALAMAN merupakan sentuhan khas Pater Adolfo Nicholas. Pater Nicholas menyebutkan salah satu hal yang menghalangi seseorang mengalami transformasi ke kedalaman adalah DISTRAKSI.  Banyak Jesuit membiarkan hidupnya terdistraksi oleh banyak hal yang tidak penting: seperti gadget. Banyak dari kita terdistraksi dalam mengerjakan hal-hal yang bukan merupakan tugas perutusannya namun sibuk dengan banyak hal sampai tidak memiliki waktu untuk memperhatikan hidup rohaninya.  Orang tidak lagi punya RUANG untuk hening, untuk membiarkan Allah bekerja di dalam dirinya. Menurutnya, pribadi-pribadi yang mengalami transformasi Latihan Rohani dapat tampak dari hidup, panggilan dan perutusannya. Hidupnya selalu diwarnai kegembiraan otentik, fokus dengan tugas perutusan dari Serikat, kata dan perbuatannya menginspirasi banyak orang, serta persahabatannya menyenangkan. Berani Menanggalkan Diri, Membuka Ruang bagi Allah Refleksi Pater Nicholas mengenai KEDALAMAN dan TRANSFORMASI yang bersumber dari Latihan Rohani ini sungguh masih relevan bagi kita semua. Tanda bahwa seseorang bertransformasi tidak lain adalah bahwa perkataan dan perbuatannya MENGINSPIRASI. Hanya perkataan dan perbuatan yang berasal dari Kedalaman Hidup Rohani, Kedalaman Intelektual dan Kedalaman Sosial yang akan menarik dan karenanya dapat menginspirasi serta mentransformasi diri sendiri dan orang lain. Pater Adolfo Nicholas adalah contohnya. Sebagai misionaris beliau membuka ruang dalam dirinya untuk memeluk budaya dan kekayaan tradisi Jepang. Itulah sebabnya ketika memimpin Serikat sebagai Jendral, beliau mengajak seluruh anggota Serikat untuk berani menanggalkan ‘comfort zones’ dan memasuki tantangan-tantangan baru. Salah satu gebrakan yang beliau lakukan adalah Serikat mengadakan restrukturisasi Gubernasi besar-besaran. Banyak provinsi di Spanyol, Brasil, Amerika dan Eropa di-merger menjadi satu provinsi. Saya bisa merasakan betapa undangan untuk merestrukturisasi Gubernasi Serikat tidak mudah dipeluk oleh banyak Jesuit, tetapi dengan kedalaman, keheningan, kegembiraan dan optimisme, Pater Nicholas mampu mengajak seluruh Serikat merestrukturisasi Gubernasinya demi melayani tantangan perutusan zaman ini. Begitu juga dengan Eksamen Karya Provindo tahun 2015-2017 yang dirancang dan dilaksanakan  dengan bersumber pada Surat Pater Jendral 2014/01 The Apostolic Institutions at the Service of the Mission,  yang mengajak seluruh institusi karya untuk merefleksikan dirinya dihadapkan pada tuntutan kerasulan zaman ini. Melalui Eksamen Karya tersebut, kita memohon keterbukaan batin, kemerdekaan batin untuk menimbang Karya-Karya kita agar tetap formatif, apostolic, proper serta sustainable. Beberapa bulan sebelum KJ 36, Pater Nicholas memberikan Latihan Rohani bagi orang-orang muda Eropa. Dalam salah satu refleksinya, beliau mengundang dan menantang para Jesuit untuk memberikan Latihan Rohani bukan hanya kepada orang-orang Kristiani, tetapi juga pada mereka dari tradisi iman yang lain dan bahkan Latihan Rohani untuk orang-orang atheist. Bisakah kita berbagi kekayaan Latihan Rohani dengan mereka ini? Undangan ini pada dasarnya menantang kita untuk berani ‘masuk’ ke dalam pengalaman mereka, menantang kita untuk berani menanggalkan rasa aman (comfort zones) dan menghidupi pengalaman-pengalaman mereka. Pengalaman beliau menjadi misionaris Jepang sampai akhir hayat, rupa-rupanya menjiwai semangat KETERBUKAAN beliau. Terbuka untuk menanggalkan diri dan memeluk

Pelayanan Spiritualitas

Jerapah Pater Nico

Dalam satu kesempatan rapat di Roma, saya menginap di Kuria Jenderalat. Pagi itu saya masuk ruang makan untuk sarapan. Di meja paling ujung dekat dapur sudah duduk Pater Nico bersama seorang lain. Mungkin karena saya terlihat canggung, Pater Nico lalu meminta saya duduk di meja yang sama. Begitu mengenali tampang Asia ini, Pater Nico lancar bercerita tentang bagian dunia yang paling dikenalnya. Hangat, ramah dan sederhana. Itulah kesan pertama siapapun yang berjumpa dengannya. Menurut pengakuannya sendiri, Pater Nico adalah Jenderal pertama yang memakai email dan internet. Ia mengalami dunia yang ribut dengan banjir informasi dan kesibukan tak perlu, sekaligus dunia yang berjejaring dan menjanjikan keluasan. Dalam hal inilah ia akan terus dikenang dengan pesannya tentang kedalaman. Kedalaman pemikiran dan imajinasi yang berakar dalam perjumpaan dengan Allah di dunia akan mengobati globalisasi kedangkalan yang meracuni hati dan budi banyak orang. Konon, binatang kesukaan Pater Nico adalah jerapah karena punya jantung raksasa yang menggambarkan kedalaman empati dan leher panjang untuk melihat jauh ke depan. Serikat telah kehilangan seorang yang punya hati besar dan wawasan yang mendugai seluk beluk dunia. Selamat jalan Pater Nico. P. Benedictus Hari Juliawan, SJ

Pelayanan Spiritualitas

Mengenang P. Adolfo Nicolás, S. J.

Serikat Jesus Provinsi Spanyol pada akhir tahun 2001 (Desember 2001) masih terdiri dari enam provinsi. Pada tahun 2004 dilaksanakan penggabungan, dari enam menjadi lima. Provinsi Toledo (provinsi yang mengutus Rm Nico ke Jepang) digabung dengan Provinsi Castilla. Penggabungan itu terlaksana pada tahun 2004. Pada tahun-tahun berikutnya dibahas penggabungan menjadi satu provinsi. Proses dimulai dengan penggabungan proses formasi: novisiat, filsafat, tahun orientasi kerasulan dan teologi. Hasilnya, pada tahun 2014 dilaksanakan peresmian penggabungan: dari lima provinsi menjadi satu provinsi. Francisco José Ruiz Pérez, S. J. adalah provinsial de España yang terlibat penuh proses penyatuan provinsi-provinsi (Castilla, Loyola, Aragon, Tarragon dan Betica). Proses itu sendiri menjadi matang dan terwujud pada P. Adolfo Nicolás, S. J. menjabat sebagai Jenderal Serikat. Berikut ini kenangan Francisco José Ruiz Pérez, S. J. tentang P. Nico yang di-sharingkan di dalam web Provinsi España. Pengenalan dengan P. Nico yang ditulis berdasarkan pengalaman murmuratio tahun 2008 ketika pemilihan Jenderal dan P. Nico terpilih serta pertemuan-pertemuan dengan P. Nico dalam konteks gubernasi Serikat, P. Nico sebagai Jenderal dan Paco Pepe (Francisco José Ruiz Pérez, S. J) sebagai provinsial España. Berikut ini kesaksian pengenalan Paco Pepe tentang P. Nico En Memoria del P. Adolfo Nicolás, S. J. Publicado: Viernes, 22 Mayo 2020 Berita kepergian  P. Adolfo Nicolás, S. J.  sampai dalam minggu-minggu ini, ketika saya membayangkan dengan setengah meramalkan bahwa P. Adolfo Nicolás, S. J. akan menjadi kenangan dalam Serikat. Saya menuliskan beberapa kenangan yang membantu saya sendiri saat ini untuk menghidupkan kembali (reavivar) momen-momen personal dengan Rama Jenderal Serikat 2008-2016 ini. Kenangan tersebar dari sana sini dalam perjumpaan-perjumpaan dan pertemuan-pertemuan yang hampir semuanya karena tugas-tugas gubernasi Serikat, kecuali wajah dan kedekatan lain, yaitu hidup bersama yang nyaman dan mengesan di kuria Provinsial Madrid selama beberapa bulan sebelum P. Adolfo Nicolás, S. J. berangkat ke Manila pada awal 2017. Di Madrid, ketika itu beliau sedang periksa dokter untuk menngetahui kondisi kesehatannya. Dari semua kenangan yang saya miliki, saya ambil kembali satu peristiwa karena nilai dan pencerahan yang membantu saya mengerti serta menyerap corak keJesuitan P. Adolfo Nicolás, S. J. serta sumbangannya bagi Serikat. Peristiwa itu terjadi di akhir hari-hari murmuratio KJ 35 di Roma. Saya meminta pertemuan dengan P. Adolfo Nicolás, S. J. dan disepakati melaksanakannya pada sore hari saat kembali dari kuria Generalat ke tempat kami menginap: ketika itu P. Adolfo Nicolás, S. J. menginap di Gezù dan saya di Gregoriana. Jadilah ketika itu suatu perjumpaan cukup panjang untuk suatu murmuratio dan isinya pun kaya. Demikianlah terjadi. Saat itu saya bermaksud mengenal melalui percakapan kesan pribadi tanpa referensi orang lain  tentang pribadi dan kerohanian P. Adolfo Nicolás, S. J. Pada hari itu dan jam itu nama P. Adolfo Nicolás, S. J. sudah terdengar kuat. Karena itu saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk kontak dengan pribadi yang untuk kebanyakan orang saat itu kandidat kuat sebagai Jenderal tetapi tidak begitu dikenal.  Karena kurang pengalaman bersama serta tidak memiliki penilaian sebelumnya, yang saya serap dalam dialog kami berpengaruh langsung dan spontan pada diri saya, pengaruh langsung yang dilekatkan oleh kesan-kesan awal tentang seseorang yang tidak pernah ditemui sebelumnya dan pengaruh langsung yang selanjutnya terus terjadi. Pada akhirnya, dari percakapan-percakapan serta hal-hal lain tentang P. Adolfo Nicolás, S. J., jejak yang manusiawi dan rohaninya dari kesan pertama tentang P. Adolfo Nicolás, S. J. terkonfirmasi pada waktu-waktu berikutnya. Yang menjadi fokus pertama: keterbukaan (apertura). Dari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang saya sampaikan, segera saya merasa sikap pribadi yang mencolok dan sangat mewarnai P. Adolfo Nicolás, S. J. adalah keterbukaan. Yang dimaksud adalah keterbukaan cara memandang, keterbukaan mengenai yang menjadi fokus, keterbukaan perspektif. Demikian saya menangkap keterbukaan ini sepanjang gubernasinya. P. Adolfo Nicolás, S. J. menunjukkannya dalam perjumpaan di Roma itu bahwa beliau mendekati pertanyaan-pertanyaan krusial mengenai dunia dan Gereja dengan mengambil sudut yang berbeda. Jelas bahwa telah ter-internalisasi suatu aspek universalitas khas Jesuit, sejalan dengan perjalanan rohani yang saya pikir puncaknya untuk memasukkan diri secara mendalami menghadapi dunia baru yang dilihatnya. Tanda dan jejak khas ke-Timuran P. Adolfo Nicolás, S. J. jelas bagi kami ketika beliau menjadi Jenderal. Timur bagi P. Adolfo Nicolás, S. J. bukan hanya bagian yang sangat penting dari hidupnya, tetapi juga sebuah kepibaksanaan lain untuk mendekati tema-tema mendasar Serikat. P. Adolfo Nicolás, S. J. menjalankan gubernasi dengan cara menggunakan bersama-sama kunci pengertian dan pengalaman rohani serta budaya yang beragam. Hal ini memampukan beliau untuk mengontemplasikan bentangan pandangan Timur dan Barat, Asia dan Eropa. P. Adolfo Nicolás, S. J. memiliki ketrampilan istimewa untuk memberi sentuhan kebaruan dalam merefleksikan suatu tema, sekaligus kritis terhadap penempatan yang berlebihan corak Eropasentris Serikat dan Gereja. Keterbukaan demikian itu pada diri P. Adolfo Nicolás, S. J. seperti suatu tanda luar biasa dari kemerdekaan batinya. Kemerdekaan batin demikian ini memampukan beliau merenungkan macam-macam persoalan dengan merelativir secara sehat (relativización sana), tidak jarang  penuh humor, dalam mengenali di mana mesti berada karena dipandang lebih penting dan di mana tidak. Yang menjadi fokus kedua: kedalaman (profundidad). Pengalaman murmuratio pada waktu itu menjadikan saya mengerti jejak lain dari P. Adolfo Nicolás, S. J. yang diturunkan dari sikap terbuka. Saya memperhatikan bahwa dalam merumuskan sesuatu beliau lebih memilih dengan penggambaran dan kekuatan sebuah saran, daripada dengan konsep yang abstrak.  P. Adolfo Nicolás, S. J. lebih percaya kekuatan sebuah bahasa yang menggugah daripada kekuatan makna kata-kata yang terbatas. Beliau lebih suka pada pertanyaan-pertanyaan yang memicu pencarian-pencarian, daripada solusi-solusi tertutup. Yang pasti, kita akan selalu menyatu dengan ajakan terus menerus  P. Adolfo Nicolás, S. J. kepada Serikat untuk mengusahakan kedalaman (profundidad) yang dipahami sebagai suatu ruang tidak terbatas dan, meskipun demikian, terisi penuh Allah. Mendapatkan kembali tema diskresi untuk bagian dalam Serikat menurut saya merupakan pengaruh dari penekanan terus menerus kedalaman ini. Dalam arah dan garis yang sama, hal itu kelihatan saat P. Adolfo Nicolás, S. J.  saat menyampaikan De Statu di dalam Kongregasi Prokurator tahun 2012 yang mendapat sangat banyak tanggapan: “… kendati bisa membuat kaget sementara orang, saya memahami bahwa satu dari hal-hal pokok yang Serikat hadapi saat ini adalah dikembalikannya semangat hening (el espíritu de silencio). Dalam hal ini, saya tidak sedang memikirkan pedoman-pedoman maupun aturan-aturan disiplin waktu-waktu hening atau kembali ke rumah-rumah